Jika tiga anak buah Letnan Felix telah lumpuh, maka hanya tersisa dua belas prajurit yang melindungi dirinya. Mereka membentuk formasi melingkar dimana si Komandan berada di tengah. Masih bermodalkan dua lentera yang menyala, para serdadu itu berusaha mencari seseorang yang menyerang mereka di tengah kegelapan hutan."Perhatikan, di dahan pohon atau di bawah air!" Perintah dari Letnan Felix cukup jelas dan mudah diterjemahkan dalam tindakan oleh sisa serdadu yang ada. Mereka bukan pemburu namun diharuskan berpikir seperti seorang pemburu yang siap menembak mangsanya. "Berjalan perlahan, terus perhatikan sekitar!"Formasi melingkar itu bergerak ke arah depan. Sebagian berjalan mundur mengikuti rekannya yang memandu arah. "Berhenti!"Temaram cahaya tidak cukup menegaskan siapa atau apa yang ada. Jika sinar lampu petromak tidak sanggup menjangkau maka hanya siluet yang tampak. Begitupula monyet-monyet yang merasa terganggu dengan kehadiran manusia terlihat bergerak-gerak. Siluet merek
Samantha benar-benar sendiri. Kembali sendiri. Hutan hujan Borneo yang lebat bisa saja membuatnya tersesat. Tidak ada Faisal yang bisa menunjukkan arah. Tidak tampak bintang di langit malam untuk menunjukkan di mana utara, selatan, timur atau pun barat. Gadis itu benar-benar kebingungan. Entah berapa jam dia berlari. Kakinya terasa sakit karena lelah melangkah. Dirinya semakin menjauh dari tempat perkelahian dia dengan gerombolan serdadu pimpinan Letnan Felix. Bukan hanya ingin menjauh dari bahaya, namun dia juga ingin sekali menghindari kemelut yang menimpa dirinya. Jika sebelumnya dia bersama Faisal, maka kini hanya Samantha yang menanggung sendiri beban. Baginya, kini hanya Tuhan yang menjadi pengharapan. "Ya, Tuhan. Lindungi hamba, hamba mohon," begitulah ucapnya dengan lirih. Samantha merenungkan alasan kenapa dia bisa terdampar hingga jauh ke tempat yang tidak dikenalinya. Bahkan sempat terbersit perasaan menyesal karena tidak mendengarkan perkataan ibunya. Kala itu, sang ib
Lelaki itu bertubuh sedang saja, tidak terlalu tinggi ataupun terlalu pendek. Ketika air merendam tubuhnya, dia tidak tampak tenggelam. Masih tampak perut dan dadanya di permukaan, begitu pun kedua tangannya yang memegang senapan. Meskipun baju warna putih kusam yang dikenakan tampak basah. Hanya topi laken cokelat berbahan kulit lembu yang masih kering karena tidak ada jalan bagi air untuk meresap. "Tuan James, bisakah kita berhenti sebentar?""Untuk apa?" James bertanya kepada Iskandar yang kesusahan berjalan di rawa. "Kakimu terbenam ke dalam lumpur?""Ya.""Paksakan untuk bergerak. Bila tidak, kau bisa diterkam buaya."James berjalan paling depan. Diikuti oleh Muhsin serta Iskandar. Mereka bertiga bermaksud mencari Faisal dan Samantha yang tidak kunjung tiba. Menyusuri hutan rawa yang rapat oleh pepohonan bukanlah sesuatu yang menyulitkan. Justru, bahaya akan hewan buas seperti buaya menjadi kekhawatiran mereka. Dan, tentu saja komplotan Letnan Felix yang bisa saja muncul tiba-tib
Samantha tegang ketika mendapati seekor buaya ada tepat di bawah kakinya. Benar-benar sebuah pengalaman baru bagi gadis itu. Bukan hanya melihat reptil itu melintas, tetapi dia berenang-renang mengelilingi batang pohon yang terendam. Sepertinya dia tahu jika ada mangsa yang bisa mengenyangkan perut tengah ketakutan di atas pohon.Buaya itu hanya butuh kesabaran agar bisa menikmati daging manusia yang langka."Hei, pergi dari sini!" Samantha bukan bermaksud mengusir. Dia hanya berusaha mengurangi ketakutannya. Tentu saja buaya itu tidak akan menggubrisnya. Makhluk tersebut berenang dengan tenang. Namun, tidak serta merta membuat Samantha lebih tenang. Kedua mata si buaya terbuka dengan bola mata yang mengarah kepada si gadis berambut pirang. Baru kali ini dia melihat buaya sebesar itu. Walaupun bukan pertama kali dia melihat buaya. Hanya saja, kala itu dia melihat buaya yang sudah mati. Itu pun karena penduduk mengarak reptil raksasa tersebut seperti mengarak pengantin. Pernah suatu
Samantha benar-benar panik. Dia tidak bisa melepaskan gigitan yang mencengkram kaki. Andaikan tidak ada sepatu yang melindungi, mungkin pergelangan kakinya akan putus saat itu juga. Dia ditarik hingga tenggelam ke dalam air. Pandangan Samantha kabur untuk sementara. Keberuntungan masih ada di pihaknya. Ah, selalu ada sisi "keberuntungan" meskipun berada dalam masa kesulitan. Bahkan, ketika garis kematian tidak lebih lebar dari garis kehidupan. Tuhan masih menyayanginya. Itu pula yang terbersit dalam pikiran Samantha. Ketika nama Tuhan selalu ada dalam ingatan, maka dia pun masih memiliki alasan untuk tidak mengingkari karunianya."Ya, Tuhan!"Si buaya tidak mau menunda lagi hasratnya untuk segera membunuh si mangsa. Tubuh Samantha diombang-ambing seperti sebuah boneka yang dimainkan gadis itu ketika masih kecil. Tubuh Samantha berputar di udara. Berkali-kali. Arena pergulatan hewan dan manusia itu mendadak jadi sangat keruh. Lumpur terangkat ke permukaan karena ekor si buaya menya
"Mari kita pergi dari tempat terkutuk ini," James berbisik kepada Samantha.Gadis itu mengangguk setuju. Matanya masih memandangi James seakan tidak percaya jika pemuda itu menemukannya. "Ayo, pegi." James meraih tangan Samantha. "Mau sampai kapan kau memandangiku seperti itu?"Samantha hanya tersenyum tipis. Senja bercampur naungan pohon yang lebat menambah kegelapan petang itu. Hujan yang semakin deras malah membuat kegelapan menjadi. Sesekali kilatan cahaya petir menerangi langit serta menampakkan keadaan hutan dengan dedaunan yang bergoyang diterpa angin. "Di mana Faisal?"Samantha menggelengkan kepala."Ah, sudah aku duga."Samantha tidak mau bercerita lebih tentang Faisal. Hal yang ingin dia capai saat itu kembali ke kapal Bintang Timur. Berkumpul bersama orang-orang yang ternyata dirindukan oleh gadis itu.Mereka berdua tidak memegang lentera atau benda apa pun yang bisa membantu menerangi jalan di depannya. Hal yang bisa dirasakan hanyalah arus air yang terus menerpa tubuh.
"Apakah hari ini kita akan menemukan kelelawar raksasa yang kau maksud, Tuan James?" "Aha, kenapa jadi kau yang terlihat bersemangat, Nona?" James menyaksikan Samantha kembali mengenakan stelan berpetualangnya. "Bukankah seharusnya memang demikian?"Pagi yang cerah membuat orang-orang menjadi lebih bersemangat. Mereka yang semula bersedih, tidak bisa terus memelihara kesedihannya. Bukan bermaksud melupakan kesedihan itu, tetapi waktu jualah yang memaksa mereka untuk mengganti kesedihan dengan sebuah dorongan untuk berbuat sesuatu. Menjalankan rencana yang telah disusun, sembari berharap keberhasilan akan diperoleh. "Masih jauhkah tujuan kita?" Samantha bertanya kepada Kapten Muhsin yang memegang kemudi. "Cukup jauh." "Selama perjalanan, apa yang bisa saya lakukan, Tuan?" Samantha meminta tugas untuk dikerjakan."Obati kakimu. Dan duduk di geladak.""Tuan ... saya bisa mati karena bosan.""Ini perintah, ingat di atas kapal, saya yang memimpin."Samantha hanya mengangguk pelan. Mata
Perkelahian di atas kapal merupakan pengalaman pertama bagi Samantha. Takut, benci, dendam menjadi perasaan yang bercampur aduk ketika harus dihadapkan pada keadaan yang tidak bisa dihindarinya. Ketika kapal para tentara itu semakin dekat, perasaan sebagaimana menghadapi seekor buaya tempo hari muncul kembali. Perkiraan Samantha ternyata benar. Kapal musuh belum siap untuk menembakkan meriam. Mereka tidak berani menembak karena kapal lawan terlalu dekat. Andaikan satu kapal meledak maka beresiko meledakkan kapal lainnya. Drkkk!Sebuah dayung dijadikan alat untuk menahan lambung kapal bertabrakan. Iskandar ditugaskan untuk melakukannya sekaligus menjadi cara untuk meniti menuju kapal musuh. Lukman menjadi orang yang pertama kali menerjang ke arah geladak kapal musuh. Pemuda itu menggila dengan tombak di tangannya. Dia tidak memberi ruang bagi para serdadu itu untuk bersiap menembak. "Serang!" teriakan Muhsin memperjelas apa yang mesti dilakukan.Samantha memperoleh tugas yang pentin