"Samantha ... kembalikan pisau itu!" si lelaki petugas keamanan bicara dengan nada tinggi. "Tidak usah macam-macam!"Tangan kanan gadis itu memang memegang pisau dapur yang dimaksud. Ternyata Bi Irah melaporkan kehilangan pisau tersebut kepada lelaki petugas keamanan. "Kawan-kawan!" lelaki itu berteriak, "kemari!"Tidaklah membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan tujuh orang penjaga. Samantha menyiapkan mental andaikan mereka datang. Namun, tetap saja perasaan takut itu datang juga. Bagaimana tidak, penampilan orang-orang itu pun sudah cukup membuat takut. Mereka tampak seragam, berambut panjang hingga menutup telinga serta jambang, kumis dan janggut yang tumbuh lebat. "Mundur ...!" seraya mengacungkan pisau ke arah mereka yang mengepung.Salah seorang diantara mereka tersenyum kecut. Tampaknya meremehkan seorang gadis seperti Samantha. Dia pun berjalan mendekat."Mundur!" Samantha membentak dia yang mencoba mendekat. Sisi mata kiri gadis berambut pirang itu melihat Bi Irah dan As
Meskipun itu sumur, namun tidak ada air yang menggenang di dasarnya. Selain takut, Samantha pun heran kenapa tidak ada air di dasar sumur. Mungkin Batavia dan sekitarnya sudah lama tidak diguyur hujan, gadis itu tidak tahu. Dia baru dua malam menginjakkan kaki di sana. "Hei, keluarkan aku!" Suara dari dalam sumur menggaung ketika gadis itu berteriak. Tentu saja tidak ada yang merespon permintaan tolong dari dasar sumur. Ketika mendongak ke mulut sumur, hanya tampak cahaya temaram. Mungkin itu berasal dari lentera yang digunakan oleh petugas ronda yang berdiri di dekat mulut sumur. Ingin rasanya dia menangis sekencang-kencangnya. Namun, hal tersebut ditahan agar tidak terdengar oleh orang-orang di atas sana. Dia hanya terisak, tentu saja air mata tidak bisa dibendung. Frustasi pun hinggap di pikiran. Secara fisik, hanya kakinya yang sakit tetapi jiwanya memang cukup tersiksa. "Aku pernah merasakan sakit yang lebih dari ini." Gadis itu berusaha melawan rasa takutnya. "Aku harus kuat
James mengulurkan tali ke dasar sumur. Berharap Samantha mampu menggunakannya untuk naik ke atas permukaan. "Ayo cepat, sebelum mereka datang!" Pemuda itu percaya jika Samantha sanggup untuk melakukan apa yang dia maksud. Di belakangnya, Iskandar masih berjibaku dengan dua orang centeng. Untungnya, Iskandar mampu menguasai keadaan. Pemuda Melayu itu tidak terlalu membutuhkan bantuan dari James kala harus berkelahi dengan dua orang lawan. Meskipun, sesekali salah seorang penjaga yang ada di sana berusaha menggagalkan rencana James. "Ah, kau jangan mengganggu dia," Iskandar langsung menarik orang itu agar menjauh dari bibir sumur.Hingga akhirnya, Samantha pun sanggup untuk naik ke atas menuju bibir sumur. James menarik nafas panjang. Kemudian memeluk gadis itu. "Oh, akhirnya." James menggenggam tangan Samantha, "ayo kita pergi dari sini!"Dalam beberapa saat, Samantha tidak berkata apa-apa. Dia masih belum sepenuhnya percaya jika James datang untuk menyelamatkannya. "Iskandar, ayo
George mengunjungi pelabuhan Batavia karena diharuskan oleh Kerajaan. Sebagai seorang serdadu Britania, tempat apa pun yang harus dikunjungi sebagai perintah maka pimpinan dia tidak bisa menolak. Hanya saja, tidak semua tujuan menjadi tempat yang menyenangkan."Ah, persetan dengan tugas negara!" Teriakan itu terdengar keluar dari mulut George begitu saja. Orang-orang pun tidak terlalu menghiraukan kelakuan sang kapten. Sudah terlampau sering orang mabuk meracau di kedai. "Mereka tidak tahu jika aku pun menderita!"Keramaian Kedai Pelabuhan ternyata hal biasa sehingga setiap pengunjung tidak malu-malu untuk berbicara bahkan tentang kebencian dirinya kepada banyak hal. Dikarenakan kedai tersebut berlokasi di dekat pelabuhan maka sebagian besar pengunjung adalah pelaut. Mereka datang dari berbagai negeri, termasuk para serdadu Kerajaan Britania Raya. "Aku bertemu hantu laut, namun ternyata mereka hanya segerombolan orang-orang tolol."Mendengar sang kapten mengoceh maka pengunjung lainn
Kapten George tiba di depan rumah seseorang. Tentu saja kedatangan dia berserta anak buahnya tidak disambut dengan ramah. "Ada apa gerangan Tuan berkunjung selarut ini?" seorang prajurit jaga menghadang kuda sembari bertanya. "Oh, maaf jika saya mengganggu waktu istirahat Tuan Oliver, namun ini perkara darurat.""Darurat bagaimana? Perkara apa?"George tidak suka jika seorang prajurit rendahan bertanya hal penting seperti saat itu. "Saya hanya akan menyampaikannya kepada Tuan Oliver.""Tuan Oliver sudah berpesan agar saya menyampaikan sebuah berita apa pun nanti setelah beliau bangun. Kini, Tuan Oliver tengah tertidur. Saya mohon pengertiannya, Tuan Kapten."Kapten George pun turun dari pelana. Suara sepatu lars yang dikenakannya terdengar beradu dengan hamparan batu kerikil di pekarangan meskipun sulit untuk diamati karena pencahayaan tidak menyentuh. Lelaki itu membusungkan dada. Si prajurit jaga nampaknya tahu jika tamu di tengah malam itu tidak bisa diberi pengertian. Temannya
Samantha terbangun ketika ada suara pintu diketuk. Dia terheran-heran pada suara ketukan itu karena terkesan terburu-buru serta meminta dirinya untuk segera bergegas. "Ya, sebentar."Dia turun dari ranjang kemudian bercermin di depan kaca cermin berukuran hampir setinggi badan. Dia memastikan jika ikat rambutnya rapih serta gaun yang dikenakan tidak acak-acakan. "Samantha, cepat!" terdengar suara James dari balik pintu. "Ya, ada apa lagi?!" suara Samantha agak meninggi karena James memang membuatnya jengkel. Ketika pintu dibuka, James telah berdiri di depan pintu. Lelaki itu menenteng ransel serta mengenakan topi. "Kita harus pergi?""Malam ini juga?"James mendekatkan telunjuk ke bibir. "Di teras rumah ada serdadu Inggris," seraya menunduk. "Cepat, pakai sepatunya!" Kedua tangan James yang kekar tampak lembut ketika mengenakan sepatu pada kaki Samantha selayaknya seorang ayah mengenakan sepatu untuk anak gadisnya. "Biar aku saja," Samantha pun agak kikuk dengan perlakuan James,
Samantha diajak oleh James dan Iskandar menuju sebuah tempat yang jauh dari keramaian. Gadis itu heran kenapa dia diajak ke tempat demikian. Pada mulanya, gadis itu tidak banyak bertanya. Namun, pikiran yang didera oleh kebingungan mendesaknya untuk banyak bertanya. "Hei, kau berjanji kepadaku untuk membawaku pulang ke Singapura."James mengangguk. Tangannya sibuk menyiapkan perbekalan di atas sampan. "Lantas, kenapa kau membawa aku ke tempat sepi seperti ini?"Iskandar tidak mau ikut dalam perbincangan. Pemuda itu malah menghindar. "Hei, jawab pertanyaanku?"Samantha berkacak pinggang. Dia berdiri tepat di sebuah dermaga kecil yang dibangun sederhana dengan kayu-kayu bakau yang banyak tersedia di sana. "Kita akan ke Singapura." Suara James memang meyakinkan. Pemuda itu menatap Samantha dari atas sampan yang bergoyang-goyang. "Mengendarai ini?"James mengangkat alis. "Iskandar, bisa kau jelaskan!"Iskandar hanya tersenyum. "Oh, Singapura terlampau jauh. Apakah benda ini bisa me
Ketika malam tiba, ternyata rembulan masih bersinar terang sebagaimana malam sebelumnya. Walaupun, benda langit itu tidak lagi bundar sempurna tatkala mata Samantha mendongak ke atas. Tidak ada yang bisa dilakukan dalam keadaan demikian selain memperhatikan alam sekitar. Sekali lagi, gadis itu memperoleh pengalaman baru di tempat yang baru. "Tidakkah sebaiknya kita menyalakan api ... memasak atau apa pun ....""Hei, nyala api bisa mengundang kecurigaan. "Samantha rebahan di atas pasir dengan kepala beralaskan dua telapak tangannya. Sedangkan topi pemberian James diletakkan di dada, benda yang tidak boleh jauh dari jangkauan, karena berbagai alasan."Jika kau agak bosan, bisa berkeliling pulau.""Aku sudah lima kali mengelilingi pulau ini. Terlalu kecil untuk aku ....""Coba lagi. Siapa tahu ada seekor penyu yang tengah bertelur." James asal bicara saja sembari kembali menyalakan sebatang sigaret. Mata Samantha terbelalak. Mendengar jika kemungkinan ada penyu yang bertelur di pulau