Samantha terbangun ketika ada suara pintu diketuk. Dia terheran-heran pada suara ketukan itu karena terkesan terburu-buru serta meminta dirinya untuk segera bergegas. "Ya, sebentar."Dia turun dari ranjang kemudian bercermin di depan kaca cermin berukuran hampir setinggi badan. Dia memastikan jika ikat rambutnya rapih serta gaun yang dikenakan tidak acak-acakan. "Samantha, cepat!" terdengar suara James dari balik pintu. "Ya, ada apa lagi?!" suara Samantha agak meninggi karena James memang membuatnya jengkel. Ketika pintu dibuka, James telah berdiri di depan pintu. Lelaki itu menenteng ransel serta mengenakan topi. "Kita harus pergi?""Malam ini juga?"James mendekatkan telunjuk ke bibir. "Di teras rumah ada serdadu Inggris," seraya menunduk. "Cepat, pakai sepatunya!" Kedua tangan James yang kekar tampak lembut ketika mengenakan sepatu pada kaki Samantha selayaknya seorang ayah mengenakan sepatu untuk anak gadisnya. "Biar aku saja," Samantha pun agak kikuk dengan perlakuan James,
Samantha diajak oleh James dan Iskandar menuju sebuah tempat yang jauh dari keramaian. Gadis itu heran kenapa dia diajak ke tempat demikian. Pada mulanya, gadis itu tidak banyak bertanya. Namun, pikiran yang didera oleh kebingungan mendesaknya untuk banyak bertanya. "Hei, kau berjanji kepadaku untuk membawaku pulang ke Singapura."James mengangguk. Tangannya sibuk menyiapkan perbekalan di atas sampan. "Lantas, kenapa kau membawa aku ke tempat sepi seperti ini?"Iskandar tidak mau ikut dalam perbincangan. Pemuda itu malah menghindar. "Hei, jawab pertanyaanku?"Samantha berkacak pinggang. Dia berdiri tepat di sebuah dermaga kecil yang dibangun sederhana dengan kayu-kayu bakau yang banyak tersedia di sana. "Kita akan ke Singapura." Suara James memang meyakinkan. Pemuda itu menatap Samantha dari atas sampan yang bergoyang-goyang. "Mengendarai ini?"James mengangkat alis. "Iskandar, bisa kau jelaskan!"Iskandar hanya tersenyum. "Oh, Singapura terlampau jauh. Apakah benda ini bisa me
Ketika malam tiba, ternyata rembulan masih bersinar terang sebagaimana malam sebelumnya. Walaupun, benda langit itu tidak lagi bundar sempurna tatkala mata Samantha mendongak ke atas. Tidak ada yang bisa dilakukan dalam keadaan demikian selain memperhatikan alam sekitar. Sekali lagi, gadis itu memperoleh pengalaman baru di tempat yang baru. "Tidakkah sebaiknya kita menyalakan api ... memasak atau apa pun ....""Hei, nyala api bisa mengundang kecurigaan. "Samantha rebahan di atas pasir dengan kepala beralaskan dua telapak tangannya. Sedangkan topi pemberian James diletakkan di dada, benda yang tidak boleh jauh dari jangkauan, karena berbagai alasan."Jika kau agak bosan, bisa berkeliling pulau.""Aku sudah lima kali mengelilingi pulau ini. Terlalu kecil untuk aku ....""Coba lagi. Siapa tahu ada seekor penyu yang tengah bertelur." James asal bicara saja sembari kembali menyalakan sebatang sigaret. Mata Samantha terbelalak. Mendengar jika kemungkinan ada penyu yang bertelur di pulau
Samantha senang karena jemputan yang ditunggu-tunggu telah tiba. Matanya berbinar seperti seorang anak kecil yang memperoleh hadiah ketika hari ulang tahun. Dia melompat-lompat sehingga James pun sedikit gusar dengan tingkahnya. "Hei, jangan senang terlebih dahulu.""Hah, kau tidak yakin jika mereka ...?""Berdoa saja jika mereka mau memberi kita tumpangan dengan ongkos murah."Samantha cemberut ketika mendengar James tidak yakin jika sebuah kapal yang hendak berlabuh memang bersedia untuk memberinya tumpangan. Lambaian tangan dari salah seorang anak buah kapal yang ada di geladak dibalas oleh James. Gadis itu hanya mengikuti saja apa yang dilakukan oleh pemuda di sisinya. "Tunggu kami di sana!" seseorang berteriak dari atas geladak sambil menurunkan jangkar. Tidak lama kemudian, sebuah sekoci diturunkan ke permukaan air. Dua lelaki berpakaian ala warga Batavia tampak mendayung serta mendekati pulau. Hal yang membedakan orang itu dengan kebanyakan orang Melayu adalah ikat kepalanya
Samantha benar-benar tertidur pulas. Bahkan, dia tidak menyadari jika hari telah berganti. Ketika kru kapal tengah sibuk melakukan rutinitas harian maka gadis itu masih terbuai mimpi. Namun, tidurnya yang lelap itu terganggu oleh suara berisik di luar kabin. Mata biru yang dimilikinya, terbuka lebar. Tampak sebuah kabin yang sempit dengan enam tempat tidur. Lima lainnya kosong dan tampak rapih. Hanya sebuah lubang kecil sebagai sumber pencahayaan serta lubang udara. Tidak bisa disebut sebagai jendela yang layak sebagaimana nyamannya tidur di kamar rumahnya. "Oh, ada kapal yang mendekat!" dia bicara sendiri karena mengintip dari lubang kecil itu. Ingin sekali rasanya dia keluar kabin saat itu juga. Namun, terpikir olehnya untuk berganti pakaian serta mengepang rambutnya agar tampak rapih. Ketika dia keluar dari kabin, ternyata sorot matahari lumayan panas. Untungnya, topi laken pemberian James tidak lupa dikenakan. "Ah, Nona. Ternyata kau sudah bangun. Ada sedikit makanan yang kam
Samantha hanya terdiam. Dia tidak ingin banyak bicara. Memang tidak boleh banyak bicara. Di luar, tengah ada percakapan antara Sayyid dan George. Telinganya menangkap cukup jelas apa yang dibicarakan oleh mereka. Suara keras dari sang kapten seakan sengaja untuk memberi tahu orang-orang dalam lambung kapal apa yang tengah dibicarakan. Bau apek dalam ruangan itu mengingatkan Samantha pada peristiwa penyekapan dirinya dalam kapal Liberty. Berhari-hari berlayar, berhari-hari pula dia tidak disinari cahaya matahari. Jika ditahan dalam kegelapan, Samantha cukup sanggup melakukannya. Namun, apabila diharuskan untuk berada dalam suasana penuh ketegangan, dia tidak yakin akan senantiasa sanggup. Walaupun, keadaan demikian tidaklah asing baginya. "Dengar, dia mau menggeledah kapal ini." Samantha berbisik kepada James. "Kita harus bagaimana?"James tidak serta menjawab. Dia tampak berpikir keras. "Nona, sebaiknya Nona tetap bersembunyi di sini. Biarkan saya menghadang mereka andaikan ada yan
Sayyid berusaha untuk tetap bersikap tenang ketika puluhan serdadu melintas kemudian menapaki geladak kapal Ar-Rihlah. Suara sepatu berderap di atas lantai kayu memperjelas jika mereka ingin sekali melumpuhkan awak kapal dagang tersebut. "Tuan Kapten, kita bisa membicarakan perkara ini dengan pikiran yang dingin.""Heiss, diam!" George nyaris saja memukul kepala Sayyid dengan pegangan pistol. "Aku curiga, sejak kemarin, jika kapal ini memang membawa gadis itu.""Gadis yang mana? Tuan ....""Samantha, Samantha, dia pasti ada di sini."Dalam pikiran Sayyid, tidak ada rencana apa pun untuk melawan sepasukan serdadu Inggris itu. Dia hanya berpikir bagaimana caranya agar bisa lolos dari pemeriksaan. Setelah itu, melanjutkan perjalanan hingga sampai di Pelabuhan Singapura. Kali ini, keadaan tidak semulus rencana. George sepertinya mencium gelagat mencurigakan dari kapal berbahan kayu tersebut. Sayyid hanya terpikir untuk pasrah saja serta tidak berbuat hal-hal yang mengundang pertentangan
Samantha berbaring di dalam kabin. Dia hanya sendirian dalam ruang sempit itu. Kegelapan masih menjadi teman setianya. Ketika kapal bergoyang, tubuhnya pun ikut bergoyang. Hanya saja, gadis itu tidak memperdulikan bagaimana kapal bergerak serta ke arah mana kendaraan tersebut melaju. Hal yang tengah dipikirkannya, bagaimana gadis itu harus bersikap. Tempat tidur di kapal layar tidaklah senyaman di rumah pengasingan. Namun, setidaknya di sana dia bisa bebas berbuat tanpa ada yang terus mengawasinya. Ingin sekali Samantha terpejam kemudian bermimpi indah. Setelah itu, dia terbangun di pagi hari. Namun, hal demikian rasanya sulit terjadi karena pikirannya masih dipenuhi kebimbangan. Di tengah kebimbangan itu, Samantha mendengar seseorang berteriak, "Kapten, mereka datang lagi! Kapal orang Inggris itu melaju kencang ke arah kita!"Dinding kayu bisa meredam suara sehingga teriakan dari luar tidak terdengar dengan jelas. Hanya saja, di tengah lautan luas suara teriakan demikian menjadi s