Meskipun itu sumur, namun tidak ada air yang menggenang di dasarnya. Selain takut, Samantha pun heran kenapa tidak ada air di dasar sumur. Mungkin Batavia dan sekitarnya sudah lama tidak diguyur hujan, gadis itu tidak tahu. Dia baru dua malam menginjakkan kaki di sana. "Hei, keluarkan aku!" Suara dari dalam sumur menggaung ketika gadis itu berteriak. Tentu saja tidak ada yang merespon permintaan tolong dari dasar sumur. Ketika mendongak ke mulut sumur, hanya tampak cahaya temaram. Mungkin itu berasal dari lentera yang digunakan oleh petugas ronda yang berdiri di dekat mulut sumur. Ingin rasanya dia menangis sekencang-kencangnya. Namun, hal tersebut ditahan agar tidak terdengar oleh orang-orang di atas sana. Dia hanya terisak, tentu saja air mata tidak bisa dibendung. Frustasi pun hinggap di pikiran. Secara fisik, hanya kakinya yang sakit tetapi jiwanya memang cukup tersiksa. "Aku pernah merasakan sakit yang lebih dari ini." Gadis itu berusaha melawan rasa takutnya. "Aku harus kuat
James mengulurkan tali ke dasar sumur. Berharap Samantha mampu menggunakannya untuk naik ke atas permukaan. "Ayo cepat, sebelum mereka datang!" Pemuda itu percaya jika Samantha sanggup untuk melakukan apa yang dia maksud. Di belakangnya, Iskandar masih berjibaku dengan dua orang centeng. Untungnya, Iskandar mampu menguasai keadaan. Pemuda Melayu itu tidak terlalu membutuhkan bantuan dari James kala harus berkelahi dengan dua orang lawan. Meskipun, sesekali salah seorang penjaga yang ada di sana berusaha menggagalkan rencana James. "Ah, kau jangan mengganggu dia," Iskandar langsung menarik orang itu agar menjauh dari bibir sumur.Hingga akhirnya, Samantha pun sanggup untuk naik ke atas menuju bibir sumur. James menarik nafas panjang. Kemudian memeluk gadis itu. "Oh, akhirnya." James menggenggam tangan Samantha, "ayo kita pergi dari sini!"Dalam beberapa saat, Samantha tidak berkata apa-apa. Dia masih belum sepenuhnya percaya jika James datang untuk menyelamatkannya. "Iskandar, ayo
George mengunjungi pelabuhan Batavia karena diharuskan oleh Kerajaan. Sebagai seorang serdadu Britania, tempat apa pun yang harus dikunjungi sebagai perintah maka pimpinan dia tidak bisa menolak. Hanya saja, tidak semua tujuan menjadi tempat yang menyenangkan."Ah, persetan dengan tugas negara!" Teriakan itu terdengar keluar dari mulut George begitu saja. Orang-orang pun tidak terlalu menghiraukan kelakuan sang kapten. Sudah terlampau sering orang mabuk meracau di kedai. "Mereka tidak tahu jika aku pun menderita!"Keramaian Kedai Pelabuhan ternyata hal biasa sehingga setiap pengunjung tidak malu-malu untuk berbicara bahkan tentang kebencian dirinya kepada banyak hal. Dikarenakan kedai tersebut berlokasi di dekat pelabuhan maka sebagian besar pengunjung adalah pelaut. Mereka datang dari berbagai negeri, termasuk para serdadu Kerajaan Britania Raya. "Aku bertemu hantu laut, namun ternyata mereka hanya segerombolan orang-orang tolol."Mendengar sang kapten mengoceh maka pengunjung lainn
Kapten George tiba di depan rumah seseorang. Tentu saja kedatangan dia berserta anak buahnya tidak disambut dengan ramah. "Ada apa gerangan Tuan berkunjung selarut ini?" seorang prajurit jaga menghadang kuda sembari bertanya. "Oh, maaf jika saya mengganggu waktu istirahat Tuan Oliver, namun ini perkara darurat.""Darurat bagaimana? Perkara apa?"George tidak suka jika seorang prajurit rendahan bertanya hal penting seperti saat itu. "Saya hanya akan menyampaikannya kepada Tuan Oliver.""Tuan Oliver sudah berpesan agar saya menyampaikan sebuah berita apa pun nanti setelah beliau bangun. Kini, Tuan Oliver tengah tertidur. Saya mohon pengertiannya, Tuan Kapten."Kapten George pun turun dari pelana. Suara sepatu lars yang dikenakannya terdengar beradu dengan hamparan batu kerikil di pekarangan meskipun sulit untuk diamati karena pencahayaan tidak menyentuh. Lelaki itu membusungkan dada. Si prajurit jaga nampaknya tahu jika tamu di tengah malam itu tidak bisa diberi pengertian. Temannya
Samantha terbangun ketika ada suara pintu diketuk. Dia terheran-heran pada suara ketukan itu karena terkesan terburu-buru serta meminta dirinya untuk segera bergegas. "Ya, sebentar."Dia turun dari ranjang kemudian bercermin di depan kaca cermin berukuran hampir setinggi badan. Dia memastikan jika ikat rambutnya rapih serta gaun yang dikenakan tidak acak-acakan. "Samantha, cepat!" terdengar suara James dari balik pintu. "Ya, ada apa lagi?!" suara Samantha agak meninggi karena James memang membuatnya jengkel. Ketika pintu dibuka, James telah berdiri di depan pintu. Lelaki itu menenteng ransel serta mengenakan topi. "Kita harus pergi?""Malam ini juga?"James mendekatkan telunjuk ke bibir. "Di teras rumah ada serdadu Inggris," seraya menunduk. "Cepat, pakai sepatunya!" Kedua tangan James yang kekar tampak lembut ketika mengenakan sepatu pada kaki Samantha selayaknya seorang ayah mengenakan sepatu untuk anak gadisnya. "Biar aku saja," Samantha pun agak kikuk dengan perlakuan James,
Samantha diajak oleh James dan Iskandar menuju sebuah tempat yang jauh dari keramaian. Gadis itu heran kenapa dia diajak ke tempat demikian. Pada mulanya, gadis itu tidak banyak bertanya. Namun, pikiran yang didera oleh kebingungan mendesaknya untuk banyak bertanya. "Hei, kau berjanji kepadaku untuk membawaku pulang ke Singapura."James mengangguk. Tangannya sibuk menyiapkan perbekalan di atas sampan. "Lantas, kenapa kau membawa aku ke tempat sepi seperti ini?"Iskandar tidak mau ikut dalam perbincangan. Pemuda itu malah menghindar. "Hei, jawab pertanyaanku?"Samantha berkacak pinggang. Dia berdiri tepat di sebuah dermaga kecil yang dibangun sederhana dengan kayu-kayu bakau yang banyak tersedia di sana. "Kita akan ke Singapura." Suara James memang meyakinkan. Pemuda itu menatap Samantha dari atas sampan yang bergoyang-goyang. "Mengendarai ini?"James mengangkat alis. "Iskandar, bisa kau jelaskan!"Iskandar hanya tersenyum. "Oh, Singapura terlampau jauh. Apakah benda ini bisa me
Ketika malam tiba, ternyata rembulan masih bersinar terang sebagaimana malam sebelumnya. Walaupun, benda langit itu tidak lagi bundar sempurna tatkala mata Samantha mendongak ke atas. Tidak ada yang bisa dilakukan dalam keadaan demikian selain memperhatikan alam sekitar. Sekali lagi, gadis itu memperoleh pengalaman baru di tempat yang baru. "Tidakkah sebaiknya kita menyalakan api ... memasak atau apa pun ....""Hei, nyala api bisa mengundang kecurigaan. "Samantha rebahan di atas pasir dengan kepala beralaskan dua telapak tangannya. Sedangkan topi pemberian James diletakkan di dada, benda yang tidak boleh jauh dari jangkauan, karena berbagai alasan."Jika kau agak bosan, bisa berkeliling pulau.""Aku sudah lima kali mengelilingi pulau ini. Terlalu kecil untuk aku ....""Coba lagi. Siapa tahu ada seekor penyu yang tengah bertelur." James asal bicara saja sembari kembali menyalakan sebatang sigaret. Mata Samantha terbelalak. Mendengar jika kemungkinan ada penyu yang bertelur di pulau
Samantha senang karena jemputan yang ditunggu-tunggu telah tiba. Matanya berbinar seperti seorang anak kecil yang memperoleh hadiah ketika hari ulang tahun. Dia melompat-lompat sehingga James pun sedikit gusar dengan tingkahnya. "Hei, jangan senang terlebih dahulu.""Hah, kau tidak yakin jika mereka ...?""Berdoa saja jika mereka mau memberi kita tumpangan dengan ongkos murah."Samantha cemberut ketika mendengar James tidak yakin jika sebuah kapal yang hendak berlabuh memang bersedia untuk memberinya tumpangan. Lambaian tangan dari salah seorang anak buah kapal yang ada di geladak dibalas oleh James. Gadis itu hanya mengikuti saja apa yang dilakukan oleh pemuda di sisinya. "Tunggu kami di sana!" seseorang berteriak dari atas geladak sambil menurunkan jangkar. Tidak lama kemudian, sebuah sekoci diturunkan ke permukaan air. Dua lelaki berpakaian ala warga Batavia tampak mendayung serta mendekati pulau. Hal yang membedakan orang itu dengan kebanyakan orang Melayu adalah ikat kepalanya
Berbulan-bulan kemudian ...***Samantha dan James kembali melakukan perjalanan ke pedalaman hutan Borneo. Bukan tanpa tujuan, justru mereka ke sana untuk dua tujuan. Kali ini, mereka mempersiapkan banyak hal. Menggunakan tiga perahu yang bisa memuat banyak barang, akhirnya rombongan berhasil mencapai danau sebagai habitat kelelawar raksasa. Tujuan utama dari James, menangkap si makhluk eksotis untuk dijadikan koleksi. Dimana misi sebelumnya mereka gagal membawa pulang hewan liar nan langka tersebut. "Ah, aku tidak menyangka jika akan kembali lagi ke tempat ini," Samantha menghela nafas panjang. Kedua tangannya memegang pinggang sambil meringis. "Sungguh tempat yang membuat aku rindu.""Ya, memang tempat yang mengundang kerinduan." James pun turun dari perahu kemudian menginjakkan kaki di atas tanah berumput. "Tapi, kali ini perjalanan terasa melelahkan dibandingkan pertama kali ke sini.""Karena sekarang kau tengah hamil." James masih tetap bicara ketus sambil menyiapkan senapan y
Sekitar satu tahun kemudian ...***Kala itu, akhir pekan nan ramai oleh orang yang melakukan hal sama. Kota Singapura, menjadi tempat persinggahan bagi Samantha dan James setelah melakukan perjalanan bersama mengelilingi pulau Sumatera. Kini, keduanya kembali menuju kota tersebut karena masih ada Nyonya Edmund sebagai orang tua yang biasa dikunjungi. Kedua sejoli menghabiskan waktu bersama di dalam kota sejak pagi. Selain mengunjungi taman kota, mereka pun sempat singgah di sebuah toko barang serba ada yang menyediakan banyak keperluan. "Nah, ini toko langgananku," James turun dari kereta kuda kemudian berdiri tepat di depan sebuah toko yang dijaga oleh seorang lelaki Cina. "Haia, selamat datang, Tuan." Si Pemilik Toko menyambut mereka dengan ramah. "Apa kabar, Tuan?""Lebih baik, dibandingkan terakhir kali aku datang ke sini."Pemilik toko itu tampaknya tidak terlalu ingat kepada James. Mungkin sudah begitu banyak orang yang datang ke sana serta ingatannya pun mulai buruk sehingg
Dalam benak Samantha, "sudah sejauh ini aku melangkah, maka aku harus menyelesaikannya," ketika Martin menodongkan senapan tepat di belakang lehernya. Hanya memiliki waktu beberapa saat saja untuk menentukan apakah bertarung sampai mati atau menyerah sebagaimana yang diinginkan pihak lawan. Kedua tangan gadis itu diangkat ke atas sambil menatap ke dalam ruangan gelap di bawah kabin. Belum bisa melihat bagaimana keadaan sang ibu, tetapi mendengar suara saja sudah bisa dipastikan jika wanita itu tidak baik-baik saja. "Martin, hentikanlah," terdengar suara parau dari Nyonya Edmund. "Kau boleh mengambil apa yang kau inginkan, tapi lepaskan anakku. Jangan kau sakiti dia."Martin tidak menghiraukan perkataan dari kakak iparnya. "Dia tidak tahu apa-apa."Samantha menantikan bagaimana sang paman bereaksi. Tetapi, bisa diduga jika Nyonya Edmund pun tidak tahu jika sang putri sudah tahu kebusukan pamannya tersebut. "Jika kau menginginkan harta itu, ambillah. Aku tidak membutuhkannya." Nyony
Kapal Orion bergoyang-goyang setelah lubang menganga terbentuk di buritan bagian bawah. Dalam keadaan demikian, mistar layar bergoyang-goyang, membuat Samantha kesulitan menjaga keseimbangan. Ditambah, pinggang sebelah kanan gadis itu terluka. Darah membasahi bajunya sehingga berubah warna menjadi merah. Di buritan, ada seseorang yang siap menembak untuk kedua kalinya. Kali ini, dia bisa mengenali wajah orang itu. "Martin," batin Samantha berusaha memastikan jika orang yang akan membunuhnya adalah pamannya sendiri. Dor!Sekali lagi, suara senapan terdengar. Samantha berhasil mengelak dengan cara menggantungkan tubuhnya seperti seekor kelelawar. Kepala di bawah dengan kaki masih mengapit mistar layar. Tapi, tidak ada peluru yang mengenai tubuhnya. "Terima kasih, James." Bola mata Samantha tertuju kepada James yang merebut senapan dari tangan Martin. Mereka berdua pun terlihat bergumul.Bagi Samantha, dia tidak boleh terlihat kesakitan di mata James. Maka dari itu, rasa sakit pada
Setelah berbagai upaya dilakukan, pada akhirnya kapal Orion berhasil didekati oleh kapal Liberty. Posisi keduanya melaju dalam satu garis sehingga berlayar secara beriringan. Posisi yang tidak ideal untuk menembakkan meriam karena meriam-meriam dipasang di sisi lambung kapal. Dan, untuk menembakkan meriam, kedua kapal harus berada dalam posisi menyamping. Kecuali, meriam didorong hingga terpasang di posisi yang dikehendaki. Namun, itu pun bukan ide yang baik karena akan sangat merugikan. "Ah, mereka tahu kekuatan kapal ini," Samantha menyimpulkan keadaan. "Tentu saja, Nona. Kedua kapal berasal dari galangan yang sama."Kapal Orion tidak memulai untuk menembakkan meriam. Begitupula, kapal Liberty. Alasannya, "jaraknya belum cukup, Kapten." Samantha memberikan perkiraan. Apa yang akan dilakukan oleh Samantha dan para awak kapal Liberty bisa dibilang bentuk kenekatan semata. Cukup jelas terlihat awak kapal musuh sudah siap untuk menembak. Andaikan pihak kapal Liberty memulai seranga
Dalam usia yang masih belia, Samantha memiliki musuh besar. Bukan hanya musuh biasa, gadis itu harus berhadapan dengan seorang pejabat Britania Raya yang memiliki kekuasaan. Orang tersebut masih memiliki pertalian kekerabatan dengannya, Paman Martin. "Jadi, dia pamanmu, Nona?" Kapten Sayyid bertanya demi meyakinkan dirinya sendiri tentang siapa yang tengah dihadapi. "Saya pun pernah mendengar namanya. Dia pejabat di Pontianak.""Ya, betul. Dia menikah dengan adik ibu saya.""Oh, adik ipar yang culas."Samantha tersenyum ketika mendengar komentar dari sang kapten. Gadis itu menoleh kepada Sayyid yang bertindak sebagai jurumudi. Sebuah senyuman ironi tersungging dari bibirnya. Mendengar cerita dari Samantha, sepertinya pria keturunan Arab itu punya alasan untuk terus menatap ke depan demi mengejar kapal Orion yang melaju begitu kencang. "Nona," terdengar Iskandar berteriak dari geladak, "semua sudah siap!" Samantha mengacungkan ibu jari. Iskandar pun kembali masuk ke dalam lambung k
Samantha kesal sekaligus kaget karena dia harus dihadapkan pada situasi yang mengejutkan. Untuk sekian kalinya, gadis itu menghadapi keadaan yang selalu membutuhkan kekuatan mental lebih besar dari keadaan biasanya. Menghadapi seekor buaya, diterkam ikan hiu atau dikurung dalam sumur tua, ternyata belum seberapa jika dibandingkan dengan keadaan saat ini. "Hei, bajingan! Lepaskan ibuku!" Samantha berteriak lantang tatkala dua kapal saling mendekat. Suara orang tertawa terdengar dari kapal Orion. Ketika mendengar orang tertawa itu emosi Samantha semakin memuncak. Tangan kanannya memukul tiang layar untuk melampiaskan kekesalan. Lagi, terdengar suara orang tertawa terbahak-bahak dari atas geladak kapal Orion. "Kenapa kau melakukan ini kepada kami?! Apakah kematian ayahku tidak cukup untuk menyiksa kami?!" Tidak ada jawaban yang jelas atas pertanyaan dari Samantha. "Baiklah, apa maumu?"Orang yang diajak bicara itu ternyata menjawab dengan mantap, "kau pergi dari negeri ini bersama
Samantha berdiri di haluan. Di pinggangnya tergantung pedang panjang menjuntai nyaris menyentuh lantai. Tangan kanannya memegang teropong yang digunakan untuk melihat ke depan. Suatu benda yang terapung di permukaan air laut. "Kau yakin?""Sejujurnya aku belum begitu yakin dengan keputusan yang kita ambil." Samantha menjawab pertanyaan dari James dengan suara pelan. "Aku hanya merasa ....""Tenang saja, kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Bagaimanapun, aku harus bisa melakukan ini demi keselamatan kita semua."Pada akhirnya, Samantha dipercaya untuk menjadi juru runding. Meskipun dia seorang gadis muda yang tidak berpengalaman, namun semua awak kapal yakin jika seorang gadis keturunan Inggris memiliki posisi tawar lebih kuat dibandingkan orang-orang Melayu ataupun orang Arab. Mereka berharap jika kapten kapal Inggris yang akan berpapasan nanti memberi mereka izin untuk terus melaju. "Mereka mendekati kapal kita!" suara Iskandar lantang berteriak dari atas tiang layar. Pemuda itu ta
Samantha menatap lautan luas. Dari kejauhan, tampak beberapa pulau kecil. Bisa diperkirakan jika pulau tersebut tidak berpenghuni. Hanya dijadikan tempat berlabuh sementara bagi para pelaut tatkala ada kendala ketika melaut. "Aku berharap tidak ada lagi kendala atau halangan apa pun yang bisa menghambat perjalanan kita.""Ya, aku selalu berharap demikian," James bicara sembari mengangkat alis sedangkan bibirnya ditarik ke bawah. "Hei, aku serius. Kenapa kau berpikir jika tantangan selalu ada. Apakah menurutmu tantangan selalu menyenangkan?"James menganggukkan kepala. "Terkadang begitu. Aku merasa jika kendala dalam perjalanan menjadi hiburan tersendiri ....""Hiburan? Ah, kau ini terluka sedikit saja sudah banyak mengeluh." Samantha memegang bahu James yang terluka. "Seperti anak kecil.""Hei, sakit!" "Tuh, kan."Awak kapal Liberty seakan enggan turut campur pada mereka berdua. Semua orang mengerti bagaimana rasanya kasmaran. Ketika menyaksikan dua sejoli yang sedang jatuh cinta,