Cantik, smart, public speaking yang mumpuni, terkenal di kalangan akademisi, itulah penggambaran untuk sosok perempuan yang sedang menjadi pembicara di dalam aula fakultas pertanian sebuah Universitas Negeri di Bogor.
Amaranita, nama perempuan itu.Dia menempuh pendidikan S2 agriculture,setelah menerima beasiswa dari pemerintah Belanda.
Rafa menghampiri Amara .Acara sudah selesai tiga puluh menit yang lalu.
"Bagaimana penampilan aku tadi?" tanya Amara kepada Rafa yang langsung berdiri di samping gadis itu.
"Good job." Rafa mengusap bahu perempuan yang sudah tiga tahun lebih menjadi kekasihnya.
Amara tersenyum.
"Langsung ke tempat acara yang lain? atau istirahat dulu?" tanya Rafa.
"Ke hotel dulu, aku mau ganti baju.abis itu makan terus ke tempat seminar ."
"Ngga cape ?" tanya Rafa, mengingat kekasihnya itu hanya beristirahat satu hari sejak kedatangannya minggu lalu.
"Mumpung lagi di sini, minggu depan aku harus bali
"Mbak Nanda ada tamu,nunggu di lobby, cowok , ganteng." ucap Nia, office girl ."Siapa ya?""Saya lupa nanya, suruh nelpon ngga diangkat katanya.""Hah."Nanda teringat panggilan dari nomor asing beberapa saat yang lalu.Tidak dia jawab."Terima kasih, Teh .""Sama sama, pacarnya ya?." Nia kepo.Nanda menggeleng."Bukan"Desi yang mendengar dari balik kubikelnya menjadi penasaran."Siapa sih? Rafa?" tanyanya.Nanda mengangkat bahu.Entahlah, sudah berhari hari Rafa tidak kelihatan, sejak pemakaman ibunya."Samperin!, gue temenin." Desi sudah berdiri memegang bahu Nanda.***Pintu lift terbuka, nampak seorang pria memakai stelan jas berwarna biru tua sedang duduk di kursi khusus untuk tamu sambil memegang ponsel.Karena tidak ada orang lain lagi yang duduk di sana, Nanda menghampiri pria yang menurut Nia adalah tamunya."Cari saya ,Mas?."Pria itu mendongak kemudian berd
Rafa menekan tombol hijau di layar ponsel. Satu panggilan dari seseorang yang waktu itu Ia tinggalkan di sebuah kamar hotel. "Apa kabar ?"suara dari si penelpon. "Baik.kamu sendiri ?"jawab Rafa. "Aku sekarang udah di Semarang, di rumah Eyang. Dia nanyain kamu." "Salam buat Eyang." Hening... Rafa melihat layar ponsel, panggilan masih tersambung. "Aku sudah ngomong sama keluargaku.Awalnya mereka marah.bikin malu keluarga katanya.Udah tunangan tapi putus.ngga jadi nikah.kalau kamu gimana ?." "Sama." "Ibu kamu marah ?" tanya Amara. "Iya." "Tolong bilang sama beliau, aku minta maaf." "Untuk ?." "Menolak menikah tahun ini." Hening lagi... "Rafa, terima kasih sudah pernah jadi bagian hidup saya. Oh ya, saya berangkat ke Belanda bareng sama Ananta." "Adik kamu?."tanya Rafa. "Iya, dia ambil profesi
"Kenapa ngga sekarang aja sih?, besok siapa yang mau bantuin bawa barang ke sana?"tanya Desi sambil melihat ke arah tumpukan dus di belakangnya."Sesuai weton."ucap Arpan asal bunyi."Besok saya bisa, free, tidak ada sidang." ujar Davi sambil melihat ke arah ponselnya."Sekarang aja, mumpung masih sore." Rafa berdiri sambil melihat ke arah jam dinding, jam 5 .Kalau besok dia sibuk sekali, ada sesi foto prewedd pasangan pengantin di daerah Ancol."Tuh, kan. gue pengen jadi orang pertama yang menginjakkan kaki di sana.ayo!." Desi berdiri kemudian menarik tangan Nanda."Langsung aja nih?." Arpan celingukan melihat ke arah dua pria lain di tempat itu."Ya udah, angkutin aja ke mobil.nih kuncinya." Rafa melempar kunci mobil Nanda yang sejak tadi pagi tergeletak di atas meja tamu kepada Arpan.Nanda hanya pasrah melihat semua barang barangnya sudah berpindah ke dalam mobil miliknya dan mobil Davi.Padahal dia berencana pindah hari Se
"Sekarang? ,Do you have someone?" tanya Davi. " No, i don't" jawab Nanda. Rafa menatap Nanda dengan ekspresi yang sulit diartikan kemudian berdiri dan mengambil kunci motor. "Kemana Lo, pulang? " tanya Arpan. Rafa hanya mengangguk. Davi juga berdiri dan mengambil kunci mobil. "Bareng gue, tadi ke sini pake motor Nanda, kan?. " Davi mengajak Rafa ikut bersamanya dan meninggalkan motor di sana. Desi berdehem. Dia mulai mengerti, arah dan tujuan setiap perkataan Davi. "Gue juga pulang kalo gitu, udah jam sebelas, ayo sayang! "ucap Desi kepada Arpan yang masih duduk. " Hati hati, Nan. Di sini mungkin ada setan."Arpan bermaksud menakuti Nanda yang akan ditinggal sendirian. Davi dan Rafa yang sudah akan mencapai pintu kembali berbalik badan, keduanya menatap Nanda. "ELU setannya!, pada pulang sana ,makasih udah bantuin." Rafa yang kelu
Nanda melihat dari arah spion mobil. Motor hitam Rafa mengikutinya dari belakang, sejak mereka keluar dari area kantor Davi.Ketika tiba di parkiran apartemen miliknya, Rafa dan motornya tidak kelihatan lagi.Nanda menghembuskan nafas lega.Untuk sementara perempuan itu terdiam di dalam mobil. Menormalkan detak jantungnya setelah kejadian di studio musik tadi ditambah sosok Rafa yang beberapa saat lalu ada di belakang seolah mengantar dia pulang dan memastikannya selamat sampai apartemen."Ya Tuhan!" seru Nanda saat dia baru saja keluar dan mendapati Rafa berdiri di belakang mobil.Rafa kembali tersenyum seperti tadi .Lelaki itu kemudian mendekati Nanda."Kaget?" tanyanya."Tentu saja, Lo tiba tiba muncul, mirip penampakan" Jawab Nanda.Rafa menghela nafas gusar."Ngga konsisten banget.kadang manggil Kakak, kadang Kamu, sekarang malah jadi LO.""Serah gue dong, ya.""Berarti terserah gue
Rafa mendekat ke arah tiga orang tersebut.Nanda, Davi dan anak perempuan berambut ikal yang sedang memakan es krim. Mereka yang sedang duduk di kursi besi menatap ke arah Rafa yang tinggi menjulang. "Udah beres?" tanya Nanda "Iya"jawab Rafa singkat. "Om siapa?" tanya anak perempuan itu kepada Rafa. "Temen papa, ayo kenalan." Davi yang menjawab. Rafa mengulurkan tangan kanan dan segera disambut oleh anak tersebut yang kemudian turun dari kursi. "Namaku Alisa, anaknya papa Davi, nama Om siapa?" "Rafa." "Om Rafa tinggi sekali, sama Papa tinggian siapa?" "Ngga tahu." Rafa mengusap kepala Alisa. Davi beranjak kemudian berdiri di samping Rafa. "Coba lihat sendiri." Davi berbicara kepada putrinya. "Lebih tinggi Om Rafa."jawab Alisa setelah mengamati kedua pria dewasa di depannya. Suara dering ponsel terdengar. Milik Davi. Sebuah
Seharian ini Rafa melalui hari dengan mood yang anjlok setelah kedatangan ayahnya di pagi tadi.Apa katanya? Meninggalkan dunia fotografi?.Kalau bermain gitar memang sudah sejak dulu Ia menyerah. Tapi hidup tanpa memegang kamera, HAMPA. Umur sudah hampir tiga puluh masih dianggap seperti bocah kemarin sore.Rafa benci kenyataan bahwa dia anak sulung, padahal ada Raga yang walaupun anak kedua, sudah memperlihatkan dedikasinya untuk nama baik keluarga dan perusahaan. Dari sekian perintah ayahnya tadi pagi.Hanya masalah mencari perempuan sebagai calon istri yang menurutnya masuk akal.Apalagi perempuan itu sudah ada di depan mata dan mungkin saja dia adalah jodoh yang dipilih Tuhan untuknya. Rafa menghubungi nomor perempuan itu. ingin bertemu.Supaya hari ini tidak terlalu buruk. Ada bahagia bahagianya. "Lagi ngapain?." Rafa langsung bertanya saat telpon tersambung. "Baru pulang, mau mandi." "Gue ke situ, ya?."
Mobil Pajero hitam yang ditumpangi Nanda melaju kencang di jalan bebas hambatan menuju daerah Bogor. Di samping perempuan itu tampak Davi yang duduk dengan kepala bersandar ke belakang jok mobil. Masih hangover sepertinya.Di depan, seorang pria berpakaian serba hitam tampak fokus mengemudikan mobil.Nanda menarik nafas lalu menghembuskannya dengan perlahan. Untuk mengurangi rasa takut dan tegang yang melandanya.Davi memaksa dirinya ikut ke suatu tempat. Menemui seseorang yang katanya sangat penting dan juga karena orang tersebut sedang sakit.Nanda yang ketakutan, awalnya menolak tapi Davi meyakinkan dirinya bahwa orang tersebut juga sangat ingin bertemu dengannya.Selama puluhan tahun menunggu, untuk bertemu. 'Siapa?'. Nanda penasaran setengah mati.Mobil berhenti di sebuah bangunan semacam vila di daerah Puncak. Nanda melihat Davi masih memejamkan mata.Supir membuka pintu untuk keduanya.Nanda sudah berdiri di depan