Pak Ujang, sopir yang sengaja Hendra tugaskan untuk mengakomodasi segala keperluan, menghantarkan Arini kembali ke rumahnya yang dulu. Yang Arini tinggali semenjak dari lahir, remaja, sampai menikah dengan Hendra, yang kemudian memboyong ke rumah kediamannya.
5 tahun sudah Arini meninggalkan rumah tua ini. Rumah yang berarsitektur kolonial Belanda. Di-dominasi cat berwarna putih dengan dikelilingi pohon-pohon rindang juga taman-taman kecil di depan muka rumah, semuanya masih sama seperti yang dulu.
Lasmi, seorang janda beranak satu, yang Arini percayai untuk mengurus rumah ini dan menempatinya, terkaget-kaget dengan kedatangan Arini yang mendadak dan tanpa memberi kabar. Apalagi ditambah dengan banyaknya barang-barang bawaan.
"Mbak Arini baik-baik saja, 'kan?" Pertanyaan itu dilontarkan Lasmi saat mereka baru saja selesai merapikan barang-barang, sembari duduk-duduk di pinggiran kasur kamar tidur Arini.
Arini terdiam, tidak menjawab pertanyaannya. Hanya air mata yang mengembang, kemudian luruh perlahan membasahi pipi, dan mulai terisak-isak tangisan Arini. Sakit hatinya, sesak sekali untuk bernapas.
"Ya Allah, Mbak .... " Lasmi langsung memeluk dan ikut menangis. Arini menumpahkan semua kesedihan, kepedihan, dan sakitnya perasaan seorang istri yang terbuang ke dalam pelukan Lasmi.
Menangis sejadi-jadinya, sekencang-kencangnya. Arini hanya ingin merasakan lega.Sakit rasanya terusir, karena Arini tidak merasa berbuat kesalahan. Dia sudah berusaha keras menjadi istri yang terbaik untuk Hendra. Melakukan kewajiban sebagai seorang istri dengan sebaik-baiknya. Bukan ... bukan tamparan di pipi yang menyakitkan hatinya, tetapi tuduhan perselingkuhan yang tidak pernah dia lakukan itu yang paling menyakitkan baginya.
"Aku mau tidur dulu Ya, Mbak?" ucap Arini lirih kepada Lasmi. Lelah, Arini lelah menangis. Lasmi mengangguk dan segera meninggalkan kamar. menutup pintunya perlahan. Lasmi bisa merasakan rasa sakit yang dirasakan oleh Arini, karena nasib mereka sama.
Atika--putri dari Lasmi, seorang gadis kecil berusia 12 tahun, memanggil Arini dengan sebutan Bude. Seorang anak yang ceria, dan sedikit banyak sudah membantu Arini untuk kembali melangkah dan mencoba menjalani hidup normal.
Siang itu, saat mereka bertiga sedang duduk-duduk di teras rumah. Sembari Arini berpikir, usaha apa yang harus dilakukan untuk kembali menyambung hidup. Meskipun masih terbilang cukup tabungan yang dia punya. Namun Arini merasa dia harus punya kesibukan, agar pikirannya tidak selalu berkutat dengan masa lalu.
"Mbak Lasmi, kira-kira usaha apa ya, biar saya ada kesibukan?" tanya Arini kepada Lasmi.
"Usaha apa yah, Mbak?" Lasmi mengetuk ngetuk keningnya, seperti sedang berpikir.
"Bude ... Bude, aku masih ingat loh, saat dibuatkan kue bolu sama Bude dulu. Enaknya sampai sekarang masih terasa deh," ucap Atika, tersenyum jenaka. Arini dan Lasmi tertawa mendengar candaan anak itu.
"Emang bener, kue bolu bikinan bude enak?Atika, kan makan kue buatan bude lima tahun yang lalu, saat Atika masih kelas satu SD?" Sembari Arinimengelus-elus rambut Atika yang duduk di lantai. Atika mendongakkan kepalanya ke arah Arini.
"Tapi bener loh Bude, Atika ngga bohong. Memang kue bolu buatan Bude enak ko," jawab anak itu seperti meyakinkan Arini.
"Iya Mbak Arini. Waktu masih gadis, kan, saat Mbak Arini libur kerja pasti bikin kue," ujar Lasmi menyambung ucapan putrinya.
"Iya Bude ... bikin aja? Nanti Atika bantu jualin deh sama teman-teman,Tika." Sembari jemari Atika mengelus-elus lutut Arini.
"Ihhhh ... Atika, geli tau!" ujar Arini sambil menyingkirkan pelan tangan Atika.
"Memang Atika ngga malu kalo bantu bude dagang kue?" tanya Arini pada Atika.
"Ya nggalah Bude. Dagang kue, kan halal. Lagipula Atika pengen jadi guru." jawabnya, yang membuat Arini dan Lasmi menjadi bingung.
"Jadi Guru sama dagang kue apa hubungannya sayang?" Tanya Arini pada Atika.
"Ngga ada." Enteng saja Atika menjawabnya. Arini sampai tergelak, membuatnya senyum-senyum sendiri. Gadis kecil itu benar-benar membantunya melewati masa-masa sulit akibat perceraiannya dengan Hendra.
"Ya sudah, besok kita mulai coba buat kue-kue yah. Semangat!" ucap Arini pada Atika, sambil mengangkat kedua tangannya.
"Semangat!" Atika sambil berdiri, dia pun mengikuti gaya Arini mengangkat tangan seperti emoticon.
"Mamah ko ngga ikut semangat, kaya aku dan Bude?" tanyanya pada Lasmi. Diplototi si Tika ini sama emaknya. Sakit perut Arini tertawa terpingkal-pingkal atas kelucuan dan keluguan ibu dan anak ini.
"Assalamualaikum." ucapan suara salam dari luar pintu pagar halaman rumah Arini.
"Waalaikum salam!" hampir berbarengan jawaban salam mereka. Lasmi pun menuju pintu pagar. Arini mencoba mencari tahu dengan cara melongok ke arah pintu pagar, tapi tetap tidak terlihat karena terhalang pohon taman.
"Siapa, Atika?" tanya Arini pada Atika yang masih duduk tepat di bawah bangkunya.
"Ngga tahu Bude, ngga kelihatan," jawab Atika, juga melongokan kepalanya seperti Arini. Tidak beberapa lama.
"Assalamualaikum, Arini. Bagaimana kabarmu?" sapa dari tamu tersebut setelah melewati rindangnya pohon taman.
Terkaget Arini melihat siapa yang datang.
"Gazza," bisik pelan Arini. Seseorang dari masa lalunya.
"Jadi kapan kau akan menikahiku, Mas?" tanya Susan, manja. Hendra menyentuh lembut pipi Sekretaris pribadinya tersebut, sesaat dia membisikkan kata-kata meminta kepastian."Sabar yah, Sayang ... setelah nanti urusan perceraianku dengan Arini selesai.""Benar ya Mas? Jangan bohong loh?" Hendra mengangguk sembari tersenyum, jemarinya mengusap-usap lembut pipi Susan.Setelah Susan keluar dari ruangan. Hendra membuka handphone, dan langsung mencari-cari nomor seseorang yang ingin dia hubungi.Setelah terhubung."Haloo Sayang, jadi tidak kita bertemu malam ini""Jadi dong, Sayang ... mau jemput aku di mana?"Di kantormu, boleh ngga?""Jangan dong, Sayang ... nanti ada yang lapor sama suamiku, malah nanti jadi repot""Kita bertemu di tempat biasa saja yah, Cafe Abnormal. Kamu tunggu di situ, nanti aku jemput.""Ok, Sayang."Sepulang kantor, Hendra bergegas menuju cafe tempat dimana dia janjian bertemu
Kedatangan Gazza sesungguhnya sangat mengagetkan Arini, entah darimana dia tahu jika Arini ada di rumah ini.Yah, Arini memang pernah sangat dekat dengan Gazza, sebelum Arini memutuskan untuk meninggalkannya dan memilih Hendra.Gazza tidak seberani Hendra saat itu. Tidak pernah memberikan kepastian tentang status sebuah hubungan. Ketika Arini bertanya tentang keseriusannya menyangkut hubungan mereka, Gazza selalu menjawab "kita jalani saja."Arini kemudian berpikir, apa tiga tahun kedekatan mereka itu bukan jawaban jika "kita sudah menjalani" itu semua. Karena terkadang, Wanita lebih butuh bukti dan kepastian daripada dibiarkan mengambang walau dengan alasan cinta sekalipun."Kamu sudah menikah Gazza?" To the point, langsung Arini menanyakan itu pada Gazza.Sempat terkejut juga Gazza, sambil meminum teh hangat yang disuguhkan Lasmi, sebelum menjawab pertanyaan Arini."Sudah, mungkin sudah berjalan dua tahun." sembari Gazza melihat-lihat hapeny
"Siapa dia Hen?" tanya Anita, dan Hendra sempat tergagap dan terdiam."Saya Susan, Mbak, saya sekretarisnya Mas Hendra. Oh maaf, Pak Hendra maksudnya,"jawab Susan, sembari menjulurkan tangannya kearah Anita. Hendra melihat matanya Susan seperti berkaca-kaca."Saya Anita, teman dekatnya Hendra." Anita membalas jabat tangan Susan."Kamu sedang apa San, ada di sini?" tanya Hendra kepada Susan."Mamah!" Seorang gadis kecil usia lima tahunan berlari ke arah Susan, dengan seorang pria berjalan di belakang anak tersebut, dan Hendra tahu itu Vijar suaminya Susan, dan setau Hendra, mereka juga dalam proses mengajukan perceraian.Susan yang menggugat cerai Vijar."Aku hanya tinggal menunggu surat-surat resminya turun, Mas. Semua prosesnya sudah kulewati." Begitu yang pernah Susan bilang kepada Hendra."Kami pergi dulu yah." Anita menarik tangan Hendra untuk segera pergi meninggalkan tempat ini."Kami duluan ya, Sa
"Saya ingin melamar Mbak, buat suami saya," kata perempuan berhijab itu kepada Arini, matanya berkaca-kaca.Arini terkejut dibuatnya, sesaat dia terdiam, tidak bisa berkata apa-apa."Apakah Mbak bersedia?" Perempuan itu memastikan. Arini menatap wajah perempuan itu, matanya masih berkaca-kaca."Mbak ini siapa? Kenapa tiba-tiba ingin melamar saya buat suami Mbak, apakah saya kenal dengan suami Mbak?" tanya Arini memastikan."Nama saya Syarifah, saya, istri dari Gazza."Tertegun Arini sesaat, specles dibuatnya. Harus Arini akui, jika dadanya jadi berdebar-debar mendengar nama Gazza di sebutkan."Silahkan di minum, Mbak." Arini menawarkan minuman kepada tamunya tersebut. Dia pun ikut minum. Minuman teh manis hangat yang sudah Lasmi siapkan, sekaligus untuk menenangkan dadanya yang masih berdebar. Setelah dirasa tenang, Arini kembali bicara."Mbak tidak salah ingin melamar saya buat Gazza? Mbak benar-benar ikhlas berbagi
"Dasar janda gatel! tidak punya malu! Kerjaannya hanya menggoda suami orang." Makian dan sumpah serapah mengarah kepada Arini. Kaget dan shock, Arini dibuatnya.Mientarsih. Biasa dipanggil Mbok Mien, tidak ada hujan tidak ada angin, langsung melabrak dan memaki-maki Arini.Paras wajahnya menyiratkan kemarahan besar, emosi yang tertahan. Lasmi mencoba menghalangi Mbok Mien, untuk mendekati Arini.Perlahan, Arini mulai bisa menguasai diri, dan kembali bersikap tenang. "Mbok Mien salah paham." Pikir Arini."Kamu yah, Arini! Jangan mentang-mentang janda! Seenaknya saja merayu-rayu suami orang. Dasar perempuan tidak punya kehormatan!" Emosinya masih tinggi sekali.Arini terus bersabar untuk mengendalikan emosinya. Sejujurnya dia sangat tersinggung atas segala tuduhan dan hinaan Mbok Mien. Tetapi jika dia meladeni, maka tidak ada beda antara dirinya dan Mbok Mien, manusia yang sedang dikuasai nafsu amarah."Mbok Mien jangan s
Malam ini, Hendra ada pertemuan penting dengan salah satu pejabat daerah, yang sedang kunjungan kerja di Jakarta.Beliau menawarkan sejumlah proyek penting di daerah beliau menjabat.Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya, Hendra bekerja sama dengannya. Ada beberapa proyek yang sudah dia selesaikan lewat kerja sama sebelumnya, dan mungkin dia puas dengan hasil kerja dan cara Hendra memberikan servis plus kepadanya.Susan sang sekretaris pribadi Hendra mendampingi dalam pertemuan bisnis penting ini.Meluncur ke lokasi pertemuan di sebuah hotel mewah di bilangan Jalan Sudirman, Pusat Bisnis kota Jakarta."Ini proyek penting, jangan sampai proyek ini lepas," jelas Hendra pada Susan, di dalam Sedan mewahnya, duduk berdua di kusi belakang."Iya, Mas Hendra sayang," sembari Susan mencium pipi Hendra mesr
Vijar, melenguh panjang. Tubuhnya bergidik, napasnya memburu. Sudah selesai ia, mencapai puncak.Sedang aku, memulai pun belum. Kesal dan marah rasanya. Sudah bertahun-tahun, dari sejak pertama menikah, dan tidak sekalipun kurasakan mencapai puncak tertinggi bersama suami, tidak seperti yang kudengar dari rumpian tetangga-tetangga sekitar sembari tertawa cekikikan, dan aku hanya jadi pendengar."Salahkah jika aku mengeluh?" tanya bathinku.Seperti tidak merasa bersalah, langsung terlelap dia, Kekesalan dan kemarahan yang kupendam membuatku pusing kepala, dan menjadi tidak bisa tidur."Aku seperti tempat sampah, setelah selesai membuang langsung ditinggalkan."Aku turun ke bawah untuk mengambil minuman dingin yang ada di kulkas.Adem rasanya hati dan tenggorokanku saat air dalam botol dingin ini masuk ke dalam kerongkonganku.Rumah yang kutempati rumah milik mertua, orang tua Vijar.Aku tinggal di lanta
Asap rokok berembus perlahan, dinikmati sekali isapan demi isapan. melirik Imron ke arahku. Senyum tersungging melukiskan kepuasan hasrat. Masih terlihat sedikit peluh di kening Imron. Degup jantungnya masih terlihat sedikit berpacu."Dari dulu ... kamu memang paling pandai dalam memuaskan hasratku, San." Sembari imron mengembuskan asap rokoknya.Masih hanya dengan menggenakan celana pendek dan tanpa baju, terduduk dia, di
Sama seperti halnya Kunto, dibayar berapa Mas Adrian untuk mengikuti apa maunya Mas Hendra. Aku harus mencari tahu, tentang hal ini.Seperti biasa, Mas Adrian sudah pulang sebelum jam sembilan malam. Sengaja aku tidak menyambutnya, hanya berdiam diri saja di kamar. Selepas membersihkan diri di kamar mandi, Mas Adrian masuk kamar dan berganti pakaian, aku berpura-pura sudah tertidur. Adrian lalu keluar, setelah meletakkan beberapa lembar uang belanja di meja rias. Aku menunggu Mas Adrian melepas lelah, setelah itu, ingin bicara dengannya."Aku ingin bicara mas," kataku, duduk di bangku sebelahnya di ruang tamu. Saat Mas Adrian sedang asik membaca kitab."Mau, bicara apa, Dek?" tanyanya, sembari menutup kitab bacaannya, dan meletakkan di atas meja."Mas Adrian, jijik sama aku?" terdiam sesaat Adrian, mendengar pertanyaanku."Maksudnya apa yah,dek? Mas, kurang paham.""Jujur saja, Mas ... Apa yang membuat Mas Adrian jijik padaku? Bahkan tidak pernah mau menyentuhku! Aku lelah dengan pern
3 bulan sudah pernikahan sandiwara ini berjalan. Zahra sudah semakin dekat dan manja denganku. Ditambah dengan adanya Atika di rumah ini, semakin membuat Zahra terlihat bahagia, dan tubuhnya pun lebih gemuk sekarang.Sedangkan Mas Adrian, tidak ada yang berubah pada dirinya. Dia selalu memperlakukan aku dengan baik dan bertanggung jawab pada keluarga.Tetapi ... tidak pernah menyentuhku.Aku ingin dia memperlakukan aku layaknya seorang suami terhadap istrinya. Memberikan keteduhan dan kedamaian ke dalam sebuah pelukan kehangatan dan perlindungan. Mas Adrian seperti menjaga jarak, tidak ingin menyentuh dan tidak ingin disentuh. Berkutat hanya dengan membaca buku dan kitab. Menunggu sampai aku terlelap, baru kemudian memasuki kamar dan tertidur di kasur lantai.Pernikahan sandiwara ini telah menjerat dan mengikatku pada sebuah kenyataan. Bahwa aku merasakan kenyamanan pada pria lain selain Mas Hendra. Bahkan terkadang, jika Mas Hendra menelpon, aku mulai merasakan ketidaknyamanan. Teru
"Terserah Dek Arini saja, jika dia bersedia, aku persilahkan saja," ujar Adrian. Kembali melemparkan bola panas terhadapku.'Menjengkelkan pria ini' bathinku menggerutu."Kamu tidak perlu ijin Adrian, Arini ... pernikahan kalian kan hanya sandiwara, kamu harus ingat itu," ketus Hendra kepadaku, sepertinya itu juga cara Hendra untuk menyindir dan mengingatkan Adrian. Hendra memang benar, itu memang rencananya, aku dan Adrian pun menyetujuinya."Aku dan Mas Adrian memang menikah sandiwara, tetapi pernikahan kami sudah memenuhi syarat hukum agama," jelasku kepada Hendra."Selama aku menjadi istrinya, terlepas itu sandiwara ataupun bukan, aku harus tetap meminta persetujuannya, sebagai pemilik sah atas diriku," jawabku tegas. Hendra terdiam, begitupun Adrian."Kamu juga, Mas Adrian. Jangan berlepas tanggung jawab atas diriku, menurut hukum agama aku sah milikmu, tidak pantas jika Mas menyerahkan keputusan ini kepadaku, karena aku masih di bawah tanggung jawabmu." Aku langsung berdiri meni
"Istirahat saja ya, Dek. Jangan dibawa aktivitas dulu, Mas ambil libur saja hari ini, biar bisa bantu-bantu Adik di rumah dulu." Saatku duduk di pinggir ranjang. "Iya, Mas tidak usah kerja dulu," pintaku. Sesungguhnya bukan karena cengeng, tetapi panggang juga, melihat Mas Adrian tidak pernah sepi mencari penumpang selama kami menikah. Mas Adrian lalu menuju ke lemari pakaian, membuka bajunya untuk berganti pakaian. Ada desiran halus yang mengalir di dadaku, melihat tubuh telanjangnya, walaupun hanya di bagian pinggang. Kucoba tetapi mungkin menahan debar, tidak dengan langkahku yang malah memilih untuk mendekatinya. "Mau kemana, Dek. Jangan banyak bergerak dulu jika masih sakit," sarannya, lalu mendekatiku, dengan masih bertelanjang, sambil memegang baju ganti di tangan. Aku langsung memeluknya, memeluk tubuh tegapnya. Ada kehangatan dan mengalir di dalam ragaku. Entahlah, aku mungkin seperti perempuan yang tidak tahu malu, tetapi ... Mengapa juga kuharus malu, jika tubuh yang kup
"Ingin meminta tolong Mbak Lasmi, tapi aku tidak tega membangunkannya." Lanjutku Penjelasan."Iya,i-ya.dek," ucapnya tergagap. "Di sini keriknya, dek?""Di dalam kamar saja, yah Mas." Aku melangkah ke dapur, untuk mengambil sedikit minyak sayur. Tertahan langkahku, Mas Adrian memegang tangan."Adek mau kemana?" "Ke dapur Mas, ingin mengambil sedikit minyak sayur untuk kerikan," jawabku."Biar Mas yang ambil, adek tunggu di kamar saja." Bergegas berdiri Adrian melangkah menuju dapur.Aku segera masuk ke dalam kamar, menyiapkan uang logaman lama yang memang sengaja kusimpan untuk kerikan. Membuka pakaian atas dan penutup payudara.Terlihat Mas Adrian sangat grogi saat masuk kamar dan mulai mendekat. Hanya menunduk dan terlihat serba salah. Duduk di belakang tubuhku, di atas tempat tidur."Di-di, ke-ke'riknya, sekarang Dek?" terdengar gemetaran suaranya. Aku tertawa geli dalam hati."Iya, sekarang Mas," jawabku, sembari bersiap menahan sakit karena kerikan."Halus sekali kerokannya, se
POV AriniPerjalanan hidupku yang berhubungan dengan pernikahan, selalu heboh dan menjadi perbincangan buat warga sekitar tempat kutinggal.Baru saja dua minggu kemarin batal melaksanakan akad nikah. Di hari minggu pagi ini, akan digelar kembali acara akad pernikahanku dengan pria yang berbeda. Pernikahan yang akan dilakukan secara siri.Macam-macam pendapat mereka tentang pernikahanku kali ini, itu kabar yang kudengar dari Mbak Lasmi dan Ceu Yoyoh, tetapi aku mencoba untuk tidak lagi ambil peduli.Tidak banyak yang menghadiri pelaksanaan akad nikah kali ini. Selain karena keadaan Adrian yang sama seperti aku, anak tunggal tanpa saudara dengan kedua orangtua yang sudah tiada. Hanya beberapa warga sekitar dan pengurus RT saja, yang ikut menghadiri acara akad pernikahanku kali ini.Ustaz setempat yang menjadi penghulu pernikahan kami. Ustaz yang sering di panggil untuk menikahkan pasangan pengantin secara siri. Mas Hendra yang mengurus dan mengatur semuanya, aku dan Adrian hanya mengiku
POV AdrianHendra berjanji akan mengurus semua, rencana pernikahan sandiwaraku dengan Arini.Sebenarnya, aku tidak sepakat dengan keinginan Hendra, yang menjadikan sebuah pernikahan yang sakral sebagai sebuah permainan kepura-puraan. Tetapi hutang budiku akan kebaikannya, membuatku tidak kuasa menolak untuk tidak membantunya.Saat kehamilan dan kelahiran putriku. Rita, almarhumah istriku banyak sekali memerlukan biaya, waktuku hanya dihabiskan di rumah sakit untuk menjaga dan menemaninya. Tidak ada pekerjaan dan pendapatan untuk membayar biaya rumah sakit. Hendra yang membayar semuanya, bahkan untuk biaya makan dan akomodasiku sehari-hari.Begitupun saat Rita akhirnya mengembuskan nafas setelah selesai melahirkan. Hendra juga yang memberikan aku modal untuk usaha di rumah, agar aku bisa menjaga dan merawat putriku yang masih balita. Hendra benar-benar sahabat yang perduli dengan segala permasalahan yang kualami."Ian ... Ian!" panggilan Hendra membuatku tergagap dari lamunan. Terlihat
Arini masih terdiam, dan aku pun masih menunggu jawabannya untuk mengajaknya hidup bersama kembali."Kau sudah menjatuhkan talak tiga kepadaku, Mas? Tidak akan semudah itu untuk meminta aku rujuk kembali denganmu," ucapnya. Matanya menatap lurus ke arah taman, halaman depan."Dalam Surat keputusan perceraian kita dari Pengadilan Agama, tertulis, jika aku menjatuhkan talak satu kepadamu," jawabku, menyangkal ucapannya."Surat keputusan memang tertulis seperti itu mas? Tetapi ucapan talak tiga yang keluar dari ucapanmu, bahkan sampai tiga kali ucap, itu sudah jatuh talak tiga walaupun pengadilan menuliskannya berbeda," jelasnya, masih dengan pendiriannya."Aku tidak berani untuk menjalani sesuatu yang diikrarkan tidak atas nama Tuhan, sedangkan aku tahu jika itu dilarangnya," jelas Arini, sekali lagi."Apa yang harus kulakukan, agar kita berdua dapat bersama kembali?" kutatap matanya tajam."Aku harus menikah dengan orang lain, sebelum dapat kembali hidup denganmu."Aku terdiam mendenga
Tawaran Rujuk kembaliHati ini mendadak merasakan sepi di tempat seramai ini, di tengah-tengah kerumunan banyak orang yang ingin menyaksikan akad pernikahan, dan aku merasa sendirian.Segera berbalik badan ingin kembali pulang. Arini sebentar lagi akan menjadi milik orang.Di depan mobil kuberhenti sesaat, ada keinginan untuk menyaksikan akad.Kukuatkan hati kembali ke rumah Arini, menyaksikan sendiri saat-saat kebahagiaannya."Arini berhak bahagia ... yah, Arini berhak merasakan kebahagiaan." Berbalik kembali melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya.Berdiri di sudut ruang tamu yang lumayan luas. Pengantin pria duduk membelakangi, hanya terlihat punggungnya saja. Dikelilingi banyak kerabat di belakangnya. Arini belum terlihat.Tidak beberapa lama, iringan calon pengantin keluar dari ruangan dalam, dan memang Arini sebagai pengantinnya.Memakai hijab dan pakaian serba putih dengan riasan wajah yang sederhana. Arini lebih terlihat seperti bidadari. Cantik sekali.Berjalan pelan dengan