"Jadi kapan kau akan menikahiku, Mas?" tanya Susan, manja. Hendra menyentuh lembut pipi Sekretaris pribadinya tersebut, sesaat dia membisikkan kata-kata meminta kepastian.
"Sabar yah, Sayang ... setelah nanti urusan perceraianku dengan Arini selesai."
"Benar ya Mas? Jangan bohong loh?" Hendra mengangguk sembari tersenyum, jemarinya mengusap-usap lembut pipi Susan.
Setelah Susan keluar dari ruangan. Hendra membuka handphone, dan langsung mencari-cari nomor seseorang yang ingin dia hubungi.
Setelah terhubung.
"Haloo Sayang, jadi tidak kita bertemu malam ini"
"Jadi dong, Sayang ... mau jemput aku di mana?"
Di kantormu, boleh ngga?"
"Jangan dong, Sayang ... nanti ada yang lapor sama suamiku, malah nanti jadi repot"
"Kita bertemu di tempat biasa saja yah, Cafe Abnormal. Kamu tunggu di situ, nanti aku jemput."
"Ok, Sayang."
Sepulang kantor, Hendra bergegas menuju cafe tempat dimana dia janjian bertemu.
Anita, seorang rekanan bisnisnya. Cantik dan berkuasa. Mungkin karena intensitas pertemuan yang sering terjadi di antara mereka berdua, membuat Hendra dan Anita menjadi semakin dekat. Bahkan secara personal.
Statusnya yang sudah bersuami dengan dua putri-putri kembar identik, tidak menghalangi kedekatan mereka. Hendra memang selalu pandai memanfaatkan peluang yang ada, dalam bisnis maupun soal percintaan. Ditopang oleh parasnya yang tampan dan tubuh yang tinggi atletis.
Tantangan adalah sesuatu yang membuat adrenalinnya berpacu, dan menaklukkan tantangan adalah passionnya.
Hendra menggunakan cara apa saja tuk menaklukkan tantangan tersebut, baik dalam hal bisnis, maupun jika gelora hasratnya bergejolak terhadap seorang wanita. Selicik dan sesulit apapun caranya, pasti akan dia lakukan.
Soal hati, mungkin Hendra adalah pengembara yang tidak suka menetap. Selalu ada kepuasan tersendiri jika dia mampu menaklukkan apa yang diinginkan. Hanya Arini yang sedikit banyak mampu meredam pengembaraan dan petualangannya.
Arini sebenarnya wanita yang baik menurut Hendra. Istri yang patuh, menomor satukan Hendra sebagai suaminya. Lima tahun kebersamaan mereka, tidak sekalipun Arini mengeluh tentang rumah tangganya bersama Hendra. Dan Hendra tidak punya alasan untuk menceraikannya secara baik-baik. Maka, konspirasinya bersama Kunto adalah jalan keluarnya.
Anak? Bukan, bukan soal anak. Hendra tidak mempermasalahkan soal tidak adanya anak di dalam pernikahan mereka. Mungkin lebih tepatnya adalah bosan, dan Arini membuatnya bosan karena telah menjadi istri yang sempurna. Hendra butuh petualangan baru, butuh tantangan baru. Jiwa ke'akuannya merasa tertantang jika melihat wanita cantik yang berkelas. Ingin segera menaklukan dan mencicipinya.
Hendra melihat Anita yang sedang menunggu di pojok kafe. Kafe khusus anak-anak muda menghabiskan waktu luangnya dengan nongkrong-nongkrong bersama menghabiskan malam. Dengan stelan blazer berwarna hitam, sepertinya Anita sama dengan Hendra, sepulang kantor langsung menemuinya.
"Hai, Sayang, sudah lama nunggu," sapa Hendra pada Anita. Anita tersenyum, dan segera berdiri menyambut, mencium pipi kiri dan kanan Hendra.
"Hendra ... aku rindu padamu," bisiknya pelan di telinga Hendra. Casanova itu hanya tersenyum, sembari mengedipkan sebelah matanya, dan Anita pun tertawa.
Hendra menatap wajah cantik Anita yang terjaga sempurna, dengan bibir yang mekar merekah memacu hasrat. Gejolak nafsunya bergelora.
"Satu lagi, korban petualangan hasratku." Hendra berucap pelan, tertawa tergelak di dalam hatinya.
"Kamu mau pesan apa, Hen?" tanya Anita kepada Hendra, sembari senyum tak pernah lepas dari wajahnya.
Hendra menatap dalam mata Anita, menggenggam lembut tangan partner bisnisnya tersebut.
"Aku hanya ingin minum gelora gairahmu, Sayang. Hingga dahaga hasratku terpuaskan."
Bara nafsu sudah membakar tubuhnya, rayuan maut sudah dia sampaikan lewat ucapan dan tindakannya yang romantis.
Memerah wajah Anita, tersipu-sipu ia terlihat malu-malu dan serba salah. cinta sudah mulai merasuk ke dalam dirinya. Senyum di wajahnya semakin terlihat merekah, kilau matanya terlihat berbinar, didekatkan wajahnya ke arah wajah Hendra sambil berbisik pelan.
"Bakarlah hasratmu Sayang, sampai semakin membara. Melakukan apapun yang kau inginkan pada tubuh ini. Akulah pelepas dahagamu, akan kulayani hasratmu sampai kau terpuaskan." mata tajam mengungkapkan, dan Hendra menemukan jika gelora nafsu pun sudah menguasai diri Anita. Memang, jarang ada wanita yang mampu menolak pesonanya.
Mereka pun segera pergi dari kafe tersebut. Mencari tempat di mana mereka bisa tanpa hasrat dan gelora nafsu yang sudah dibuat di dalam angan. Anita terus saja menggandeng tangan Hendra, didekapkan erat ke tubuhnya.
Di saat mereka menuju tempat parkir kendaraan, berbincang-bincang tentang genit menjaga hasrat agar tetap bergelora.
sebuah suara dari arah belakang memanggil namanya."Mas Hendra...!" Hendra dan Anita menoleh berbarengan ke arah datangnya suara itu. Suara wanita yang berjalan pelan menghampiri mereka berdua.
"Susan." Berucap pelan Hendra. Susan diam melihat, matanya terus saja menatap Hendra dan Anita.
"Siapa, Sayang?" Anita bertanya kepada Hendra, sambil menatap lembut, tangan nya tak lepas mendekap lengan pria sukses tersebut. Sedikit agak tergagap Hendra berucap, "Di-dia...."
Kedatangan Gazza sesungguhnya sangat mengagetkan Arini, entah darimana dia tahu jika Arini ada di rumah ini.Yah, Arini memang pernah sangat dekat dengan Gazza, sebelum Arini memutuskan untuk meninggalkannya dan memilih Hendra.Gazza tidak seberani Hendra saat itu. Tidak pernah memberikan kepastian tentang status sebuah hubungan. Ketika Arini bertanya tentang keseriusannya menyangkut hubungan mereka, Gazza selalu menjawab "kita jalani saja."Arini kemudian berpikir, apa tiga tahun kedekatan mereka itu bukan jawaban jika "kita sudah menjalani" itu semua. Karena terkadang, Wanita lebih butuh bukti dan kepastian daripada dibiarkan mengambang walau dengan alasan cinta sekalipun."Kamu sudah menikah Gazza?" To the point, langsung Arini menanyakan itu pada Gazza.Sempat terkejut juga Gazza, sambil meminum teh hangat yang disuguhkan Lasmi, sebelum menjawab pertanyaan Arini."Sudah, mungkin sudah berjalan dua tahun." sembari Gazza melihat-lihat hapeny
"Siapa dia Hen?" tanya Anita, dan Hendra sempat tergagap dan terdiam."Saya Susan, Mbak, saya sekretarisnya Mas Hendra. Oh maaf, Pak Hendra maksudnya,"jawab Susan, sembari menjulurkan tangannya kearah Anita. Hendra melihat matanya Susan seperti berkaca-kaca."Saya Anita, teman dekatnya Hendra." Anita membalas jabat tangan Susan."Kamu sedang apa San, ada di sini?" tanya Hendra kepada Susan."Mamah!" Seorang gadis kecil usia lima tahunan berlari ke arah Susan, dengan seorang pria berjalan di belakang anak tersebut, dan Hendra tahu itu Vijar suaminya Susan, dan setau Hendra, mereka juga dalam proses mengajukan perceraian.Susan yang menggugat cerai Vijar."Aku hanya tinggal menunggu surat-surat resminya turun, Mas. Semua prosesnya sudah kulewati." Begitu yang pernah Susan bilang kepada Hendra."Kami pergi dulu yah." Anita menarik tangan Hendra untuk segera pergi meninggalkan tempat ini."Kami duluan ya, Sa
"Saya ingin melamar Mbak, buat suami saya," kata perempuan berhijab itu kepada Arini, matanya berkaca-kaca.Arini terkejut dibuatnya, sesaat dia terdiam, tidak bisa berkata apa-apa."Apakah Mbak bersedia?" Perempuan itu memastikan. Arini menatap wajah perempuan itu, matanya masih berkaca-kaca."Mbak ini siapa? Kenapa tiba-tiba ingin melamar saya buat suami Mbak, apakah saya kenal dengan suami Mbak?" tanya Arini memastikan."Nama saya Syarifah, saya, istri dari Gazza."Tertegun Arini sesaat, specles dibuatnya. Harus Arini akui, jika dadanya jadi berdebar-debar mendengar nama Gazza di sebutkan."Silahkan di minum, Mbak." Arini menawarkan minuman kepada tamunya tersebut. Dia pun ikut minum. Minuman teh manis hangat yang sudah Lasmi siapkan, sekaligus untuk menenangkan dadanya yang masih berdebar. Setelah dirasa tenang, Arini kembali bicara."Mbak tidak salah ingin melamar saya buat Gazza? Mbak benar-benar ikhlas berbagi
"Dasar janda gatel! tidak punya malu! Kerjaannya hanya menggoda suami orang." Makian dan sumpah serapah mengarah kepada Arini. Kaget dan shock, Arini dibuatnya.Mientarsih. Biasa dipanggil Mbok Mien, tidak ada hujan tidak ada angin, langsung melabrak dan memaki-maki Arini.Paras wajahnya menyiratkan kemarahan besar, emosi yang tertahan. Lasmi mencoba menghalangi Mbok Mien, untuk mendekati Arini.Perlahan, Arini mulai bisa menguasai diri, dan kembali bersikap tenang. "Mbok Mien salah paham." Pikir Arini."Kamu yah, Arini! Jangan mentang-mentang janda! Seenaknya saja merayu-rayu suami orang. Dasar perempuan tidak punya kehormatan!" Emosinya masih tinggi sekali.Arini terus bersabar untuk mengendalikan emosinya. Sejujurnya dia sangat tersinggung atas segala tuduhan dan hinaan Mbok Mien. Tetapi jika dia meladeni, maka tidak ada beda antara dirinya dan Mbok Mien, manusia yang sedang dikuasai nafsu amarah."Mbok Mien jangan s
Malam ini, Hendra ada pertemuan penting dengan salah satu pejabat daerah, yang sedang kunjungan kerja di Jakarta.Beliau menawarkan sejumlah proyek penting di daerah beliau menjabat.Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya, Hendra bekerja sama dengannya. Ada beberapa proyek yang sudah dia selesaikan lewat kerja sama sebelumnya, dan mungkin dia puas dengan hasil kerja dan cara Hendra memberikan servis plus kepadanya.Susan sang sekretaris pribadi Hendra mendampingi dalam pertemuan bisnis penting ini.Meluncur ke lokasi pertemuan di sebuah hotel mewah di bilangan Jalan Sudirman, Pusat Bisnis kota Jakarta."Ini proyek penting, jangan sampai proyek ini lepas," jelas Hendra pada Susan, di dalam Sedan mewahnya, duduk berdua di kusi belakang."Iya, Mas Hendra sayang," sembari Susan mencium pipi Hendra mesr
Vijar, melenguh panjang. Tubuhnya bergidik, napasnya memburu. Sudah selesai ia, mencapai puncak.Sedang aku, memulai pun belum. Kesal dan marah rasanya. Sudah bertahun-tahun, dari sejak pertama menikah, dan tidak sekalipun kurasakan mencapai puncak tertinggi bersama suami, tidak seperti yang kudengar dari rumpian tetangga-tetangga sekitar sembari tertawa cekikikan, dan aku hanya jadi pendengar."Salahkah jika aku mengeluh?" tanya bathinku.Seperti tidak merasa bersalah, langsung terlelap dia, Kekesalan dan kemarahan yang kupendam membuatku pusing kepala, dan menjadi tidak bisa tidur."Aku seperti tempat sampah, setelah selesai membuang langsung ditinggalkan."Aku turun ke bawah untuk mengambil minuman dingin yang ada di kulkas.Adem rasanya hati dan tenggorokanku saat air dalam botol dingin ini masuk ke dalam kerongkonganku.Rumah yang kutempati rumah milik mertua, orang tua Vijar.Aku tinggal di lanta
Asap rokok berembus perlahan, dinikmati sekali isapan demi isapan. melirik Imron ke arahku. Senyum tersungging melukiskan kepuasan hasrat. Masih terlihat sedikit peluh di kening Imron. Degup jantungnya masih terlihat sedikit berpacu."Dari dulu ... kamu memang paling pandai dalam memuaskan hasratku, San." Sembari imron mengembuskan asap rokoknya.Masih hanya dengan menggenakan celana pendek dan tanpa baju, terduduk dia, di
Hari ini jam 07:00 pagi, aku sudah sampai di kantor, karena ada rencana keberangkatan ke Sepinggan Balikpapan Kalimantan timur dengan Pak Hendra.Jadwal penerbangan jam 09:15 dari Bandara Internasional Soekarno Hatta, terminal 1c.Suasana kantor masih sangat sepi, dan aku sudah bersiap di lobby kantor.Menunggu Pak Hendra dan sopir yang akan menjemput.Suamiku Vijar, si es batu itu, tidak mengiyakan dan melarang pun tidak, saat kubicara tentang rencana kepergian selama tiga hari ke Sepinggan. Hanya bapak mertua saja yang seperti was-was akan kepergianku, mungkin karena terhitung baru masuk kerja, tetapi sudah harus pergi dinas ke luar daerah. Atau mungkin juga dia khawatir, karena selama tiga hari kedepan nanti, hasrat gairahnya tidak lagi terpenuhi.20 menit menunggu, mobil sedan mewah Pak Hendra datang. Pak Timan, sopir pribadi merangkap sopir kantor menghampiriku ke lobby untuk memberi tahu dan membantu membawakan tas, berkas-berkas, dan
Sama seperti halnya Kunto, dibayar berapa Mas Adrian untuk mengikuti apa maunya Mas Hendra. Aku harus mencari tahu, tentang hal ini.Seperti biasa, Mas Adrian sudah pulang sebelum jam sembilan malam. Sengaja aku tidak menyambutnya, hanya berdiam diri saja di kamar. Selepas membersihkan diri di kamar mandi, Mas Adrian masuk kamar dan berganti pakaian, aku berpura-pura sudah tertidur. Adrian lalu keluar, setelah meletakkan beberapa lembar uang belanja di meja rias. Aku menunggu Mas Adrian melepas lelah, setelah itu, ingin bicara dengannya."Aku ingin bicara mas," kataku, duduk di bangku sebelahnya di ruang tamu. Saat Mas Adrian sedang asik membaca kitab."Mau, bicara apa, Dek?" tanyanya, sembari menutup kitab bacaannya, dan meletakkan di atas meja."Mas Adrian, jijik sama aku?" terdiam sesaat Adrian, mendengar pertanyaanku."Maksudnya apa yah,dek? Mas, kurang paham.""Jujur saja, Mas ... Apa yang membuat Mas Adrian jijik padaku? Bahkan tidak pernah mau menyentuhku! Aku lelah dengan pern
3 bulan sudah pernikahan sandiwara ini berjalan. Zahra sudah semakin dekat dan manja denganku. Ditambah dengan adanya Atika di rumah ini, semakin membuat Zahra terlihat bahagia, dan tubuhnya pun lebih gemuk sekarang.Sedangkan Mas Adrian, tidak ada yang berubah pada dirinya. Dia selalu memperlakukan aku dengan baik dan bertanggung jawab pada keluarga.Tetapi ... tidak pernah menyentuhku.Aku ingin dia memperlakukan aku layaknya seorang suami terhadap istrinya. Memberikan keteduhan dan kedamaian ke dalam sebuah pelukan kehangatan dan perlindungan. Mas Adrian seperti menjaga jarak, tidak ingin menyentuh dan tidak ingin disentuh. Berkutat hanya dengan membaca buku dan kitab. Menunggu sampai aku terlelap, baru kemudian memasuki kamar dan tertidur di kasur lantai.Pernikahan sandiwara ini telah menjerat dan mengikatku pada sebuah kenyataan. Bahwa aku merasakan kenyamanan pada pria lain selain Mas Hendra. Bahkan terkadang, jika Mas Hendra menelpon, aku mulai merasakan ketidaknyamanan. Teru
"Terserah Dek Arini saja, jika dia bersedia, aku persilahkan saja," ujar Adrian. Kembali melemparkan bola panas terhadapku.'Menjengkelkan pria ini' bathinku menggerutu."Kamu tidak perlu ijin Adrian, Arini ... pernikahan kalian kan hanya sandiwara, kamu harus ingat itu," ketus Hendra kepadaku, sepertinya itu juga cara Hendra untuk menyindir dan mengingatkan Adrian. Hendra memang benar, itu memang rencananya, aku dan Adrian pun menyetujuinya."Aku dan Mas Adrian memang menikah sandiwara, tetapi pernikahan kami sudah memenuhi syarat hukum agama," jelasku kepada Hendra."Selama aku menjadi istrinya, terlepas itu sandiwara ataupun bukan, aku harus tetap meminta persetujuannya, sebagai pemilik sah atas diriku," jawabku tegas. Hendra terdiam, begitupun Adrian."Kamu juga, Mas Adrian. Jangan berlepas tanggung jawab atas diriku, menurut hukum agama aku sah milikmu, tidak pantas jika Mas menyerahkan keputusan ini kepadaku, karena aku masih di bawah tanggung jawabmu." Aku langsung berdiri meni
"Istirahat saja ya, Dek. Jangan dibawa aktivitas dulu, Mas ambil libur saja hari ini, biar bisa bantu-bantu Adik di rumah dulu." Saatku duduk di pinggir ranjang. "Iya, Mas tidak usah kerja dulu," pintaku. Sesungguhnya bukan karena cengeng, tetapi panggang juga, melihat Mas Adrian tidak pernah sepi mencari penumpang selama kami menikah. Mas Adrian lalu menuju ke lemari pakaian, membuka bajunya untuk berganti pakaian. Ada desiran halus yang mengalir di dadaku, melihat tubuh telanjangnya, walaupun hanya di bagian pinggang. Kucoba tetapi mungkin menahan debar, tidak dengan langkahku yang malah memilih untuk mendekatinya. "Mau kemana, Dek. Jangan banyak bergerak dulu jika masih sakit," sarannya, lalu mendekatiku, dengan masih bertelanjang, sambil memegang baju ganti di tangan. Aku langsung memeluknya, memeluk tubuh tegapnya. Ada kehangatan dan mengalir di dalam ragaku. Entahlah, aku mungkin seperti perempuan yang tidak tahu malu, tetapi ... Mengapa juga kuharus malu, jika tubuh yang kup
"Ingin meminta tolong Mbak Lasmi, tapi aku tidak tega membangunkannya." Lanjutku Penjelasan."Iya,i-ya.dek," ucapnya tergagap. "Di sini keriknya, dek?""Di dalam kamar saja, yah Mas." Aku melangkah ke dapur, untuk mengambil sedikit minyak sayur. Tertahan langkahku, Mas Adrian memegang tangan."Adek mau kemana?" "Ke dapur Mas, ingin mengambil sedikit minyak sayur untuk kerikan," jawabku."Biar Mas yang ambil, adek tunggu di kamar saja." Bergegas berdiri Adrian melangkah menuju dapur.Aku segera masuk ke dalam kamar, menyiapkan uang logaman lama yang memang sengaja kusimpan untuk kerikan. Membuka pakaian atas dan penutup payudara.Terlihat Mas Adrian sangat grogi saat masuk kamar dan mulai mendekat. Hanya menunduk dan terlihat serba salah. Duduk di belakang tubuhku, di atas tempat tidur."Di-di, ke-ke'riknya, sekarang Dek?" terdengar gemetaran suaranya. Aku tertawa geli dalam hati."Iya, sekarang Mas," jawabku, sembari bersiap menahan sakit karena kerikan."Halus sekali kerokannya, se
POV AriniPerjalanan hidupku yang berhubungan dengan pernikahan, selalu heboh dan menjadi perbincangan buat warga sekitar tempat kutinggal.Baru saja dua minggu kemarin batal melaksanakan akad nikah. Di hari minggu pagi ini, akan digelar kembali acara akad pernikahanku dengan pria yang berbeda. Pernikahan yang akan dilakukan secara siri.Macam-macam pendapat mereka tentang pernikahanku kali ini, itu kabar yang kudengar dari Mbak Lasmi dan Ceu Yoyoh, tetapi aku mencoba untuk tidak lagi ambil peduli.Tidak banyak yang menghadiri pelaksanaan akad nikah kali ini. Selain karena keadaan Adrian yang sama seperti aku, anak tunggal tanpa saudara dengan kedua orangtua yang sudah tiada. Hanya beberapa warga sekitar dan pengurus RT saja, yang ikut menghadiri acara akad pernikahanku kali ini.Ustaz setempat yang menjadi penghulu pernikahan kami. Ustaz yang sering di panggil untuk menikahkan pasangan pengantin secara siri. Mas Hendra yang mengurus dan mengatur semuanya, aku dan Adrian hanya mengiku
POV AdrianHendra berjanji akan mengurus semua, rencana pernikahan sandiwaraku dengan Arini.Sebenarnya, aku tidak sepakat dengan keinginan Hendra, yang menjadikan sebuah pernikahan yang sakral sebagai sebuah permainan kepura-puraan. Tetapi hutang budiku akan kebaikannya, membuatku tidak kuasa menolak untuk tidak membantunya.Saat kehamilan dan kelahiran putriku. Rita, almarhumah istriku banyak sekali memerlukan biaya, waktuku hanya dihabiskan di rumah sakit untuk menjaga dan menemaninya. Tidak ada pekerjaan dan pendapatan untuk membayar biaya rumah sakit. Hendra yang membayar semuanya, bahkan untuk biaya makan dan akomodasiku sehari-hari.Begitupun saat Rita akhirnya mengembuskan nafas setelah selesai melahirkan. Hendra juga yang memberikan aku modal untuk usaha di rumah, agar aku bisa menjaga dan merawat putriku yang masih balita. Hendra benar-benar sahabat yang perduli dengan segala permasalahan yang kualami."Ian ... Ian!" panggilan Hendra membuatku tergagap dari lamunan. Terlihat
Arini masih terdiam, dan aku pun masih menunggu jawabannya untuk mengajaknya hidup bersama kembali."Kau sudah menjatuhkan talak tiga kepadaku, Mas? Tidak akan semudah itu untuk meminta aku rujuk kembali denganmu," ucapnya. Matanya menatap lurus ke arah taman, halaman depan."Dalam Surat keputusan perceraian kita dari Pengadilan Agama, tertulis, jika aku menjatuhkan talak satu kepadamu," jawabku, menyangkal ucapannya."Surat keputusan memang tertulis seperti itu mas? Tetapi ucapan talak tiga yang keluar dari ucapanmu, bahkan sampai tiga kali ucap, itu sudah jatuh talak tiga walaupun pengadilan menuliskannya berbeda," jelasnya, masih dengan pendiriannya."Aku tidak berani untuk menjalani sesuatu yang diikrarkan tidak atas nama Tuhan, sedangkan aku tahu jika itu dilarangnya," jelas Arini, sekali lagi."Apa yang harus kulakukan, agar kita berdua dapat bersama kembali?" kutatap matanya tajam."Aku harus menikah dengan orang lain, sebelum dapat kembali hidup denganmu."Aku terdiam mendenga
Tawaran Rujuk kembaliHati ini mendadak merasakan sepi di tempat seramai ini, di tengah-tengah kerumunan banyak orang yang ingin menyaksikan akad pernikahan, dan aku merasa sendirian.Segera berbalik badan ingin kembali pulang. Arini sebentar lagi akan menjadi milik orang.Di depan mobil kuberhenti sesaat, ada keinginan untuk menyaksikan akad.Kukuatkan hati kembali ke rumah Arini, menyaksikan sendiri saat-saat kebahagiaannya."Arini berhak bahagia ... yah, Arini berhak merasakan kebahagiaan." Berbalik kembali melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya.Berdiri di sudut ruang tamu yang lumayan luas. Pengantin pria duduk membelakangi, hanya terlihat punggungnya saja. Dikelilingi banyak kerabat di belakangnya. Arini belum terlihat.Tidak beberapa lama, iringan calon pengantin keluar dari ruangan dalam, dan memang Arini sebagai pengantinnya.Memakai hijab dan pakaian serba putih dengan riasan wajah yang sederhana. Arini lebih terlihat seperti bidadari. Cantik sekali.Berjalan pelan dengan