"Semuanya terima kasih untuk partisipasinya. Semoga anggota baru jangan ada yang kapok. Terus semangat mengikuti ekskul pecinta alam." Reno sang Presiden PA memberi kata sambutan.
"Besok pagi kita akan naik gunung sampai puncak. Kalian pasti nggak sabaran kan mau ke sana?"
Semua menyahut dengan bersorak kegirangan. Mereka mengelilingi api unggun. Api itu menghangatkan tubuh mereka malam itu. Dengan syahdu mereka melantunkan lagu MAHAMERU diiringi suara gitar Raka.
Raka main gitar? Nayla mendengus kesal. Cowok yang menurutnya sudah termasuk dalam deretan sempurna sebagai cowok. Dan sekarang, dia punya kelebihan lagi.
"La, lo mandi?" tanya Rangga. Nayla menyahut dengan menggelengkan kepalanya.
"Kok rambut lo nggak kotor lagi? Tadi kan kotor minta ampun." Nayla terdiam, lalu melirik Raka. Cowok itu membuatnya berendam di selokan. Apa mungkin Raka sengaja?
* Nayla *
Cuacah yang cerah, pepohonan yang tampak indah di payungi langit biru. Membuat mereka sangat bersemangat. Pagi ini mereka akan naik ke atas puncak. Tampak Kang Deny memberi peringatan bagi calon anggota baru.
"Semuanya denger! Pastiin jangan terpecah dari senior kalian, alumni tetap stay sama junior kalian!" Kang Deni menegaskan, semuanya menyimak dengan serius lalu mengangguk tanda paham.
Mereka bergegas menuju puncak. Setiap orang menyimpan botol mineral di dalam tas mereka, para cowok membawa peralatan masak, mie instan, dan snack untuk persediaan di dalam tas gunung mereka.
Sebenarnya hutan nggak kalah menarik untuk di singgahi. Pemandangan hutan dengan pepohonan yang berwarna-warni. Pohon kelapa yang menjulang. Paparan cahaya sinar matahari yang semakin membuat pemandangan menjadi elok dan epik.
Seperti kata Kang Deni, tiap senior pasti ada di sekitaran junior mereka memantau. Kaum cowok sesekali membabat tumbuhan liar yang menghalang jalan mereka. Semakin hari semakin cahaya matahari menunjukkan keberadaannya.
"Woii! Gue nggak kuat beneran. Sumpah! Pinggang gue encok," teriak Rangga diantara Nayla, Beca, Tina dan Desy.
Nggak ada yang merespons Rangga, mereka tetap berjalan begitu saja. Sedari tadi cowok itu menggerutu terus seperti perempuan. Membuat mereka pura-pura nggak mendengar.
"Makanya jalan jangan dihitungin. Dinikmati biar nggak kerasa. Cowok kok lemah." Ujar Abel dari belakang. Cewek tomboi itu melewati mereka.
"Denger tuh, Ga," decak Beca membuat Rangga semakin panas. Rangga membusungkan dada lalu berjalan tegak seperti cowok perkasa. Lalu menyusul langkah Abel dengan cepat."Gue bukan cowok lemah!" kata Rangga melirik Abel. Wanita tomboi itu terkadang lebih sigap ketimbang cowok.
Keempat kawannya hanya menatap kepergian Rangga dengan terheran. Langkah mereka juga semakin lambat karena tenaga yang terkuras.
"Minum gue abis," rengek Tina mengeluarkan botolnya yang kosong dari tas.
"Punya gue juga abis." Nayla melihat Beca dengan tatapan menghunus tajam. Setega itu Beca menghabiskan miliknya.
"Ngeri banget muka lo, La. Gue kan jadi nggak enak, itu cuma air putih lho." Beca menggaruk dagunya merasa bersalah.
"Lain kali kalau minta tau diri dikit dong," cibir Nayla melotot.
"Namanya haus, La. Mana gue tahu harus pake tau diri, tiba-tiba aja gitu masuk semua ke mulut gue," ucap Beca pelan. Nayla dan Tina menggeleng melihat Beca.
"Udah, nggak usah ribut. Percuma di samping kita ada pohon kelapa." Doni melihat ke atas. Buah kelapanya sangat banyak, tapi sayang terlalu tinggi. Doni menelan ludahnya. Doni bukan hanya suka tebar pesona tapi juga sering cari perhatian, apalagi dengan juniornya. Dengan semangat cowok itu menaiki pohon kelapa. Tiba-tiba ia terhenti di tengah, merasakan pohon kelapa berdansa di tiup angin.
"Ka Doni, kenapa?" teriak Beca penasaran.
"Kepala gue tiba-tiba pusing, kurang makan kali ya." Teriak Doni, membuat alasan. Padahal nggak sanggup lagi, pohonnya semakin bergoyang-goyang.
"Turun aja Ka Doni!" teriak Nayla dari bawah. Melihatnya saja membuat ngeri. Gimana kalau jatuh. Pikiran negatif.
Doni mencari sosok Raka. Temannya itu serba bisa. Ia langsung meminta Raka menggantikannya mengambil kelapa muda. Karena rengekkan mereka yang haus, Raka mau juga bergerak memanjat pohon kelapa.
"Segar ya, untung bawa golok," ucap Tina, meneguk air kelapa muda dari kelapanya langsung. Terasa sangat segar.
Nayla melirik Raka seraya meneguk kelapa mudanya. Sesempurna itukah seorang Raka, manjat kelapa aja dia lihai. Cowok itu selalu pasang wajah datar, membuat Nayla menggeleng.
"Akhirnya minum juga," ucap Nayla lega.
"Sekarang bisa jalan kan? Nanti kita ketinggalan jauh dari yang lain." Raka mengingatkan.
"Santai dong! Baru aja minum," ketus Nayla.
"Gue santai, lo-nya aja yang lelet! Buruan, ditinggal baru tau rasa," balas Raka tidak kalah ketus. Saat Nayla ingin membuka mulut lagi, Tina menyikut Nayla. Ia tahu Raka tidak suka dilawan.
15 menit berlalu. Perjalanan mereka masih lumayan jauh. Keringat sudah bercucuran di tubuh mereka. Sebagian orang mengambil kayu yang tergeletak untuk dijadikan tongkat. Walaupun tubuh mereka sudah kehabisan tenaga, mereka masih semangat untuk sampai ke puncak. Nayla terhenti dengan nafas tersengal-sengal, ia menundukkan kepala lalu memijit dengkulnya yang sudah mulai keram. Ini pertama kalinya cewek itu mengeluarkan tenaga paling banyak. "Nih pegang," tiba-tiba Reno memberikan kayu kokoh untuk menjadi tongkat Nayla. "Makasih." Nayla tersenyum. Ini baru cowok, nggak kayak orang sebelah, galak. Nayla melirik dengan sinis Raka yang berada tidak jauh darinya. "Ayok," ajakReno. Nayla tersentak lalu mengikuti dengan kikuk di
Raka dan kawan-kawannya asyik masak mie dengan kompor gas yang kecil ala-ala anak kemping yang mereka bawa. Cowok itu tersenyum memandang sekeliling. Hal yang paling ia rindukan. Perjalanan ke puncak, udara yang sejuk dan minum kopi bersama pendaki lain. "Pemandangannya nggak berubah ya tiap kita ke sini," ujar Doni seraya mengaduk mienya. Wajahnya serius tampak prihatin. "Lo bangun aja kolam renang di sini, Don. Biar pemandangan berubah." Ujar Erga, disambut tawa teman-temannya. "Ya hilanglah pesona gunungnya, bego!" "Lo-nya yang bego! Percuma gue kuliahin." Abel masih tergelak. Mereka saling sahut-menyahut dengan tergelak. "Eh, dari tadi gue nggak liat Ellena sama genknya?" Mike mengedarkan pandangannya m
Raka yang berada tidak jauh, menghampiri mereka dengan tatapan penasaran. "Napa Kang?" tanya Raka. "Nayla Anastasya Susanto belum keliatan. Takutnya masih di gunung. Lihat noh, gunung udah ketutup kabut." Kang Deni melihat ke arah gunung. Mereka pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Kang Deni, raut wajah mereka berubah cemas. "Kita naik ke atas sekarang!" ucap Raka tegas. Di sahut anggukan yang lain. "Reno! Lo di sini amanin semua anak-anak. Gue sama alumni naik ke atas lagi." ucap Kang Deni dengan wajah serius. "Kang, gue ikut!" Reno hendak beranjak juga. "Boy, terus siapa yang nunggu sini. Sekarang waktunya lo tunjukin jiwa pemimpin lo, anggota lo di sini juga cemas. Mereka butuh lo juga," kata Doni menepuk bahu Reno. Cowok itu mengangguk tanda paham. "Ayok Kang, kita harus c
"Nayla...! Nay!!" Nayla mendongak mendengar namanya dipanggil. Tangannya mengusap air matanya. Telinganya semakin jelas mendengar suara itu. Sangat familiar, suara yang biasanya memarahi dia. Nayla bangkit, menyeret kakinya untuk mencari asal suara itu. "Tolong..." Nayla bergerak menuju cahaya senter itu. Raka terhenti, melihat wanita yang dicari ada di depannya. Ia bernafas lega. Akhirnya ketemu, bathin Raka lega. Tanpa pikir panjang Nayla berlari terseret-seret meraih Raka dan memeluknya. Betapa lega hatinya ada yang bisa menemukannya. Ia semakin mengeratkan pelukannya, suara tangisannya terdengar sangat kencang. Membuat seluruh penghuni hutan bisa mendengarnya. Raka yang tertegun dengan tindakan N
Pagi ituterdengar kicauan burung. Raka yang mulai tersadar dari tidurnya, membuka mata perlahan. Di sampingnya sudah ada sepasang mata yang masih terpejam. Bibir mereka terlalu dekat, bila Raka menundukkan kepalanya sedikit maka bibir itu akan bersentuhan. Ditatapnya lekat wajah gadis itu. Kalau nggak bawel ini cewek sebenarnya cantik juga. Raka menyingkirkan rambut yang menutupi mata Nayla. Lentik banget bulu matanya, bibirnya merah alami. Raka mulai tak kuasa menyentuh mata, hidungnya yang mancung, sampai ke bibir Nayla. Seperti ingin menjadikan miliknya. "Ciptaan Tuhan yang sempurna." Tiba-tiba Nayla menggerakkan kepala. Cepet-cepat Raka mengalihkan tangannya. Matanya ditutup seakan belum bangun sedari tadi. "Aaaaaaa!"
Raka menarik tangan Nayla hingga terjatuh ke dalam pangkuannya. Dia menurunkan tubuh cewek itu lalu menutup pintu mobil. Raka tidak menggubris panggilan Reno yang terdengar kesal. "Raka! Nayla nggak mau jangan dipaksa," ucap Reno turun dari mobil. Hingga mereka berhadapan. Tapi Raka tidak perduli. Raka menggendong Nayla dengan gaya bridal. Lalu menurunkan di atas jok motornya. Cowok itu memasang helm yang agak longgar di kepala Nayla. Ternyata size kepala laki-laki dan perempuan berbeda. Nayla, menelan saliva. Belum sadar dengan keterkejutannya, kini Raka meraih tangannya ke dalam pinggang cowok itu. Nayla melepaskan pinggang Raka. "Jatoh gue nggak tangung ya." Mendengar itu dengan sangat terpaksa Nayla memeluk pinggang Raka kembali. Raka tersenyum dibalik helmnya. Di sisi lain, seisi penumpang tr
Waktu menunjukkan pukul 1 malam, hiruk pikuk dunia malam membuat Jakarta tidak pernah senyam-sunyi. Salah satu club malam menjadi tempat pilihan Raka, Mike, Doni, dan Erga, menghabiskan waktu. Mereka menyukai club ini karena difasilitasi meja bilyard di lantai teratas. Kaca dinding di depan meja bilyard bisa melihat pemandangan ke bawah tempat orang yang berjoget ditemani DJ.Doni yang bersiap melakukan push out dalam bola bilyard mulai risih dengan gerak-gerik Raka. Cowok itu membalik-balikan ponsel di tangannya. Wajahnya tampak berfikir."Banting aja banting! Atau kasih gue hape lo. Amal, dari pada lo puter-puter terus kan kasian hape-nya pusing," ujar Doni memutar bola mata pada Raka."Bacot! Sodok aja bola lo. Kebanyakan strategi! Setahun baru nyodok bolanya," cibir Raka. Matanya menunjuk bola yang digantung Doni seperti hubungan."Sabar dong, gue kan pen
Semenjak kejadian Raka menghadang truk untuk Nayla. Semua mata mulai memperhatikan cewek itu. Ada yang menatapnya sinis, terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan mereka. Tapi ada juga yang mulai menyapa Nayla dengan ramah. Nama Nayla si anak baru tiba-tiba boom disetiap kalangan. Terutama di ekskul PA."Tumben alumni kita pada dateng. Biasanya kalo ada hal penting aja mereka dateng." Ujar Beca di sebelah Nayla. Menunjuk ke arah Raka, Doni, Erga, dan Mike sedang mengobrol dengan Kang Deny di bawah pohon."Emang gitu?" tanya Nayla mengikuti pandangan Beca. Temannya itu mengangguk.Walaupun tidak ada kegiatan anak PA wajib berkumpul setiap hari Jumat dan Sabtu. Sekedar berkumpul dan bersih-bersih basecamp mereka. Di ekskul ini banyak kegiatan yang positif yang mereka lakukan bersa
Kilasan tentang pertemuannya dengan Jenny saat ini kembali. Jenny tidak terlalu banyak perubahan, dia sangat pintar merawat dirinya. Namanya model memang lebih berpengalaman dalam perawatan. Tubuhnya terbentuk dengan indah, tatapannya masih lembut tapi terkesan angkuh.Nayla menatap perempuan di depannya ini dengan senyum tipis, masih bingung dengan situasinya saat ini. Sepertinya semua orang terfokus padanya bukan pada Beca yang punya acara.Kemudian Nayla melirik jari manis Jenni, lalu tersenyum tipis. Dia jadi ingat pesan terakhir Jenni saat itu.Aku harap kamu mundur, Nayla. Karna kamu akan menyebabkan pertunangan aku sama Raka batal. Aku harap kamu masih punya hati nurani."Selamat ya untuk hari bahagia kamu."Nayla hanya tertegun mendengar ucapan Jenny, dia masih tak bergeming dengan balutan kebaya putih da
Mike, Doni, Erga, dan Rangga berpenampilan rapih dengan jas berwarna senada. Sebagai groomsmen mereka datang lebih awal dibanding para tamu undangan. Rangga yang paling antusias dengan acara ini sudah memegang camera sambil memasuki tempat itu. Bermaksud mengabadikan acara sakral temannya."Bro, lo kelihatan pucat banget. Nervous ya?" Rangga meledek sambil menyorot laki-laki berpenampilan serba putih itu. Wajahnya yang tampan dan berpenampilan paling menonjol itu dari tadi menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkan dengan pelan. Sangking nervousnya."Jangan diganggu Ga kepala suku, dia lagi berdoa biar acaranya gak bubar karena ditolak calon pengantin." Suara itu dari Doni, karena yang di sorot tidak merespon ucapan Rangga.Rangga memberikan cameranya pada Mike untuk bergantian memvideokan, lalu dia menepuk bahu cowok yang terlihat tegang itu. "Gue mah nitip dia aja ya. Jaga baik-baik jangan sampe lepas lagi. Terus nitip keponakan yang cakep-cakep."
"Tunggu di situ jangan kemana-mana!"Suara cemas itu terdengar dari balik ponsel. Cewek berambut lurus sepunggung itu baru saja turun dari pesawat."Gue bisa naik taxi.""Gak bisa lo udah gue jemput." Bagas menegaskan."Gue kan udah bilang gak mau dijemput. Pokoknya gue pulang sendiri," ucapnya seraya mengambil barangnya lalu melangkah bersama para penumpang yang lainnyaSetelah 17 jam perjalanan dan untungnya hanya sekali transit. Akhirnya Nayla kembali menghirup udara di Jakarta. Jika kalian mau tahu berapa lama Nayla tinggal di London, jawabannya sangat membanggakan. Dia berhasil menyelesaikan kuliahnya walaupun dengan hasil yang pas-pasan. Tapi pengalaman hidup yang dia dapat sangatlah berharga. Sambil kuliah Nayla menyibukkan dirinya dengan berkerja part time. Pekerjaan serabutan, berkali-kali dia pindah pekerjaan.Menjadi pelayan di McDonald's, penjaga toko, dan Nayl
Dear, my Boy...Untuk kamu yang selalu punya tempat di hatiku.Entah apa yang harus aku tuangkan dalam secarik kertas ini. Sekalipun ada goresan tinta yang indah, tapi nggak akan bisa mengalahkan indahnya perasaanku untuk kamu, sayang.Enggak ada yang kusesali dari hubungan ini. Bertemu dengan kamu adalah anugrah. Dan berpisah dengan kamu adalah takdir yang harus terjadi.Aku tahu, aku nggak cukup sempurna. Dan caraku mencintai kamu mungkin salah, hingga membuat wanita lain terluka. Aku sadar, aku bukanlah satu-satunya wanita yang ada tempat di hati kamu.Tapi entah kenapa, tiba – tiba saja muncul dalam pikiranku, apakah aku pantas mendampingi kamu? Apa aku bisa bahagia saat wanita lain terluka.Perpisahan ini berat, percayalah aku pun merasakannya. Tapi ini yang terbaik untuk kita. Sampai kita sama-sama
Aku mencintai kamu.Rasa ini teramat nyata hingga hati ini terlalu sakit, saat sadar kamu meninggalkanku lagi. Nayla sudah berada di bandara bersama keluarga dan teman-temannya. Sungguh, perasaannya bercampur aduk sekarang ini. Nayla menarik nafas berat, tangannya menggenggam travel bagnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia akan pergi sendiri ke tempat yang jauh.FlashbackNayla mendongak melihat Raka sudah berdiri di depannya, cowok itu menatapnya penuh perasaan."Lain kali, jangan pernah pergi sendirian. Apalagi ke tempat yang masih baru buat lo."Nayla mengangguk pelan, ia menerima uluran tangan Raka. "Janji sama gu
"Gue harus pergi sekarang." Nayla tersenyum kecil pada Jenni. Sedikit menoleh Doni. Laki-laki itu hanya diam dari tadi tapi Nayla tahu Doni sedikit terganggu dengan obrolan mereka. Nayla beranjak membuka pintu. "Nayla... Mungkin kalau nggak ada Raka diantara kita. Gue pengen lo jadi kawan gue. Seharusnya kita bisa jadi sahabat," ucap Jenni memandang Nayla yang berdiri di depan pintu.Nayla hanya mendengar itu tanpa menoleh dan pergi meninggalkan kamar Jenni. "Gue harus nelpon Raka." Ucap Doni mengambil handphone-nya dari saku celana. "Jangan berani lo ngomong apa-apa sama Raka! Bentar lagi dia ke sini, lo pergi dari sini kalau mau bikin Raka tahu tentang kepergian Nayla," bentak Jenni, dia terlalu takut kehilangan Raka. Doni menjambak rambutnya, frustasi. Jennife
Matanya melihat ke arah langit. Langit yang gelap dihiasi bintang. Pemandangan langit sama saja bukan, saat kita dimana pun melihatnya. Nayla menyenderkan bahunya ke belakang sambil mendengus. "Kamu bilang pendidikan penting, tapi kenapa kamu sekarang gak ada buat dukung aku." Monolognya. Nayla melihat ponsel yang dipegang-nya, jangan berharap karena berharap itu sakit. Padahal dia sangat membutuhkan bahu laki-laki itu untuk bersandar. Lupakan mungkin Raka sedang berada di rumah sakit. Nayla menutup matanya yang perih, menahan air mata yang ingin jatuh.Kamu terlalu sibuk dengan dia, Raka. Kamu nggak tau aku butuh kamu sekarang. "Nggak usah ngelamun di sini. Nanti diculik setan." Nayla membuka matanya karena kaget. Bagas sudah ada di dep
Langit seakan tak biru lagilaut seolah menghempas sepiberibu malam aku tangisimengalun sepi menyiksa hatiDan malam ini, Nayla terdiam. Isak ibunya terdengar perih, terasa gendang telinganya robek tersayat. Ia mengunci masuk hatinya dalam dipan bergembok.Meyakinkan diri ini adalah keputusan terbaik. "Mama nggak setuju!" Ayu bersuara serak sambil menyeka air matanya. Setelah makan malam dan meja makan dibersihkan, Nayla mengatakan keputusannya. Nayla menahan air matanya supaya tidak tumpah, dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya ia membuat wanita yang melahirkannya menangis dan Ayahnya terdiam dengan wajah muram. Semua ucapan Nayla berhasil membuat senyum keluarganya pudar. Nayla yang manja, tidak pernah hidup sendirian selama 18 tahun usianya kini mengambil ke
"Coffee..." Doni menyerahkan segelas coffee pada Raka, dia membelinya pada mesin otomatis yang ada di rumah sakit, sangat praktis bukan. "Thanks," ucap Raka, dia lagi tidak ingin tersenyum pada Doni. Mereka duduk di kursi yang berada diluar kamar Jenni padahal Raka sedang ingin sendiri tapi Doni menghampirinya. "Gue tahu hati lo lagi bercabang. Dari dulu gue iri sama lo, selalu aja banyak cewek yang ngejer-ngejer lo," ucap Doni dengan senyum pahit, laki-laki itu duduk di samping Raka. Raka tidak menggubris omongan Doni, apakah tepat membicarakan hal seperti itu dalam situasi seperti ini. Raka menaikan bahunya sedang menyeimbangkan posisi duduknya. "Dan yang paling gue iri. Lo bisa dapetin cewek kayak Nayla Anastasya Susanto. Menurut gue dia sedikit bodoh." Doni te