"Ki, sepertinya kita lolos dari kejaran kapal Inggris?!" Si Cungkring berteriak dari atas tiang kapal. "Kau yakin?" Ki Badra balik berteriak."Saya yakin, Ki. Kapal mereka tidak tampak lagi," seraya menutup matanya dengan teropong. "Bahkan, bendera mereka pun tidak terlihat, Ki.""Ah, baguslah kalau begitu.""Ternyata kapal Inggris pun mudah menyerah."Si Cungkring diperintahkan untuk turun oleh Ki Badra. Tangan kiri pria paruh baya itu memberi tanda kepada anak buahnya untuk segera kembali pada pekerjaannya masing-masing. Tampak sekali kekecewaan di wajah mereka karena pertarungan yang mereka harapkan tidak jadi digelar. "Ah, padahal ingin sekali rasanya aku memenggal leher mereka ...." seorang lelaki bertubuh tinggi memuntahkan kegusarannya. "Tenang, Kapak. Sebentar lagi tenagamu benar-benar akan berguna." Ki Badra menepuk pundak si Kapak yang meletakkan kembali senjata di pundaknya."Benarkah, Ki?""Ya, aku yakin. Aku yakin akan ada kapal dagang yang melintasi perairan ini. Mere
Ki Badra tahu bagaimana cara menyenangkan anak buahnya. Menunjukkan sebuah objek di tengah kegelapan pun ternyata membuat mereka senang. Objek cahaya sebagai titik di tengah kegelapan. "Sebuah kapal dagang penuh muatan," begitulah para anak buah kapal menyimpulkan. "Bagaimana kau yakin?" Si Cungkring seakan mempertanyakan keyakinan teman-temannya. "Kalau bukan kapal, lantas apa?" Si Tampan memukul kepala kawannya yang bertubuh kurus nan tinggi. "Mungkin saja itu hantu laut."Ki Badra membentak Si Cungkring ketika membicarakan hantu laut," hei, aku sudah katakan kau jangan bicara begitu! Tuan Besar tidak senang pada orang yang percaya takhayul.""Maaf, Ki.""Ah, sudah bertahun-tahun Tuan Besar melaut, dia belum pernah menemukan hantu di laut.""Kalau di darat?""Sama saja, tidak ada!"Kelakuan Si Cungkring menjadi bahan tertawaan kawannya. Tidak terkecuali Si Tampan, begitulah Ki Badra menjuluki orang itu. Dia memang tampan jika dibandingkan dengan semua lelaki yang ada di kapal it
Samantha meniti tangga dengan langkah terhuyung. Di bawah kakinya, air laut yang bergelombang kembali menyapa."Hati-hati, jangan sampai jatuh. Bila kau jatuh, seekor hiu bisa saja menerkam dirimu."Samantha menoleh kepada Felix yang berdiri di geladak kapal Angkatan Laut. Lelaki itu berkacak pinggang sembari menyeringai. "Berdo'a saja agar aku tidak tercebur ke laut." Samantha kembali menghadap ke arah seberang. Tangan dan kakinya yang terikat membuatnya kesulitan meniti jembatan kecil yang menghubungkan kapal Angkatan Laut dengan kapal dagang yang lebih besar. Jembatan tersebut lebih cocok disebut titian karena hanya dibuat dari dua papan kayu yang direkatkan oleh palang kayu. "Ah," Samantha sampai di geladak kapal dagang itu dengan hati lebih lega. Meskipun masih banyak pertanyaan di benaknya. Kaki gadis bergaun putih itu menyentuh papan kayu. Dia tidak bisa memastikan bagaimana warna lantai geladak. Tidak cukup penerangan yang ada di sana. Kesan pertama kali yang dirasakan hany
Si Cungkring kaget bukan kepalang ketika puluhan serdadu tiba-tiba saja keluar berhamburan dari lambung kapal. Kelewang di tangannya pun mengajak dia untuk segera bertarung. "Aaaa!" Kaki telanjang Si Cungkring melayang demi menghadang para lelaki berseragam.Buuk!Mereka yang ditendang terjatuh hingga beradu satu sama lain. Tentu saja senantiasa ada perlawanan ketika ada yang menghadang. Pedang berseliweran nyaris melukai wajah. Untungnya, Si Cungkring cukup gesit. Ada yang berhasrat untuk menusuk dada, namun kelewang mampu menangkis pedang panjang. "Ahh!" Ujung pedang nyaris saja menyentuh kulit andaikan lelaki bertubuh kurus tinggi itu tidak mundur ke tepi geladak. Tang!Tang!Suara pedang beradu tanpa tahu jika ketajamannya bisa saja merenggut nyawa. Dari arah yang tak terduga, sebilah pedang melukai kaki, maka Si Cungkring tak mampu menghindar."Arghh!" lelaki itu mengerang kesakitan. ***Di sisi lain, Si Tambun nyaris saja terjatuh ke laut jika saja si Jabrik tidak memegangi
"Ringkus saja dia!" Felix mengoreksi perintah sebelumnya. "Aku ingin tahu bagaimana reaksi Sultan jika melihat mereka."Lelaki itu tetap pada rencana awal untuk menggelandang komplotan perompak ke hadapan Sultan di Pontianak. Dia harus menunjukkan bukti kinerjanya kepada warga di sepanjang garis pantai pulau Kalimantan. Pemerintah yang memberinya tugas tidak boleh dikecewakan. "Bagaimana dengan pemimpinnya?" "Tentu saja dia yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya."Felix menatap ke arah kapal Kalajengking Hitam di sisi kapal dagang. Dia tertawa sembari berkacak pinggang. Tidak ada hal lucu. Lelaki itu hanya merasa puas atas apa yang telah dicapainya. Kapal Kalajengking Hitam yang ditakuti oleh para pelaut di sekitar Laut Jawa ternyata begitu mudah untuk dilumpuhkan. Para perompak yang terkenal sangar itu sudah bisa dikalahkan dalam satu kali serangan. Jebakan yang telah direncanakan oleh Felix mampu mengelabui komplotan perompak. Padahal, sebelumnya sulit sekali komplotan te
Felix merasa senang ketika dia bertemu orang yang dikenalnya. Lelaki itu tertawa ketika masuk ke dalam lambung kapal dagang. Dia menemui Samantha yang disekap semalaman. "Bagaimana kabarmu, Nak?" Felix bertanya sembari membuka penutup wajah tawanannya."Ah, apa maksudmu? Basa-basi.""Kau tahu, suasana hatiku sedang senang hari ini."Samantha tidak peduli. Dia memasang wajah ketus. "Aku merasa jika kabar baik ini harus disampaikan kepadamu.""Aku tidak mau tahu!"Felix kembali tertawa. Suaranya agak menggema dalam ruangan kosong nan luas. "Kapan kau akan melepaskan aku?""Kau harus bersabar." Felix berbalik badan. "Sekarang, sudah saatnya kau sarapan."Felix berjalan pelan meninggalkan Samantha. "Aaaa! Aku menyesal telah menyelamatkanmu! Seharusnya aku biarkan saja kau dimakan hiu!"Felix hanya tertawa ketika kembali diingatkan akan kejadian hiu yang memangsa seorang anak buahnya hingga tewas. Andaikan kala itu si hiu tidak ditusuk matanya oleh Samantha maka mungkin Felix pun akan
Si Tuan Besar mendorong tubuh Felix. Tapi, upaya lelaki paruh baya itu tidak berhasil membuat tubuh jangkung lawannya terjengkang. "Hahaha, aku sudah mengira kau akan marah besar.""Berani-beraninya kau menyentuh gadis itu!" seraya melayangkan tinju, Tuan Besar membentak Letnan Felix. Perkelahian pun terjadi antara keduanya. Pulpen, benda yang semula menjadi awal pertengkaran hanya tergeletak di atas meja. Benda itu berbahan logam warna hitam dengan ujung pena berbahan emas. Terukir dengan huruf kaligrafi bersambung agak miring nama dari pemiliknya: Samantha Anderson. "Aku akan membunuhmu!" si Tuan Besar memiliki alasan kenapa dia marah. "Silakan, jika kau berani?"Felix mundur ke arah dinding sedangkan si Tuan Besar mengambil pulpen di atas meja dengan tangan kanannya. "Aaa!" Pulpen dijadikan senjata untuk menusuk wajah Felix. "Bajingan!"Ujung benda itu memang tajam, bisa dijadikan alat untuk melukai. Karena alasan itu pula si Tuan Besar meraih benda tersebut dari meja kemudian
Samantha merasa heran ketika digelandang keluar dari lambung kapal. Tidak terdengar suara berisik selayaknya sebuah pertempuran pernah terjadi di sana. Ada dua tangan dari orang yang berbeda terasa memegangi kedua lengan gadis itu. Dia tahu jika lantai yang diinjak adalah geladak kapal dagang. Meskipun matanya tidak bisa melihat sekeliling, tapi gadis itu sudah hafal jalan yang dilalui karena pernah melalui tempat itu sebelumnya. Telapak kaki Samantha bisa merasakan betapa lantai kapal terasa licin karena usia kapal itu yang sudah tua. Entah berapa lama kendaraan yang ditumpangi pernah melaut serta diterpa cuaca yang berbeda pada setiap wilayah yang dilaluinya. "Buka penutup wajahnya!" terdengar suara seseorang memberi perintah. Walaupun samar, Samantha bisa menerka jika suara itu keluar dari mulut Letnan Felix. Kain hitam penutup wajah itu pun dibuka. Udara segar terhirup sehingga sedikit melegakan pikiran karena bisa melihat apa yang tengah terjadi di sekelilingnya. Ternyata, bany