Aku kembali menunggu jam kunjung ICU karena pagi hingga siang tadi sibuk mengantarkan Luna pulang. Sudah pukul enam sore, jam kunjung akan dibuka satu jam lagi. Aku merasa pusing, penat dan remuk sekali rasanya.
Perutku pun berbunyi cukup kencang hingga mengejutkanku. Ah benar, aku belum memakan apapun sejak pagi, minum pun tidak. Aku merogoh kantong depan tas kecilku, mencari-cari roti yang tadi pagi aku dapat dari si lelaki asing. Ketemu, meskipun bentuknya sudah pipih hingga selai cokelatnya keluar kemana-mana.
“Saudara Nilakandi?” panggil seorang perawat dari dalam ICU.
“Iya? Saya, suster,” jawabku, aku benar-benar ketakutan saat namaku dipanggil, takut jika terjadi sesuatu dengan orang yang aku cintai di dalam sana.
“Mohon ikut kami sebentar untuk menemui Dokter yang menangani ayah dan ibumu, Dokter Sarah,” perintahnya kemudian.
Aku hanya mengekor di belakangnya. Ia membawaku ke sebuah ruangan yang berbau ob
Empat hari sudah berlalu, ibu bahkan sudah dipindahkan ke rumah sakit lain yang terletak sejauh empat jam perjalanan dari rumahku. Jauh memang, tapi apa boleh buat, hanya itu satu-satunya cara untuk membuat ibuku tetap hidup.Aku menunggu jam kunjung ICU lagi di ruang tunggu, di tempat yang sama seperti kemarin-kemarin. Aku tersenyum saat mendapati kursi yang biasa aku tempati terlihat penuh dengan makanan. Ada dua buah onigiri tuna, roti sandwich, makanan ringan, dan tak lupa sebotol air mineral.Di atasnya tertempel sebuah stick notes bertuliskan ‘Milik Nilakandi’ lengkap dengan emotikon senyum di akhirnya. Kemarin ia juga meninggalkan makanan untukku, satu box nasi, sandwich yang sama, dan teh jasmine yang bahkan masih hangat.“Hmm, kenapa Kak Nana sebaik ini sama aku?” gumamku, aku mungkin terlihat sangat menyedihkan sampai-sampai perawat intern itu merawatku.Aku pun duduk dan hendak membuka roti sandwich itu untuk sarapan, sa
Sesak, rasanya sesak sekali. Aku segera berlari meninggalkan ruang ICU setelah dengan nekat menentang ucapan dokter dan perawat sialan itu. Aku gagal bertemu ayah, padahal itu yang sudah aku tunggu sejak kemarin sore.Aku pun berlari menuju rooftop rumah sakit dengan menaiki tangga darurat. Entahlah, rasanya terlalu sesak melihat sekitar, aku bahkan menghindari naik lift yang pasti sempit. Aku memegangi dadaku kuat-kuat dan meremas bajuku, berharap rasa sesaknya dapat berkurang sedikit saja.Sesampainya di atas, pintu rooftop itu ternyata tak terkunci, memudahkanku keluar dan menghirup udara segar dari atas sana.Nafasku cukup terengah usai menaiki beberapa lantai dengan tangga, namun semuanya terbayarkan saat angin sepoi-sepoi menyambutku dari luar. Aku melangkahkan kaki lebih jauh, mencoba melihat kota dari ketinggian belasan lantai. Aku akan lebih leluasa mengumpat dan menangis sepuasnya di sini.“Omong kosong, semalam ayah masih baik-baik saja,&
Hari kelima, seharian kemarin aku tidak bisa menemui ayah karena perawat dan dokter sialan itu. Harapanku hari ini hanya satu, menemui ayah dan Nana untuk menanyakan kondisi ayahku yang sebenarnya. Aku berniat untuk berangkat lebih pagi agar memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Nana.Namun baru saja aku bersiap untuk pergi, pintu rumahku terdengar dibuka paksa, lagi. Aku masih ketakutan, tentu saja. Aku pun segera berlari ke arah kamarku, dan bersembunyi di dalam kamar mandi yang aku kunci dari dalam.Aku membungkam mulut dengan kedua tanganku agar tak bersuara sedikitpun, ketakutan setengah mati. Mataku terpejam memohon agar semua cepat berlalu. Namun sedetik kemudian, yang aku dengar justru derap langkah kaki yang mendekat.“Nggak perlu sembunyi, gue cuma mau nagih hutang… kematian lo,” suara Kak Ten menggema.Aku semakin bergetar saat kalimat itu ia lontarkan, bersamaan dengan ketukan pintu kamar mandi yang entah kenapa terd
Aku berlari kencang meskipun dengan kaki patah, beruntung bus tak begitu ramai sehingga aku tak perlu mencari alasan jika ada yang bertanya tentang keadaanku yang kacau. Aku tak berhenti menangis hingga bus sampai di halte dekat rumahku.Aku kembali berlari tergesa ke dalam rumah yang pintunya bahkan masih rusak karena ulah Kak Ten. Aku mencari-cari baju pesta yang tempo hari sudah aku cuci di tumpukan pakaian kering, lalu mengenakannya saat itu juga meskipun membuat luka-luka di kaki dan tanganku terekspos jelas.Kado dari ibu terlihat melambai-lambai dari atas nakas, seakan memintaku untuk menghampirinya. Aku pun membukanya, membaca lagi surat terakhir dari ibu yang mungkin bisa menenangkan emosiku. Tapi aku salah, semakin aku baca, semakin kuat tekadku.Aku bahkan memakai parfum berbotol cantik kado terakhir dari ibu, yang langsung membuatku merasa tak sendirian lagi. Seakan ibu sedang berada di sampingku menemani. Aroma woods pomelo itu tak membuat emosiku r
Diwana berada di koridor ruang tunggu dengan kaki gemetar, sudah hampir satu jam dokter dan perawat-perawat itu menangani Nilakandi di dalam ruangan sana. Ia bahagia, sekaligus khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi pada kekasihnya.Jovyan sudah menenangkannya berkali-kali, tapi tak juga dihiraukannya.“Udah hubungi Tama?” tanya Diwana gusar.Jovyan mengangguk, “Udah, Nana juga.”Tepat ketika Jovyan menyelesaikan kalimatnya, pintu tangga darurat terbanting kencang, menampakkan sosok Nana yang tergopoh berlari ke arah Diwana. Diwana pun spontan berdiri. Namun tak hanya Nana, di belakangnya ada sosok Tama yang sama-sama keluar dari tangga darurat.“Kenapa lewat tangga darurat? Jangan lari…” sambut Diwana yang entah kenapa merasa khawatir.“Lift penuh, lama,” jawab Nana singkat dengan terengah, “Kai gimana, Kak?” lanjutnya.“Masih ditangani dokter dan perawat
Diwana mendorong kursi roda Nilakandi dengan telaten. Setelah melalui diskusi panjang dengan para dokter, ia akhirnya bisa mendapatkn ijin untuk membawanya pulang.Sampailah mereka di depan pintu apartemen. Bukan, bukan apartemen Diwana, melainkan apartemen Nilakandi sendiri seperti yang dimintanya.“Udah siap? Kangen rumah, ya?” tanya Diwana, Nilakandi pun mengangguk dengan antusias.Diwana menuntun Nilkandi ke dalam kamarnya, lalu berhenti tepat di samping ranjang. Lelaki itu berlutut di depan kursi roda dan menengadah menatap mata sang kekasih.“I love you, like, so… much,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Nilakandi.“Ih, bucin banget,” komentar Nilakandi.Diwana hanya terkekeh melihat reaksi sang kekasih, ia bangkit dan merapikan bantal untuk NIlakandi sebelum akhirnya membaringkannya di sana dengan hati-hati.“Kak,”“Hm? Ada apa?”“Mau dius
Diwana masih setia duduk di samping Nilakandi yang bersandar di bahunya, tangan mereka masih bertaut sejak lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Mereka sudah berada di dalam ruang interogasi yang setiap sudut ruangannya memiliki kamera pengintai dan perekam suara.“Ngantuk?” tanya Diwana pada Nilakandi yang sudah membisu beberapa saat.“Nggak kok, pegel ya?” Nilakandi sontak bangun, lalu melirik ke arah bahu Diwana yang langsung menggeleng kencang.“Mau bersandar seratus tahun di bahuku juga nggak akan pernah pegel. Sini.” Lelaki itu membawa kepala Nilakandi kembali bersandar di bahunya, sedang si perempuan hanya tersenyum malu-malu.“Kak, suara kita direkam, tau,” bisik Nilakandi.“Apa aku terlihat peduli? Nggak, sayang,” kelakar Diwana. Lelaki itu berhasil membuat Nilakandi tertawa lagi dengan candaan bucinnya.Tepat saat itu, seorang polisi kemudian masuk ke dalam ruangan,
“You did well, kamu sudah bekerja keras hari ini, Sayang. Aku bangga,” puji Diwana usai Nilakandi merebahkan diri di sandaran kursi mobilnya sambil terpejam.Kalimat-kalimat itu terdengar memabukkan di telinga Nilakandi, membuatnya mengulas senyum malu-malu. Perlakuan manis tapi sederhana seperti ini selalu membuat kupu-kupu di perutnya menari-nari.“Mau bertemu Bunda dan Aiden? Mereka khawatir sama kamu, udah telepon terus dari kemarin,” ujar Diwana sambil terus fokus mengemudi.“Aku kangen, tapi… kondisi aku kaya gini,” jawab Nilakandi seraya membuka matanya.“Kaya gini gimana? Pasti lagi insecure lagi, kan?”Nilakandi mengangguk mengiyakan menatap Diwana, membuat lelaki di depannya spontan menatap dalam.“Aku masih selemah ini, Kak. Mau bisa jalan dulu sebelum bertemu Bunda. Memangnya Kak Diwana nggak malu?” protes Nilakandi kemudian.Mendengar hal itu, Diwana diam