“Kaivan memutuskan hubungan apapun denganku demi menjaga perasaanmu.”
“Kaivan meminta aku menjauhinya.”Semua kalimat yang diucapkan Imelda berseliweran di benak Zhafira membuatnya tidak fokus.Hari ini Zhafira lebih sering melamun dalam mengawasi proyek pembangunan resort.“Ada masalah? Hari ini anda tampak pucat, Nyonya Fira?” tanya Karl memperlihatkan perhatiannya.“Tidak, saya hanya kurang tidur …,” sanggah Zhafira jujur.Memang benar ia kurang tidur tadi malam karena bolak balik Jakarta-Puncak untuk mengecek kondisi suaminya.Zhafira dan kakek Kallandra memutuskan kembali ke Puncak setelah mengetahui kondisi Kaivan sudah stabil.“Apa ada yang perlu kita diskusikan?” tanya Zhafira kemudian.Karl lantas memberitahu Zhafira mengenai kendala yang baru saja muncul, mereka bertukar pikiran untuk mencari solusinya.Hari hampir sore ketika Kallandra datang ke proKaivan mengerjapkan mata tatkala ia merasakan sesuatu—seperti jarum menusuk tangannya. Setelah membuka matanya baru ia tahu jika seseorang pria dengan stetoskop di leher sedang menyuntikkan sesuatu pada lengannya. Kaivan yakin jika pria paruh baya itu adalah dokter yang diutus keluarga Gunadhya untuk merawatnya. “Jangan bergerak dulu, saya sedang memberikan obat penahan sakit,” sergah pria itu saat Kaivan hendak menegakan tubuh. “Saya dokter Hadi diutus grandpa kamu untuk membawa kamu kembali ke Jakarta,” imbuh pria itu usai menyuntikkan obat. “Enggak, Dok! Saya enggak akan pulang, saya akan di sini … istri saya mana, Dok?” Kaivan berusaha menegakan tubuhnya untuk turun dari atas ranjang namun rasa sakit di sekujur tubuh juga kepalanya menahan Kaivan hingga akhirnya pria itu kembali terbaring lemah. “Kamu belum pulih betul, kamu harus mendapat perawatan intensif untuk luka dalam kam
“Saya enggak pernah memilih bahan ini, Pak … saya minta yang kualitasnya lebih baik dari ini sesuai dengan apa yang pernah saya sampaikan sama Pak Xander.” Zhafira panik saat melihat bahan bangunan yang tidak sesuai dengan yang ia inginkan. “Maaf Bu, saya bukan bagian pemesanan bahan … saya hanya menerima saja, untuk pemesanan bahan ada bagiannya lagi, atau jika Bu Fira kurang puas bisa langsung menghubungi Pak Xander,” ujar wakil dari perusahaan Xander yang memimpin proyek pembangunan resort tersebut. Bibir Zhafira mencebik kesal, bagaimana ia bisa menghubungi Xander karena ponselnya tertinggal di Jakarta. Selama ini Zhafira dan kakek Kallandra berkomunikasi melalui telepon rumah dan email. Zhafira menduga jika ini pasti ada hubungannya dengan berdebatan kemarin di rumah sakit—Xander jadi bersikap tidak profesional. “Bisa hubungi Pak Xander dari hape Bapak? Hape saya tertinggal di rumah.” Zhafira berdusta.
“Ayang mau mandi?” Kaivan bertanya basa-basi karena semenjak istrinya memasuki kamar, Zhafira tidak berucap sepatah kata pun meski hanya sekedar menyapanya. “Iya, Mas udah mandi, kan?” sahut Zhafira yang juga bertanya basa-basi agar Kaivan tidak mengira ia masih marah hingga nanti mereka akan terlibat perdebatan dan berakhir dengan Kaivan meminta peluk atau cium untuk meyakinkan dirinya sudah tidak marah. “Udah, tapi kalau Ayang mau aku temenin boleh kok, Yang.” “Enggak usah, Fira bisa mandi sendiri,” kata Zhafira disusul suara pintu ditutup. Kaivan tertawa pelan menanggapi sikap Zhafira, ia tahu Zhafira masih kecewa, ia juga tahu jika sikapnya menyebalkan dan sering membuat Zhafira kesal tapi ia takjub karena Zhafira masih seperti Zhafira yang dulu. Menghargai dan menghormatinya sebagai seorang suami. Dan yang membuat Kaivan bahagia saat ini adalah Zhafira pulang tepat waktu sesuai janjinya tadi sia
“Kakek ada, Bro!” sapa Arkana pada sekretaris kakek Kallandra. “Ada Pak, di dalam ….” Sang sekretaris beranjak dari kursinya, melangkah cepat bermaksud membukakan pintu untuk Arkana. Pasalnya ia sudah diberitahu oleh kakek Kallandra jika Arkana akan datang. “Silahkan masuk, Pak.” Si pria sekretaris berujar setelah membuka pintu. “Thanks, Bro!” Arkana menepuk pundak pria yang seumuran kakak pertamanya itu sambil melangkah masuk ke ruangan sang kakek. Di dalam sana perhatian kakek Kallandra teralihkan dari layar datar canggih di depannya. “Semua beres, Kek.” Arkana memberikan map berisi sebuah berkas penting. Pria itu lantas duduk di depan meja kakek Kallandra selagi beliau membaca isi berkas tersebut. “Ijin resort Kakek di Puncak udah keluar, aman pokoknya.” Arkana memberitau dengan nada jumawa. Kallandra tidak mengira jika Arkana bisa secepat ini memban
“Loh! Ayah … Bunda,” gumam Zhafira terkejut melihat kedua mertuanya turun dari mobil. Zhafira tidak mendapat informasi sebelumnya jika kedua mertuanya yang berdomisili di Vietnam akan datang berkunjung. Tapi kemudian ia teringat dengan Kaivan, tentu saja ayah bunda pasti datang untuk melihat keadaan Kaivan. Saat ini Zhafira sedang berada di proyek memantau kinerja para pekerja. “Fira, anak Bunda.” Dari jauh bunda Aura merentangkan kedua tangan, mengundang Zhafira masuk dalam pelukannya. “Bunda ….” Zhafira memeluk bunda Aura erat. “Apa kabar sayang?” Aura bertanya usai mengurai pelukan. Kedua tangannya beralih membingkai wajah Zhafira. Mengamati sang menantu yang tampak lebih kurus dari terakhir ia melihatnya. “Fira baik, Bun … Bunda apa kabar?” “Bunda enggak tenang di Vietnam, kepikiran kamu sama Kai terus ….” “Fir,” sapa ayah Narendra membe
Kaivan juga tahu, ayah dan bunda beserta seluruh keluarga sedang menghukumnya dengan mengabaikan dan acuh terhadap dirinya meski sedang terluka parah. Dan tidak ada yang bisa Kaivan lakukan selain menerima dengan pasrah dan lapang dada. Memprotes pun percuma karena memang Kaivan menyadari dirinya memang salah. Zhafira tidak kembali lagi ke proyek setelah makan siang, menemani kedua mertuanya berbincang banyak hal melepas rindu. Meski diabaikan tapi Kaivan tetap bertahan dengan duduk di samping Zhafira karena kini mereka sudah pindah ke ruang keluarga. Dan masih membahas Zhafira dengan proyeknya tanpa sekalipun bertanya bagaimana kondisi Kaivan sekarang. “Jadi Ayah sama Bunda benar-benar terlibat dalam menyembunyikan Fira dari Kai?” celetuk Kaivan di tengah-tengah pembicaraan serius antara Zhafira dengan kedua mertuanya. Ketiganya pun menoleh ke arah Kaivan yang wajahnya berubah masam. “Te
“Kek … maafin, Fira.” Zhafira mengerutkan wajahnya, sangat menyesal. “Minta maaf untuk apa?” kakek Kallandra bertanya dengan santai seolah hatinya dalam keadaan baik padahal tadi malam baru saja mendengar keinginan Kaivan yang resign dari perusahaan yang akan diwariskan kepadanya. “Menurut Kakek, Fira harus gimana? Kasih tahu Fira, Kek … Fira bingung.” Zhafira berjalan di samping kakek Kallandra, mereka sedang berada di proyek dan tatapan mata kakek Kallandra tampak berbinar penuh takjub melihat progres dari pembangunan resort miliknya. Kakek Kallandra menghentikan langkah lalu menghadapkan tubuhnya agar bisa menatap Zhafira yang terlihat gundah sedari pagi. “Kamu maunya gimana? Jangan pikirin Kai, kamu fokus sama keinginan kamu saja.” Kakek Kallandra malah mengembalikannya kepada Zhafira. “Proyek ini ide Fira, Fira ingin menyelesaikannya tapi masih membutuhkan waktu beberapa bulan lagi mungkin sampai satu tahun
Sangat lama Zhafira tenggelam dengan pekerjaan hingga malam semakin larut dan matanya tidak bisa lagi diajak kompromi. Ia pun merasakan pahanya sangat pegal karena Kaivan malah ketiduran di atas pangkuannya. Zhafira ingin membangunkan Kaivan agar pindah tidur ke kamar tapi tidak tega karena melihat Kaivan yang tampak pulas. Ia memandangi wajah tampan suaminya yang tenang, tidak lagi terlihat gelisah seperti malam-malam sebelumnya. Mungkin rasa sakit di dalam tubuh Kaivan sudah perlahan berkurang. Zhafira tidak bisa mengendalikan tangannya yang kini mengusap pipi Kaivan, dengkuran halus masih terdengar tanda Kaivan begitu dalam masuk ke alam bawah sadar. Entah apa yang merasuki Zhafira hingga menundukkan kepala kemudian mempertemukan bibir mereka. Zhafira memberikan kecupan ringan bersamaan dengan itu mata Kaivan terbuka membuat Zhafira terkejut membelalakkan mata. Refleks kepalanya terang