“Ayang mau mandi?”
Kaivan bertanya basa-basi karena semenjak istrinya memasuki kamar, Zhafira tidak berucap sepatah kata pun meski hanya sekedar menyapanya.“Iya, Mas udah mandi, kan?” sahut Zhafira yang juga bertanya basa-basi agar Kaivan tidak mengira ia masih marah hingga nanti mereka akan terlibat perdebatan dan berakhir dengan Kaivan meminta peluk atau cium untuk meyakinkan dirinya sudah tidak marah.“Udah, tapi kalau Ayang mau aku temenin boleh kok, Yang.”“Enggak usah, Fira bisa mandi sendiri,” kata Zhafira disusul suara pintu ditutup.Kaivan tertawa pelan menanggapi sikap Zhafira, ia tahu Zhafira masih kecewa, ia juga tahu jika sikapnya menyebalkan dan sering membuat Zhafira kesal tapi ia takjub karena Zhafira masih seperti Zhafira yang dulu.Menghargai dan menghormatinya sebagai seorang suami.Dan yang membuat Kaivan bahagia saat ini adalah Zhafira pulang tepat waktu sesuai janjinya tadi sia“Kakek ada, Bro!” sapa Arkana pada sekretaris kakek Kallandra. “Ada Pak, di dalam ….” Sang sekretaris beranjak dari kursinya, melangkah cepat bermaksud membukakan pintu untuk Arkana. Pasalnya ia sudah diberitahu oleh kakek Kallandra jika Arkana akan datang. “Silahkan masuk, Pak.” Si pria sekretaris berujar setelah membuka pintu. “Thanks, Bro!” Arkana menepuk pundak pria yang seumuran kakak pertamanya itu sambil melangkah masuk ke ruangan sang kakek. Di dalam sana perhatian kakek Kallandra teralihkan dari layar datar canggih di depannya. “Semua beres, Kek.” Arkana memberikan map berisi sebuah berkas penting. Pria itu lantas duduk di depan meja kakek Kallandra selagi beliau membaca isi berkas tersebut. “Ijin resort Kakek di Puncak udah keluar, aman pokoknya.” Arkana memberitau dengan nada jumawa. Kallandra tidak mengira jika Arkana bisa secepat ini memban
“Loh! Ayah … Bunda,” gumam Zhafira terkejut melihat kedua mertuanya turun dari mobil. Zhafira tidak mendapat informasi sebelumnya jika kedua mertuanya yang berdomisili di Vietnam akan datang berkunjung. Tapi kemudian ia teringat dengan Kaivan, tentu saja ayah bunda pasti datang untuk melihat keadaan Kaivan. Saat ini Zhafira sedang berada di proyek memantau kinerja para pekerja. “Fira, anak Bunda.” Dari jauh bunda Aura merentangkan kedua tangan, mengundang Zhafira masuk dalam pelukannya. “Bunda ….” Zhafira memeluk bunda Aura erat. “Apa kabar sayang?” Aura bertanya usai mengurai pelukan. Kedua tangannya beralih membingkai wajah Zhafira. Mengamati sang menantu yang tampak lebih kurus dari terakhir ia melihatnya. “Fira baik, Bun … Bunda apa kabar?” “Bunda enggak tenang di Vietnam, kepikiran kamu sama Kai terus ….” “Fir,” sapa ayah Narendra membe
Kaivan juga tahu, ayah dan bunda beserta seluruh keluarga sedang menghukumnya dengan mengabaikan dan acuh terhadap dirinya meski sedang terluka parah. Dan tidak ada yang bisa Kaivan lakukan selain menerima dengan pasrah dan lapang dada. Memprotes pun percuma karena memang Kaivan menyadari dirinya memang salah. Zhafira tidak kembali lagi ke proyek setelah makan siang, menemani kedua mertuanya berbincang banyak hal melepas rindu. Meski diabaikan tapi Kaivan tetap bertahan dengan duduk di samping Zhafira karena kini mereka sudah pindah ke ruang keluarga. Dan masih membahas Zhafira dengan proyeknya tanpa sekalipun bertanya bagaimana kondisi Kaivan sekarang. “Jadi Ayah sama Bunda benar-benar terlibat dalam menyembunyikan Fira dari Kai?” celetuk Kaivan di tengah-tengah pembicaraan serius antara Zhafira dengan kedua mertuanya. Ketiganya pun menoleh ke arah Kaivan yang wajahnya berubah masam. “Te
“Kek … maafin, Fira.” Zhafira mengerutkan wajahnya, sangat menyesal. “Minta maaf untuk apa?” kakek Kallandra bertanya dengan santai seolah hatinya dalam keadaan baik padahal tadi malam baru saja mendengar keinginan Kaivan yang resign dari perusahaan yang akan diwariskan kepadanya. “Menurut Kakek, Fira harus gimana? Kasih tahu Fira, Kek … Fira bingung.” Zhafira berjalan di samping kakek Kallandra, mereka sedang berada di proyek dan tatapan mata kakek Kallandra tampak berbinar penuh takjub melihat progres dari pembangunan resort miliknya. Kakek Kallandra menghentikan langkah lalu menghadapkan tubuhnya agar bisa menatap Zhafira yang terlihat gundah sedari pagi. “Kamu maunya gimana? Jangan pikirin Kai, kamu fokus sama keinginan kamu saja.” Kakek Kallandra malah mengembalikannya kepada Zhafira. “Proyek ini ide Fira, Fira ingin menyelesaikannya tapi masih membutuhkan waktu beberapa bulan lagi mungkin sampai satu tahun
Sangat lama Zhafira tenggelam dengan pekerjaan hingga malam semakin larut dan matanya tidak bisa lagi diajak kompromi. Ia pun merasakan pahanya sangat pegal karena Kaivan malah ketiduran di atas pangkuannya. Zhafira ingin membangunkan Kaivan agar pindah tidur ke kamar tapi tidak tega karena melihat Kaivan yang tampak pulas. Ia memandangi wajah tampan suaminya yang tenang, tidak lagi terlihat gelisah seperti malam-malam sebelumnya. Mungkin rasa sakit di dalam tubuh Kaivan sudah perlahan berkurang. Zhafira tidak bisa mengendalikan tangannya yang kini mengusap pipi Kaivan, dengkuran halus masih terdengar tanda Kaivan begitu dalam masuk ke alam bawah sadar. Entah apa yang merasuki Zhafira hingga menundukkan kepala kemudian mempertemukan bibir mereka. Zhafira memberikan kecupan ringan bersamaan dengan itu mata Kaivan terbuka membuat Zhafira terkejut membelalakkan mata. Refleks kepalanya terang
Semenjak melihat istrinya jatuh ke dalam pelukan Xander—dalam arti sebenarnya—Kaivan tidak mengeluarkan sepatah kata pun pada Zhafira. Raut wajahnya pun tampak masam karena kesal tidak terima istrinya dipeluk pria lain terlebih Zhafira tidak mengatakan apapun. Oke, Kaivan mengetahui kejadian tersebut adalah ketidaksengajaan tapi apakah Zhafira tidak ingin menjelaskan atau menyanggah apa yang sedang ia pikirkan saat ini untuk membuatnya berhenti cemburu. “Minum dulu obatnya, Mas.” Sengaja Zhafira memulai pembicaraan terlebih dahulu dengan nadanya yang tenang sambil memberikan obat malam untuk Kaivan. “Kamu seneng ya dipeluk Xander?” Kaivan tidak bisa lagi menahan lidahnya untuk tidak memulai perdebatan dengan Zhafira. “Enggak.” Zhafira menjawab singkat. “Tapi kamu diam aja waktu dia peluk.” “Enggak sengaja.” Zhafira menyahut dengan ekspresi datar. Tangannya mendekat ke mulut Kaivan,
“Bos!!! Apa kabar lo?” Suara Gerry di ujung sambungan telepon terdengar bahagia dan baru sekarang pria itu memanggil Kaivan dengan sebutan Bos padahal sekarang Kaivan sudah bukan Bosnya lagi. “Seneng ‘kan lo!” cibir Kaivan dengan nada malas. “Iya lah seneng, gue yang sekretaris ini gantiin lo jadi CEO … walau baru masa percobaan tapi kesempatan gue besar banget megang jabatan ini … ternyata kerja keras gue jadi babu lo selama ini enggak sia-sia ya,” celoteh Gerry membuat Kaivan mendengus geli menanggapinya. “Lo belum jawab pertanyaan gue, Kai … gue serius waktu tanya kabar lo?” Gerry mengulang pertanyaannya. “Basa-basi lo, kita tiap hari teleponan ….” Gerry tergelak. “Maksud gue hari ini.” Lidah Kaivan berdecak sebal, menurutnya Gerry kepo. “Tadi malam gue abis di-charge sama Fira, jadi kabar gue baik pakai banget hari ini.” Kaivan menjawab penuh dengan rasa bangga karen
Hari masih sore ketika Zhafira sampai di rumah, tubuhnya terasa lengket dan kotor karena hari ini matahari begitu terik. Zhafira langsung naik ke kamarnya yang berada di lantai dua. Mendorong pintu kamar sambil berpikir jika Kaivan ada di sana sedang beristirahat. Kaivan memang ada di dalam kamar, lebih tepatnya duduk di single sofa dekat jendela diselingi bunga. Ah, tidak. Bukan hanya mengelilingi Kaivan tapi banyak bunga memenuhi kamar itu hingga di atas sofa dan ranjang. Mata Zhafira membulat sempurna sama dengan mulutnya yang kemudian ia tutup dengan tangan. “M-mas … ini ….” Kaivan beranjak dari sofa, meraih satu buket bunga mawar yang lantas ia bawa mendekati Zhafira. “Walau aku enggak jadi CEO lagi, aku masih mampu beliin kamu bunga sekamar.” Karena tadi ia memetik bunga di halaman Villa karena saran Gerry saja. “Memang kurang ajar si Gerry.” Kaivan membatin.