Hari ini jam 07:00 pagi, aku sudah sampai di kantor, karena ada rencana keberangkatan ke Sepinggan Balikpapan Kalimantan timur dengan Pak Hendra.Jadwal penerbangan jam 09:15 dari Bandara Internasional Soekarno Hatta, terminal 1c.Suasana kantor masih sangat sepi, dan aku sudah bersiap di lobby kantor.Menunggu Pak Hendra dan sopir yang akan menjemput.Suamiku Vijar, si es batu itu, tidak mengiyakan dan melarang pun tidak, saat kubicara tentang rencana kepergian selama tiga hari ke Sepinggan. Hanya bapak mertua saja yang seperti was-was akan kepergianku, mungkin karena terhitung baru masuk kerja, tetapi sudah harus pergi dinas ke luar daerah. Atau mungkin juga dia khawatir, karena selama tiga hari kedepan nanti, hasrat gairahnya tidak lagi terpenuhi.20 menit menunggu, mobil sedan mewah Pak Hendra datang. Pak Timan, sopir pribadi merangkap sopir kantor menghampiriku ke lobby untuk memberi tahu dan membantu membawakan tas, berkas-berkas, dan
Hendra memasuki kamar, dan aku hanya menguntitnya dari belakang. Postur tubuhnya malah terlihat lebih menggairahkan, menyeret angan keinginan mendekap, terlelap hangat beralaskan kulit punggungnya, setelah lelah berkeringat memadu hasrat."Susan ...?""Saya, Pak Hendra." Sedikit terkejut juga aku dibuatnya saat bosku itu memanggilku secara tiba-tiba di saat aku sedang menghayalkan dirinya."Tolong rapihkan barang-barang bawaan saya yah, saya ingin secepatnya mandi. Sudah lengket rasanya seluruh badan ini." Sembari menuju kamar mandi."Baik, Pak." Aku pun secepatnya, membuka-buka barang bawaannya, untuk segera kurapihkan."Mau dipesankan makanan atau minuman, Pak?!" tawarku, agak sedikit berteriak."Saya sudah makan di luar, tapi tolong pesankan saya kopi
Tiga hari di Sepinggan, rasanya seperti bulan madu buat kami berdua. Aku dan mas Hendra. Di luar urusan kepentingan kantor, saat ada waktu-waktu tersisa, kami lalui dengan kebersamaan dan bercinta. Tuan berparas tampan pemilik perusahaan konstruksi itu memang luar biasa dalam segala hal. Cakap dalam berbisnis dan bernegosiasi, termasuk dalam urusan hasrat. Benar-benar membuatku terpesona.Sore sebelum malam kami sudah tiba kembali di ibukota.P
Masa I'dah Arini sudah hampir berakhir, dan selama itu, tidak pernah sekalipun Hendra menghubunginya. Tidak lewat telepon, WA atau apapun."Sudah tidak perdulikah, Mas Hendra padaku. Sebegitu bencinya Mas Hendra, hingga untuk menghubungiku saja dia tidak mau."Berkecamuk semua pertanyaan di dalam hati dan pikiran Arini.Matanya nanar menatap derasnya hujan dari balik jendela kamar.Hujan sore ini, benar-benar membawa kepedihan di dalam hatinya.Sakit rasanya.Jika Hati masih memendam rindu."Kamu sedang apa, Mas?""Tidak rindukah engkau denganku?"Mengapa kau lebih percaya orang lain, di banding aku. Lima tahun kebersamaan kita, tidak cukupkah untuk engkau meyakini, jika aku tidak mungkin berkhianat padamu. Ba
Setelah mengunci pintu rumah, segera Arini bergegas untuk menemui Ceu Yoyoh, tidak ingin berlama-lama untuk segera menyelesaikan masalah. Lagi pula nanti setelah dari rumah Ceu Yoyoh, harus pula menyelesaikan pesanan pembuatan kue ulang tahun yang akan diambil sore nanti.Tidak lupa Arini membawakan kue buatannya untuk anak-anak Ceu Yoyoh.Di saat sedang menutup pintu pagar rumah."Assalamualaikum, Jeng Arini?""Wa'alaikum salam." Arini menoleh ke arah asal suara salam itu terdengar."Mau kemana Jeng? Sepertinya terburu-buru sekali?"Tante Naya, tetanggaku, hanya berbeda lima rumah dari sebelah kanan tempat tinggalku, juga di Pinggir jalan raya.Tante Naya juga punya usaha yang samasama dengan Arini, menerima pesanan pembuatan kue dan catering makanan.
Lewat pesan singkat, Syarifah meminta Arini untuk bertemu dengannya di sebuah taman di tengah kota. Arini mendatanginya, dan kembali permintaan yang sama terucap dari mulut Syarifah.Tetapi ada satu hal yang membuat Arini semakin terkejut, saat istri dari Gazza ini bercerita jika suaminya itu belakangan ini di-diagnosis Dokter mengidap penyakit yang sangat serius dan mematikan. Arini sampai tidak percaya mendengarnya."Mbak Arini bersediakan, jika menikah dengan Gazza?" Syarifah kembali meminta kepastian. Arini hanya terdiam, bingung dan tak tahu lagi harus bicara apa. Mendengar jika gazza menderita penyakit kanker darah saja sudah sangat mengejutkan baginya."Menikah dengan Gazza? Bukannya malah akan membuat hatimu lebih sakit Dik?""Aku hanya ingin dia bahagia, di akhir sisa hidupnya Mbak," ucapnya.&nbs
Keputusan sudah diambil, dan apa pun yang akan terjadi nanti, Arini harus sudah siap menghadapinya, termasuk dengan menjadi orang ketiga dalam hubungan Gazza dan Syarifah. Jika bukan karena keadaan sakitnya Gazza, mungkin Arini tidak akan pernah menerima lamaran Syarifah.Dua hari setelah Syarifah ke rumah, Gazza pun datang berkunjung. Dibawakannya beberapa macam makanan dalam jumlah yang lumayan banyak. Atika yang nyengir kegirangan."ini makanan kesukaan aku semua," katanya. Sebagian Arini mintakan Mbak Lasmi untuk mengantarkan kepada Ceu Yoyoh dan anak-anaknya."Terimakasih Arini, kamu sudah mau menerima lamaranku." Gazza memulai pembicaraan, di teras depan rumah."Bagaimana keadaanmu, Za?" Arini mengalihkan pembicaraan."Aku baik-baik saja Arini," ucapnya, tetapi tatapan matanya t
Selepas jam makan siang, Hendra dan Susan memutuskan untuk kembali ke Kantor, setelah semalaman mereka berdua harus melayani hasrat Pak Dedi dan istrinya, dengan kelainan seks menyimpang mereka.Sungguh di luar perkiraan, jika pejabat daerah sekelas Pak Dedi mempunyai kelainan seks dalam bercinta seperti itu, begitupun dengan istrinya. Jika di media televisi atau pun surat kabar, sosok Pak Dedi si pejabat daerah itu terkesan sangat religius, dekat dengan masyarakat, dan anti korupsi, ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya. Hendra tahu, karena sering bekerja sama dengannya. Segala cara dihalalkannya, yang penting baginya adalah membawa keuntungan buat dirinya."Tahu sama tahu, yang terpenting saling menguntungkan." Prinsip dasar dalam berbisnis di luar pola kewajaran.Dari hotel di daerah Senayan. Pak Timan menjemput mereka dan langsung menuju k
Sama seperti halnya Kunto, dibayar berapa Mas Adrian untuk mengikuti apa maunya Mas Hendra. Aku harus mencari tahu, tentang hal ini.Seperti biasa, Mas Adrian sudah pulang sebelum jam sembilan malam. Sengaja aku tidak menyambutnya, hanya berdiam diri saja di kamar. Selepas membersihkan diri di kamar mandi, Mas Adrian masuk kamar dan berganti pakaian, aku berpura-pura sudah tertidur. Adrian lalu keluar, setelah meletakkan beberapa lembar uang belanja di meja rias. Aku menunggu Mas Adrian melepas lelah, setelah itu, ingin bicara dengannya."Aku ingin bicara mas," kataku, duduk di bangku sebelahnya di ruang tamu. Saat Mas Adrian sedang asik membaca kitab."Mau, bicara apa, Dek?" tanyanya, sembari menutup kitab bacaannya, dan meletakkan di atas meja."Mas Adrian, jijik sama aku?" terdiam sesaat Adrian, mendengar pertanyaanku."Maksudnya apa yah,dek? Mas, kurang paham.""Jujur saja, Mas ... Apa yang membuat Mas Adrian jijik padaku? Bahkan tidak pernah mau menyentuhku! Aku lelah dengan pern
3 bulan sudah pernikahan sandiwara ini berjalan. Zahra sudah semakin dekat dan manja denganku. Ditambah dengan adanya Atika di rumah ini, semakin membuat Zahra terlihat bahagia, dan tubuhnya pun lebih gemuk sekarang.Sedangkan Mas Adrian, tidak ada yang berubah pada dirinya. Dia selalu memperlakukan aku dengan baik dan bertanggung jawab pada keluarga.Tetapi ... tidak pernah menyentuhku.Aku ingin dia memperlakukan aku layaknya seorang suami terhadap istrinya. Memberikan keteduhan dan kedamaian ke dalam sebuah pelukan kehangatan dan perlindungan. Mas Adrian seperti menjaga jarak, tidak ingin menyentuh dan tidak ingin disentuh. Berkutat hanya dengan membaca buku dan kitab. Menunggu sampai aku terlelap, baru kemudian memasuki kamar dan tertidur di kasur lantai.Pernikahan sandiwara ini telah menjerat dan mengikatku pada sebuah kenyataan. Bahwa aku merasakan kenyamanan pada pria lain selain Mas Hendra. Bahkan terkadang, jika Mas Hendra menelpon, aku mulai merasakan ketidaknyamanan. Teru
"Terserah Dek Arini saja, jika dia bersedia, aku persilahkan saja," ujar Adrian. Kembali melemparkan bola panas terhadapku.'Menjengkelkan pria ini' bathinku menggerutu."Kamu tidak perlu ijin Adrian, Arini ... pernikahan kalian kan hanya sandiwara, kamu harus ingat itu," ketus Hendra kepadaku, sepertinya itu juga cara Hendra untuk menyindir dan mengingatkan Adrian. Hendra memang benar, itu memang rencananya, aku dan Adrian pun menyetujuinya."Aku dan Mas Adrian memang menikah sandiwara, tetapi pernikahan kami sudah memenuhi syarat hukum agama," jelasku kepada Hendra."Selama aku menjadi istrinya, terlepas itu sandiwara ataupun bukan, aku harus tetap meminta persetujuannya, sebagai pemilik sah atas diriku," jawabku tegas. Hendra terdiam, begitupun Adrian."Kamu juga, Mas Adrian. Jangan berlepas tanggung jawab atas diriku, menurut hukum agama aku sah milikmu, tidak pantas jika Mas menyerahkan keputusan ini kepadaku, karena aku masih di bawah tanggung jawabmu." Aku langsung berdiri meni
"Istirahat saja ya, Dek. Jangan dibawa aktivitas dulu, Mas ambil libur saja hari ini, biar bisa bantu-bantu Adik di rumah dulu." Saatku duduk di pinggir ranjang. "Iya, Mas tidak usah kerja dulu," pintaku. Sesungguhnya bukan karena cengeng, tetapi panggang juga, melihat Mas Adrian tidak pernah sepi mencari penumpang selama kami menikah. Mas Adrian lalu menuju ke lemari pakaian, membuka bajunya untuk berganti pakaian. Ada desiran halus yang mengalir di dadaku, melihat tubuh telanjangnya, walaupun hanya di bagian pinggang. Kucoba tetapi mungkin menahan debar, tidak dengan langkahku yang malah memilih untuk mendekatinya. "Mau kemana, Dek. Jangan banyak bergerak dulu jika masih sakit," sarannya, lalu mendekatiku, dengan masih bertelanjang, sambil memegang baju ganti di tangan. Aku langsung memeluknya, memeluk tubuh tegapnya. Ada kehangatan dan mengalir di dalam ragaku. Entahlah, aku mungkin seperti perempuan yang tidak tahu malu, tetapi ... Mengapa juga kuharus malu, jika tubuh yang kup
"Ingin meminta tolong Mbak Lasmi, tapi aku tidak tega membangunkannya." Lanjutku Penjelasan."Iya,i-ya.dek," ucapnya tergagap. "Di sini keriknya, dek?""Di dalam kamar saja, yah Mas." Aku melangkah ke dapur, untuk mengambil sedikit minyak sayur. Tertahan langkahku, Mas Adrian memegang tangan."Adek mau kemana?" "Ke dapur Mas, ingin mengambil sedikit minyak sayur untuk kerikan," jawabku."Biar Mas yang ambil, adek tunggu di kamar saja." Bergegas berdiri Adrian melangkah menuju dapur.Aku segera masuk ke dalam kamar, menyiapkan uang logaman lama yang memang sengaja kusimpan untuk kerikan. Membuka pakaian atas dan penutup payudara.Terlihat Mas Adrian sangat grogi saat masuk kamar dan mulai mendekat. Hanya menunduk dan terlihat serba salah. Duduk di belakang tubuhku, di atas tempat tidur."Di-di, ke-ke'riknya, sekarang Dek?" terdengar gemetaran suaranya. Aku tertawa geli dalam hati."Iya, sekarang Mas," jawabku, sembari bersiap menahan sakit karena kerikan."Halus sekali kerokannya, se
POV AriniPerjalanan hidupku yang berhubungan dengan pernikahan, selalu heboh dan menjadi perbincangan buat warga sekitar tempat kutinggal.Baru saja dua minggu kemarin batal melaksanakan akad nikah. Di hari minggu pagi ini, akan digelar kembali acara akad pernikahanku dengan pria yang berbeda. Pernikahan yang akan dilakukan secara siri.Macam-macam pendapat mereka tentang pernikahanku kali ini, itu kabar yang kudengar dari Mbak Lasmi dan Ceu Yoyoh, tetapi aku mencoba untuk tidak lagi ambil peduli.Tidak banyak yang menghadiri pelaksanaan akad nikah kali ini. Selain karena keadaan Adrian yang sama seperti aku, anak tunggal tanpa saudara dengan kedua orangtua yang sudah tiada. Hanya beberapa warga sekitar dan pengurus RT saja, yang ikut menghadiri acara akad pernikahanku kali ini.Ustaz setempat yang menjadi penghulu pernikahan kami. Ustaz yang sering di panggil untuk menikahkan pasangan pengantin secara siri. Mas Hendra yang mengurus dan mengatur semuanya, aku dan Adrian hanya mengiku
POV AdrianHendra berjanji akan mengurus semua, rencana pernikahan sandiwaraku dengan Arini.Sebenarnya, aku tidak sepakat dengan keinginan Hendra, yang menjadikan sebuah pernikahan yang sakral sebagai sebuah permainan kepura-puraan. Tetapi hutang budiku akan kebaikannya, membuatku tidak kuasa menolak untuk tidak membantunya.Saat kehamilan dan kelahiran putriku. Rita, almarhumah istriku banyak sekali memerlukan biaya, waktuku hanya dihabiskan di rumah sakit untuk menjaga dan menemaninya. Tidak ada pekerjaan dan pendapatan untuk membayar biaya rumah sakit. Hendra yang membayar semuanya, bahkan untuk biaya makan dan akomodasiku sehari-hari.Begitupun saat Rita akhirnya mengembuskan nafas setelah selesai melahirkan. Hendra juga yang memberikan aku modal untuk usaha di rumah, agar aku bisa menjaga dan merawat putriku yang masih balita. Hendra benar-benar sahabat yang perduli dengan segala permasalahan yang kualami."Ian ... Ian!" panggilan Hendra membuatku tergagap dari lamunan. Terlihat
Arini masih terdiam, dan aku pun masih menunggu jawabannya untuk mengajaknya hidup bersama kembali."Kau sudah menjatuhkan talak tiga kepadaku, Mas? Tidak akan semudah itu untuk meminta aku rujuk kembali denganmu," ucapnya. Matanya menatap lurus ke arah taman, halaman depan."Dalam Surat keputusan perceraian kita dari Pengadilan Agama, tertulis, jika aku menjatuhkan talak satu kepadamu," jawabku, menyangkal ucapannya."Surat keputusan memang tertulis seperti itu mas? Tetapi ucapan talak tiga yang keluar dari ucapanmu, bahkan sampai tiga kali ucap, itu sudah jatuh talak tiga walaupun pengadilan menuliskannya berbeda," jelasnya, masih dengan pendiriannya."Aku tidak berani untuk menjalani sesuatu yang diikrarkan tidak atas nama Tuhan, sedangkan aku tahu jika itu dilarangnya," jelas Arini, sekali lagi."Apa yang harus kulakukan, agar kita berdua dapat bersama kembali?" kutatap matanya tajam."Aku harus menikah dengan orang lain, sebelum dapat kembali hidup denganmu."Aku terdiam mendenga
Tawaran Rujuk kembaliHati ini mendadak merasakan sepi di tempat seramai ini, di tengah-tengah kerumunan banyak orang yang ingin menyaksikan akad pernikahan, dan aku merasa sendirian.Segera berbalik badan ingin kembali pulang. Arini sebentar lagi akan menjadi milik orang.Di depan mobil kuberhenti sesaat, ada keinginan untuk menyaksikan akad.Kukuatkan hati kembali ke rumah Arini, menyaksikan sendiri saat-saat kebahagiaannya."Arini berhak bahagia ... yah, Arini berhak merasakan kebahagiaan." Berbalik kembali melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya.Berdiri di sudut ruang tamu yang lumayan luas. Pengantin pria duduk membelakangi, hanya terlihat punggungnya saja. Dikelilingi banyak kerabat di belakangnya. Arini belum terlihat.Tidak beberapa lama, iringan calon pengantin keluar dari ruangan dalam, dan memang Arini sebagai pengantinnya.Memakai hijab dan pakaian serba putih dengan riasan wajah yang sederhana. Arini lebih terlihat seperti bidadari. Cantik sekali.Berjalan pelan dengan