George mengunjungi pelabuhan Batavia karena diharuskan oleh Kerajaan. Sebagai seorang serdadu Britania, tempat apa pun yang harus dikunjungi sebagai perintah maka pimpinan dia tidak bisa menolak. Hanya saja, tidak semua tujuan menjadi tempat yang menyenangkan."Ah, persetan dengan tugas negara!" Teriakan itu terdengar keluar dari mulut George begitu saja. Orang-orang pun tidak terlalu menghiraukan kelakuan sang kapten. Sudah terlampau sering orang mabuk meracau di kedai. "Mereka tidak tahu jika aku pun menderita!"Keramaian Kedai Pelabuhan ternyata hal biasa sehingga setiap pengunjung tidak malu-malu untuk berbicara bahkan tentang kebencian dirinya kepada banyak hal. Dikarenakan kedai tersebut berlokasi di dekat pelabuhan maka sebagian besar pengunjung adalah pelaut. Mereka datang dari berbagai negeri, termasuk para serdadu Kerajaan Britania Raya. "Aku bertemu hantu laut, namun ternyata mereka hanya segerombolan orang-orang tolol."Mendengar sang kapten mengoceh maka pengunjung lainn
Kapten George tiba di depan rumah seseorang. Tentu saja kedatangan dia berserta anak buahnya tidak disambut dengan ramah. "Ada apa gerangan Tuan berkunjung selarut ini?" seorang prajurit jaga menghadang kuda sembari bertanya. "Oh, maaf jika saya mengganggu waktu istirahat Tuan Oliver, namun ini perkara darurat.""Darurat bagaimana? Perkara apa?"George tidak suka jika seorang prajurit rendahan bertanya hal penting seperti saat itu. "Saya hanya akan menyampaikannya kepada Tuan Oliver.""Tuan Oliver sudah berpesan agar saya menyampaikan sebuah berita apa pun nanti setelah beliau bangun. Kini, Tuan Oliver tengah tertidur. Saya mohon pengertiannya, Tuan Kapten."Kapten George pun turun dari pelana. Suara sepatu lars yang dikenakannya terdengar beradu dengan hamparan batu kerikil di pekarangan meskipun sulit untuk diamati karena pencahayaan tidak menyentuh. Lelaki itu membusungkan dada. Si prajurit jaga nampaknya tahu jika tamu di tengah malam itu tidak bisa diberi pengertian. Temannya
Samantha terbangun ketika ada suara pintu diketuk. Dia terheran-heran pada suara ketukan itu karena terkesan terburu-buru serta meminta dirinya untuk segera bergegas. "Ya, sebentar."Dia turun dari ranjang kemudian bercermin di depan kaca cermin berukuran hampir setinggi badan. Dia memastikan jika ikat rambutnya rapih serta gaun yang dikenakan tidak acak-acakan. "Samantha, cepat!" terdengar suara James dari balik pintu. "Ya, ada apa lagi?!" suara Samantha agak meninggi karena James memang membuatnya jengkel. Ketika pintu dibuka, James telah berdiri di depan pintu. Lelaki itu menenteng ransel serta mengenakan topi. "Kita harus pergi?""Malam ini juga?"James mendekatkan telunjuk ke bibir. "Di teras rumah ada serdadu Inggris," seraya menunduk. "Cepat, pakai sepatunya!" Kedua tangan James yang kekar tampak lembut ketika mengenakan sepatu pada kaki Samantha selayaknya seorang ayah mengenakan sepatu untuk anak gadisnya. "Biar aku saja," Samantha pun agak kikuk dengan perlakuan James,
Samantha diajak oleh James dan Iskandar menuju sebuah tempat yang jauh dari keramaian. Gadis itu heran kenapa dia diajak ke tempat demikian. Pada mulanya, gadis itu tidak banyak bertanya. Namun, pikiran yang didera oleh kebingungan mendesaknya untuk banyak bertanya. "Hei, kau berjanji kepadaku untuk membawaku pulang ke Singapura."James mengangguk. Tangannya sibuk menyiapkan perbekalan di atas sampan. "Lantas, kenapa kau membawa aku ke tempat sepi seperti ini?"Iskandar tidak mau ikut dalam perbincangan. Pemuda itu malah menghindar. "Hei, jawab pertanyaanku?"Samantha berkacak pinggang. Dia berdiri tepat di sebuah dermaga kecil yang dibangun sederhana dengan kayu-kayu bakau yang banyak tersedia di sana. "Kita akan ke Singapura." Suara James memang meyakinkan. Pemuda itu menatap Samantha dari atas sampan yang bergoyang-goyang. "Mengendarai ini?"James mengangkat alis. "Iskandar, bisa kau jelaskan!"Iskandar hanya tersenyum. "Oh, Singapura terlampau jauh. Apakah benda ini bisa me
Ketika malam tiba, ternyata rembulan masih bersinar terang sebagaimana malam sebelumnya. Walaupun, benda langit itu tidak lagi bundar sempurna tatkala mata Samantha mendongak ke atas. Tidak ada yang bisa dilakukan dalam keadaan demikian selain memperhatikan alam sekitar. Sekali lagi, gadis itu memperoleh pengalaman baru di tempat yang baru. "Tidakkah sebaiknya kita menyalakan api ... memasak atau apa pun ....""Hei, nyala api bisa mengundang kecurigaan. "Samantha rebahan di atas pasir dengan kepala beralaskan dua telapak tangannya. Sedangkan topi pemberian James diletakkan di dada, benda yang tidak boleh jauh dari jangkauan, karena berbagai alasan."Jika kau agak bosan, bisa berkeliling pulau.""Aku sudah lima kali mengelilingi pulau ini. Terlalu kecil untuk aku ....""Coba lagi. Siapa tahu ada seekor penyu yang tengah bertelur." James asal bicara saja sembari kembali menyalakan sebatang sigaret. Mata Samantha terbelalak. Mendengar jika kemungkinan ada penyu yang bertelur di pulau
Samantha senang karena jemputan yang ditunggu-tunggu telah tiba. Matanya berbinar seperti seorang anak kecil yang memperoleh hadiah ketika hari ulang tahun. Dia melompat-lompat sehingga James pun sedikit gusar dengan tingkahnya. "Hei, jangan senang terlebih dahulu.""Hah, kau tidak yakin jika mereka ...?""Berdoa saja jika mereka mau memberi kita tumpangan dengan ongkos murah."Samantha cemberut ketika mendengar James tidak yakin jika sebuah kapal yang hendak berlabuh memang bersedia untuk memberinya tumpangan. Lambaian tangan dari salah seorang anak buah kapal yang ada di geladak dibalas oleh James. Gadis itu hanya mengikuti saja apa yang dilakukan oleh pemuda di sisinya. "Tunggu kami di sana!" seseorang berteriak dari atas geladak sambil menurunkan jangkar. Tidak lama kemudian, sebuah sekoci diturunkan ke permukaan air. Dua lelaki berpakaian ala warga Batavia tampak mendayung serta mendekati pulau. Hal yang membedakan orang itu dengan kebanyakan orang Melayu adalah ikat kepalanya
Samantha benar-benar tertidur pulas. Bahkan, dia tidak menyadari jika hari telah berganti. Ketika kru kapal tengah sibuk melakukan rutinitas harian maka gadis itu masih terbuai mimpi. Namun, tidurnya yang lelap itu terganggu oleh suara berisik di luar kabin. Mata biru yang dimilikinya, terbuka lebar. Tampak sebuah kabin yang sempit dengan enam tempat tidur. Lima lainnya kosong dan tampak rapih. Hanya sebuah lubang kecil sebagai sumber pencahayaan serta lubang udara. Tidak bisa disebut sebagai jendela yang layak sebagaimana nyamannya tidur di kamar rumahnya. "Oh, ada kapal yang mendekat!" dia bicara sendiri karena mengintip dari lubang kecil itu. Ingin sekali rasanya dia keluar kabin saat itu juga. Namun, terpikir olehnya untuk berganti pakaian serta mengepang rambutnya agar tampak rapih. Ketika dia keluar dari kabin, ternyata sorot matahari lumayan panas. Untungnya, topi laken pemberian James tidak lupa dikenakan. "Ah, Nona. Ternyata kau sudah bangun. Ada sedikit makanan yang kam
Samantha hanya terdiam. Dia tidak ingin banyak bicara. Memang tidak boleh banyak bicara. Di luar, tengah ada percakapan antara Sayyid dan George. Telinganya menangkap cukup jelas apa yang dibicarakan oleh mereka. Suara keras dari sang kapten seakan sengaja untuk memberi tahu orang-orang dalam lambung kapal apa yang tengah dibicarakan. Bau apek dalam ruangan itu mengingatkan Samantha pada peristiwa penyekapan dirinya dalam kapal Liberty. Berhari-hari berlayar, berhari-hari pula dia tidak disinari cahaya matahari. Jika ditahan dalam kegelapan, Samantha cukup sanggup melakukannya. Namun, apabila diharuskan untuk berada dalam suasana penuh ketegangan, dia tidak yakin akan senantiasa sanggup. Walaupun, keadaan demikian tidaklah asing baginya. "Dengar, dia mau menggeledah kapal ini." Samantha berbisik kepada James. "Kita harus bagaimana?"James tidak serta menjawab. Dia tampak berpikir keras. "Nona, sebaiknya Nona tetap bersembunyi di sini. Biarkan saya menghadang mereka andaikan ada yan