James tersadar dari pingsan. Dia hendak berteriak ketika merasakan sakit akibat luka di tubuhnya. Namun, urung dilakukan karena melihat Samantha sedang dalam kesulitan. James tidak ingin perhatian Muhsin teralihkan. Meskipun dia tampak lemah karena terluka, namun ambisinya untuk "memangsa" Samantha masih begitu tinggi. Muhsin naik ke dahan pohon sebagaimana Samantha yang telah mencapai puncak pohon. Mereka berdua tampak seperti seekor kucing hendak memangsa tupai yang enggan turun ke tanah.Pemuda itu masih belum paham bagaimana bisa dia menyembunyikan identitasnya begitu rapih. Tidak ada seorang pun yang menyadarinya jika apa yang dilakukan oleh Muhsin merupakan bagian dari rencana tersembunyi untuk memperoleh "harta curian". Sesuatu yang sama sebagaimana yang diburu oleh komplotan Felix. "Hentikan!"James pun memilih berjalan pelan di genangan air danau yang mulai berubah warna oleh darah. Ketika dia berteriak, tidak ada yang menggubris. "Kau mau uang? Aku akan memberikannya untuk
"Wah, besar sekali ...!" Samantha berujar ketika melihat seekor kelelawar raksasa yang berhasil ditangkap oleh Iskandar. Tampaknya si kelelawar itu pasrah saja ketika di tangkap oleh Iskandar. Tubuhnya yang besar tidak sanggup melawan kemahiran seorang manusia. Ketika dia tergantung di dahan pohon, kelelawar tersebut hanya melongo melihat makhluk asing yang dianggapnya tidak lebih galak dari seekor orang utan.Hanya dengan bantuan sebuah tali dari tumbuhan rambat, Iskandar mengikat mulut besar si kelelawar serta mengingat tangan dan kakinya agar dia tidak mengepakkan sayap. Sebenarnya, hewan itu tidak bersayap. Untuk terbang, kelelawar menggunakan selaput diantara kaki depannya yang lebar. "Satu ekor lagi!" James memberi perintah dari atas sampan. "Cari kelelawar betina!""Harus menangkap sepasang?" Samantha menanyakan sebuah alasan."Hanya pembanding saja. Orang-orang di museum menginginkannya demikian.""Oh, jadi pemilik museum yang menginginkan makhluk ini?""Ya, siapa lagi. Nanti
Samantha memilih untuk merunduk ketika terdengar suara tembakan. Matanya tidak bisa memastikan dengan jelas, siapa penembak yang hampir saja melukai dirinya, Iskandar dan James."Di mana dia?""Entahlah," James pun tidak tahu siapa penembak misterius tadi dan dia mengajak Samantha untuk segera menjauh. Mereka berdua pun mendayung sampan dengan kecepatan maksimal. Arus yang kuat cukup membantu mereka untuk menghindari tembakan susulan. Sampan yang dinaiki oleh Samantha dan James ternyata mampu menyusul sampan yang dikendarai oleh Iskandar yang membawa tong berisi arak dan spesimen kelelawar. Tangan kiri James meraih sampan Iskandar. "Kau baik-baik saja?""Ya, Tuan.""Sepertinya mereka memang mengincar dirimu," James membuat perkiraan. "Mereka menembak tepat dekat kepalamu.""Saya pun berpikir demikian, Tuan.""Kita bertukar tempat. Jika kau di dekat Samantha, mungkin mereka tidak akan mengincar dirimu. Aku yakin mereka tidak ingin Samantha terluka."Samantha tidak ingin menyela atau
Felix menerapkan strategi menunggu ketika harus kembali berhadapan dengan orang yang tengah diburunya. Dia hanya merasa penasaran, apakah Samantha masih hidup atau sudah mati dimakan buaya. "Jangan sampai lepas," Felix mengingatkan kembali anak buahnya, "atau kalian mati!"Para serdadu itu tahu jika kata-kata dari si komandan bukan sekedar gertakan belaka. Lelaki itu benar-benar tidak menginginkan hal lain kala itu. Hanya dua hal yang dipikirkannya, membunuh Samantha dan memperoleh "harta curian" yang digadang-gadang berjumlah sangat banyak. "Mereka menyelam di bawah lambung kapal, Tuan!""Ah, aku tidak peduli di mana mereka! Andaikan dia terbang ke langit, kalian harus mengejarnya!"Felix tahu jika anak buahnya sudah terluka parah. Banyak diantara mereka tampak kesakitan karena menahan rasa sakit. Kepala, tangan atau kaki mereka dibalut perban. Untungnya, kapal Angkatan Laut dilengkapi dengan perbekalan untuk mengobati prajurit yang terluka. Andaikan tidak demikian, mungkin sekali
Sungai bukan hanya tentang air yang mengalir diantara dua tepi. Sungai juga menjadi tempat tempat hidupnya berbagai makhluk Tuhan karena mereka nyaman berada di tempat demikian. Atau, memang diciptakan demikian.Terkecuali, manusia.Manusia bukan makhluk yang diciptakan untuk hidup di sungai. Sebagaimana Samantha yang kesulitan bernafas di dalam air. Dia tidak tahan jika harus terus menyelam agar terbebas dari incaran komplotan Felix. Lama-kelamaan, Samantha mulai merasakan perih di mata. Dia bukan gadis yang terbiasa berenang terlebih di sungai yang dalam dan keruh. Andaikan James tidak memegang tangannya, mungkin dia akan terhanyut karena terlanjur menyerah dan kalah oleh arus bawah yang semakin kuat. "Kapan semua ini akan berakhir?" pertanyaan demikianlah yang timbul dalam benak Samantha. Mungkin James pun memikirkan hal yang sama.Hanya saja, jawaban dari pertanyaan itu bukan datang dari keadaan yang menguntungkan.Jawabannya datang dari situasi yang tak terduga. Dua orang serda
Badra, itulah nama laki-laki itu. Dia bukan orang yang tidak dikenal sama sekali oleh warga di sekitar pesisir pantai sepanjang kerajaan Pontianak hingga Banjarmasin. Sebuah nama yang bisa membuat anak kecil ketakutan jika mendengarnya. Sekaligus nama yang memperoleh perhatian lebih dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris dan Angkatan Laut Kerajaan Belanda di Laut Jawa. Senja itu, dia hanya berdiri saja di geladak. "Bagaimana, Ki, apakah kita akan menghampiri mereka?"Badra menoleh kepada orang yang bertanya. Orang tersebut malah dikeplak kepalanya. "Aduh!" "Hei Cungkring, hentikan kebiasaanmu yang suka memberiku perintah.""Saya hanya bertanya, Ki.""Pertanyaanmu terkesan memberi perintah kepadaku, tolol!"Lelaki yang disebut sebagai si Cungkring itu tampaknya sulit mengerti kenapa Ki Badra marah. Namun, teman-temannya mengerti. Mereka menyuruh si Cungkring untuk diam. "Hei, itu hanya sampan yang kebetulan numpang lewat. Kau pikir, apa yang mereka bawa? Tidak ada barang berharga yan
Ketika Samantha tiba di Pelabuhan Pontianak, ada sesuatu yang membuatnya terheran-heran. Tatapan mata orang-orang di tempat itu, sungguh tajam tertuju kepadanya. Bukan karena rambut gadis itu yang pirang atau kulitnya nan terang, banyak wanita Eropa sepertinya di kota tersebut. Namun, keadaan Samantha yang tampak menyedihkan sungguh menyita perhatian. "Apakah mereka tidak pernah melihat gadis Eropa berantakan sepertiku?" "Sepertinya demikian, Nona." Iskandar pun mengerti akan tatapan tajam para warga. James sejak awal akan mengira demikian makanya dia mengajak Samantha langsung menuju pasar, "nih, topi. Mengganti topi yang hilang."James memakai topi jerami sebagaimana yang dikenakan oleh Samantha. Di pasar itulah mereka bertiga berbelanja banyak keperluan. Pasar di Pontianak tidak jauh dari tepi sungai tempat dimana sampan yang semula dinaiki bersandar. "Terima kasih," Samantha menatap James. "Kau berutang kepadaku,"James bicara ketus."Ya ya ya, aku akan mencatatnya dalam inga
Samantha menyukai kota tempat Tuan Martin ditugaskan sebagai perwakilan pemerintah Inggris di sana. Namun, tidak menyukai sikap pamannya yang cenderung menyalahkan gadis itu untuk mencari sendiri sang ayah hingga ke belantara hutan. "Kenapa Paman tidak menghargai upayaku untuk menemukan Ayah?""Bukan begitu, aku hanya tidak ingin kau mengalami nasib serupa dengan ayahmu.""Tetapi, kenyataannya aku baik-baik saja."Nyonya Martin kurang sependapat dengan pernyataan keponakannya, "Nak, kau tidak baik-baik saja. Nyawamu nyaris melayang."Perbincangan malam itu menjadi perbincangan yang tidak hangat selayaknya keluarga yang telah lama tidak berjumpa. Samantha bersitegang dengan Paman Martin. Dalam keadaan demikian, sang bibi tampak kebingungan harus memihak kepada siapa. Satu sisi dia harus mendukung suaminya untuk meyakinkan Samantha jika apa yang dilakukannya memang berbahaya. Namun, di sisi lain Nyonya Martin mencoba bersimpati kepada keponakannya yang kehilangan sang ayah. "Apakah Pam