Kamar itu berantakan tak berbentuk. Pakaian yang berserak, kantung bekas cemilan yang tergeletak di lantai, juga laptop yang masih menyala dengan suara khas bahasa Korea. Namun si empunya masih tertidur pulas dengan tangan terlentang di atas tempat tidur.
“Nayla... "
"NAYLAAA!!”
Suara teriakan itu seakan tidak bisa menyentuh gendang telinga gadis itu. Ini akibat kebiasaannya yang suka begadang untuk menonton drama Korea favoritnya, padahal hari ini adalah hari pertama Nayla masuk sekolah SMA barunya. Nayla Anastasya Susanto murid pindahan dari Bandung.
Mereka memang sering berpindah-pindah kota karena pekerjaan ayahnya, dan kali ini mereka menetap di Jakarta.
Dan kini alarm ponsel-nya setia berbunyi. Sambil bermalas-malasan Nayla meraba tangannya mendapatkan ponselnya, 6.30
Cewek itu melompat dari tempat tidur, buru-buru ke kamar mandi, dan melakukan ritualnya. Cuci muka dan gosok gigi, kebiasaan kalau bangun kesiangan. "Oh my Gosh, bisa malu gue anak baru telat." Runtuk Nayla dengan suara melengkingnya. Setelah menyisir rambut di depan kaca, menyemprot minyak wangi, mengoles liptin ke bibirnya. Walaupun nggak mandi harus tetap on dan terlihat cantik. Cewek itu menarik tasnya lalu menuruni tangga menuju ke meja makan, dan langsung mengambil sandwich di piring.
“Kamu mandi kan, La?” Nayla nyengir kuda menunjukan serentetan gigi putihnya mendengar ucapan ibunya. Sudah bisa ditebak.
"Nggak ada waktu keburu telat."
"Mama sudah teriak-teriak dari tadi, kamunya aja yang susah bangun. Anak gadis kok bangun kesiangan terus."
"Nayla udah bangun, tapi matanya aja yang susah dibuka.” Nayla membela diri. "Nayla berangkat naik apa, Maa? Ka Bagas belum bangun." Nayla terburu-buru mengunyah sandwich tanpa berhenti.
"Mama udah pesenin ojek, nanti pulangnya mama suruh Bagas jemput." Wanita paruh baya itu menyodorkan segelas susu putih pada Nayla. Seperti untuk anak kecil berumur 5 tahun.
Cewek itu mengangguk lalu meneguk segelas susu sekaligus. Biasanya kemanapun Nayla pergi termasuk ke sekolah selalu diantar oleh ayahnya atau Bagas. Mereka menganggap Nayla masih anak kecil yang masih perlu pengawasan. Dua hari yang lalu mereka pindah, dan menghabiskan waktu untuk bersih-bersih rumah. Mungkin kelelahan ayah dan Bagas belum bangun. Sedangkan Nayla sebelum pindah memang sudah didaftarkan sekolah oleh ayahnya
Belum habis sarapannya, ojek pesanan sudah sampai. Nayla berlari kecil ke luar sambil menenteng tasnya, tidak lupa sebelum pergi Nayla mencium tangan ibunya.
* Nayla *
Motor ojek berhenti di depan gerbang sekolah. Dia terlambat, beruntung Bapak satpamnya baik. Nayla diizinkan masuk walaupun gerbangnya sudah ditutup. Alasannya karena Nayla anak baru. Setelah dia melapor ke ruang guru Nayla di bawa seorang guru menuju kelas barunya.
"Perkenalkan nama saya Nayla Anastasya Susanto.”
Mendengar itu murid di kelas jadi ribut. Ada yang bertanya, bersiul, memanggil dan melambaikan tangan. Tidak heran kebanyakan laki-laki di kelas menggodanya. Nayla termasuk gadis yang manis tidak bosan dipandang. Bibirnya tidak pernah lupa selalu dipoles liptint warna bibi, jadi terlihat merona. Rambut berwarna hitam berkilau sepanjang punggung itu dibiarkan terurai.
"Sudah, sudah jangan ribut nanti kelas lain terganggu. Nayla kamu duduk di kursi yang kosong." Bu guru menunjukkan barisan sebelah kanan.
Terlihat kursi kosong di baris kedua sebelah kanan, di sampingnya sudah ada gadis seusianya yang tersenyum.
Jam pelajaran pun di mulai kericuhan di kelas akhirnya terhenti. Awalnya Nayla terlihat bingung dengan pelajaran yang di terangkan. Dia belum tahu jadwal pelajaran. Cewek itu hanya melirik kanan-kiri memperhatikan semua mahluk yang akan menjadi sebangsanya. Hari ini dia nggak mau terlalu fokus belajar.
Bosan memperhatikan wajah-wajah sekitarnya, Nayla mencoret-coret kertas putih dengan pensil 2B. Cewek itu suka menggambar, hasil gambarannya lumayan tapi selalu mendapat kritikan Bagas. Di sekolah lama Nayla nggak terlalu menonjol, termasuk murid biasa-biasa saja. Nggak ikut geng-gengan, bukan juga murid berprestasi yang membuatnya terkenal.
"Beka,” gadis di samping Nayla memperkenalkan diri. Cewek itu menoleh dan tersenyum, hampir lupa kenalan.
"Hai, gue Tina," dari belakang seorang gadis ikut menyapa dengan senyum manis. Nayla menyambut kedua teman barunya itu dengan ramah.
“Senang bisa kenalan dengan kalian,” ucap Nayla tersenyum. "Panggil Nayla aja "
“Gue Erick, ngomong-ngomong lo udah punya cowok belum?” Erick si rambut brekele ikutan nimbrung.
“Enggak ada yang mau kenal lo brekele, pergi sana! Jangan diladenin La, orang secantik kita jangan mau digodaiin alien kaya dia.” Beca mendorong bahu Erick
menjauh.“Sok kecakepan banget sih lo!" Seru Thohir. "Hati-hati La, berkawan sama cewek jutek ntar lo ketuleran jutek!” Thohir berdecak lalu pergi bersama Erick sambil tertawa kuat.
“Bek, Lo cakep tapi dari sedotan!” teriak Erick tertawa meledek.
“Dasar brekele! Awas aja gue kaduiin sama Rangga." Teriak Beca. Cewek berponi selamat datang itu. Sedangkan Nayla tertawa melihat perkelahian mereka.
“Kita kantin yuk Nayla.” Tina hendak bangkit dari bangkunya."Boleh." Nayla yang dari tadi tersenyum mendengar pertengkaran itu, menoleh pada Tina. Lalu memasukkan bukunya ke laci.
Mereka keluar kelas menuju kantin. Tentu saja semua mata di sekeliling mereka menatap ketiga cewek itu, sebagian cewek terlihat kesal karena kehadiran Nayla. Semakin bertambah siswi yang memiliki wajah di atas rata-rata. Sedangkan kaum cowok berdecak kagum pada mereka. Nayla sama sekali tidak terpengaruh dengan tatapan mereka. Di sekolah dulu Nayla sudah biasa dengan cara laki-laki melihatnya.
Kantin ini terletak paling pojok, dekat dinding sekolah.
"Lo jalan sama kita berdua bakalan jadi pusat perhatian. Percaya deh.” Beca menyombongkan diri. Cewek itu duduk di depan Nayla setelah memesan soto.
"Perhatian? Emang kita badut jadi pusat perhatian," ujar Tina, merendah.
Dari tadi Nayla sudah merasa kedua cewek ini termasuk terkenal di sekolah. Apalagi Tina, cewek itu punya fashion yang nggak main-main. Jam tangan yang terlihat mahal, jepit rambut di atas kuping terlihat cantik. Setiap Tina menjerling pada orang lain, mereka akan tertunduk. Pasti rebutan cowok-cowok keren.
Sedangkan Beca, paling periang dibanding Tina. Wajahnya Indonesia banget, sering digodaiin kaum Adam karena paling murah tebar senyum. Bukan tebar pesona ya. Wajahnya memang cantik membuat siapapun ingin tersenyum padanya.
Nayla tersenyum sumringah melihat Beca dan Tina yang ada di depannya. Hari pertama sudah dapet temen, membuat hatinya senang. Mata Nayla mulai menelusuri tiap sudut kantin yang sudah dipenuhi serumpunan orang.
Kini matanya tertuju pada sosok laki-laki berpakaian olah raga, bajunya basah karena keringat. Laki-laki itu sesekali meminum orange juice ditangannya, lalu asyik bersenda gurau dengan kawannya.
Nayla sempat terpesona dengan cowok bertubuh tegap dan tinggi itu. Kulitnya tidak terlalu putih. Tapi, jauh dari kata hitam. Hidungnya mancung. Wajahnya cukup mewakili cowok tampan.
"Reno Pratama, ketua OSIS kita yang jago maen basket." Beca ikut memandang ke arah yang sama dengan Nayla.
Nayla memalingkan wajahnya. Tidak mungkin dia jujur bilang tertarik karena wajah tampan cowok itu.
"Oh itu... Bingung aja keringetan gitu malah berbaur sama orang. Kan kasian orang yang cium bau keringat dia." Nayla mencari alasan.
"Astaga Nayla... Jangan kan bau keringet. Enggak mandi 7 hari 7 malem juga tuh cowok nggak bakalan dijauhin. Fansnya banyak. Gantengnya itu nggak luntur,” ucap Beca melirik ke arah Reno. Nayla manggut-manggut tanda setuju, seperti dia yang jarang mandi nggak akan ada yang tahu.
"Bukan cuma dia yang keringatan. Kawannya juga." Tina mengarah pada sekeliling cowok itu. Semua teman dia pakai baju olahraga yang basah karena keringat. Bisa dibilang sekolah ini gudangnya cowok-cowok ganteng. Hari pertama saja udah cuci mata.
"Mereka team basket kita."
Reno melihat ke arah Nayla. Mungkin dia merasa diperhatikan oleh Nayla dan kawan-kawannya, atau langsung tahu kalau ada anak baru karena Nayla belum pernah dia lihat. Cewek itu mengalihkan pandangannya saat mata mereka bertemu pandang.
"Oia, lo mau ikut ekskul apa? Ikutan sama kita mau nggak." Tina melihat Nayla sambil memasukkan batagor ke mulutnya.
"Emang kalian ikut apa?" Nayla balik bertanya.
"Naik gunung!" seru Beca dengan bangganya. "Kita anak pecinta alam." tambahnya.
"Naik gunung ?" ulang Nayla tidak percaya. Di balik keanggunan dan kemodisan mereka ternyata ada jiwa pecinta alam juga. "Serius? Kan bahaya naik gunung. Banyak binatang buas, pohon-pohon besar. Capek lagi. Gue nggak kebayang deh bisa ikutan."
Tina menghela nafas, ucapan Nayla ada benarnya. "Justru yang lo takutin itu daya tariknya." Ujar Tina. "Lo nggak pernah kan minum air gunung dari mata airnya? Lihat matahari dari tempat tinggi?" Nayla menggeleng. "Nah itu, ikut deh biar nggak nyesal."
"Ikut aja La, itung-itung olahraga. Mau yaa.." Ujar Beca penuh harap.
"Gue mesti nanya orangtua gue dulu,” jawab Nayla ragu-ragu. Hal yang tidak mungkin diperbolehkan. Tapi penasaran juga rasanya naik gunung sama temen sekolah.
"Lo tahu nggak, dimana gudang cowok terkeren sejagad raya? Genk-genk bad boy lewat. Anak basket lewat. Biangnya cowok terhot plus machoo ya di pecinta alam. Alumni-alumni sekolah ini dari yang jelek sampe limited edition semua kumpul di PA." Beca bicara dengan terkagum-kagum seakan yang dibicarakan ada di depan mereka.
Nayla dan Tina bersahutan tertawa mendengar ocehan Beca dengan mulut yang berisi makanan. Ekskul di SMA Budi Mulia yang paling menonjol adalah pecinta alam (PA) hanya orang-orang yang suka tantangan dan punya keberanian yang mau bergabung di ekskul itu.
Nayla merebahkan tubuhnya ke atas kasur dengan pakaian seragam yang masih menempel di tubuhnya. Semalas itulah Nayla. Otaknya berputar mencari cara untuk mendapatkan izin ikut kegiatan pecinta alam.tuk tuk tuk. "Nayla...” “Nayla...” Perlahan Nayla membuka matanya, suara ibunya makin malam makin terdengar jelas. Nayla terduduk di kasur setengah sadar. Dia tertidur hingga tidak ingat waktu. "Iya Maa... Bentar lagi Nayla keluar," teriaknya dari dalam. Tiap malem keluarga mereka terbiasa makan malam bersama, dan ini adalah kesempatan yang tepat untuk Nayla bicara pada orang tuanya. Sebelum turun Nayla membersihkan diri. "
"Sorry, sorryy!” tanpa melihat orang itu Nayla langsung minta maaf. "Punya mata, kan? Dipake dong! Jangan diangguriin!" Cowok itu menepuk-nepuk baju dan celananya seakan terkena debu. "Eh, Mas gue udah minta maaf lhoo. Lagi pun gue yang jatuh!" Nayla bersuara di bawah cowok itu. Situ kali gak punya mata!"Emang muka gue mirip Mas Mas?" cowok itu tidak terima. Nayla mengambil bukunya lalu bangun dari jatuhnya dan menatap cowok itu. Cewek itu mendongak karena hanya sebahu cowok itu saat berdiri sejajar. "Mas cleaning service ya? Atau tukang renov? Mau bagusiin yang rusakk?" "Gue?Cleaning service? Mas Mas? Liat gue jelas-jelas yahh! Apa ada tampang gue kaya kuli, hm!” cowo
Sinar matahari sangat menyengat menusuk sampai ke tulang putih, menyengat keseluruhan tubuh. Nggak ada murid lagi di luar kelas kecuali Nayla yang berdiri di depan tiang bendera. Menjalankan hukuman dari Bu Maya. Cewek itu menundukkan kepala saat ada yang lewat. Terkadang melipat tangannya di depan dada sambil menatap lurus ke depan. Kalau sudah bosan dia mengubah posisi berdirinya sambil bergumam dalam hati, terlihat dari bentukan bibirnya yang menahan kesal."Anak yang punya yayasan tapi keliatan kayak preman. Pertama kali ketemu udah sial. Liat aja ketemu lagi gue cubit ginjalnya biar nggak sok cool gitu."Tiba-tiba matanya terhenti pada pria yang berada ditingkat dua sebelah sudut kanan. Matanya silau karna cahaya matahari tapi berusaha melihat dengan jelas orang itu yang sedari tadi memang sudah berdiri di situ.Mata mereka saling bertemu, seperti ada petir diantara mata mereka. Cowok brengsek
"Dia presiden PA? Pantesan, ketua OSIS. Biar gampang dapet surat izin dari sekolah untuk naik gunung," bisik Rangga pada Nayla."Hushh..." tegur Nayla."Dan juga wakil presiden PA Galih Kusuma," lanjut Erga. Lalu seorang cowok dari sebelah kiri melambaikan tangan sambil tersenyum.Prokk! Prok! Prokk!"Sekertaris PA kita Nona cantik Agustina Putri." Teriak Erga penuh semangat.Tina dengan penuh pesona melambaikan tangan pada anggota baru, auranya semakin membuat kaum cowok bersorak."La, itu Tina kita sekertaris PA?" Rangga mengguncang lengan Nayla karena kaget, baru ini dia ketinggalan berita."Gue juga baru tahu, Ga. Lo kan temennya, harusnya gue yang nanya!" Ujar Nayla bingung, Tina dan Beca sama sekali nggak cerita.Prook! Prokkk! Prokk...
Seminggu kemudianNayla sibuk mempersiapkan keberangkatannya naik gunung. Jam sudah menunjukkan pukul 7.30 Tepat seminggu yang lalu ayahnya dengan berat hati mendatangani surat izin Nayla untuk berangkat ke Gunung."Jangan lupa bawa jaket yang tebal. Selimut di bawa aja, semua makanan yang di kulkas biar di bawa Nayla juga, dia pasti kecapean, tenaganya habis. Butuh makanan yang banyak," kata Rahmat memperhatikan istrinya menyusun barang Nayla ke rancel."Bawa susu ya La, buat jaga stamina kamu di sana," ibunya memasukan minuman ke rancel Nayla. Tadinya ayahnya menyarankan membawa koper, karena tatapan tajam istrinya niatnya itu diurungkan."Mau bawa apel, Jeruk apa pisang?" Rahmat menawarkan."Bawa semua aja ya, biar nggak kelaparan di sana.""Naylaa bukan mau berangkat perang, jangan banyak-b
Kurang lebih dua jam tibalah mereka. Kang Deni, Raka dan Reno meminta izin pada warga desa Berbura yang berada di kaki gunung untuk naik gunung. Warga menyambut hangat kedatangan mereka."Kita absen dulu baru naik ke atas sebelum gelap," teriak Reno. Para alumni hanya memantau dan memberi bantuan, selanjutnya para pengurus PA yang bertindak."Udah berapa bulan gue di rumah aja, lumayan bosan. Kalau udah gitu, gunung jadi tujuan gue," ucap Doni tersenyum melihat pemandangan pepohonan."Di gunung kita bisa berdamai dengan diri sendiri, sekaligus belajar menghargai kehidupan dan alam," ucap Kang Deni yang mengenakan pakaian serba hitam. Tidak lupa ia mengelus jenggotnya."Denger Don, mencintai alam berarti menjaga kebersihan. Lo buang puntung rokok sembarangan!" semprot Erga melihat Doni baru saja membuang bekas rokoknya."Khilaf gue, beneran. Sumpah!" Doni buru-buru mengambil yang dia buang.
Nayla, Rangga, dan Desy berjalan saling dorong-dorongan ke depan mengikuti arahan. Hanya terdengar suara jangkrik dan angin malam. Semua pohon di sekeliling tampak berwarna gelap. Mereka menebak-nebak apa yang akan terjadi dalam hati. Terlihat dari kejauhan Doni sedang menunggu di bawah pohon dengan api unggun. "Sebelum kita mulai, kita kenalan dulu. Nama gue--" "Udah kenal Ka Doni, siapa coba yang nggak kenal," potong Desy dengan senyum manis. Mereka jongkok di depan api unggun berhadapan dengan Doni. "Okeh kalau gitu," ucap Doni tersenyum bangga. "Kalian sekarang masuk ke area abang Doni, udah pada baca lembaran materi yang kemarin dibagiin, kan?" tanya Doni. "Gue kasih pertanyaan, jawab dengan benar," ucap Doni menatap ketiga juniornya. "Nggak inget
"Semuanya terima kasih untuk partisipasinya. Semoga anggota baru jangan ada yang kapok. Terus semangat mengikuti ekskul pecinta alam." Reno sang Presiden PA memberi kata sambutan."Besok pagi kita akan naik gunung sampai puncak. Kalian pasti nggak sabaran kan mau ke sana?" Semua menyahut dengan bersorak kegirangan. Mereka mengelilingi api unggun. Api itu menghangatkan tubuh mereka malam itu. Dengan syahdu mereka melantunkan lagu MAHAMERU diiringi suara gitar Raka. Raka main gitar? Nayla mendengus kesal. Cowok yang menurutnya sudah termasuk dalam deretan sempurna sebagai cowok. Dan sekarang, dia punya kelebihan lagi."La, lo mandi?" tanya Rangga. Nayla menyahut dengan menggelengkan kepalanya. "Kok rambut lo nggak kotor lagi? Tadi kan
Kilasan tentang pertemuannya dengan Jenny saat ini kembali. Jenny tidak terlalu banyak perubahan, dia sangat pintar merawat dirinya. Namanya model memang lebih berpengalaman dalam perawatan. Tubuhnya terbentuk dengan indah, tatapannya masih lembut tapi terkesan angkuh.Nayla menatap perempuan di depannya ini dengan senyum tipis, masih bingung dengan situasinya saat ini. Sepertinya semua orang terfokus padanya bukan pada Beca yang punya acara.Kemudian Nayla melirik jari manis Jenni, lalu tersenyum tipis. Dia jadi ingat pesan terakhir Jenni saat itu.Aku harap kamu mundur, Nayla. Karna kamu akan menyebabkan pertunangan aku sama Raka batal. Aku harap kamu masih punya hati nurani."Selamat ya untuk hari bahagia kamu."Nayla hanya tertegun mendengar ucapan Jenny, dia masih tak bergeming dengan balutan kebaya putih da
Mike, Doni, Erga, dan Rangga berpenampilan rapih dengan jas berwarna senada. Sebagai groomsmen mereka datang lebih awal dibanding para tamu undangan. Rangga yang paling antusias dengan acara ini sudah memegang camera sambil memasuki tempat itu. Bermaksud mengabadikan acara sakral temannya."Bro, lo kelihatan pucat banget. Nervous ya?" Rangga meledek sambil menyorot laki-laki berpenampilan serba putih itu. Wajahnya yang tampan dan berpenampilan paling menonjol itu dari tadi menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkan dengan pelan. Sangking nervousnya."Jangan diganggu Ga kepala suku, dia lagi berdoa biar acaranya gak bubar karena ditolak calon pengantin." Suara itu dari Doni, karena yang di sorot tidak merespon ucapan Rangga.Rangga memberikan cameranya pada Mike untuk bergantian memvideokan, lalu dia menepuk bahu cowok yang terlihat tegang itu. "Gue mah nitip dia aja ya. Jaga baik-baik jangan sampe lepas lagi. Terus nitip keponakan yang cakep-cakep."
"Tunggu di situ jangan kemana-mana!"Suara cemas itu terdengar dari balik ponsel. Cewek berambut lurus sepunggung itu baru saja turun dari pesawat."Gue bisa naik taxi.""Gak bisa lo udah gue jemput." Bagas menegaskan."Gue kan udah bilang gak mau dijemput. Pokoknya gue pulang sendiri," ucapnya seraya mengambil barangnya lalu melangkah bersama para penumpang yang lainnyaSetelah 17 jam perjalanan dan untungnya hanya sekali transit. Akhirnya Nayla kembali menghirup udara di Jakarta. Jika kalian mau tahu berapa lama Nayla tinggal di London, jawabannya sangat membanggakan. Dia berhasil menyelesaikan kuliahnya walaupun dengan hasil yang pas-pasan. Tapi pengalaman hidup yang dia dapat sangatlah berharga. Sambil kuliah Nayla menyibukkan dirinya dengan berkerja part time. Pekerjaan serabutan, berkali-kali dia pindah pekerjaan.Menjadi pelayan di McDonald's, penjaga toko, dan Nayl
Dear, my Boy...Untuk kamu yang selalu punya tempat di hatiku.Entah apa yang harus aku tuangkan dalam secarik kertas ini. Sekalipun ada goresan tinta yang indah, tapi nggak akan bisa mengalahkan indahnya perasaanku untuk kamu, sayang.Enggak ada yang kusesali dari hubungan ini. Bertemu dengan kamu adalah anugrah. Dan berpisah dengan kamu adalah takdir yang harus terjadi.Aku tahu, aku nggak cukup sempurna. Dan caraku mencintai kamu mungkin salah, hingga membuat wanita lain terluka. Aku sadar, aku bukanlah satu-satunya wanita yang ada tempat di hati kamu.Tapi entah kenapa, tiba – tiba saja muncul dalam pikiranku, apakah aku pantas mendampingi kamu? Apa aku bisa bahagia saat wanita lain terluka.Perpisahan ini berat, percayalah aku pun merasakannya. Tapi ini yang terbaik untuk kita. Sampai kita sama-sama
Aku mencintai kamu.Rasa ini teramat nyata hingga hati ini terlalu sakit, saat sadar kamu meninggalkanku lagi. Nayla sudah berada di bandara bersama keluarga dan teman-temannya. Sungguh, perasaannya bercampur aduk sekarang ini. Nayla menarik nafas berat, tangannya menggenggam travel bagnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia akan pergi sendiri ke tempat yang jauh.FlashbackNayla mendongak melihat Raka sudah berdiri di depannya, cowok itu menatapnya penuh perasaan."Lain kali, jangan pernah pergi sendirian. Apalagi ke tempat yang masih baru buat lo."Nayla mengangguk pelan, ia menerima uluran tangan Raka. "Janji sama gu
"Gue harus pergi sekarang." Nayla tersenyum kecil pada Jenni. Sedikit menoleh Doni. Laki-laki itu hanya diam dari tadi tapi Nayla tahu Doni sedikit terganggu dengan obrolan mereka. Nayla beranjak membuka pintu. "Nayla... Mungkin kalau nggak ada Raka diantara kita. Gue pengen lo jadi kawan gue. Seharusnya kita bisa jadi sahabat," ucap Jenni memandang Nayla yang berdiri di depan pintu.Nayla hanya mendengar itu tanpa menoleh dan pergi meninggalkan kamar Jenni. "Gue harus nelpon Raka." Ucap Doni mengambil handphone-nya dari saku celana. "Jangan berani lo ngomong apa-apa sama Raka! Bentar lagi dia ke sini, lo pergi dari sini kalau mau bikin Raka tahu tentang kepergian Nayla," bentak Jenni, dia terlalu takut kehilangan Raka. Doni menjambak rambutnya, frustasi. Jennife
Matanya melihat ke arah langit. Langit yang gelap dihiasi bintang. Pemandangan langit sama saja bukan, saat kita dimana pun melihatnya. Nayla menyenderkan bahunya ke belakang sambil mendengus. "Kamu bilang pendidikan penting, tapi kenapa kamu sekarang gak ada buat dukung aku." Monolognya. Nayla melihat ponsel yang dipegang-nya, jangan berharap karena berharap itu sakit. Padahal dia sangat membutuhkan bahu laki-laki itu untuk bersandar. Lupakan mungkin Raka sedang berada di rumah sakit. Nayla menutup matanya yang perih, menahan air mata yang ingin jatuh.Kamu terlalu sibuk dengan dia, Raka. Kamu nggak tau aku butuh kamu sekarang. "Nggak usah ngelamun di sini. Nanti diculik setan." Nayla membuka matanya karena kaget. Bagas sudah ada di dep
Langit seakan tak biru lagilaut seolah menghempas sepiberibu malam aku tangisimengalun sepi menyiksa hatiDan malam ini, Nayla terdiam. Isak ibunya terdengar perih, terasa gendang telinganya robek tersayat. Ia mengunci masuk hatinya dalam dipan bergembok.Meyakinkan diri ini adalah keputusan terbaik. "Mama nggak setuju!" Ayu bersuara serak sambil menyeka air matanya. Setelah makan malam dan meja makan dibersihkan, Nayla mengatakan keputusannya. Nayla menahan air matanya supaya tidak tumpah, dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya ia membuat wanita yang melahirkannya menangis dan Ayahnya terdiam dengan wajah muram. Semua ucapan Nayla berhasil membuat senyum keluarganya pudar. Nayla yang manja, tidak pernah hidup sendirian selama 18 tahun usianya kini mengambil ke
"Coffee..." Doni menyerahkan segelas coffee pada Raka, dia membelinya pada mesin otomatis yang ada di rumah sakit, sangat praktis bukan. "Thanks," ucap Raka, dia lagi tidak ingin tersenyum pada Doni. Mereka duduk di kursi yang berada diluar kamar Jenni padahal Raka sedang ingin sendiri tapi Doni menghampirinya. "Gue tahu hati lo lagi bercabang. Dari dulu gue iri sama lo, selalu aja banyak cewek yang ngejer-ngejer lo," ucap Doni dengan senyum pahit, laki-laki itu duduk di samping Raka. Raka tidak menggubris omongan Doni, apakah tepat membicarakan hal seperti itu dalam situasi seperti ini. Raka menaikan bahunya sedang menyeimbangkan posisi duduknya. "Dan yang paling gue iri. Lo bisa dapetin cewek kayak Nayla Anastasya Susanto. Menurut gue dia sedikit bodoh." Doni te