“Kakek ada, Bro!” sapa Arkana pada sekretaris kakek Kallandra.
“Ada Pak, di dalam ….”Sang sekretaris beranjak dari kursinya, melangkah cepat bermaksud membukakan pintu untuk Arkana.Pasalnya ia sudah diberitahu oleh kakek Kallandra jika Arkana akan datang.“Silahkan masuk, Pak.” Si pria sekretaris berujar setelah membuka pintu.“Thanks, Bro!”Arkana menepuk pundak pria yang seumuran kakak pertamanya itu sambil melangkah masuk ke ruangan sang kakek.Di dalam sana perhatian kakek Kallandra teralihkan dari layar datar canggih di depannya.“Semua beres, Kek.” Arkana memberikan map berisi sebuah berkas penting.Pria itu lantas duduk di depan meja kakek Kallandra selagi beliau membaca isi berkas tersebut.“Ijin resort Kakek di Puncak udah keluar, aman pokoknya.” Arkana memberitau dengan nada jumawa.Kallandra tidak mengira jika Arkana bisa secepat ini memban“Loh! Ayah … Bunda,” gumam Zhafira terkejut melihat kedua mertuanya turun dari mobil. Zhafira tidak mendapat informasi sebelumnya jika kedua mertuanya yang berdomisili di Vietnam akan datang berkunjung. Tapi kemudian ia teringat dengan Kaivan, tentu saja ayah bunda pasti datang untuk melihat keadaan Kaivan. Saat ini Zhafira sedang berada di proyek memantau kinerja para pekerja. “Fira, anak Bunda.” Dari jauh bunda Aura merentangkan kedua tangan, mengundang Zhafira masuk dalam pelukannya. “Bunda ….” Zhafira memeluk bunda Aura erat. “Apa kabar sayang?” Aura bertanya usai mengurai pelukan. Kedua tangannya beralih membingkai wajah Zhafira. Mengamati sang menantu yang tampak lebih kurus dari terakhir ia melihatnya. “Fira baik, Bun … Bunda apa kabar?” “Bunda enggak tenang di Vietnam, kepikiran kamu sama Kai terus ….” “Fir,” sapa ayah Narendra membe
Kaivan juga tahu, ayah dan bunda beserta seluruh keluarga sedang menghukumnya dengan mengabaikan dan acuh terhadap dirinya meski sedang terluka parah. Dan tidak ada yang bisa Kaivan lakukan selain menerima dengan pasrah dan lapang dada. Memprotes pun percuma karena memang Kaivan menyadari dirinya memang salah. Zhafira tidak kembali lagi ke proyek setelah makan siang, menemani kedua mertuanya berbincang banyak hal melepas rindu. Meski diabaikan tapi Kaivan tetap bertahan dengan duduk di samping Zhafira karena kini mereka sudah pindah ke ruang keluarga. Dan masih membahas Zhafira dengan proyeknya tanpa sekalipun bertanya bagaimana kondisi Kaivan sekarang. “Jadi Ayah sama Bunda benar-benar terlibat dalam menyembunyikan Fira dari Kai?” celetuk Kaivan di tengah-tengah pembicaraan serius antara Zhafira dengan kedua mertuanya. Ketiganya pun menoleh ke arah Kaivan yang wajahnya berubah masam. “Te
“Kek … maafin, Fira.” Zhafira mengerutkan wajahnya, sangat menyesal. “Minta maaf untuk apa?” kakek Kallandra bertanya dengan santai seolah hatinya dalam keadaan baik padahal tadi malam baru saja mendengar keinginan Kaivan yang resign dari perusahaan yang akan diwariskan kepadanya. “Menurut Kakek, Fira harus gimana? Kasih tahu Fira, Kek … Fira bingung.” Zhafira berjalan di samping kakek Kallandra, mereka sedang berada di proyek dan tatapan mata kakek Kallandra tampak berbinar penuh takjub melihat progres dari pembangunan resort miliknya. Kakek Kallandra menghentikan langkah lalu menghadapkan tubuhnya agar bisa menatap Zhafira yang terlihat gundah sedari pagi. “Kamu maunya gimana? Jangan pikirin Kai, kamu fokus sama keinginan kamu saja.” Kakek Kallandra malah mengembalikannya kepada Zhafira. “Proyek ini ide Fira, Fira ingin menyelesaikannya tapi masih membutuhkan waktu beberapa bulan lagi mungkin sampai satu tahun
Sangat lama Zhafira tenggelam dengan pekerjaan hingga malam semakin larut dan matanya tidak bisa lagi diajak kompromi. Ia pun merasakan pahanya sangat pegal karena Kaivan malah ketiduran di atas pangkuannya. Zhafira ingin membangunkan Kaivan agar pindah tidur ke kamar tapi tidak tega karena melihat Kaivan yang tampak pulas. Ia memandangi wajah tampan suaminya yang tenang, tidak lagi terlihat gelisah seperti malam-malam sebelumnya. Mungkin rasa sakit di dalam tubuh Kaivan sudah perlahan berkurang. Zhafira tidak bisa mengendalikan tangannya yang kini mengusap pipi Kaivan, dengkuran halus masih terdengar tanda Kaivan begitu dalam masuk ke alam bawah sadar. Entah apa yang merasuki Zhafira hingga menundukkan kepala kemudian mempertemukan bibir mereka. Zhafira memberikan kecupan ringan bersamaan dengan itu mata Kaivan terbuka membuat Zhafira terkejut membelalakkan mata. Refleks kepalanya terang
Semenjak melihat istrinya jatuh ke dalam pelukan Xander—dalam arti sebenarnya—Kaivan tidak mengeluarkan sepatah kata pun pada Zhafira. Raut wajahnya pun tampak masam karena kesal tidak terima istrinya dipeluk pria lain terlebih Zhafira tidak mengatakan apapun. Oke, Kaivan mengetahui kejadian tersebut adalah ketidaksengajaan tapi apakah Zhafira tidak ingin menjelaskan atau menyanggah apa yang sedang ia pikirkan saat ini untuk membuatnya berhenti cemburu. “Minum dulu obatnya, Mas.” Sengaja Zhafira memulai pembicaraan terlebih dahulu dengan nadanya yang tenang sambil memberikan obat malam untuk Kaivan. “Kamu seneng ya dipeluk Xander?” Kaivan tidak bisa lagi menahan lidahnya untuk tidak memulai perdebatan dengan Zhafira. “Enggak.” Zhafira menjawab singkat. “Tapi kamu diam aja waktu dia peluk.” “Enggak sengaja.” Zhafira menyahut dengan ekspresi datar. Tangannya mendekat ke mulut Kaivan,
“Bos!!! Apa kabar lo?” Suara Gerry di ujung sambungan telepon terdengar bahagia dan baru sekarang pria itu memanggil Kaivan dengan sebutan Bos padahal sekarang Kaivan sudah bukan Bosnya lagi. “Seneng ‘kan lo!” cibir Kaivan dengan nada malas. “Iya lah seneng, gue yang sekretaris ini gantiin lo jadi CEO … walau baru masa percobaan tapi kesempatan gue besar banget megang jabatan ini … ternyata kerja keras gue jadi babu lo selama ini enggak sia-sia ya,” celoteh Gerry membuat Kaivan mendengus geli menanggapinya. “Lo belum jawab pertanyaan gue, Kai … gue serius waktu tanya kabar lo?” Gerry mengulang pertanyaannya. “Basa-basi lo, kita tiap hari teleponan ….” Gerry tergelak. “Maksud gue hari ini.” Lidah Kaivan berdecak sebal, menurutnya Gerry kepo. “Tadi malam gue abis di-charge sama Fira, jadi kabar gue baik pakai banget hari ini.” Kaivan menjawab penuh dengan rasa bangga karen
Hari masih sore ketika Zhafira sampai di rumah, tubuhnya terasa lengket dan kotor karena hari ini matahari begitu terik. Zhafira langsung naik ke kamarnya yang berada di lantai dua. Mendorong pintu kamar sambil berpikir jika Kaivan ada di sana sedang beristirahat. Kaivan memang ada di dalam kamar, lebih tepatnya duduk di single sofa dekat jendela diselingi bunga. Ah, tidak. Bukan hanya mengelilingi Kaivan tapi banyak bunga memenuhi kamar itu hingga di atas sofa dan ranjang. Mata Zhafira membulat sempurna sama dengan mulutnya yang kemudian ia tutup dengan tangan. “M-mas … ini ….” Kaivan beranjak dari sofa, meraih satu buket bunga mawar yang lantas ia bawa mendekati Zhafira. “Walau aku enggak jadi CEO lagi, aku masih mampu beliin kamu bunga sekamar.” Karena tadi ia memetik bunga di halaman Villa karena saran Gerry saja. “Memang kurang ajar si Gerry.” Kaivan membatin.
Di dalam kamar Kaivan—Zhafira terlihat keheranan melihat ibu mertua dan nenek mertuanya memasuki kamar. “Kamu enggak apa-apa, Fir?” Bunda Aura bertanya. “Apa yang kamu rasa?”Belum sempat menjawab—kakek Kallandra sudah melayangkan pertanyaan. “Kapan terakhir kamu menstruasi?” Itu nenek Shareena yang bertanya. Zhafira jadi terdiam, mengingat kapan dirinya menstruasi. “Lupa, kayanya udah lama enggak.” Zhafira menjawab ragu.Berturut-turut Kama dan istrinya Arshavina juga Kalila beserta suaminya King masuk ke dalam kamar membuat Zhafira semakin heran.“Tenang pemirsa … ini Kejora punya testpack kehamilan, Mbak Fira coba tes dulu pakai alat ini siapa tahu kaya Mbak Zara langsung jadi … soalnya testpack Kejora itu sakti,” celoteh Kejora mengurai kerumunan di depan ranjang Zhafira. Rupanya Kejora tidak langsung ke kamar Kaivan, ia berbelok dulu ke kamarnya untuk mengambil testpack dari
“Arumi Kamaniya Gunadhya.” Suara sang Papa yang pelan namun terdengar tegas membuat Arumi-bocah berumur lima tahun itu menegang. Arumi sedang bermain di halaman belakang, ia masuk ke dalam rumah untuk mengambil air minum karena udara hari ini sangat panas. Tapi malah bertemu papanya yang baru saja pulang kerja. Dan kenapa sang Papa tampannya memanggil namanya dengan tegas, sudah dipastikan karena telah melihat hasil ujian semester ini. Arumi membalikkan badan, matanya menatap takut-takut sang papa lantas mengumpulkan keberaniannya untuk memberikan senyum sejuta pesona. “Enggak mempan, sayang.” Meski keluar kata ‘sayang’ tapi ekspresi wajah Kaivan terlihat datar. “Duduk sini samping Papa.” Kaivan menepuk Spaces kosong di sofa yang ia duduki. Arumi duduk di samping papanya dengan gerakan lemah gemulai bak seorang princess. Bahkan sempat merapihkan rok belakangnya agar tidak kusu
“Kamu pucat, Yang … tadi enggak sarapan sih,” tegur Kaivan, tangannya terulur mengusap keringat di pelipis Zhafira setelah mengangkat helm proyek di kepala istrinya. Mereka sedang berada di salah satu proyek untuk keperluan pengecekan dan koordinasi karena perhari ini pengerjaan resmi di mulai. Zhafira memaksakan sebuah senyum untuk menunjukkan ia baik-baik saja. “Tadi Fira belum lapar, tapi Fira bawa bekal kok Mas di mobil.” Zhafira berdusta, padahal tadi ia muntah-muntah di kamar mandi sehingga terlambat ikut sarapan di meja makan. Dan sebenarnya bukan tidak lapar tapi Zhafira merasakan mual dan begah pada perutnya. Ia sadar selama beberapa hari terakhir terlambat makan sehingga bisa dipastikan asam lambungnya pasti kambuh. Zhafira tidak ingin Kaivan mengetahui hal tersebut. “Ga, bawain bekal di mobil untuk ibu …,” titah Kaivan pada sekertaris Zhafira. “Baik Pak,” sahut pria
Suasana kantor Kaivan tampak kondusif di jam setelah makan siang. Anggukan seorang satpam yang ada di loby depan menyambut kedatangannya setelah bertemu klien sejak pagi tadi. “Istri saya masih di atas?” Kaivan bertanya pada salah seorang sekuriti yang berada di dalam gedung. “Masih, Pak ... ibu dia atas sama Rey.” Pria itu menjawab sambil setengah berlari lebih dulu untuk menekan tombol lift. Kaivan mengangguk samar kepada security sebelum masuk ke dalam lift diikuti sekretaris cantiknya bernama Irma. “Nanti malam ada acara sosial bersama pak Wali Kota, Pak.” Irma memberitau sambil membaca iPad di tangannya. “Belikan satu gaun untuk istri saya, saya lupa kasih tahu kalau hari ini ada pesta.” “Baik, Pak!” Ting … Detik berikutnya setelah lift berdenting, Kaivan dan Irma keluar dari lift. Seorang pria muda tampan dan bertubuh atletis seperti K
Setelah resign, Zhafira tidak memiliki kegiatan selain menggambar sketsa. Setiap hari ia menghabiskan waktunya di perpustakaan menggambar banyak bangunan menunggu Kaivan pulang kerja yang saat itu sedang asyik dengan kedekatan bersama Imelda sehingga pulang selalu larut malam. Ternyata apa yang ia kerjakan itu tidak sia-sia. Zhafira mengirim semua karyanya pada Architecture Design Competition yang diadakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia dan juga Lomba design gedung dan jembatan yang diadakan pemerintah. Dan hasil Karya Zhafira selalu menjadi pemenangnya. Seperti malam ini, Zhafira diundang oleh Gubernur Jawa Barat untuk menerima penghargaan dan hadiah atas kemenangannya dalam mendesain ulang bangunan yang tidak berfungsi dengan baik atau bahkan terbengkalai di Kota Bandung menjadi bangunan dengan fungsi baru yang nyaman, aman, berkelanjutan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan kota itu sendiri.
Suara tangis Rey yang membahana membuat Kaivan dan Zhafira terjaga dari tidur yang lelap di dini hari. Kaivan menegakan tubuhnya lebih dulu, menurunkan kedua kakinya lalu beranjak menghampiri box bayi Rey. “Tunggu aja di sana, Yang … aku bawa Rey ke sana.” Zhafira menaikkan kakinya kembali, menumpuk bantal untuk membuatnya nyaman bersandar ketika menyusui. Sementara itu Kaivan mengecek popok Rey. “Alexa, play You Are My Sunshine,” perintah Kai pada smart speaker yang berada di atas nakas. Lagu You Are My Sunshine mengalun dengan volume rendah dan tangis Rey perlahan berhenti. Kaivan jadi bisa dengan mudah mengganti popok Rey yang sudah penuh. Zhafira memperhatikan Kaivan dari atas ranjang, suaminya begitu mahir mengganti popok dengan lebih dulu membersihkan bagian bawah tubuh Rey. Tidak sia-sia Kaivan resign, karena selain memiliki banyak waktu untuk bersama Zhafira—ia juga me
Bayi laki-laki gempal yang diberi nama Reynand Arkananta Gunadhya itu hanya selisih satu bulan lahir ke dunia dengan anak keempat pasangan Arkana dan Zara. Bahkan Zara sudah bisa menghadiri peresmian resort kemarin. Zhafira jadi semangat untuk cepat pulih karena ada rumah baru mereka yang menanti di Bandung. “Eeeh, sudah cantik cucu Nenek.” Nenek Shareena memuji Zhafira yang sudah mandi dan cantik sepagi ini. Nenek Shareena bersama grandma Monica masuk ke ruangan rawat Zhafira. “Nenek … Grandma.” Zhafira balas menyapa dengan senyumnya yang khas. Zhafira duduk bersandar di ranjang yang bagian kepalanya dibuat tegak. Wajah Zhafira berseri-seri, segar dan cantik. “Kemarin Grandma pulang duluan anterin nenek kamu ini yang masuk angin … pakai acara kerokan lah kita sampe rumah.” Grandma Monica misuh-misuh karena gara-gara itu ia tidak bisa langsung bertemu cicitnya. “Terus sekarang
Zhafira memejamkan matanya tatkala rasa mulas dan nyeri di bagian pinggang menghantam begitu dahsyat. Genggaman tangan Zhafira di tangan Kaivan yang duduk di samping sambil mengusap perutnya pun mengerat kuat. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kebetulan heli milik kakek Kallandra yang beberapa bulan terakhir ini terparkir di halaman belakang Villa merupakan heli jenis KA 62 yang mampu menampung hingga sepuluh orang sehingga grandpa Edward, grandma Monica juga nenek Shareena bisa ikut menemani Zhafira yang akan melakukan persalinan.Sementara kakek Kallandra dan keluarga yang lain akan menyusul setelah acara peresmian resort selesai. Di antara rasa sakit yang sedang Zhafira alami selama ini, terselip lega dan puas karena dengan mengepalai proyek pembangunan resort tersebut—ia bisa membuktikan siapa dirinya kepada dunia. Zhafira bukan hanya Zhafira yang berasal dari keluarga broken home dan manta
Zhafira merasakan tubuhnya tidak nyaman, perutnya mulas tapi setiap kali duduk di atas closet—mulas itu lenyap entah ke mana. Sayangnya Zhafira tidak memiliki waktu untuk mengkhawatirkannya karena besok adalah peresmian resort dan hari ini segala sesuatunya harus sudah siap seratus persen. Jam sembilan malam Zhafira masih sibuk menata venue padahal sudah ada Event Organizer tapi Zhafira tidak percaya begitu saja dan tetap mengecek setiap detailnya satu persatu. Kakinya yang bengkak terasa kebas, belum lagi rasa mulas semakin sering mendera meski hilang timbul. “Yang, kita pulang sekarang … udah malem.” Nada suara dan sorot mata yang tegas milik Kaivan tidak bisa Zhafira tawar lagi, ia harus menurut. Selama ini Kaivan selalu mengalah, berusaha mengerti keinginannya jadi tidak semestinya Zhafira membantah apalagi ini demi kebaikan dirinya dan si janin. “Iya Mas, Fira pamit sama EO-nya dulu.”
Beberapa hari terakhir Kaivan selalu terbangun tengah malam terusik oleh pergerakan Zhafira yang gelisah dalam tidurnya. Perut Zhafira sudah sangat besar, dokter mengatakan jika sebentar lagi akan melahirkan tapi Zhafira masih bertahan tinggal di Puncak hingga peresmian resort. Begitulah permintaan Zhafira pada Kaivan yang tidak bisa Kaivan tolak. “Yang,” panggil Kaivan menegakan sedikit tubuhnya mengecek keadaan sang istri. “Begah, Mas … Fira juga engap banget, keluh Zhafira dengan mata berkaca-kaca. Semenjak hamil Zhafira memang mudah mengeluarkan air mata membuat Kaivan kalang kabut berusaha agar air mata Zhafira berhenti mengalir. “Coba bobonya sambil duduk, nanti aku benerin posisi tidur kamu kalau kamu udah terlelap.” Kaivan mencoba mencari solusi dengan terlebih dahulu ia menegakan tubuhnya bersandar pada headboard agar Zhafira bisa bersandar di dadanya. Zhafira menurut, dengan ban