Kaivan juga tahu, ayah dan bunda beserta seluruh keluarga sedang menghukumnya dengan mengabaikan dan acuh terhadap dirinya meski sedang terluka parah.
Dan tidak ada yang bisa Kaivan lakukan selain menerima dengan pasrah dan lapang dada.Memprotes pun percuma karena memang Kaivan menyadari dirinya memang salah.Zhafira tidak kembali lagi ke proyek setelah makan siang, menemani kedua mertuanya berbincang banyak hal melepas rindu.Meski diabaikan tapi Kaivan tetap bertahan dengan duduk di samping Zhafira karena kini mereka sudah pindah ke ruang keluarga.Dan masih membahas Zhafira dengan proyeknya tanpa sekalipun bertanya bagaimana kondisi Kaivan sekarang.“Jadi Ayah sama Bunda benar-benar terlibat dalam menyembunyikan Fira dari Kai?” celetuk Kaivan di tengah-tengah pembicaraan serius antara Zhafira dengan kedua mertuanya.Ketiganya pun menoleh ke arah Kaivan yang wajahnya berubah masam.“Te“Kek … maafin, Fira.” Zhafira mengerutkan wajahnya, sangat menyesal. “Minta maaf untuk apa?” kakek Kallandra bertanya dengan santai seolah hatinya dalam keadaan baik padahal tadi malam baru saja mendengar keinginan Kaivan yang resign dari perusahaan yang akan diwariskan kepadanya. “Menurut Kakek, Fira harus gimana? Kasih tahu Fira, Kek … Fira bingung.” Zhafira berjalan di samping kakek Kallandra, mereka sedang berada di proyek dan tatapan mata kakek Kallandra tampak berbinar penuh takjub melihat progres dari pembangunan resort miliknya. Kakek Kallandra menghentikan langkah lalu menghadapkan tubuhnya agar bisa menatap Zhafira yang terlihat gundah sedari pagi. “Kamu maunya gimana? Jangan pikirin Kai, kamu fokus sama keinginan kamu saja.” Kakek Kallandra malah mengembalikannya kepada Zhafira. “Proyek ini ide Fira, Fira ingin menyelesaikannya tapi masih membutuhkan waktu beberapa bulan lagi mungkin sampai satu tahun
Sangat lama Zhafira tenggelam dengan pekerjaan hingga malam semakin larut dan matanya tidak bisa lagi diajak kompromi. Ia pun merasakan pahanya sangat pegal karena Kaivan malah ketiduran di atas pangkuannya. Zhafira ingin membangunkan Kaivan agar pindah tidur ke kamar tapi tidak tega karena melihat Kaivan yang tampak pulas. Ia memandangi wajah tampan suaminya yang tenang, tidak lagi terlihat gelisah seperti malam-malam sebelumnya. Mungkin rasa sakit di dalam tubuh Kaivan sudah perlahan berkurang. Zhafira tidak bisa mengendalikan tangannya yang kini mengusap pipi Kaivan, dengkuran halus masih terdengar tanda Kaivan begitu dalam masuk ke alam bawah sadar. Entah apa yang merasuki Zhafira hingga menundukkan kepala kemudian mempertemukan bibir mereka. Zhafira memberikan kecupan ringan bersamaan dengan itu mata Kaivan terbuka membuat Zhafira terkejut membelalakkan mata. Refleks kepalanya terang
Semenjak melihat istrinya jatuh ke dalam pelukan Xander—dalam arti sebenarnya—Kaivan tidak mengeluarkan sepatah kata pun pada Zhafira. Raut wajahnya pun tampak masam karena kesal tidak terima istrinya dipeluk pria lain terlebih Zhafira tidak mengatakan apapun. Oke, Kaivan mengetahui kejadian tersebut adalah ketidaksengajaan tapi apakah Zhafira tidak ingin menjelaskan atau menyanggah apa yang sedang ia pikirkan saat ini untuk membuatnya berhenti cemburu. “Minum dulu obatnya, Mas.” Sengaja Zhafira memulai pembicaraan terlebih dahulu dengan nadanya yang tenang sambil memberikan obat malam untuk Kaivan. “Kamu seneng ya dipeluk Xander?” Kaivan tidak bisa lagi menahan lidahnya untuk tidak memulai perdebatan dengan Zhafira. “Enggak.” Zhafira menjawab singkat. “Tapi kamu diam aja waktu dia peluk.” “Enggak sengaja.” Zhafira menyahut dengan ekspresi datar. Tangannya mendekat ke mulut Kaivan,
“Bos!!! Apa kabar lo?” Suara Gerry di ujung sambungan telepon terdengar bahagia dan baru sekarang pria itu memanggil Kaivan dengan sebutan Bos padahal sekarang Kaivan sudah bukan Bosnya lagi. “Seneng ‘kan lo!” cibir Kaivan dengan nada malas. “Iya lah seneng, gue yang sekretaris ini gantiin lo jadi CEO … walau baru masa percobaan tapi kesempatan gue besar banget megang jabatan ini … ternyata kerja keras gue jadi babu lo selama ini enggak sia-sia ya,” celoteh Gerry membuat Kaivan mendengus geli menanggapinya. “Lo belum jawab pertanyaan gue, Kai … gue serius waktu tanya kabar lo?” Gerry mengulang pertanyaannya. “Basa-basi lo, kita tiap hari teleponan ….” Gerry tergelak. “Maksud gue hari ini.” Lidah Kaivan berdecak sebal, menurutnya Gerry kepo. “Tadi malam gue abis di-charge sama Fira, jadi kabar gue baik pakai banget hari ini.” Kaivan menjawab penuh dengan rasa bangga karen
Hari masih sore ketika Zhafira sampai di rumah, tubuhnya terasa lengket dan kotor karena hari ini matahari begitu terik. Zhafira langsung naik ke kamarnya yang berada di lantai dua. Mendorong pintu kamar sambil berpikir jika Kaivan ada di sana sedang beristirahat. Kaivan memang ada di dalam kamar, lebih tepatnya duduk di single sofa dekat jendela diselingi bunga. Ah, tidak. Bukan hanya mengelilingi Kaivan tapi banyak bunga memenuhi kamar itu hingga di atas sofa dan ranjang. Mata Zhafira membulat sempurna sama dengan mulutnya yang kemudian ia tutup dengan tangan. “M-mas … ini ….” Kaivan beranjak dari sofa, meraih satu buket bunga mawar yang lantas ia bawa mendekati Zhafira. “Walau aku enggak jadi CEO lagi, aku masih mampu beliin kamu bunga sekamar.” Karena tadi ia memetik bunga di halaman Villa karena saran Gerry saja. “Memang kurang ajar si Gerry.” Kaivan membatin.
Di dalam kamar Kaivan—Zhafira terlihat keheranan melihat ibu mertua dan nenek mertuanya memasuki kamar. “Kamu enggak apa-apa, Fir?” Bunda Aura bertanya. “Apa yang kamu rasa?”Belum sempat menjawab—kakek Kallandra sudah melayangkan pertanyaan. “Kapan terakhir kamu menstruasi?” Itu nenek Shareena yang bertanya. Zhafira jadi terdiam, mengingat kapan dirinya menstruasi. “Lupa, kayanya udah lama enggak.” Zhafira menjawab ragu.Berturut-turut Kama dan istrinya Arshavina juga Kalila beserta suaminya King masuk ke dalam kamar membuat Zhafira semakin heran.“Tenang pemirsa … ini Kejora punya testpack kehamilan, Mbak Fira coba tes dulu pakai alat ini siapa tahu kaya Mbak Zara langsung jadi … soalnya testpack Kejora itu sakti,” celoteh Kejora mengurai kerumunan di depan ranjang Zhafira. Rupanya Kejora tidak langsung ke kamar Kaivan, ia berbelok dulu ke kamarnya untuk mengambil testpack dari
Genggaman Kaivan di tangan Zhafira mengerat ketika ia mendengar suara detak jantung yang keluar dari alat USG. Mata Kaivan yang berkaca-kaca menampung buliran kristal menatap pada layar datar yang menunjukkan keadaan janin di dalam rahim Zhafira. “Enam minggu usia janinnya dan detak jantungnya sangat sehat … Pak Kaivan bisa mendengarnya, kan?” Dokter paruh baya yang diganggu hari liburnya itu begitu antusias memberitau Zhafira dan Kaivan. Tidak ada yang menjawab pertanyaan sang dokter, Kaivan dan Zhafira membisu menatap takjub pada layar televisi yang tergantung di dinding dan tersambung pada mesin USG. Dan ya, mereka mendengar detak jantung sang janin yang kuat membuat jantung kedua orang tuanya pun berdetak cepat. “Baiklah, saya akan resepkan vitamin dan obat mual untuk Ibu.” Dokter hendak mengangkat alat USG dari perut Zhafira tapi urung karena tangan Kaivan menahan. “Sebentar lagi Dok, saya i
“Pak Kaivan, ini vitamin dan obat mual untuk Ibu Fira.” Seorang pria menghampiri mereka dengan membawa paper bag kecil berisi obat-obatan. “Terimakasih,” kata Kaivan, menerima paper bag itu dengan satu tangannya yang tidak memeluk Zhafira. “Sama-sama, semoga sehat selalu.” Pria itu pergi setelah berkata demikian. “Mas, Fira mau digendong sampe mobil,” pinta Zhafira yang mendadak berubah manja. “Siap, Ratuku.” Kaivan langsung menggendong Zhafira ala bridal, melewati lorong klinik yang kosong melompong untuk tiba di lift. Beberapa keluarga pasien rawat inap yang berada di dalam di lift sesekali mencuri pandang. Heran melihat aksi Kaivan yang menggendong Zhafira karena jika memang Zhafira tidak mampu berjalan, ada kursi di roda yang disediakan di setiap lantai khusus pasien yang bisa Zhafira gunakan. Zhafira menyembunyikan wajahnya di leher Kaivan dengan kedua tangan