Di hari yang berawan itu, seorang gadis cantik dengan gaun ulang tahun indahnya tengah menunggu seseorang dengan berdebar. Ia menata kue ulang tahunnya sendiri di meja kecil ruang tengah, lengkap dengan empat kursi yang mengelilinya. Ia bahkan memompa sendiri balon warna-warni yang menghiasi seisi ruangan.
Nilakandi sedang berada di galeri seni kecil miliknya, hadiah ulang tahun dari sang ayah. Ayah, Ibu, dan sahabatnya-Luna-akan merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas disana, sesuai wishlist yang sebelumnya ia buat.
Bersamaan dengan balon terakhir yang Nilakandi ikat, ponselnya berdering, menampakkan nama “ayah terhebat” di layarnya.
“Nilakandi, ayah dan ibu mampir ke rumah Luna dulu, ya? Dia mau berangkat sama kita,” suara sang ayah.
“Hm? Tadi bilangnya mau diantar Kak Ten kok, yah,” jawab Nilakandi.
“Tadi Luna barusan telepon ayah, katanya mau berangkat sama-sama. Nggak papa, toh nggak jauh rumahnya.
“Hah? Nggak berguna? Bagaimana bisa bukti sekuat itu bisa ditolak?” tanya Tama kesal di hadapan pengacara nomor satunya, Andrew. “Tak ada bukti yang mengarah langsung bahwa dia adalah pelakunya, Pak,” jawab Andrew yang menggeleng pelan. Ia kemudian menjabarkan satu persatu berkas yang ada di meja itu. Berkas-berkas itu adalah semua bukti yang dikumpulkan oleh Nana tentang kejahatan Ten selama ini. Baik rekaman CCTV, hasil visum luka dan memar Nilakandi, hingga bukti rekaman suara Ten saat merudung Nilakandi yang pernah ia sembunyikan di rumah. “Empat potongan CCTV ini hanya memperlihatkan dia yang masuk ke gedung, bukan bertemu Nilakandi, tentu sangat mudah mengelaknya. Sedangkan satu potongan CCTV yang terakhir ini memang memperlihatkannya masuk ke kamar Nilakandi, tapi tak ada hasil visum untuk kejadian di tanggal itu, jadi mudah saja bagi mereka untuk mengelak bahwa tak terjadi kekerasan di sana,” terang sang pengacara. “Hasil visumnya memang hanya
Diwana duduk santai di kursi empuk ruangan itu, menunggu dokter Tano yang tengah mengunjungi pasiennya. Ia melihat-lihat ke sekeliling, semuanya terasa familiar baginya karena enam tahun sudah ia rutin mengunjungi ruangan itu.“Hei, datang lebih awal ya,” sapa dokter Tano begitu masuk ke ruangan.Ia memeluk Diwana yang dengan sopan berdiri menyambutnya, lalu mempersilakannya duduk kembali.Pemeriksaan yang dijalani Diwana cukup sederhana. Selain pemeriksaan fisik, dokter Tano juga melakukan konseling singkat yang membahas tentang keluhan-keluhan yang mungkin Diwana rasakan selama empat bulan dari kontrol terakhirnya.“Seperti biasa, kamu selalu jaga diri kamu dengan baik. Nggak ada masalah apapun, jantung kamu sama sehatnya dengan jantungku sekarang. Ah, mungkin justru lebih sehat jantungmu karena aku sudah semakin tua,” kelakar dokter Tano.“Emm, dok. Sebetulnya, aku mau tanya sesuatu,” ucap Diwana dengan bahasa
Seorang perempuan berpakaian serba hitam terlihat mondar-mandir di luar gedung apartemen. Perempuan itu bahkan mengenakan masker hitam, kacamata, dan topi untuk menutupi wajahnya. Ia kemudian masuk dan naik ke lantai sembilan, atau lebih tepatnya ke apartemen nomor 903, tempat Diwana dan Nilakandi tinggal.Perempuan mencurigakan itu meletakkan sebuah kotak di depan pintu, ia membunyikan bel satu kali dan langsung berlari menuju lift untuk kembali turun.“Siapa?” teriak Nilakandi dari layar interkom.Awalnya ia pikir itu adalah Diwana, karena lelaki itu belum ada dua puluh menit meninggalkan rumah untuk pergi bekerja. Tapi karena tak ada jawaban, Nilakandi segera membuka pintu. Untuk sesaat ia lupa bahwa keberadaan Ten masih selalu mengancamnya.Namun begitu ia melihat benda di depan pintu, senyum lebar justru terukir di wajahnya. Ia mengambil benda yang ternyata adalah sekotak kado berwarna kuning dan berpita merah hati.“Kenapa n
Diwana berlari menuju apartemennya, ia melangkah masuk dengan perasaan tak terdefinisikan.“Kandi...?” panggilnya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah.“Nilakandi?” pangilnya lagi.Tak ada jawaban, jantung Diwana mulai berdegup kencang. Ia tak menemukan Nilakandi di rumahnya, tapi juga tak ada tanda-tanda mencurigakan apapun di sana. Ia kembali menelepon nomornya dengan ponsel Jovyan yang ia bawa, tapi nihil tak ada jawaban. Begitu pula dengan nomor Nilakandi, ponselnya mati.Diwana segera bergegas ke rumah Nilakandi. Ia meracau dalam hati, berharap perempuan itu ada di sana.“Nilakandi... Aku mohon,” racaunya dengan gusar.Ketakutan Diwana bertambah saat mendapati ruangan itu benar-benar kosong, tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Tangannya masih sibuk berusaha menelepon nomornya, tapi tetap tak ada jawaban.Sebuah telepon pun masuk, tapi bukan dari orang yang ia tunggu, melainkan
Jantung Nilakandi berdegup kencang saat ia hendak melangkahkan kaki ke kamar 1103 seperti yang tertulis di surat dari kekasihnya. Ia penasaran dengan kejutan apa yang tengah menunggunya di dalam sana. Ia melangkahkan kaki pelan, sambil melihat ke sekeliling kamar hotel mewah yang menyilaukan mata itu. Benar, kamar itu adalah kamar suite room dengan harga tak masuk akal per malamnya. “Hmm, kenapa tirainya warna gelap, sih,” gerutu Nilakandi begitu melihat tirai berwarna hitam menutupi jendela. “Its okay, nggak papa asal ada Kak Diwana,” ucapnya seraya menyibak tirai menjulang itu hingga menampakkan pemandangan di baliknya. Pemandangan dari Hotel Zeus memang terkenal akan indahnya. Hotel tidak terletak di tengah hiruk pikuk pusat industri, melainkan di pinggir kota yang tenteram tepat di balik sebuah bukit menjulang, sekitar tiga puluh menit dari pusat kota. Pemandangan pepohonan hijau yang membentang terlihat begitu indah dari lantai sebelas. A
“Kalau sesuatu yang buruk terjadi, aku nggak akan maafin Kak Diwana,” ujar Nana yang duduk di kursi tengah.Diwana hanya membisu, bukan hanya Nana yang tak akan memaafkannya. Tapi ia juga tak kan pernah memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu terjadi pada Nilakandi“Aku harap kalian bisa fokus hanya untuk cari Nilakandi aja hari ini. Aku nggak peduli kalian mau berantem kaya gimana, tapi lakukan nanti, nanti setelah semua masalah ini clear,” sanggah Tama sambil mengendarai mobilnya dengan kecepatan lebih dari 100 km/jam.“Kamar 1103 itu lantai 11. Hanya ada 4 kamar di sana, dan hanya VVIP atau hotelier yang bisa akses. Karena itu, kalian harus pakai tangga darurat. Begitu sampai, kalian berdua langsung ke TKP, aku akan urus manager dan ngumpulin keamanan hotel. Aku ada kenalan di sana,” jelas Tama.Tama memang sudah sering mengunjungi hotel eksklusif itu untuk kunjungan bisnis atau bertemu dengan VVIP lainnya. Beruntung,
Bau obat-obatan menyeruak di setiap sudut ruangan. Bunyi alat-alat medis yang menggema terdengar begitu mencekam.Diwana bangun dari lelapnya dengan nafas memburu. Ia berharap semua yang terjadi adalah mimpi. Namun sayang, pemandangan di sekelilingnya mengatakan tidak.“Ta...” lirihnya begitu mengenali sosok Tama yang duduk di kejauhan.“Diwana? Kamu udah sadar? Istirahat dulu, kamu cukup lemah sekarang,” ucap Tama saat Diwana hendak memaksakan diri untuk bangun.“Dimana Nilakandi?” tanya Diwana tanpa basa-basi.“Ada di ICU. Kamu juga perlu pemulihan, jantungmu cukup shock karena kejadian kemarin,”“Aku mau ketemu Nilakandi sekarang, aku mohon,” pinta Diwana memelas.“Tapi Diw-“Ada sesuatu yang nampak janggal dari raut wajah Tama, dan Diwana menyadari hal itu. Diwana meremat selimutnya, bersiap untuk apapun yang akan keluar dari bibir Tama.“A
Diwana kini duduk terdiam di kursi roda di samping kanan kasur pasien. Bukan, bukan Nilakandi lagi, melainkan Nana yang terlihat masih terlelap dalam tidur pulasnya.“Makasih, ya? Untuk selalu ada di sisi Nilakandi. Dan maaf, aku udah ingkar janji untuk yang ke sekian kali,” lirih Diwana dengan menunduk.“Kamu kalau mau bilang maaf dan makasih harusnya waktu dia bangun nggak, sih?” sahut Tama yang masih berdiri di belakang kursi rodanya dengan setia.Diwana hanya malu, sekaligus mungkin malas untuk berdebat dengan Nana yang menurutnya kadang menyebalkan. Namun belum sempat Diwana membalas Tama, sosok yang sedari tadi ia kita terlelap tau-tau menyahutnya terlebih dahulu.“Ya, sama-sama. Maafnya juga diterima,” lirih Nana yang ternyata sedari tadi terjaga meski dengan mata tertutup.Lelaki itu langsung memiringkan tubuhnya ke arah kiri, membelakangi Diwana dan Tama yang masih terkejut.“K-kamu ternyata