Seminggu kemudian
Nayla sibuk mempersiapkan keberangkatannya naik gunung. Jam sudah menunjukkan pukul 7.30 Tepat seminggu yang lalu ayahnya dengan berat hati mendatangani surat izin Nayla untuk berangkat ke Gunung.
"Jangan lupa bawa jaket yang tebal. Selimut di bawa aja, semua makanan yang di kulkas biar di bawa Nayla juga, dia pasti kecapean, tenaganya habis. Butuh makanan yang banyak," kata Rahmat memperhatikan istrinya menyusun barang Nayla ke rancel.
"Bawa susu ya La, buat jaga stamina kamu di sana," ibunya memasukan minuman ke rancel Nayla. Tadinya ayahnya menyarankan membawa koper, karena tatapan tajam istrinya niatnya itu diurungkan.
"Mau bawa apel, Jeruk apa pisang?" Rahmat menawarkan."Bawa semua aja ya, biar nggak kelaparan di sana."
"Naylaa bukan mau berangkat perang, jangan banyak-banyak diisi tasnya, nanti Nayla diketawain." Nayla merengut menatap tasnya.
"Iya iya." Rahmat menghela nafas.
"Mama udah siapin bontot kamu sama beras dan mie instan pesanan kamu. Taruh di mana ya?" Tas berwarna merah itu sudah terlihat padat dan susah di kancing.
"Ma...Kebanyakan ini. Kurangin ya." Nayla mengeluh melihat tasnya yang masih ingin disumpel.
"Tapikan semua penting." Rahmat menegaskan.
"Nayla mau naik gunung. Mana bisa Nayla gendong tas sepenuh ini. Yang ada encok duluan sebelum sampai ke atas."
"Papa telpon Sekolah. Minta tolong apa ada yang bisa bawain barang kamu di sana." Rahmat merogoh kantongnya mengambil ponsel. Membuat kedua wanita di depannya terbelalak.
"Paaa... nggak bisa gitulahhh." Nayla merengek, apa kata temannya nanti?
"Atau kakak kamu Bagas ikut ya, bisa kan?" Rahmat belum rela anaknya pergi jauh.
"Laahh, kok Bagas ikutan?" Bagas bangkit dari tengkurapnya. Niat bantuin malah berbaring di tempat tidur.
Celana boxer, kaos gombrang dan rambut yang acak-acakan membuat dia terlihat seperti cowok kebanyakan yang pemalas. Dan memang pemalas.
"Pa.. ini sekolah Nayla Bagas mana bisa ikut. Terlalu khawatir namanya. Sudah-sudah biarin Nayla yang mandiri sendiri." Ibu Nayla berkata. Rahmat pasrah.
"Biar Bagas nanti yang anter ke Sekolah aja. Buruan kamu mandi, nanti adikmu terlambat!"
* Nayla *
Diperjalanan hingga sampai di Sekolah tak henti-hentinya Bagas ceramah dan menyuruh Nayla mengurungkan niatnya.
"Ngapain sih ikut-ikutan ginian. Bagusan cancel aja," oceh Bagas sambil memarkirkan mobil.
"Cancel! Enak aja, ini masalah harga diri ka Bagas!"
"Slowww dong, esmosi gini. Awas ya kalau nanti ngeluh-ngeluh sakit sama nyokap bokap."
"Bawel banget sih dari tadi." Nayla keluar dari mobil.
"Laaa...Dari tadi gue carin baru muncul, cepatan kita mesti absen," teriak Beca yang tiba-tiba datang entah dari mana.
" Nih, tas lo." Bagas mengeluarkan tas Nayla lalu memberikan padanya. Untung saja sudah dikurangin isinya jadi terasa ringan saat Nayla menggendongnya.
Seketika itu juga Beca terpesona dengan Bagas. Matanya tidak berkedip sedetikpun. Yang dilihat Beca Bagas yang ini bukan yang baru bangun tidur mungkin tidak seliar itu mata Beca.
"Kenalin dong, La." Beca menyikut lengan Nayla.
"Sama siapa, Abang gue?" tanya Nayla melihat Bagas, "Abang gue namanya Bagas."
"Beca, tapi kalau mau mau manggil C-nya diganti K ya, ntar di sangka becak lagi. Kawan terdekat Nayla, satu bangku juga, " tanpa aba-aba Beca mengulurkan tangannya di depan Bagas dengan senyum manis.
"Bagas."
Bagas termasuk cowok playboy yang gampang banget tersenyum dengan banyak wanita. Dia membalas uluran tangan Beca.
Lol, Beca malah terperdaya oleh senyum Bagas. Gadis itu memainkan ujung rambutnya dengan mata yang masih memandangi Bagas penuh kekaguman.
"Udah cepetan yuk, katanya buru-buru." Nayla melepaskan tangan Beca yang menempel di tangan Bagas.
"Ya udah gue balik. Hati-hati di sana," kata Bagas, tangannya mengacak-acak rambut Nayla.
"Rambut gue!!"
"Ka Bagas, rambut aku nggak diacakiin sekalian." Beca menyodorkan dirinya. Nayla menghembuskan nafas lalu menarik tangan Beca menjauh dari Bagas.
***
"Sini-sini yang belum absen," teriak salah seorang alumni memanggil anggotanya. Terlihat beberapa orang menghampirinya.
Setelah absen semua anak PA menaiki Truk bekas angkut pasir yang sudah menunggu. Ada 3 truk yang akan dipakai.
"Seriusan kita naik ini?" Rangga dan Nayla saling melotot di depan truk besar itu. Untungnya Nayla memakai celana training dan kaus longgar supaya mudah bergerak. Dan Rangga memilih celana pendek sedengkul dengan kaus yang pas badan.
"Iya. Namanya juga pecinta alam. Masa iya naik BMW. Gue naik truk yang di depan ya. Soalnya masih mau cek barang-barang." Kata Tina. Dia sekertaris sudah tugasnya ikut mengecek barang yang akan dibawa.
Beca yang sudah naik truk mengulurkan tangannya membantu Rangga yang kesusahan naik ke truk. Apalah daya Rangga bukan seperti cowok kebanyakan yang langsung loncat, tak kuat dengan beban badan Rangga, Beca menarik nafas berkali-kali mencoba sekuatnya menarik tangan Rangga. Tiba-tiba Abel dari samping Beca bantuin menarik tangan Rangga, dan tanpa sengaja malah kelebihan dosis hingga Rangga jatuh ke atas Abel, untungnya Beca menghindar dengan cepat. sontak saja Abel langsung menendang Rangga ke samping dinding mobil lalu pergi.
"Gila! Sakit banget, Itu cowok kelebihan tenaga kali ya, dikira bukan manusia main tendang," protes Rangga mengelus kepalanya yang kehantam dinding mobil.
"Lo nggak papa?" Beca membantu memegang tangan Rangga. "Dia itu cewek bego! Lo sih, pake acara nimpah dia."
"Serius cewek? Pantesan dadanya datar aja gitu. Mana gue tahu dia cewek!"
"Mata Lo picek." Beca mengusap wajah Rangga kasar.
Nayla yang diacuhkan Beca dan Rangga mencoba naik ke truk sendiri. Tiba-tiba melihat uluran tangan ternyata Reno yang menariknya.
"Makasih." Nayla masih terpesona melihat Reno, kini pandangan mereka semakin dekat. Cowok berprestasi, anak basket, ketua OSIS bahkan sekarang pecinta alam juga dia ikuti. Ramah dan ganteng lagi. Nayla semakin mengagumi. Reno tersenyum lalu turun dari truk untuk mengecek persiapan yang lain.
Akhirnya truk berangkat juga, setelah semua masuk ke dalam seperti masuk kedalam pengungsian walaupun berdesakan tampak mereka sangat gembira sambil membawa bendera merah putih juga bendera pecinta alam mereka.
Sambil bersenandung ria.
Tiga truk itu dikawal dengan 5 motor yang tidak lain adalah Raka dan kawan-kawannya. Para siswi keriangan melihat alumni mereka ikut.
Kurang lebih dua jam tibalah mereka. Kang Deni, Raka dan Reno meminta izin pada warga desa Berbura yang berada di kaki gunung untuk naik gunung. Warga menyambut hangat kedatangan mereka."Kita absen dulu baru naik ke atas sebelum gelap," teriak Reno. Para alumni hanya memantau dan memberi bantuan, selanjutnya para pengurus PA yang bertindak."Udah berapa bulan gue di rumah aja, lumayan bosan. Kalau udah gitu, gunung jadi tujuan gue," ucap Doni tersenyum melihat pemandangan pepohonan."Di gunung kita bisa berdamai dengan diri sendiri, sekaligus belajar menghargai kehidupan dan alam," ucap Kang Deni yang mengenakan pakaian serba hitam. Tidak lupa ia mengelus jenggotnya."Denger Don, mencintai alam berarti menjaga kebersihan. Lo buang puntung rokok sembarangan!" semprot Erga melihat Doni baru saja membuang bekas rokoknya."Khilaf gue, beneran. Sumpah!" Doni buru-buru mengambil yang dia buang.
Nayla, Rangga, dan Desy berjalan saling dorong-dorongan ke depan mengikuti arahan. Hanya terdengar suara jangkrik dan angin malam. Semua pohon di sekeliling tampak berwarna gelap. Mereka menebak-nebak apa yang akan terjadi dalam hati. Terlihat dari kejauhan Doni sedang menunggu di bawah pohon dengan api unggun. "Sebelum kita mulai, kita kenalan dulu. Nama gue--" "Udah kenal Ka Doni, siapa coba yang nggak kenal," potong Desy dengan senyum manis. Mereka jongkok di depan api unggun berhadapan dengan Doni. "Okeh kalau gitu," ucap Doni tersenyum bangga. "Kalian sekarang masuk ke area abang Doni, udah pada baca lembaran materi yang kemarin dibagiin, kan?" tanya Doni. "Gue kasih pertanyaan, jawab dengan benar," ucap Doni menatap ketiga juniornya. "Nggak inget
"Semuanya terima kasih untuk partisipasinya. Semoga anggota baru jangan ada yang kapok. Terus semangat mengikuti ekskul pecinta alam." Reno sang Presiden PA memberi kata sambutan."Besok pagi kita akan naik gunung sampai puncak. Kalian pasti nggak sabaran kan mau ke sana?" Semua menyahut dengan bersorak kegirangan. Mereka mengelilingi api unggun. Api itu menghangatkan tubuh mereka malam itu. Dengan syahdu mereka melantunkan lagu MAHAMERU diiringi suara gitar Raka. Raka main gitar? Nayla mendengus kesal. Cowok yang menurutnya sudah termasuk dalam deretan sempurna sebagai cowok. Dan sekarang, dia punya kelebihan lagi."La, lo mandi?" tanya Rangga. Nayla menyahut dengan menggelengkan kepalanya. "Kok rambut lo nggak kotor lagi? Tadi kan
15 menit berlalu. Perjalanan mereka masih lumayan jauh. Keringat sudah bercucuran di tubuh mereka. Sebagian orang mengambil kayu yang tergeletak untuk dijadikan tongkat. Walaupun tubuh mereka sudah kehabisan tenaga, mereka masih semangat untuk sampai ke puncak. Nayla terhenti dengan nafas tersengal-sengal, ia menundukkan kepala lalu memijit dengkulnya yang sudah mulai keram. Ini pertama kalinya cewek itu mengeluarkan tenaga paling banyak. "Nih pegang," tiba-tiba Reno memberikan kayu kokoh untuk menjadi tongkat Nayla. "Makasih." Nayla tersenyum. Ini baru cowok, nggak kayak orang sebelah, galak. Nayla melirik dengan sinis Raka yang berada tidak jauh darinya. "Ayok," ajakReno. Nayla tersentak lalu mengikuti dengan kikuk di
Raka dan kawan-kawannya asyik masak mie dengan kompor gas yang kecil ala-ala anak kemping yang mereka bawa. Cowok itu tersenyum memandang sekeliling. Hal yang paling ia rindukan. Perjalanan ke puncak, udara yang sejuk dan minum kopi bersama pendaki lain. "Pemandangannya nggak berubah ya tiap kita ke sini," ujar Doni seraya mengaduk mienya. Wajahnya serius tampak prihatin. "Lo bangun aja kolam renang di sini, Don. Biar pemandangan berubah." Ujar Erga, disambut tawa teman-temannya. "Ya hilanglah pesona gunungnya, bego!" "Lo-nya yang bego! Percuma gue kuliahin." Abel masih tergelak. Mereka saling sahut-menyahut dengan tergelak. "Eh, dari tadi gue nggak liat Ellena sama genknya?" Mike mengedarkan pandangannya m
Raka yang berada tidak jauh, menghampiri mereka dengan tatapan penasaran. "Napa Kang?" tanya Raka. "Nayla Anastasya Susanto belum keliatan. Takutnya masih di gunung. Lihat noh, gunung udah ketutup kabut." Kang Deni melihat ke arah gunung. Mereka pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Kang Deni, raut wajah mereka berubah cemas. "Kita naik ke atas sekarang!" ucap Raka tegas. Di sahut anggukan yang lain. "Reno! Lo di sini amanin semua anak-anak. Gue sama alumni naik ke atas lagi." ucap Kang Deni dengan wajah serius. "Kang, gue ikut!" Reno hendak beranjak juga. "Boy, terus siapa yang nunggu sini. Sekarang waktunya lo tunjukin jiwa pemimpin lo, anggota lo di sini juga cemas. Mereka butuh lo juga," kata Doni menepuk bahu Reno. Cowok itu mengangguk tanda paham. "Ayok Kang, kita harus c
"Nayla...! Nay!!" Nayla mendongak mendengar namanya dipanggil. Tangannya mengusap air matanya. Telinganya semakin jelas mendengar suara itu. Sangat familiar, suara yang biasanya memarahi dia. Nayla bangkit, menyeret kakinya untuk mencari asal suara itu. "Tolong..." Nayla bergerak menuju cahaya senter itu. Raka terhenti, melihat wanita yang dicari ada di depannya. Ia bernafas lega. Akhirnya ketemu, bathin Raka lega. Tanpa pikir panjang Nayla berlari terseret-seret meraih Raka dan memeluknya. Betapa lega hatinya ada yang bisa menemukannya. Ia semakin mengeratkan pelukannya, suara tangisannya terdengar sangat kencang. Membuat seluruh penghuni hutan bisa mendengarnya. Raka yang tertegun dengan tindakan N
Pagi ituterdengar kicauan burung. Raka yang mulai tersadar dari tidurnya, membuka mata perlahan. Di sampingnya sudah ada sepasang mata yang masih terpejam. Bibir mereka terlalu dekat, bila Raka menundukkan kepalanya sedikit maka bibir itu akan bersentuhan. Ditatapnya lekat wajah gadis itu. Kalau nggak bawel ini cewek sebenarnya cantik juga. Raka menyingkirkan rambut yang menutupi mata Nayla. Lentik banget bulu matanya, bibirnya merah alami. Raka mulai tak kuasa menyentuh mata, hidungnya yang mancung, sampai ke bibir Nayla. Seperti ingin menjadikan miliknya. "Ciptaan Tuhan yang sempurna." Tiba-tiba Nayla menggerakkan kepala. Cepet-cepat Raka mengalihkan tangannya. Matanya ditutup seakan belum bangun sedari tadi. "Aaaaaaa!"
Kilasan tentang pertemuannya dengan Jenny saat ini kembali. Jenny tidak terlalu banyak perubahan, dia sangat pintar merawat dirinya. Namanya model memang lebih berpengalaman dalam perawatan. Tubuhnya terbentuk dengan indah, tatapannya masih lembut tapi terkesan angkuh.Nayla menatap perempuan di depannya ini dengan senyum tipis, masih bingung dengan situasinya saat ini. Sepertinya semua orang terfokus padanya bukan pada Beca yang punya acara.Kemudian Nayla melirik jari manis Jenni, lalu tersenyum tipis. Dia jadi ingat pesan terakhir Jenni saat itu.Aku harap kamu mundur, Nayla. Karna kamu akan menyebabkan pertunangan aku sama Raka batal. Aku harap kamu masih punya hati nurani."Selamat ya untuk hari bahagia kamu."Nayla hanya tertegun mendengar ucapan Jenny, dia masih tak bergeming dengan balutan kebaya putih da
Mike, Doni, Erga, dan Rangga berpenampilan rapih dengan jas berwarna senada. Sebagai groomsmen mereka datang lebih awal dibanding para tamu undangan. Rangga yang paling antusias dengan acara ini sudah memegang camera sambil memasuki tempat itu. Bermaksud mengabadikan acara sakral temannya."Bro, lo kelihatan pucat banget. Nervous ya?" Rangga meledek sambil menyorot laki-laki berpenampilan serba putih itu. Wajahnya yang tampan dan berpenampilan paling menonjol itu dari tadi menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkan dengan pelan. Sangking nervousnya."Jangan diganggu Ga kepala suku, dia lagi berdoa biar acaranya gak bubar karena ditolak calon pengantin." Suara itu dari Doni, karena yang di sorot tidak merespon ucapan Rangga.Rangga memberikan cameranya pada Mike untuk bergantian memvideokan, lalu dia menepuk bahu cowok yang terlihat tegang itu. "Gue mah nitip dia aja ya. Jaga baik-baik jangan sampe lepas lagi. Terus nitip keponakan yang cakep-cakep."
"Tunggu di situ jangan kemana-mana!"Suara cemas itu terdengar dari balik ponsel. Cewek berambut lurus sepunggung itu baru saja turun dari pesawat."Gue bisa naik taxi.""Gak bisa lo udah gue jemput." Bagas menegaskan."Gue kan udah bilang gak mau dijemput. Pokoknya gue pulang sendiri," ucapnya seraya mengambil barangnya lalu melangkah bersama para penumpang yang lainnyaSetelah 17 jam perjalanan dan untungnya hanya sekali transit. Akhirnya Nayla kembali menghirup udara di Jakarta. Jika kalian mau tahu berapa lama Nayla tinggal di London, jawabannya sangat membanggakan. Dia berhasil menyelesaikan kuliahnya walaupun dengan hasil yang pas-pasan. Tapi pengalaman hidup yang dia dapat sangatlah berharga. Sambil kuliah Nayla menyibukkan dirinya dengan berkerja part time. Pekerjaan serabutan, berkali-kali dia pindah pekerjaan.Menjadi pelayan di McDonald's, penjaga toko, dan Nayl
Dear, my Boy...Untuk kamu yang selalu punya tempat di hatiku.Entah apa yang harus aku tuangkan dalam secarik kertas ini. Sekalipun ada goresan tinta yang indah, tapi nggak akan bisa mengalahkan indahnya perasaanku untuk kamu, sayang.Enggak ada yang kusesali dari hubungan ini. Bertemu dengan kamu adalah anugrah. Dan berpisah dengan kamu adalah takdir yang harus terjadi.Aku tahu, aku nggak cukup sempurna. Dan caraku mencintai kamu mungkin salah, hingga membuat wanita lain terluka. Aku sadar, aku bukanlah satu-satunya wanita yang ada tempat di hati kamu.Tapi entah kenapa, tiba – tiba saja muncul dalam pikiranku, apakah aku pantas mendampingi kamu? Apa aku bisa bahagia saat wanita lain terluka.Perpisahan ini berat, percayalah aku pun merasakannya. Tapi ini yang terbaik untuk kita. Sampai kita sama-sama
Aku mencintai kamu.Rasa ini teramat nyata hingga hati ini terlalu sakit, saat sadar kamu meninggalkanku lagi. Nayla sudah berada di bandara bersama keluarga dan teman-temannya. Sungguh, perasaannya bercampur aduk sekarang ini. Nayla menarik nafas berat, tangannya menggenggam travel bagnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia akan pergi sendiri ke tempat yang jauh.FlashbackNayla mendongak melihat Raka sudah berdiri di depannya, cowok itu menatapnya penuh perasaan."Lain kali, jangan pernah pergi sendirian. Apalagi ke tempat yang masih baru buat lo."Nayla mengangguk pelan, ia menerima uluran tangan Raka. "Janji sama gu
"Gue harus pergi sekarang." Nayla tersenyum kecil pada Jenni. Sedikit menoleh Doni. Laki-laki itu hanya diam dari tadi tapi Nayla tahu Doni sedikit terganggu dengan obrolan mereka. Nayla beranjak membuka pintu. "Nayla... Mungkin kalau nggak ada Raka diantara kita. Gue pengen lo jadi kawan gue. Seharusnya kita bisa jadi sahabat," ucap Jenni memandang Nayla yang berdiri di depan pintu.Nayla hanya mendengar itu tanpa menoleh dan pergi meninggalkan kamar Jenni. "Gue harus nelpon Raka." Ucap Doni mengambil handphone-nya dari saku celana. "Jangan berani lo ngomong apa-apa sama Raka! Bentar lagi dia ke sini, lo pergi dari sini kalau mau bikin Raka tahu tentang kepergian Nayla," bentak Jenni, dia terlalu takut kehilangan Raka. Doni menjambak rambutnya, frustasi. Jennife
Matanya melihat ke arah langit. Langit yang gelap dihiasi bintang. Pemandangan langit sama saja bukan, saat kita dimana pun melihatnya. Nayla menyenderkan bahunya ke belakang sambil mendengus. "Kamu bilang pendidikan penting, tapi kenapa kamu sekarang gak ada buat dukung aku." Monolognya. Nayla melihat ponsel yang dipegang-nya, jangan berharap karena berharap itu sakit. Padahal dia sangat membutuhkan bahu laki-laki itu untuk bersandar. Lupakan mungkin Raka sedang berada di rumah sakit. Nayla menutup matanya yang perih, menahan air mata yang ingin jatuh.Kamu terlalu sibuk dengan dia, Raka. Kamu nggak tau aku butuh kamu sekarang. "Nggak usah ngelamun di sini. Nanti diculik setan." Nayla membuka matanya karena kaget. Bagas sudah ada di dep
Langit seakan tak biru lagilaut seolah menghempas sepiberibu malam aku tangisimengalun sepi menyiksa hatiDan malam ini, Nayla terdiam. Isak ibunya terdengar perih, terasa gendang telinganya robek tersayat. Ia mengunci masuk hatinya dalam dipan bergembok.Meyakinkan diri ini adalah keputusan terbaik. "Mama nggak setuju!" Ayu bersuara serak sambil menyeka air matanya. Setelah makan malam dan meja makan dibersihkan, Nayla mengatakan keputusannya. Nayla menahan air matanya supaya tidak tumpah, dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya ia membuat wanita yang melahirkannya menangis dan Ayahnya terdiam dengan wajah muram. Semua ucapan Nayla berhasil membuat senyum keluarganya pudar. Nayla yang manja, tidak pernah hidup sendirian selama 18 tahun usianya kini mengambil ke
"Coffee..." Doni menyerahkan segelas coffee pada Raka, dia membelinya pada mesin otomatis yang ada di rumah sakit, sangat praktis bukan. "Thanks," ucap Raka, dia lagi tidak ingin tersenyum pada Doni. Mereka duduk di kursi yang berada diluar kamar Jenni padahal Raka sedang ingin sendiri tapi Doni menghampirinya. "Gue tahu hati lo lagi bercabang. Dari dulu gue iri sama lo, selalu aja banyak cewek yang ngejer-ngejer lo," ucap Doni dengan senyum pahit, laki-laki itu duduk di samping Raka. Raka tidak menggubris omongan Doni, apakah tepat membicarakan hal seperti itu dalam situasi seperti ini. Raka menaikan bahunya sedang menyeimbangkan posisi duduknya. "Dan yang paling gue iri. Lo bisa dapetin cewek kayak Nayla Anastasya Susanto. Menurut gue dia sedikit bodoh." Doni te