Bau obat-obatan menyeruak di setiap sudut ruangan. Bunyi alat-alat medis yang menggema terdengar begitu mencekam.
Diwana bangun dari lelapnya dengan nafas memburu. Ia berharap semua yang terjadi adalah mimpi. Namun sayang, pemandangan di sekelilingnya mengatakan tidak.
“Ta...” lirihnya begitu mengenali sosok Tama yang duduk di kejauhan.
“Diwana? Kamu udah sadar? Istirahat dulu, kamu cukup lemah sekarang,” ucap Tama saat Diwana hendak memaksakan diri untuk bangun.
“Dimana Nilakandi?” tanya Diwana tanpa basa-basi.
“Ada di ICU. Kamu juga perlu pemulihan, jantungmu cukup shock karena kejadian kemarin,”
“Aku mau ketemu Nilakandi sekarang, aku mohon,” pinta Diwana memelas.
“Tapi Diw-“
Ada sesuatu yang nampak janggal dari raut wajah Tama, dan Diwana menyadari hal itu. Diwana meremat selimutnya, bersiap untuk apapun yang akan keluar dari bibir Tama.
“A
Diwana kini duduk terdiam di kursi roda di samping kanan kasur pasien. Bukan, bukan Nilakandi lagi, melainkan Nana yang terlihat masih terlelap dalam tidur pulasnya.“Makasih, ya? Untuk selalu ada di sisi Nilakandi. Dan maaf, aku udah ingkar janji untuk yang ke sekian kali,” lirih Diwana dengan menunduk.“Kamu kalau mau bilang maaf dan makasih harusnya waktu dia bangun nggak, sih?” sahut Tama yang masih berdiri di belakang kursi rodanya dengan setia.Diwana hanya malu, sekaligus mungkin malas untuk berdebat dengan Nana yang menurutnya kadang menyebalkan. Namun belum sempat Diwana membalas Tama, sosok yang sedari tadi ia kita terlelap tau-tau menyahutnya terlebih dahulu.“Ya, sama-sama. Maafnya juga diterima,” lirih Nana yang ternyata sedari tadi terjaga meski dengan mata tertutup.Lelaki itu langsung memiringkan tubuhnya ke arah kiri, membelakangi Diwana dan Tama yang masih terkejut.“K-kamu ternyata
Satu bulan berlalu bak satu kedipan mata. Nana sudah sepenuhnya pulih, ia kembali mengurus pekerjaannya di luar kota dengan terpaksa, meskipun hatinya sebetulnya berat meninggalkan Nilakandi.Sedangkan Diwana masih setia berada di rumah sakit. Bukan, shock pasca tragedinya sudah membaik, ia di sana untuk Nilakandi. Lelaki itu tak mau kekasihnya sadarkan diri tanpa ada ia di sisinya. Diwana bahkan sudah mengurus sisa pekerjaannya, dan mengajukan cuti hingga dua bulan kedepan.Semuanya sudah kembali seperti semula, kecuali Nilakandi. Perempuan malang itu masih terbaring lemah dengan alat-alat medis di sekelilingnya."Ayo, bangun," bisik Diwana lirih tepat di telinga kekasihnya yang masih terlelap. Diwana yakin, Nilakandi mendengarnya."Masih banyak wish list kita yang perlu di checklist. Nanti kita realisasikan satu-satu."Tangan kanan Diwana menggenggam erat jemari Nilakandi, sedang tangan kirinya tak berhenti membelai surai dan pipi kekasihnya itu.
“Apa anda masih di sana? Halo? Korban kami bawa ke Rumah Sakit Alhambra.”Begitulah kalimat terakhir yang sayup-sayup aku dengar dari seberang telepon. Detik berikutnya, aku hanya bisa terduduk di lantai karena kakiku melemas tak bertenaga.Bukan, bukan kabar itu yang ingin aku dengar. Aku menampar pipiku berkali-kali, sakit. Aku masih berharap semua ini tak nyata, aku ingin segera bangun dari mimpi buruk ini.Tapi begitu aku mendengar detak jantungku sendiri yang berpacu dengan suara jarum jam di tengah kesunyian, aku pun sadar, aku harus kecewa karena mimpi buruk itu adalah kenyataan.Aku meremas gaunku untuk mengumpulkan kekuatan, meskipun tanganku masih bergetar hebat. Taksi melaju dengan kecepatan hampir 90 km/jam atas pintaku. Di perjalanan, air mataku tak berhenti mengalir, tanganku menyatu dan memanjatkan do’a entah pada Tuhan atau pada semesta.“Tolong, selamatkan kedua orang tuaku,” lirihku.Sesampainy
Aku kembali bangun dengan infus yang tertancap di tangan kiri di IGD. Saat aku mencoba bangun, aku merasa ada yang berbeda dariku, sakit. Tangan dan kakiku penuh lebam membiru, pipiku kaku dan membengkak, bahkan aku mengecap rasa darah di dalam mulutku. Perawat intern yang menyadari sadarku langsung berlari mendekat, mungkin ia khawatir aku akan melakukan hal bodoh seperti sebelumnya. Ia pun menghampiriku dan memasang muka kesal bercampur... mungkin kasihan. “Kamu kenapa bisa jatuh dari tangga?” tanyanya, yang lebih terdengar seperti omelan di telingaku. “Jatuh? Saya?” tanyaku kebingungan. Perawat itu pun menunjuk ke arah luka-luka di tubuhku dengan dagunya. “Kamu pingsan di tangga darurat, ceroboh sekali,” omelnya lagi. Aku masih tidak mengerti kenapa aku bisa ada di tangga darurat dalam keadaan penuh luka. Sampai akhirnya aku ingat, siapa yang aku temui terakhir kali sebelum tak sadarkan diri, Kak Ten, kekasih Luna. “Ah, iya, seperti
Hujan masih turun dengan deras dari luar sana, membangunkanku yang terlelap selama beberapa saat. Kulihat jam dari ponsel, tenyata sudah tengah malam tepat. Aku semakin membalut tubuhku di balik selimut beraroma ayah dan ibu, dan mencoba untuk memejamkan mata sekali lagi.Namun tiba-tiba, terdengar suara dobrakan pintu utama rumahku berkali-kali. Aku ketakutan, tentu saja. Tapi badanku yang sudah remuk ini tak bisa melakukan apa-apa, aku hanya bisa ketakutan di balik selimut.Dobrakan pintu itu terus berlanut, berpacu dengan petir menggelegar di luar sana. Aku bergidik ngeri, tapi lebih ketakutan lagi saat dobrakan itu berhenti dan digantikan dengan sebuah suara langkah kaki perlahan terdengar mendekat.Aku tak punya siapa-siapa lagi, tak mungkin ada orang lain yang mengunjugiku selarut ini, kecuali…Pintu kamarku yang memang tak aku kunci pun terbuka, menampakkan siluet sosok laki-laki yang berdiri sambil memegang tongkat baseball di tangannya. Ak
Aku kembali menunggu jam kunjung ICU karena pagi hingga siang tadi sibuk mengantarkan Luna pulang. Sudah pukul enam sore, jam kunjung akan dibuka satu jam lagi. Aku merasa pusing, penat dan remuk sekali rasanya.Perutku pun berbunyi cukup kencang hingga mengejutkanku. Ah benar, aku belum memakan apapun sejak pagi, minum pun tidak. Aku merogoh kantong depan tas kecilku, mencari-cari roti yang tadi pagi aku dapat dari si lelaki asing. Ketemu, meskipun bentuknya sudah pipih hingga selai cokelatnya keluar kemana-mana.“Saudara Nilakandi?” panggil seorang perawat dari dalam ICU.“Iya? Saya, suster,” jawabku, aku benar-benar ketakutan saat namaku dipanggil, takut jika terjadi sesuatu dengan orang yang aku cintai di dalam sana.“Mohon ikut kami sebentar untuk menemui Dokter yang menangani ayah dan ibumu, Dokter Sarah,” perintahnya kemudian.Aku hanya mengekor di belakangnya. Ia membawaku ke sebuah ruangan yang berbau ob
Empat hari sudah berlalu, ibu bahkan sudah dipindahkan ke rumah sakit lain yang terletak sejauh empat jam perjalanan dari rumahku. Jauh memang, tapi apa boleh buat, hanya itu satu-satunya cara untuk membuat ibuku tetap hidup.Aku menunggu jam kunjung ICU lagi di ruang tunggu, di tempat yang sama seperti kemarin-kemarin. Aku tersenyum saat mendapati kursi yang biasa aku tempati terlihat penuh dengan makanan. Ada dua buah onigiri tuna, roti sandwich, makanan ringan, dan tak lupa sebotol air mineral.Di atasnya tertempel sebuah stick notes bertuliskan ‘Milik Nilakandi’ lengkap dengan emotikon senyum di akhirnya. Kemarin ia juga meninggalkan makanan untukku, satu box nasi, sandwich yang sama, dan teh jasmine yang bahkan masih hangat.“Hmm, kenapa Kak Nana sebaik ini sama aku?” gumamku, aku mungkin terlihat sangat menyedihkan sampai-sampai perawat intern itu merawatku.Aku pun duduk dan hendak membuka roti sandwich itu untuk sarapan, sa
Sesak, rasanya sesak sekali. Aku segera berlari meninggalkan ruang ICU setelah dengan nekat menentang ucapan dokter dan perawat sialan itu. Aku gagal bertemu ayah, padahal itu yang sudah aku tunggu sejak kemarin sore.Aku pun berlari menuju rooftop rumah sakit dengan menaiki tangga darurat. Entahlah, rasanya terlalu sesak melihat sekitar, aku bahkan menghindari naik lift yang pasti sempit. Aku memegangi dadaku kuat-kuat dan meremas bajuku, berharap rasa sesaknya dapat berkurang sedikit saja.Sesampainya di atas, pintu rooftop itu ternyata tak terkunci, memudahkanku keluar dan menghirup udara segar dari atas sana.Nafasku cukup terengah usai menaiki beberapa lantai dengan tangga, namun semuanya terbayarkan saat angin sepoi-sepoi menyambutku dari luar. Aku melangkahkan kaki lebih jauh, mencoba melihat kota dari ketinggian belasan lantai. Aku akan lebih leluasa mengumpat dan menangis sepuasnya di sini.“Omong kosong, semalam ayah masih baik-baik saja,&