"Hari sudah gelap, sebaiknya kita berkemah di sini," Letnan Felix memilih duduk di akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah. "Biarkan dia memikirkan akibat dari kelakuannya sendiri."Samantha yang meringkuk di bawah batang pohon menatap kepada si komandan regu. "Padahal, seharusnya kau diam di rumah. Menunggu ayahmu pulang. Namun, kau malah memperkeruh keadaan.""Memperkeruh?"Letnan Felix mengangkat alis."Aku ingin ayahku kembali.""Ahh, kau belum cukup umur untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Samantha terheran-heran."Penculikan ayahmu, bukan hanya tentang menculik seorang lelaki tua tak berguna.""Aku tahu itu.""Lantas, kenapa kau tidak bisa bersabar ....""Bersabar? Sudah sebulan lebih ayahku pergi. Bagaimana bisa aku bersabar!""Tapi, kau bisa menghubungiku orang yang tepat, bukan mencarinya sendiri!""Aku pun bermaksud begitu. Aku berencana pergi ke Pontianak. Tetapi, badai membawaku ke tempat seperti ini ...."Letnan Felix menghela nafas. "Sebenarnya, apa yang t
Samantha tidak bisa tidur. Memang tidak berniat untuk tertidur. Terlebih, dia mendengar seseorang berteriak dari arah belakang Letnan Felix. Bertepatan di seberang api unggun, Samantha tidak bisa melihat jelas siapa yang berteriak. Matanya tidak sanggup memandangi hutan yang gelap karena cahaya api unggun tidak sanggup menggapai sumber suara.Sontak, semua prajurit berlari ke sumber suara.Kecuali, dua orang yang diberi tugas menjaga Samantha sebagai tawanan."Hei Nona, jangan berpikir untuk melarikan diri," si prajurit penjaga tampaknya punya firasat buruk."Bila kau kabur, jangan salahkan kami jika bersikap tidak sopan." Temannya menatap Samantha dengan mata menyala. "Ya, komandan memerintahkan kami untuk sopan kepadamu. Itu pun kalau dirimu bisa diajak kerjasama."Mata menyala dalam arti sesungguhnya. Cahaya api unggun yang berkobar memantul di lensa mata lelaki berkulit gelap itu. Tentu saja sang gadis tidak bisa menatap balik. Samantha tahu jika gerak matanya sedang diperhatika
Letnan Felix benar-benar murka. "Kejar mereka!"Lelaki itu menendang gundukan bara api unggun yang tercecer. Bara itu seketika berubah menjadi abu ketika tersentuh oleh sepatu but. Dia berniat menggunakan kaki kirinya untuk melakukan hal yang sama, namun itu urung dilakukan. Cahaya api unggun menunjukkan sesuatu yang dianggap berharga bagi Felix. "Aha, ternyata benda ini ada gunanya," seraya merunduk kemudian meraih sebuah pulpen yang tergeletak bersama dengan kantung uang dan pisau belati. "Dia lupa tidak membawa barang miliknya. Nona, kau terburu-buru ingin pergi."Pria berseragam warna khaki itu tertawa sendiri. Untungnya tidak ada anak buahnya yang memperhatian. Jika dilihat, orang akan mengira jika dia sudah gila. Sungguh aneh, ketika kegagalan menghampiri dia malah tertawa. Orang juga akan sulit menerka alasan dia tertawa apalagi binatang liar yang ada di sana. Dia memperhatikan ke sekelilingnya. Berpikir keras. "Bagaimana?" lelaki itu berjalan ke arah para prajurit yang seda
"Faisal," Samantha berhenti melangkah."Ayo, Nona. Mereka tidak berhenti mengejar kita.""Terima kasih," Samantha memegang pundak Faisal."Aiss, sekarang bukan waktunya bicara demikian."Faisal menatap gadis itu. Samantha menggelengkan kepala. "Aku sudah tidak sanggup lagi.""Mereka akan menangkapmu ....""Biar saja. Toh, mereka tidak akan membunuhku.""Kami tidak yakin dengan hal itu.""Dia membutuhkan aku untuk menemui ayahku.""Setelah itu? Setelah mereka tidak membutuhkanmu, apakah mereka akan tetap membiarkanmu hidup?"Samantha berpikir ulang tentang janji Letnan Felix yang tidak akan membunuhnya. "Benar juga apa katamu.""Ayolah, Tuan Muhsin sudah mengangkatmu menjadi anak buahnya. Dia merasa bertanggungjawab akan keselamatanmu. Jadi, biarkan saya menyelesaikan tugas. Menjemputmu dan kembali ke kapal Bintang Timur."Hutan itu benar-benar gelap. Mereka berdua tidak sanggup menentukan arah pulang. Terlebih, langit tertutup awan sehinggga tidak ada bintang yang bisa dijadikan petun
Jika tiga anak buah Letnan Felix telah lumpuh, maka hanya tersisa dua belas prajurit yang melindungi dirinya. Mereka membentuk formasi melingkar dimana si Komandan berada di tengah. Masih bermodalkan dua lentera yang menyala, para serdadu itu berusaha mencari seseorang yang menyerang mereka di tengah kegelapan hutan."Perhatikan, di dahan pohon atau di bawah air!" Perintah dari Letnan Felix cukup jelas dan mudah diterjemahkan dalam tindakan oleh sisa serdadu yang ada. Mereka bukan pemburu namun diharuskan berpikir seperti seorang pemburu yang siap menembak mangsanya. "Berjalan perlahan, terus perhatikan sekitar!"Formasi melingkar itu bergerak ke arah depan. Sebagian berjalan mundur mengikuti rekannya yang memandu arah. "Berhenti!"Temaram cahaya tidak cukup menegaskan siapa atau apa yang ada. Jika sinar lampu petromak tidak sanggup menjangkau maka hanya siluet yang tampak. Begitupula monyet-monyet yang merasa terganggu dengan kehadiran manusia terlihat bergerak-gerak. Siluet merek
Samantha benar-benar sendiri. Kembali sendiri. Hutan hujan Borneo yang lebat bisa saja membuatnya tersesat. Tidak ada Faisal yang bisa menunjukkan arah. Tidak tampak bintang di langit malam untuk menunjukkan di mana utara, selatan, timur atau pun barat. Gadis itu benar-benar kebingungan. Entah berapa jam dia berlari. Kakinya terasa sakit karena lelah melangkah. Dirinya semakin menjauh dari tempat perkelahian dia dengan gerombolan serdadu pimpinan Letnan Felix. Bukan hanya ingin menjauh dari bahaya, namun dia juga ingin sekali menghindari kemelut yang menimpa dirinya. Jika sebelumnya dia bersama Faisal, maka kini hanya Samantha yang menanggung sendiri beban. Baginya, kini hanya Tuhan yang menjadi pengharapan. "Ya, Tuhan. Lindungi hamba, hamba mohon," begitulah ucapnya dengan lirih. Samantha merenungkan alasan kenapa dia bisa terdampar hingga jauh ke tempat yang tidak dikenalinya. Bahkan sempat terbersit perasaan menyesal karena tidak mendengarkan perkataan ibunya. Kala itu, sang ib
Lelaki itu bertubuh sedang saja, tidak terlalu tinggi ataupun terlalu pendek. Ketika air merendam tubuhnya, dia tidak tampak tenggelam. Masih tampak perut dan dadanya di permukaan, begitu pun kedua tangannya yang memegang senapan. Meskipun baju warna putih kusam yang dikenakan tampak basah. Hanya topi laken cokelat berbahan kulit lembu yang masih kering karena tidak ada jalan bagi air untuk meresap. "Tuan James, bisakah kita berhenti sebentar?""Untuk apa?" James bertanya kepada Iskandar yang kesusahan berjalan di rawa. "Kakimu terbenam ke dalam lumpur?""Ya.""Paksakan untuk bergerak. Bila tidak, kau bisa diterkam buaya."James berjalan paling depan. Diikuti oleh Muhsin serta Iskandar. Mereka bertiga bermaksud mencari Faisal dan Samantha yang tidak kunjung tiba. Menyusuri hutan rawa yang rapat oleh pepohonan bukanlah sesuatu yang menyulitkan. Justru, bahaya akan hewan buas seperti buaya menjadi kekhawatiran mereka. Dan, tentu saja komplotan Letnan Felix yang bisa saja muncul tiba-tib
Samantha tegang ketika mendapati seekor buaya ada tepat di bawah kakinya. Benar-benar sebuah pengalaman baru bagi gadis itu. Bukan hanya melihat reptil itu melintas, tetapi dia berenang-renang mengelilingi batang pohon yang terendam. Sepertinya dia tahu jika ada mangsa yang bisa mengenyangkan perut tengah ketakutan di atas pohon.Buaya itu hanya butuh kesabaran agar bisa menikmati daging manusia yang langka."Hei, pergi dari sini!" Samantha bukan bermaksud mengusir. Dia hanya berusaha mengurangi ketakutannya. Tentu saja buaya itu tidak akan menggubrisnya. Makhluk tersebut berenang dengan tenang. Namun, tidak serta merta membuat Samantha lebih tenang. Kedua mata si buaya terbuka dengan bola mata yang mengarah kepada si gadis berambut pirang. Baru kali ini dia melihat buaya sebesar itu. Walaupun bukan pertama kali dia melihat buaya. Hanya saja, kala itu dia melihat buaya yang sudah mati. Itu pun karena penduduk mengarak reptil raksasa tersebut seperti mengarak pengantin. Pernah suatu