Nayla, Rangga, dan Desy berjalan saling dorong-dorongan ke depan mengikuti arahan. Hanya terdengar suara jangkrik dan angin malam. Semua pohon di sekeliling tampak berwarna gelap. Mereka menebak-nebak apa yang akan terjadi dalam hati. Terlihat dari kejauhan Doni sedang menunggu di bawah pohon dengan api unggun.
"Sebelum kita mulai, kita kenalan dulu. Nama gue--"
"Udah kenal Ka Doni, siapa coba yang nggak kenal," potong Desy dengan senyum manis. Mereka jongkok di depan api unggun berhadapan dengan Doni.
"Okeh kalau gitu," ucap Doni tersenyum bangga. "Kalian sekarang masuk ke area abang Doni, udah pada baca lembaran materi yang kemarin dibagiin, kan?" tanya Doni. "Gue kasih pertanyaan, jawab dengan benar," ucap Doni menatap ketiga juniornya.
"Nggak inget lagi Ka, tiba-tiba aja semua isi kepala hilang semua. Padahal sudah gue baca semua, beneran," ucap Nayla pelan diikuti anggukan kedua kawannya.
"Kok bisa?" mata Doni melotot.
"Namanya otak Ka, bisa ngeblank kalo kena sindrom. Ada kagak ya sindrom gunung?" Kata Rangga dengan wajah harap-harap cemas.
"Parah!" Doni menggeleng kesal. "Untung gue duluan yang kalian dapetin, coba kalau yang lain, bagimana? Udah nyanyi deh kalian," suruh Doni.
"Ka Doni yang baik dan ramah tamah. Kami nyanyi apa?" tanya Desy dengan mata lembut pada Doni.
"Astaga nih anak bikin khilaf aja. Serah kalian mau nyanyi apa." Doni mengibaskan tangannya ke udara dengan pasrah. Ketiga orang itu pun berbisik melakukan musyawarah. Tidak lama mereka membuka suara.
LIHAT KEBUNKU PENUH DENGAN BUNGA
ADA YANG MERAH DAN ADA YANG PUTIHSETIAP HARI KU SIRAM SEMUALol.. Lagu yang gembira mendadak horor mereka nyanyikan. Suasana semakin mencekam di kegelapan.
"Stop! Stop! Lo bertiga mau bikin gue mati ketakutan. Itu lagu kaya manggil roh halus tau nggak!" Doni berdecak.
"Eh, Ka Doni. Ngomong di hutan jangan sembarang. Beneran datang baru tahu rasa." Nayla parnoan. Doni terdiam, tiba-tiba merasakan tengkuknya dingin seperti ada angin lewat.
"Sorry-sorry, gue khilaf." Doni memukul bibirnya dengan tangan beberapa kali. "Kalian sih, udah sana-sana lanjut jalan ikutin jalur ini," usir Doni.
"Makasih Ka Doni, aduh.. baik banget," ucap Nayla tersenyum manis. Doni meneguk ludahnya lalu balas tersenyum.
"Kalau baik, boleh minta nomornya dong," pinta Doni. Senyum Nayla hilang seketika, lalu melangkah menjauh dari Doni.
"Kalau nomor gue mau Ka Doni?" Desy menawarkan diri dengan mata yang masih terkagum. Doni menatapnya tanpa ekspresi. Belum Doni menjawab Rangga lebih dulu menarik tangan Desy lalu menyusul Nayla yang sudah di depan.
"Jangan kegatelan. Inget ini hutan belantara!" Rangga berdecak.
Sekarang mereka ada di kawasan Ellena. Alumni cantik ini masih aktif di PA. Dia termasuk most wanted zaman SMA di Budi Mulia. Di tempat kuliahnya juga Ellena masih sepopuler itu. Gadis bertubuh tinggi seperti model itu bersedekap dada melihat juniornya yang berjejer.
"Udah kayak latihan militer kita ya, niat banget mereka," komentar Rangga di sebelah Nayla. Matanya mengamati jaring-jaring berukuran tinggi sedengkul dan tanahnya sudah di siram air jadi terlihat becek.
"Kalian jalan tiarap di bawah ini sampai ke depan. Kepala jangan sampai kena dengan jaring di atas," perintah Ellena. Sekilas ia melirik Nayla.
Semua juniornya mengikuti perintah Ellena tanpa mengeluh. Rangga merayap seperti cicak dengan cepat, di belakangnya Desy menyusul. Tiba giliran Nayla.
"Stop! Ubah posisi. Kepala lo di bawah, mata lo menghadap langit," ucap Ellena dengan santai. Nayla bangkit lalu berhadapan dengan Ellena, kedua alisnya sudah bertautan.
"Yang lain nggak gitu?"
"Sekarang gue mau ubah peraturannya. Masalah buat lo?"
"Rambut gue bisa kotor dong Ka." Protes Nayla. Ellena membuang wajahnya, tidak perduli. Dengan kesal Nayla melakukan seperti perintah Ellena, alhasil rambutnya sudah bermandikan tanah.
Brengsek
"Tuh nenek sihir punya dendam kali sama Lo, La," ujar Rangga menepuk rambut panjang Nayla yang kotor. Cewek itu mengibaskan rambutnya dengan kesal.
Tidak lama senior cewek di dekat pemancuran air memanggil junior. Semua calon anggota berbaris menunggu giliran. Satu persatu diguyur dengan air. Sontak saja tubuh mereka langsung menggigil, apalagi mereka tidak diperbolehkan memakai jaket.
"Tahu kayak gini gue nggak akan ikutan, La. Ini namanya penyiksaan," keluh Rangga dengan bibir gemetar. "Kudu dilaporin mereka ini ke Ka Seto. Penyiksaan di bawah umur."
"Sa-bar Rangga," ucap Nayla di samping Rangga. Tangannya juga sudah meringkuk di depan dada sangking dinginnya.
"Hei, lo yang yang rambutnya di gerai sini," panggil Nita. Nayla yang merasa terpanggil mendekati gadis itu.
"Dingin ya?"
Nayla mengangguk, "I-Iya Ka."
Tiba-tiba Nayla kembali di guyur pakai air. Seketika itu matanya melotot karena terkejut. Tubuhnya terguncang menahan dingin. Tangannya sudah mengepal, dalam hati memaki seniornya itu.
"Kalian juga kedinginan?" tanya Nita pada juniornya yang berjongkok. Mereka menggeleng serempak.
"Kalian ada yang tahu bubur gunung terbuat dari apa aja?" tanya Mike. Cowok tinggi dan punya hidung mancung itu sangat ditunggu-tunggu kedatangannya di basecamp PA oleh kau hawa. Mike lebih perasa dibanding teman-temannya. Dia nggak tegaan melihat perempuan di kerjain. Sayangnya, tugasnya kali ini harus mengorbankan hati nuraninya.
"Kalau nggak salah nasi dimasak jadi bubur terus dicampur balsem, minyak kayu putih, daun seledri sama kecap, Ka."
"Pinter.." ucap Kang Deny di sebelah Mike.
Mike mengusap dada, tanda prihatin. Semua anggota berbaris, lalu Mike menyuapi satu persatu dengan bubur gunung. Siapa yang memuntahkan akan disuruh makan lagi.
Rangga menutup hidungnya saat sendok berisi bubur mendekat pada mulutnya. Lidahnya serasa mati rasa memakan bubur itu. Wajahnya sudah merah. Tenang saja bubur itu nggak bahaya, malah bisa mencegah supaya nggak masuk angin. Rasanya saja geli-geli pedas.
Ronde terakhir di kawasan pohon pisang. Tempat yang akan di singgahi calon anggota. Raka dan yang lain sudah bersiap menyambut tahanannya.
"Kalian pasti marah dong. Kesel pastinya dengan apa yang kalian terima?" tanya Raka dengan santai. Nggak ada jawaban dari juniornya, mereka takut menerima kejutan jika menjawab. Petugas orientasi mengambil satu persatu calon anggota untuk di bawa mereka.
"Teriak kuat-kuat sama pohon pisang ini. Anggep aja pohon ini orang yang lo benci," perintah Raka, dan juniornya adalah Nayla. Entah, sengaja atau tidak Raka memilih Nayla. Tangannya dimasukan ke saku hoodie-nya, matanya mengamati gadis itu.
"Kamu jahat," teriak Nayla pada pohon pisang itu
"Kurang kencang! Kurang gizi lo!"
"BRENGSEK !"
"Kurang panjang! Teriak yang kuat, nggak bisa marah? Bilang cinta aja sama pohonnya anggep gebetan lo. Keluarin isi hati lo, teriak suka hati lo."
"Manusia kurang ajar! Nggak punya otak. Nggak ada pri-kemanusiaan! Brengsek! Tolol, otak udang ! Cowok kamsupay! Gara-gara lo gue sial!" teriak Nayla dengan emosi.
"Sebutin nama yang lo benci."
"RAKA NICHOLAS CIPUTRA!" teriak Nayla spontan. Setelah itu Nayla terdiam sejenak, lalu menoleh pada Raka. Cowok itu sedang menatapnya lekat. Nayla menelan saliva.
"Sudah puas?"
Nayla tidak menjawab, ia menundukkan kepalanya menatap tanah. Jangan sampai ia diamuk Raka, rasanya sudah nggak punya tenaga lagi meladeni Raka sekarang.
Cowok itu menyuruh Nayla mengikutinya. Mereka menuju tempat air seperti selokan yang panjang. Mata air dari gunung melewati selokan itu. Tampak beberapa calon anggota sedang di orientasi juga. Nayla disuruh masuk ke dalam selokan itu, setengah tubuhnya sudah terendam. Raka berjongkok di atas selokan, kepalanya tertunduk melihat Nayla.
"Materi apa aja yang lo baca?"
"Lupa," jawab Nayla ketus.
"Rendam diri lo, kepalanya harus basah. Semuanya harus basah." Raka memberi perintah.
Nayla mengepalkan tangannya, dia menahan nafas lalu berendam beberapa detik, kemudian bangkit dan duduk lagi. Raka bisa melihat mata gadis itu sudah merah dan tubuhnya gemetar, tapi tidak sedikit pun Nayla mengeluh.
"Anak pecinta alam itu nggak ada yang manja, cengeng. Semua harus siap mental, apa pun yang harus dihadapi." Ujar Raka, "Semua cewek bisa cantik dengan perawatan. Tapi nggak semua punya mental yang kuat."
"--- Kata-kata itu cuma bisa keluar dari mulut cowok nggak punya perasaan," balas Nayla telak. " Ini putaran terakhir, kan? Game's over!" Nayla bangkit dari genangan air itu. Bajunya basah hingga membentuk lekukan tubuhnya. Lalu melewati Raka begitu saja.
Raka berdehem menatap pemandangan itu, nyaris membuatnya salah tingkah.
"Semuanya terima kasih untuk partisipasinya. Semoga anggota baru jangan ada yang kapok. Terus semangat mengikuti ekskul pecinta alam." Reno sang Presiden PA memberi kata sambutan."Besok pagi kita akan naik gunung sampai puncak. Kalian pasti nggak sabaran kan mau ke sana?" Semua menyahut dengan bersorak kegirangan. Mereka mengelilingi api unggun. Api itu menghangatkan tubuh mereka malam itu. Dengan syahdu mereka melantunkan lagu MAHAMERU diiringi suara gitar Raka. Raka main gitar? Nayla mendengus kesal. Cowok yang menurutnya sudah termasuk dalam deretan sempurna sebagai cowok. Dan sekarang, dia punya kelebihan lagi."La, lo mandi?" tanya Rangga. Nayla menyahut dengan menggelengkan kepalanya. "Kok rambut lo nggak kotor lagi? Tadi kan
15 menit berlalu. Perjalanan mereka masih lumayan jauh. Keringat sudah bercucuran di tubuh mereka. Sebagian orang mengambil kayu yang tergeletak untuk dijadikan tongkat. Walaupun tubuh mereka sudah kehabisan tenaga, mereka masih semangat untuk sampai ke puncak. Nayla terhenti dengan nafas tersengal-sengal, ia menundukkan kepala lalu memijit dengkulnya yang sudah mulai keram. Ini pertama kalinya cewek itu mengeluarkan tenaga paling banyak. "Nih pegang," tiba-tiba Reno memberikan kayu kokoh untuk menjadi tongkat Nayla. "Makasih." Nayla tersenyum. Ini baru cowok, nggak kayak orang sebelah, galak. Nayla melirik dengan sinis Raka yang berada tidak jauh darinya. "Ayok," ajakReno. Nayla tersentak lalu mengikuti dengan kikuk di
Raka dan kawan-kawannya asyik masak mie dengan kompor gas yang kecil ala-ala anak kemping yang mereka bawa. Cowok itu tersenyum memandang sekeliling. Hal yang paling ia rindukan. Perjalanan ke puncak, udara yang sejuk dan minum kopi bersama pendaki lain. "Pemandangannya nggak berubah ya tiap kita ke sini," ujar Doni seraya mengaduk mienya. Wajahnya serius tampak prihatin. "Lo bangun aja kolam renang di sini, Don. Biar pemandangan berubah." Ujar Erga, disambut tawa teman-temannya. "Ya hilanglah pesona gunungnya, bego!" "Lo-nya yang bego! Percuma gue kuliahin." Abel masih tergelak. Mereka saling sahut-menyahut dengan tergelak. "Eh, dari tadi gue nggak liat Ellena sama genknya?" Mike mengedarkan pandangannya m
Raka yang berada tidak jauh, menghampiri mereka dengan tatapan penasaran. "Napa Kang?" tanya Raka. "Nayla Anastasya Susanto belum keliatan. Takutnya masih di gunung. Lihat noh, gunung udah ketutup kabut." Kang Deni melihat ke arah gunung. Mereka pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Kang Deni, raut wajah mereka berubah cemas. "Kita naik ke atas sekarang!" ucap Raka tegas. Di sahut anggukan yang lain. "Reno! Lo di sini amanin semua anak-anak. Gue sama alumni naik ke atas lagi." ucap Kang Deni dengan wajah serius. "Kang, gue ikut!" Reno hendak beranjak juga. "Boy, terus siapa yang nunggu sini. Sekarang waktunya lo tunjukin jiwa pemimpin lo, anggota lo di sini juga cemas. Mereka butuh lo juga," kata Doni menepuk bahu Reno. Cowok itu mengangguk tanda paham. "Ayok Kang, kita harus c
"Nayla...! Nay!!" Nayla mendongak mendengar namanya dipanggil. Tangannya mengusap air matanya. Telinganya semakin jelas mendengar suara itu. Sangat familiar, suara yang biasanya memarahi dia. Nayla bangkit, menyeret kakinya untuk mencari asal suara itu. "Tolong..." Nayla bergerak menuju cahaya senter itu. Raka terhenti, melihat wanita yang dicari ada di depannya. Ia bernafas lega. Akhirnya ketemu, bathin Raka lega. Tanpa pikir panjang Nayla berlari terseret-seret meraih Raka dan memeluknya. Betapa lega hatinya ada yang bisa menemukannya. Ia semakin mengeratkan pelukannya, suara tangisannya terdengar sangat kencang. Membuat seluruh penghuni hutan bisa mendengarnya. Raka yang tertegun dengan tindakan N
Pagi ituterdengar kicauan burung. Raka yang mulai tersadar dari tidurnya, membuka mata perlahan. Di sampingnya sudah ada sepasang mata yang masih terpejam. Bibir mereka terlalu dekat, bila Raka menundukkan kepalanya sedikit maka bibir itu akan bersentuhan. Ditatapnya lekat wajah gadis itu. Kalau nggak bawel ini cewek sebenarnya cantik juga. Raka menyingkirkan rambut yang menutupi mata Nayla. Lentik banget bulu matanya, bibirnya merah alami. Raka mulai tak kuasa menyentuh mata, hidungnya yang mancung, sampai ke bibir Nayla. Seperti ingin menjadikan miliknya. "Ciptaan Tuhan yang sempurna." Tiba-tiba Nayla menggerakkan kepala. Cepet-cepat Raka mengalihkan tangannya. Matanya ditutup seakan belum bangun sedari tadi. "Aaaaaaa!"
Raka menarik tangan Nayla hingga terjatuh ke dalam pangkuannya. Dia menurunkan tubuh cewek itu lalu menutup pintu mobil. Raka tidak menggubris panggilan Reno yang terdengar kesal. "Raka! Nayla nggak mau jangan dipaksa," ucap Reno turun dari mobil. Hingga mereka berhadapan. Tapi Raka tidak perduli. Raka menggendong Nayla dengan gaya bridal. Lalu menurunkan di atas jok motornya. Cowok itu memasang helm yang agak longgar di kepala Nayla. Ternyata size kepala laki-laki dan perempuan berbeda. Nayla, menelan saliva. Belum sadar dengan keterkejutannya, kini Raka meraih tangannya ke dalam pinggang cowok itu. Nayla melepaskan pinggang Raka. "Jatoh gue nggak tangung ya." Mendengar itu dengan sangat terpaksa Nayla memeluk pinggang Raka kembali. Raka tersenyum dibalik helmnya. Di sisi lain, seisi penumpang tr
Waktu menunjukkan pukul 1 malam, hiruk pikuk dunia malam membuat Jakarta tidak pernah senyam-sunyi. Salah satu club malam menjadi tempat pilihan Raka, Mike, Doni, dan Erga, menghabiskan waktu. Mereka menyukai club ini karena difasilitasi meja bilyard di lantai teratas. Kaca dinding di depan meja bilyard bisa melihat pemandangan ke bawah tempat orang yang berjoget ditemani DJ.Doni yang bersiap melakukan push out dalam bola bilyard mulai risih dengan gerak-gerik Raka. Cowok itu membalik-balikan ponsel di tangannya. Wajahnya tampak berfikir."Banting aja banting! Atau kasih gue hape lo. Amal, dari pada lo puter-puter terus kan kasian hape-nya pusing," ujar Doni memutar bola mata pada Raka."Bacot! Sodok aja bola lo. Kebanyakan strategi! Setahun baru nyodok bolanya," cibir Raka. Matanya menunjuk bola yang digantung Doni seperti hubungan."Sabar dong, gue kan pen
Kilasan tentang pertemuannya dengan Jenny saat ini kembali. Jenny tidak terlalu banyak perubahan, dia sangat pintar merawat dirinya. Namanya model memang lebih berpengalaman dalam perawatan. Tubuhnya terbentuk dengan indah, tatapannya masih lembut tapi terkesan angkuh.Nayla menatap perempuan di depannya ini dengan senyum tipis, masih bingung dengan situasinya saat ini. Sepertinya semua orang terfokus padanya bukan pada Beca yang punya acara.Kemudian Nayla melirik jari manis Jenni, lalu tersenyum tipis. Dia jadi ingat pesan terakhir Jenni saat itu.Aku harap kamu mundur, Nayla. Karna kamu akan menyebabkan pertunangan aku sama Raka batal. Aku harap kamu masih punya hati nurani."Selamat ya untuk hari bahagia kamu."Nayla hanya tertegun mendengar ucapan Jenny, dia masih tak bergeming dengan balutan kebaya putih da
Mike, Doni, Erga, dan Rangga berpenampilan rapih dengan jas berwarna senada. Sebagai groomsmen mereka datang lebih awal dibanding para tamu undangan. Rangga yang paling antusias dengan acara ini sudah memegang camera sambil memasuki tempat itu. Bermaksud mengabadikan acara sakral temannya."Bro, lo kelihatan pucat banget. Nervous ya?" Rangga meledek sambil menyorot laki-laki berpenampilan serba putih itu. Wajahnya yang tampan dan berpenampilan paling menonjol itu dari tadi menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkan dengan pelan. Sangking nervousnya."Jangan diganggu Ga kepala suku, dia lagi berdoa biar acaranya gak bubar karena ditolak calon pengantin." Suara itu dari Doni, karena yang di sorot tidak merespon ucapan Rangga.Rangga memberikan cameranya pada Mike untuk bergantian memvideokan, lalu dia menepuk bahu cowok yang terlihat tegang itu. "Gue mah nitip dia aja ya. Jaga baik-baik jangan sampe lepas lagi. Terus nitip keponakan yang cakep-cakep."
"Tunggu di situ jangan kemana-mana!"Suara cemas itu terdengar dari balik ponsel. Cewek berambut lurus sepunggung itu baru saja turun dari pesawat."Gue bisa naik taxi.""Gak bisa lo udah gue jemput." Bagas menegaskan."Gue kan udah bilang gak mau dijemput. Pokoknya gue pulang sendiri," ucapnya seraya mengambil barangnya lalu melangkah bersama para penumpang yang lainnyaSetelah 17 jam perjalanan dan untungnya hanya sekali transit. Akhirnya Nayla kembali menghirup udara di Jakarta. Jika kalian mau tahu berapa lama Nayla tinggal di London, jawabannya sangat membanggakan. Dia berhasil menyelesaikan kuliahnya walaupun dengan hasil yang pas-pasan. Tapi pengalaman hidup yang dia dapat sangatlah berharga. Sambil kuliah Nayla menyibukkan dirinya dengan berkerja part time. Pekerjaan serabutan, berkali-kali dia pindah pekerjaan.Menjadi pelayan di McDonald's, penjaga toko, dan Nayl
Dear, my Boy...Untuk kamu yang selalu punya tempat di hatiku.Entah apa yang harus aku tuangkan dalam secarik kertas ini. Sekalipun ada goresan tinta yang indah, tapi nggak akan bisa mengalahkan indahnya perasaanku untuk kamu, sayang.Enggak ada yang kusesali dari hubungan ini. Bertemu dengan kamu adalah anugrah. Dan berpisah dengan kamu adalah takdir yang harus terjadi.Aku tahu, aku nggak cukup sempurna. Dan caraku mencintai kamu mungkin salah, hingga membuat wanita lain terluka. Aku sadar, aku bukanlah satu-satunya wanita yang ada tempat di hati kamu.Tapi entah kenapa, tiba – tiba saja muncul dalam pikiranku, apakah aku pantas mendampingi kamu? Apa aku bisa bahagia saat wanita lain terluka.Perpisahan ini berat, percayalah aku pun merasakannya. Tapi ini yang terbaik untuk kita. Sampai kita sama-sama
Aku mencintai kamu.Rasa ini teramat nyata hingga hati ini terlalu sakit, saat sadar kamu meninggalkanku lagi. Nayla sudah berada di bandara bersama keluarga dan teman-temannya. Sungguh, perasaannya bercampur aduk sekarang ini. Nayla menarik nafas berat, tangannya menggenggam travel bagnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia akan pergi sendiri ke tempat yang jauh.FlashbackNayla mendongak melihat Raka sudah berdiri di depannya, cowok itu menatapnya penuh perasaan."Lain kali, jangan pernah pergi sendirian. Apalagi ke tempat yang masih baru buat lo."Nayla mengangguk pelan, ia menerima uluran tangan Raka. "Janji sama gu
"Gue harus pergi sekarang." Nayla tersenyum kecil pada Jenni. Sedikit menoleh Doni. Laki-laki itu hanya diam dari tadi tapi Nayla tahu Doni sedikit terganggu dengan obrolan mereka. Nayla beranjak membuka pintu. "Nayla... Mungkin kalau nggak ada Raka diantara kita. Gue pengen lo jadi kawan gue. Seharusnya kita bisa jadi sahabat," ucap Jenni memandang Nayla yang berdiri di depan pintu.Nayla hanya mendengar itu tanpa menoleh dan pergi meninggalkan kamar Jenni. "Gue harus nelpon Raka." Ucap Doni mengambil handphone-nya dari saku celana. "Jangan berani lo ngomong apa-apa sama Raka! Bentar lagi dia ke sini, lo pergi dari sini kalau mau bikin Raka tahu tentang kepergian Nayla," bentak Jenni, dia terlalu takut kehilangan Raka. Doni menjambak rambutnya, frustasi. Jennife
Matanya melihat ke arah langit. Langit yang gelap dihiasi bintang. Pemandangan langit sama saja bukan, saat kita dimana pun melihatnya. Nayla menyenderkan bahunya ke belakang sambil mendengus. "Kamu bilang pendidikan penting, tapi kenapa kamu sekarang gak ada buat dukung aku." Monolognya. Nayla melihat ponsel yang dipegang-nya, jangan berharap karena berharap itu sakit. Padahal dia sangat membutuhkan bahu laki-laki itu untuk bersandar. Lupakan mungkin Raka sedang berada di rumah sakit. Nayla menutup matanya yang perih, menahan air mata yang ingin jatuh.Kamu terlalu sibuk dengan dia, Raka. Kamu nggak tau aku butuh kamu sekarang. "Nggak usah ngelamun di sini. Nanti diculik setan." Nayla membuka matanya karena kaget. Bagas sudah ada di dep
Langit seakan tak biru lagilaut seolah menghempas sepiberibu malam aku tangisimengalun sepi menyiksa hatiDan malam ini, Nayla terdiam. Isak ibunya terdengar perih, terasa gendang telinganya robek tersayat. Ia mengunci masuk hatinya dalam dipan bergembok.Meyakinkan diri ini adalah keputusan terbaik. "Mama nggak setuju!" Ayu bersuara serak sambil menyeka air matanya. Setelah makan malam dan meja makan dibersihkan, Nayla mengatakan keputusannya. Nayla menahan air matanya supaya tidak tumpah, dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya ia membuat wanita yang melahirkannya menangis dan Ayahnya terdiam dengan wajah muram. Semua ucapan Nayla berhasil membuat senyum keluarganya pudar. Nayla yang manja, tidak pernah hidup sendirian selama 18 tahun usianya kini mengambil ke
"Coffee..." Doni menyerahkan segelas coffee pada Raka, dia membelinya pada mesin otomatis yang ada di rumah sakit, sangat praktis bukan. "Thanks," ucap Raka, dia lagi tidak ingin tersenyum pada Doni. Mereka duduk di kursi yang berada diluar kamar Jenni padahal Raka sedang ingin sendiri tapi Doni menghampirinya. "Gue tahu hati lo lagi bercabang. Dari dulu gue iri sama lo, selalu aja banyak cewek yang ngejer-ngejer lo," ucap Doni dengan senyum pahit, laki-laki itu duduk di samping Raka. Raka tidak menggubris omongan Doni, apakah tepat membicarakan hal seperti itu dalam situasi seperti ini. Raka menaikan bahunya sedang menyeimbangkan posisi duduknya. "Dan yang paling gue iri. Lo bisa dapetin cewek kayak Nayla Anastasya Susanto. Menurut gue dia sedikit bodoh." Doni te