Nanda menonton tayangan tv berbayar.Sebuah drama Cina dengan latar suasana anak SMA.Dia sungguh tergila gila dengan drama satu ini, sampai terbawa mimpi segala.
"Film Korea atau Cina itu ? Bahasanya beda lagi?" tanya Rafa yang datang dari arah lantai dua.Pria itu menaruh laptop di atas meja.
" China, lagi rame ini, cerita SMA gitu, cinta cintaan ABG, bikin baper, pemain cowoknya ganteng banget." Jawab Nanda komplit.
" Yang kemarin juga ganteng katanya, aktor Korea."
"Yang mana? Ooh, Lee Seung Gi. beda dong, yang sekarang ini masih muda muda, tuh lihat aja." Nanda menunjuk ke tayangan tv.
"Ngapain, geli nonton cinta cintaan, cari yang berfaedah." Ucap Rafa sambil menyalakan laptop.
"Kakak pikir cinta tidak berfaedah?"tanya Nanda tidak setuju.
"Iya, bikin halu." Ucap Rafa sambil menghela nafas.
"Siapa yang halu?"
"Orang yang cinta cintaan?" Jawab Rafa lagi
"Cinta cintaan sama tembok baru namanya halu. Kalo sama manusia lagi , wajar." Nanda tak mau kalah.
"Nah, buktinya Lo tiap hari nonton drama asia, apa guna? Kalo bukan jadi tukang khayal, pengen punya pacar mirip orang sana." Rafa menatap Nanda yang merubah posisinya menjadi duduk tegak.
"Siapa yang bilang ?"
" Tiap hari Lo ngomongin hal itu di kuping gue."
"Ok deh, aku emang suka menghayal.tapi kenyataan tidak seperti itu kok. Buat jodoh nanti aku pengen yang wajar wajar aja, manusia bumi, seperti kakak misalnya."Nanda memberi kode kepada Rafa untuk yang ke sekian kali.
Hening...
Rafa mulai sibuk mengetik.
Nanda kembali bersandar ke sofa, memeluk bantal, beberapa saat kemudian dia menguap.
"Pulang sana, udah jam berapa ini ? Ngga baik, cewek main ke tempat cowok sampai larut." Ucap Rafa dengan mata fokus ke layar laptop.
" Ngusir ? Kebiasaan."
"Gue mau ngedit foto tadi siang, butuh tenang."
"Ok, aku pulang" Nanda mengambil tas dan berjalan keluar dari rumah Rafa.
"Besok jangan nebeng lagi, sore juga gue ada janji."
Nanda hanya memberi tanda isyarat huruf O, menyatukan ibu jari dan telunjuknya.
***
Nanda melihat Ayahnya masuk ke kamar tamu.Perlahan dia membuka pintu kamar utama, Ibunya sedang duduk menghadap ke arah jendela, membelakanginya.
"Belum tidur, Mah.tumben?"
"Masih belum ngantuk, kamu dari tempat Rafa?"
"Iya, Mamah sudah makan?" Nanda melihat ke arah jam dinding. Pukul sembilan, mungkin saja ibunya belum makan malam.
"Udah tadi"
"Oh, Nanda ke kamar dulu ya"
Ibunya mengangguk.
Nanda melewati kamar tamu tapi kemudian berbalik menuju pintu, ingin bertemu Papa, penasaran juga.
Pintu sedikit terbuka.
Tampak Ayahnya sedang berbaring di tempat tidur.
"Kenapa, Nak ?" tanya Ayahnya melihat Nanda mengintip dari balik pintu.
"Ngga, aku pikir ada sodara, nginep."
"Sudah malam, waktunya istirahat."kata Ayah sambil berbalik ke arah sebaliknya.
***
Nanda tidak bangun kesiangan lagi.Tapi Ia tidak menemukan kedua orang tuanya di meja makan, seperti kebiasaan selama ini.
Ayah sudah berangkat, entah dari jam berapa.
Nanda hanya menemukan ibunya sedang membuat Roti isi, sendirian.
"Mama ngga kerja? Kok belum siap siap?"
"Ambil cuti, mama ada urusan nanti siang."jawab ibunya sambil menata roti di atas piring.
" Kemana? berangkat sendiri?"
Mama mengangguk.
"Pulang dari sana mama cerita sama kamu."
"Janji ?." perasaan Nanda mulai tidak enak.
Mama mengusap kepala putrinya.
"Iya, janji. berangkat sendiri atau bareng Rafa?" tanya mama sambil tersenyum penuh arti.
"Maunya sama Rafa, tapi semalam udah ngomong ,jangan nebeng ya." ucap Nanda cemberut.
"Si Rafa itu ada masalah mungkin matanya, kenapa perempuan secantik ini, belum juga diajak ke pelaminan."
"Pacaran aja ngga mah, belum jadian."
" Kok, gitu sih.?"
Nanda tersenyum masam.Benci dengan kenyataan bahwa Rafa tidak pernah membalas perasaannya.
"Coba kamu cuekin dia, sehari atau dua hari gitu, liat reaksi Rafa." mama memberi saran.
Nanda mengerutkan dahi, tampak berfikir.
"Oke, kalau gitu mulai hari ini ,aku cuekin dia, pasti nyari nyari. Iya kan, Mah?"
"Iya,sayang. Makan dulu rotinya."
***
Hingga Nanda pulang dari kantor, ibunya belum juga pulang.Urusan apa sampai sore begini. Nanda sibuk menerka nerka.
Entah berapa kali ia menghubungi ponsel ibunya.Tidak tersambung.Pesan juga tidak dibaca.
Karena khawatir, Nanda menelpon nomor ayah.
"Halo, Pah. Mama belum pulang.Papa tahu mama kemana?"
Sambungan itu terputus, tanpa ada suara ayah yang terdengar.kemudian muncul pesan dari nomor tidak dikenal.
[Jangan hubungi Mas Hendra lagi sekarang saya istrinya]
Nanda memastikan penglihatannya,dia tidak percaya, tidak mungkin.Pesan itu mungkin hanya candaan.
Pintu depan terbuka, Nanda melihat ibunya datang, dengan penampilan baru.
"Mama dari mana saja?"
Wanita itu tersenyum.
"Bagus tidak rambut mama?"
Nanda mengangguk mengiyakan.
"Mama dari salon, perawatan "
"Dari mana lagi?"tanya Nanda.
"Pengadilan Agama"
Nanda menutup mulutnya.Dia takut salah mengartikan.
"Papamu punya anak lagi, kembar, laki laki semua. Istrinya lebih cantik dari mama."
Nanda memperhatikan Ibunya yang sedang mengemudi.Hari ini mereka berangkat bersama . Semalam juga Nanda tidur di kamar Ibunya. "Aku mau belajar nyetir lagi sampai pro kalau bisa." ucap Nanda melihat ke arah depan yang ramai lancar kendaraan. "Nanti mama temenin, atau diajarin Rafa lagi ?" "Mama aja, ntar aku dibilang modus lagi kalau sama dia." "Emang iya kan ?" Ledek mama. "Kan aku lagi cuekin dia." "Gimana reaksinya?" "B aja." "Ngga ada chat sama sekali?" Nanda menggeleng. "Mungkin aku bukan orang penting di hidupnya." Mobil berhenti di depan kantor tempat Nanda bekerja. "Nanti sore pulang sendiri,kan? Mama ada urusan lagi, sampai sore baru selesai sepertinya." Nanda mengangguk kemudian mencium tangan Ibunya. *** Desi menghampiri Nanda yang masih belum keluar dari kubikelnya padahal
Nanda membuka pintu rumah yang ternyata tidak dikunci. Sepi,seperti rumah kosong tidak berpenghuni.Tidak lama,terdengar suara tangisan,dari kamar utama.Ibunya berbaring di tempat tidur, menghadap ke tembok, punggungnya bergetar.Untuk beberapa saat,Nanda hanya berdiri di balik pintu sambil memegang handle.Dia tidak tahu harus bagaimana bersikap.Hatinya merasa sakit, melihat perempuan yang melahirkan dirinya begitu terluka atas perbuatan lelaki yang dipanggil PAPA di rumah ini."Ma !, Nanda pulang,laper banget, pengen makan." kalimat itu yang keluar dari mulut Nanda.Tidak langsung ada sahutan, mungkin Ibunya sibuk menghapus air mata dulu."Sudah mama siapin, tadi beli sop buntut, kesukaan kamu."Perempuan itu tersenyum, menghampiri Nanda kemudian membenahi rambut anaknya yang sedikit semrawut."Naik ojol? rambut sampe acak acakan.""Dibonceng Rafa, ngebut." jawab Nanda jujur."Siapa yang nyamperin duluan?" tan
Sudah jam dua belas malam.Nanda masih belum bisa tidur.Begitu banyak yang dipikirkan.Isi kepalanya penuh dengan pemikiran mengenai masalah yang sedang dialaminya saat ini.Mengenai perceraian orangtuanya, kenyataan bahwa sekarang ia memiliki dua orang adik, papa yang sudah punya keluarga baru, masalah rumah yang ditempati akan segera dijual.Satu lagi, soal Rafa, setelah begitu banyak waktu yang terbuang.Kenapa lelaki itu baru mengatakan kalau ia sudah punya tunangan?.Nanda ingin teriak, memaki lelaki itu. Rafa bukan pemberi harapan palsu.Dari awal cuma kalimat "Lu tetangga gue, jadi bla bla bla."Tidak ada kalimat romantis atau skinship yang menjurus pernyataan suka atau cinta dari Rafa kepada dirinya."Jadi yang salah siapa?" pikir Nanda, terus mengurai kalimat itu di kepalanya.Dirinya yang tidak tahu malu dan kelewat bego? atau Rafa yang menyembunyikan status pribadinya selama hamp
Apa yang paling berharga dalam hidup?.Akan ada banyak jawaban untuk pertanyaan itu.Bagi Nanda, untuk saat ini, Ibu nya adalah yang paling berharga. Dia takut jika suatu saat Ibunya pergi meninggalkan dia tanpa kata dan kalimat perpisahan.Nanda mengambil kamera yang tersimpan rapi di lemari.Sekian lama benda itu tidak digunakan.Sekarang, Ia ingin mengabadikan setiap momen kebersamaan dengan ibunya."Mau ikut komunitas fotografi lagi ?" tanya Ibu sambil duduk di tempat tidur." Ngga, mau buat iseng aja." jawab Nanda."Katanya mau belajar nyetir lagi? ayo,sekalian hunting foto.""Mama bawa kamera juga?""Pake hape aja."*** Rafa menutup pagar rumah. Seorang wanita cantik berdiri di samping motor hitamnya.Di saat bersamaan, Nanda dan mamanya berada di carport hendak naik ke mobil.Tiba tiba mama memanggil Rafa, tentu saja Nanda kaget bukan kepalang." Mau pergi juga,
Nanda memegang tangan Ibunya.Dia tidak menyangka perempuan yang selalu terlihat sehat dan banyak tersenyum itu ternyata menyimpan rahasia tentang sakitnya seorang diri. Tidak menjalani operasi ataupun kemoterapi.Hanya meminum obat dan vitamin saja. Itu yang tadi dikatakan dokter. "Kapan mama mulai sakit?"tanya batin Nanda. "Sebelum papa mempunyai wanita lain atau sesudah itu Ma?" "Kenapa main rahasia sama aku?padahal mama tahu segala hal tentang duniaku."batin Nanda dipenuhi pertanyaan. Tidak ada jawaban. Meskipun Nanda mengatakan itu dengan mulutnya, tidak akan ada jawaban. Ibunya belum membuka mata sama sekali dari sejak dibawa dari rumah tadi. Nanda mengusap pipi ibunya.kemudian dia berdiri menuju ke luar ruangan setelah pamit sebentar kepada seorang perawat di sana. *** Nanda berjalan hingga ujung lorong dan menemukan tangga untuk naik ke lantai atas.Perempuan itu kemudian duduk di undakan k
Cantik, smart, public speaking yang mumpuni, terkenal di kalangan akademisi, itulah penggambaran untuk sosok perempuan yang sedang menjadi pembicara di dalam aula fakultas pertanian sebuah Universitas Negeri di Bogor.Amaranita, nama perempuan itu.Dia menempuh pendidikan S2 agriculture,setelah menerima beasiswa dari pemerintah Belanda.Rafa menghampiri Amara .Acara sudah selesai tiga puluh menit yang lalu."Bagaimana penampilan aku tadi?" tanya Amara kepada Rafa yang langsung berdiri di samping gadis itu."Good job." Rafa mengusap bahu perempuan yang sudah tiga tahun lebih menjadi kekasihnya.Amara tersenyum."Langsung ke tempat acara yang lain? atau istirahat dulu?" tanya Rafa."Ke hotel dulu, aku mau ganti baju.abis itu makan terus ke tempat seminar .""Ngga cape ?" tanya Rafa, mengingat kekasihnya itu hanya beristirahat satu hari sejak kedatangannya minggu lalu."Mumpung lagi di sini, minggu depan aku harus bali
"Mbak Nanda ada tamu,nunggu di lobby, cowok , ganteng." ucap Nia, office girl ."Siapa ya?""Saya lupa nanya, suruh nelpon ngga diangkat katanya.""Hah."Nanda teringat panggilan dari nomor asing beberapa saat yang lalu.Tidak dia jawab."Terima kasih, Teh .""Sama sama, pacarnya ya?." Nia kepo.Nanda menggeleng."Bukan"Desi yang mendengar dari balik kubikelnya menjadi penasaran."Siapa sih? Rafa?" tanyanya.Nanda mengangkat bahu.Entahlah, sudah berhari hari Rafa tidak kelihatan, sejak pemakaman ibunya."Samperin!, gue temenin." Desi sudah berdiri memegang bahu Nanda.***Pintu lift terbuka, nampak seorang pria memakai stelan jas berwarna biru tua sedang duduk di kursi khusus untuk tamu sambil memegang ponsel.Karena tidak ada orang lain lagi yang duduk di sana, Nanda menghampiri pria yang menurut Nia adalah tamunya."Cari saya ,Mas?."Pria itu mendongak kemudian berd
Rafa menekan tombol hijau di layar ponsel. Satu panggilan dari seseorang yang waktu itu Ia tinggalkan di sebuah kamar hotel. "Apa kabar ?"suara dari si penelpon. "Baik.kamu sendiri ?"jawab Rafa. "Aku sekarang udah di Semarang, di rumah Eyang. Dia nanyain kamu." "Salam buat Eyang." Hening... Rafa melihat layar ponsel, panggilan masih tersambung. "Aku sudah ngomong sama keluargaku.Awalnya mereka marah.bikin malu keluarga katanya.Udah tunangan tapi putus.ngga jadi nikah.kalau kamu gimana ?." "Sama." "Ibu kamu marah ?" tanya Amara. "Iya." "Tolong bilang sama beliau, aku minta maaf." "Untuk ?." "Menolak menikah tahun ini." Hening lagi... "Rafa, terima kasih sudah pernah jadi bagian hidup saya. Oh ya, saya berangkat ke Belanda bareng sama Ananta." "Adik kamu?."tanya Rafa. "Iya, dia ambil profesi