Beranda / Romansa / Nilakandi / Chapter 45. Denyut Terakhir

Share

Chapter 45. Denyut Terakhir

Penulis: Kalasenja
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-07 11:58:54

“Kalau sesuatu yang buruk terjadi, aku nggak akan maafin Kak Diwana,” ujar Nana yang duduk di kursi tengah.

Diwana hanya membisu, bukan hanya Nana yang tak akan memaafkannya. Tapi ia juga tak kan pernah memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu terjadi pada Nilakandi

“Aku harap kalian bisa fokus hanya untuk cari Nilakandi aja hari ini. Aku nggak peduli kalian mau berantem kaya gimana, tapi lakukan nanti, nanti setelah semua masalah ini clear,” sanggah Tama sambil mengendarai mobilnya dengan kecepatan lebih dari 100 km/jam.

“Kamar 1103 itu lantai 11. Hanya ada 4 kamar di sana, dan hanya VVIP atau hotelier yang bisa akses. Karena itu, kalian harus pakai tangga darurat. Begitu sampai, kalian berdua langsung ke TKP, aku akan urus manager dan ngumpulin keamanan hotel. Aku ada kenalan di sana,” jelas Tama.

Tama memang sudah sering mengunjungi hotel eksklusif itu untuk kunjungan bisnis atau bertemu dengan VVIP lainnya. Beruntung,

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Nilakandi   Chapter 46. Dibalik Tragedi

    Bau obat-obatan menyeruak di setiap sudut ruangan. Bunyi alat-alat medis yang menggema terdengar begitu mencekam.Diwana bangun dari lelapnya dengan nafas memburu. Ia berharap semua yang terjadi adalah mimpi. Namun sayang, pemandangan di sekelilingnya mengatakan tidak.“Ta...” lirihnya begitu mengenali sosok Tama yang duduk di kejauhan.“Diwana? Kamu udah sadar? Istirahat dulu, kamu cukup lemah sekarang,” ucap Tama saat Diwana hendak memaksakan diri untuk bangun.“Dimana Nilakandi?” tanya Diwana tanpa basa-basi.“Ada di ICU. Kamu juga perlu pemulihan, jantungmu cukup shock karena kejadian kemarin,”“Aku mau ketemu Nilakandi sekarang, aku mohon,” pinta Diwana memelas.“Tapi Diw-“Ada sesuatu yang nampak janggal dari raut wajah Tama, dan Diwana menyadari hal itu. Diwana meremat selimutnya, bersiap untuk apapun yang akan keluar dari bibir Tama.“A

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-07
  • Nilakandi   Chapter 47. Menguak Masa Lalu

    Diwana kini duduk terdiam di kursi roda di samping kanan kasur pasien. Bukan, bukan Nilakandi lagi, melainkan Nana yang terlihat masih terlelap dalam tidur pulasnya.“Makasih, ya? Untuk selalu ada di sisi Nilakandi. Dan maaf, aku udah ingkar janji untuk yang ke sekian kali,” lirih Diwana dengan menunduk.“Kamu kalau mau bilang maaf dan makasih harusnya waktu dia bangun nggak, sih?” sahut Tama yang masih berdiri di belakang kursi rodanya dengan setia.Diwana hanya malu, sekaligus mungkin malas untuk berdebat dengan Nana yang menurutnya kadang menyebalkan. Namun belum sempat Diwana membalas Tama, sosok yang sedari tadi ia kita terlelap tau-tau menyahutnya terlebih dahulu.“Ya, sama-sama. Maafnya juga diterima,” lirih Nana yang ternyata sedari tadi terjaga meski dengan mata tertutup.Lelaki itu langsung memiringkan tubuhnya ke arah kiri, membelakangi Diwana dan Tama yang masih terkejut.“K-kamu ternyata

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-13
  • Nilakandi   Chapter 48. Kerinduan Yang Tertahan

    Satu bulan berlalu bak satu kedipan mata. Nana sudah sepenuhnya pulih, ia kembali mengurus pekerjaannya di luar kota dengan terpaksa, meskipun hatinya sebetulnya berat meninggalkan Nilakandi.Sedangkan Diwana masih setia berada di rumah sakit. Bukan, shock pasca tragedinya sudah membaik, ia di sana untuk Nilakandi. Lelaki itu tak mau kekasihnya sadarkan diri tanpa ada ia di sisinya. Diwana bahkan sudah mengurus sisa pekerjaannya, dan mengajukan cuti hingga dua bulan kedepan.Semuanya sudah kembali seperti semula, kecuali Nilakandi. Perempuan malang itu masih terbaring lemah dengan alat-alat medis di sekelilingnya."Ayo, bangun," bisik Diwana lirih tepat di telinga kekasihnya yang masih terlelap. Diwana yakin, Nilakandi mendengarnya."Masih banyak wish list kita yang perlu di checklist. Nanti kita realisasikan satu-satu."Tangan kanan Diwana menggenggam erat jemari Nilakandi, sedang tangan kirinya tak berhenti membelai surai dan pipi kekasihnya itu.

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-13
  • Nilakandi   Chapter 49. Nilakandi's POV (September 2015)

    “Apa anda masih di sana? Halo? Korban kami bawa ke Rumah Sakit Alhambra.”Begitulah kalimat terakhir yang sayup-sayup aku dengar dari seberang telepon. Detik berikutnya, aku hanya bisa terduduk di lantai karena kakiku melemas tak bertenaga.Bukan, bukan kabar itu yang ingin aku dengar. Aku menampar pipiku berkali-kali, sakit. Aku masih berharap semua ini tak nyata, aku ingin segera bangun dari mimpi buruk ini.Tapi begitu aku mendengar detak jantungku sendiri yang berpacu dengan suara jarum jam di tengah kesunyian, aku pun sadar, aku harus kecewa karena mimpi buruk itu adalah kenyataan.Aku meremas gaunku untuk mengumpulkan kekuatan, meskipun tanganku masih bergetar hebat. Taksi melaju dengan kecepatan hampir 90 km/jam atas pintaku. Di perjalanan, air mataku tak berhenti mengalir, tanganku menyatu dan memanjatkan do’a entah pada Tuhan atau pada semesta.“Tolong, selamatkan kedua orang tuaku,” lirihku.Sesampainy

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-17
  • Nilakandi   Chapter 50. Nilakandi's POV (September 2015)

    Aku kembali bangun dengan infus yang tertancap di tangan kiri di IGD. Saat aku mencoba bangun, aku merasa ada yang berbeda dariku, sakit. Tangan dan kakiku penuh lebam membiru, pipiku kaku dan membengkak, bahkan aku mengecap rasa darah di dalam mulutku. Perawat intern yang menyadari sadarku langsung berlari mendekat, mungkin ia khawatir aku akan melakukan hal bodoh seperti sebelumnya. Ia pun menghampiriku dan memasang muka kesal bercampur... mungkin kasihan. “Kamu kenapa bisa jatuh dari tangga?” tanyanya, yang lebih terdengar seperti omelan di telingaku. “Jatuh? Saya?” tanyaku kebingungan. Perawat itu pun menunjuk ke arah luka-luka di tubuhku dengan dagunya. “Kamu pingsan di tangga darurat, ceroboh sekali,” omelnya lagi. Aku masih tidak mengerti kenapa aku bisa ada di tangga darurat dalam keadaan penuh luka. Sampai akhirnya aku ingat, siapa yang aku temui terakhir kali sebelum tak sadarkan diri, Kak Ten, kekasih Luna. “Ah, iya, seperti

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-17
  • Nilakandi   Chapter 51. Nilakandi's POV (September 2015)

    Hujan masih turun dengan deras dari luar sana, membangunkanku yang terlelap selama beberapa saat. Kulihat jam dari ponsel, tenyata sudah tengah malam tepat. Aku semakin membalut tubuhku di balik selimut beraroma ayah dan ibu, dan mencoba untuk memejamkan mata sekali lagi.Namun tiba-tiba, terdengar suara dobrakan pintu utama rumahku berkali-kali. Aku ketakutan, tentu saja. Tapi badanku yang sudah remuk ini tak bisa melakukan apa-apa, aku hanya bisa ketakutan di balik selimut.Dobrakan pintu itu terus berlanut, berpacu dengan petir menggelegar di luar sana. Aku bergidik ngeri, tapi lebih ketakutan lagi saat dobrakan itu berhenti dan digantikan dengan sebuah suara langkah kaki perlahan terdengar mendekat.Aku tak punya siapa-siapa lagi, tak mungkin ada orang lain yang mengunjugiku selarut ini, kecuali…Pintu kamarku yang memang tak aku kunci pun terbuka, menampakkan siluet sosok laki-laki yang berdiri sambil memegang tongkat baseball di tangannya. Ak

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Nilakandi   Chapter 52. Nilakandi's POV (September 2015)

    Aku kembali menunggu jam kunjung ICU karena pagi hingga siang tadi sibuk mengantarkan Luna pulang. Sudah pukul enam sore, jam kunjung akan dibuka satu jam lagi. Aku merasa pusing, penat dan remuk sekali rasanya.Perutku pun berbunyi cukup kencang hingga mengejutkanku. Ah benar, aku belum memakan apapun sejak pagi, minum pun tidak. Aku merogoh kantong depan tas kecilku, mencari-cari roti yang tadi pagi aku dapat dari si lelaki asing. Ketemu, meskipun bentuknya sudah pipih hingga selai cokelatnya keluar kemana-mana.“Saudara Nilakandi?” panggil seorang perawat dari dalam ICU.“Iya? Saya, suster,” jawabku, aku benar-benar ketakutan saat namaku dipanggil, takut jika terjadi sesuatu dengan orang yang aku cintai di dalam sana.“Mohon ikut kami sebentar untuk menemui Dokter yang menangani ayah dan ibumu, Dokter Sarah,” perintahnya kemudian.Aku hanya mengekor di belakangnya. Ia membawaku ke sebuah ruangan yang berbau ob

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Nilakandi   Chapter 53. Nilakandi's POV (September 2015)

    Empat hari sudah berlalu, ibu bahkan sudah dipindahkan ke rumah sakit lain yang terletak sejauh empat jam perjalanan dari rumahku. Jauh memang, tapi apa boleh buat, hanya itu satu-satunya cara untuk membuat ibuku tetap hidup.Aku menunggu jam kunjung ICU lagi di ruang tunggu, di tempat yang sama seperti kemarin-kemarin. Aku tersenyum saat mendapati kursi yang biasa aku tempati terlihat penuh dengan makanan. Ada dua buah onigiri tuna, roti sandwich, makanan ringan, dan tak lupa sebotol air mineral.Di atasnya tertempel sebuah stick notes bertuliskan ‘Milik Nilakandi’ lengkap dengan emotikon senyum di akhirnya. Kemarin ia juga meninggalkan makanan untukku, satu box nasi, sandwich yang sama, dan teh jasmine yang bahkan masih hangat.“Hmm, kenapa Kak Nana sebaik ini sama aku?” gumamku, aku mungkin terlihat sangat menyedihkan sampai-sampai perawat intern itu merawatku.Aku pun duduk dan hendak membuka roti sandwich itu untuk sarapan, sa

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-28

Bab terbaru

  • Nilakandi   Chapter 63. Diwana Dalam Mimpi

    Semesta hanya bermain-main, ia suka bercanda.Jangat takut pulang.Rindumu seperti lautan lepas yang tak berujung.Indah, tapi juga bisa membunuhmu.Diwana… apa yang kau cari?Diwana… pulanglah.Alunan puisi menggema di mimpi misterius itu, sedang Diwana masih berdiri terpaku di bibir pantai. Ia memindai ke sekeliling, mencari siapapun sosok bernyawa yang bisa ia temukan.Pandangan matanya pun menangkap sosok tak asing dikejauhan, sekitar dua puluh kaki dari tempat ia berdiri, lebih jauh dari biasanya. Lelaki yang duduk memeluk lutut di pasir pantai yang basah.“Itu… aku?” batin Diwana yang masih enggan bersuara karena takut akan terbangun tiba-tiba.Aoakah peraturan mimpinya masih sama? Entahlah. Dan kenapa mimpi itu datang lagi setelah sekian lama? Entahlah.Saat pikirannya berkecamuk, Diwana muda di depan sana tau-tau bangkit

  • Nilakandi   Chapter 62. Night Drive

    “Kak Diwana curang, hmm… tapi kalau demi Kak Kai nggakpapa deh,” protes Aiden saat Diwana meminjam motornya untuk berjalan-jalan malam itu.Pasalnya, duo Aiden dan Andini juga hendak berkeliling kota usai makan malam.“Pakai mobil nggakpapa kok, Ai,” timpal Andini, meluluhkan hati Aiden seketika.“Tuh dengar Andini, pakai mobil juga nggak kalah romantis kok. Nanti Kakak kasih uang jajan deh, ajak Andini cari dessert di café yang bagus,” tawar Diwana dengan niat menyogok adiknya.Aiden pun tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ia bisa memanfaatkan kakaknya lagi.“Terimakasih, Kakak ganteng,” puji Aiden dengan wajah berseri, membuat Diwana heran tak habis piker. Sedangkan Andini, Nilakandi dan Bunda hanya tertawa kecil melihat tingkah lelaki humoris itu.“Tapi maksimal jam sebelas sudah harus sampai rumah, kamu bawa anak orang,” ucap Diwana menekankan kata jam sebelas.

  • Nilakandi   Chapter 61. Rumah

    “Diwana? Aku tidak tahu kamu tengah berkunjung,” sapa Dokter Tano begitu Diwana membukakan pintu.“Iya, Dok. Dokter apa kabar? Lama tak bertemu.”“Benar juga, aku baik, bagaimana jantungmu?” tanya dokter itu.“Tak pernah sebaik ini,” jawab Diwana.“Oh iya, ayo masuk, Dok. Bunda sedang ke minimarket dengan Aiden.”Keduanya kemudian masuk dan duduk di ruang tamu, Diwana lantas meracikkan teh hangat untuk keduanya.“Bagaimana hidupmu, Diw? Aku mendengar semua cerita tentang tragedi itu dari bundamu, sepertinya harimu berat,” tanya Dokter Tano memecah sunyi.“Baik, Dok. Semuanya perlahan membaik, syukurlah,” jawabnya.“Oh iya, tumben sekali Dokter ke sini? Ada agenda sama Bunda?” tanya Diwana seraya meletakkan dua gelas teh itu di meja.“Ah itu, aku hanya ingin membahas beberapa kasus pasienku saja dengan bundamu. Mungkin bu

  • Nilakandi   Chapter 60. Melepas Rindu

    “You did well, kamu sudah bekerja keras hari ini, Sayang. Aku bangga,” puji Diwana usai Nilakandi merebahkan diri di sandaran kursi mobilnya sambil terpejam.Kalimat-kalimat itu terdengar memabukkan di telinga Nilakandi, membuatnya mengulas senyum malu-malu. Perlakuan manis tapi sederhana seperti ini selalu membuat kupu-kupu di perutnya menari-nari.“Mau bertemu Bunda dan Aiden? Mereka khawatir sama kamu, udah telepon terus dari kemarin,” ujar Diwana sambil terus fokus mengemudi.“Aku kangen, tapi… kondisi aku kaya gini,” jawab Nilakandi seraya membuka matanya.“Kaya gini gimana? Pasti lagi insecure lagi, kan?”Nilakandi mengangguk mengiyakan menatap Diwana, membuat lelaki di depannya spontan menatap dalam.“Aku masih selemah ini, Kak. Mau bisa jalan dulu sebelum bertemu Bunda. Memangnya Kak Diwana nggak malu?” protes Nilakandi kemudian.Mendengar hal itu, Diwana diam

  • Nilakandi   Chapter 59. Kesaksian Berat

    Diwana masih setia duduk di samping Nilakandi yang bersandar di bahunya, tangan mereka masih bertaut sejak lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Mereka sudah berada di dalam ruang interogasi yang setiap sudut ruangannya memiliki kamera pengintai dan perekam suara.“Ngantuk?” tanya Diwana pada Nilakandi yang sudah membisu beberapa saat.“Nggak kok, pegel ya?” Nilakandi sontak bangun, lalu melirik ke arah bahu Diwana yang langsung menggeleng kencang.“Mau bersandar seratus tahun di bahuku juga nggak akan pernah pegel. Sini.” Lelaki itu membawa kepala Nilakandi kembali bersandar di bahunya, sedang si perempuan hanya tersenyum malu-malu.“Kak, suara kita direkam, tau,” bisik Nilakandi.“Apa aku terlihat peduli? Nggak, sayang,” kelakar Diwana. Lelaki itu berhasil membuat Nilakandi tertawa lagi dengan candaan bucinnya.Tepat saat itu, seorang polisi kemudian masuk ke dalam ruangan,

  • Nilakandi   Chapter 58. Saksi

    Diwana mendorong kursi roda Nilakandi dengan telaten. Setelah melalui diskusi panjang dengan para dokter, ia akhirnya bisa mendapatkn ijin untuk membawanya pulang.Sampailah mereka di depan pintu apartemen. Bukan, bukan apartemen Diwana, melainkan apartemen Nilakandi sendiri seperti yang dimintanya.“Udah siap? Kangen rumah, ya?” tanya Diwana, Nilakandi pun mengangguk dengan antusias.Diwana menuntun Nilkandi ke dalam kamarnya, lalu berhenti tepat di samping ranjang. Lelaki itu berlutut di depan kursi roda dan menengadah menatap mata sang kekasih.“I love you, like, so… much,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Nilakandi.“Ih, bucin banget,” komentar Nilakandi.Diwana hanya terkekeh melihat reaksi sang kekasih, ia bangkit dan merapikan bantal untuk NIlakandi sebelum akhirnya membaringkannya di sana dengan hati-hati.“Kak,”“Hm? Ada apa?”“Mau dius

  • Nilakandi   Chapter 57. Mimpi Buruk

    Diwana berada di koridor ruang tunggu dengan kaki gemetar, sudah hampir satu jam dokter dan perawat-perawat itu menangani Nilakandi di dalam ruangan sana. Ia bahagia, sekaligus khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi pada kekasihnya.Jovyan sudah menenangkannya berkali-kali, tapi tak juga dihiraukannya.“Udah hubungi Tama?” tanya Diwana gusar.Jovyan mengangguk, “Udah, Nana juga.”Tepat ketika Jovyan menyelesaikan kalimatnya, pintu tangga darurat terbanting kencang, menampakkan sosok Nana yang tergopoh berlari ke arah Diwana. Diwana pun spontan berdiri. Namun tak hanya Nana, di belakangnya ada sosok Tama yang sama-sama keluar dari tangga darurat.“Kenapa lewat tangga darurat? Jangan lari…” sambut Diwana yang entah kenapa merasa khawatir.“Lift penuh, lama,” jawab Nana singkat dengan terengah, “Kai gimana, Kak?” lanjutnya.“Masih ditangani dokter dan perawat

  • Nilakandi   Chapter 56. Nilakandi's POV (September 2015)

    Aku berlari kencang meskipun dengan kaki patah, beruntung bus tak begitu ramai sehingga aku tak perlu mencari alasan jika ada yang bertanya tentang keadaanku yang kacau. Aku tak berhenti menangis hingga bus sampai di halte dekat rumahku.Aku kembali berlari tergesa ke dalam rumah yang pintunya bahkan masih rusak karena ulah Kak Ten. Aku mencari-cari baju pesta yang tempo hari sudah aku cuci di tumpukan pakaian kering, lalu mengenakannya saat itu juga meskipun membuat luka-luka di kaki dan tanganku terekspos jelas.Kado dari ibu terlihat melambai-lambai dari atas nakas, seakan memintaku untuk menghampirinya. Aku pun membukanya, membaca lagi surat terakhir dari ibu yang mungkin bisa menenangkan emosiku. Tapi aku salah, semakin aku baca, semakin kuat tekadku.Aku bahkan memakai parfum berbotol cantik kado terakhir dari ibu, yang langsung membuatku merasa tak sendirian lagi. Seakan ibu sedang berada di sampingku menemani. Aroma woods pomelo itu tak membuat emosiku r

  • Nilakandi   Chapter 55. Nilakandi's POV (September 2015)

    Hari kelima, seharian kemarin aku tidak bisa menemui ayah karena perawat dan dokter sialan itu. Harapanku hari ini hanya satu, menemui ayah dan Nana untuk menanyakan kondisi ayahku yang sebenarnya. Aku berniat untuk berangkat lebih pagi agar memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Nana.Namun baru saja aku bersiap untuk pergi, pintu rumahku terdengar dibuka paksa, lagi. Aku masih ketakutan, tentu saja. Aku pun segera berlari ke arah kamarku, dan bersembunyi di dalam kamar mandi yang aku kunci dari dalam.Aku membungkam mulut dengan kedua tanganku agar tak bersuara sedikitpun, ketakutan setengah mati. Mataku terpejam memohon agar semua cepat berlalu. Namun sedetik kemudian, yang aku dengar justru derap langkah kaki yang mendekat.“Nggak perlu sembunyi, gue cuma mau nagih hutang… kematian lo,” suara Kak Ten menggema.Aku semakin bergetar saat kalimat itu ia lontarkan, bersamaan dengan ketukan pintu kamar mandi yang entah kenapa terd

DMCA.com Protection Status