"Dia presiden PA? Pantesan, ketua OSIS. Biar gampang dapet surat izin dari sekolah untuk naik gunung," bisik Rangga pada Nayla.
"Hushh..." tegur Nayla.
"Dan juga wakil presiden PA Galih Kusuma," lanjut Erga. Lalu seorang cowok dari sebelah kiri melambaikan tangan sambil tersenyum.
Prokk! Prok! Prokk!
"Sekertaris PA kita Nona cantik Agustina Putri." Teriak Erga penuh semangat.
Tina dengan penuh pesona melambaikan tangan pada anggota baru, auranya semakin membuat kaum cowok bersorak.
"La, itu Tina kita sekertaris PA?" Rangga mengguncang lengan Nayla karena kaget, baru ini dia ketinggalan berita.
"Gue juga baru tahu, Ga. Lo kan temennya, harusnya gue yang nanya!" Ujar Nayla bingung, Tina dan Beca sama sekali nggak cerita.
Prook! Prokkk! Prokk...
"Dan juga pawang kita yang nggak ganti-ganti Kang Deni." Erga lebih sopan karena menghargai.
Laki-laki berumur sekitaran 37 tahun itu melambaikan tangan tanpa senyum. Rambut gondrong yang terlihat gimbal membuatnya mirip dengan Limbad.
"Kita sambut yang selalu ditunggu-tunggu!! Mantan alumni presiden Pecinta alam kita, Raka Nicholas Ciputra." Erga menoleh kanan kiri mencari. "Mana dianya ya," gumam Erga.
Raka Nicholas Ciputra, nama itu tidak asing di telinga Nayla. Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Udara menjadi dingin di ruangan itu.
Tidak lama seorang cowok muncul dari sebelah kanan. Cara jalannya kayak ngelihat model cowok jalan di catwalk diiringi lagu IM ON FIRE song Liar. Semua mata tertuju padanya, dengan imej bad boynya tetap saja selalu mendapatkan sambutan paling meriah.
"Ganteng banget."
"Alumni terfavorit dahh."
Para siswi berdecak kagum melihat laki-laki tanpa senyum itu.
"Kalau itu gue kenal La, dari Sabang sampe Marauke pasti pada tahu Raka. Dia alumni legendaris sekolah kita," ujar Rangga. Nayla seakan berhenti bernafas melihat Raka, apalagi sambutan meriah tertuju pada cowok itu. Matanya nggak berkedip melihat cowok dengan celana robek itu.
"Baiklah, sekarang kita mulai perkenalan untuk calon anggota baru. Gue serahin ke Presiden kita yang sekarang, Reno."
Kepala otak Nayla seakan berputar-putar. Satu hari dua kali bertemu dengan cowok brengsek itu. Nggak berbeda dengan Nayla, Raka juga sama. Pandangannya ke arah Nayla, bibirnya menorehkan segaris senyum tipis. I see you...
Reno memegang mix memandang ke arah calon anggota baru dan berkata, "Gue akan nunjuk kalian satu persatu maju ke depan untuk memperkenalkan diri dan kasih alasan kenapa kalian masuk ekskul PA."
Apes dah nasib gue, Nayla meruntuki dirinya.
"Kamu ... Sini maju." Reno menunjuk wanita bertubuh agak gemuk sebelah kiri.
"Nama aku Fera," ucap Fera, walaupun agak sedikit gemuk Fera kelihatan lincah.
"Yakin mau masuk ekskul ini?" tanya Reno. Fera mengangguk pasti.
"Kasih alasan."
"Aku mencintai keindahan Mahameru, Ka."
Reno bertepuk tangan ringan. "Ok, silakan duduk. Lanjut sebelahnya."
"Nama Dinda, alasannya biar nambahin pengalaman."
"Mia, alasan aku mau ikut karena ada ka Reno," tersenyum ke arah Reno.
"Cieeeeecieee," satu angkatan Reno tertawa menggodanya.
"Aku Desy. Alasan aku karena mau megang ular," kata Desy dengan semangat.
"Don!!" Teriak Raka, suaranya serak-serak basah. Terdengar sexy dan macho. "Kasih dia pegang ular." Membuat yang lain terkaget.
Doni membawa wanita itu untuk melihat ular. Tidak lama terdengar Desy berteriak sekeras-kerasnya, pasti ketakutan. Mereka pun terkekeh.
Tiba giliran Nayla. Dia berdiri di depan tanpa bicara. Semua menunggu suaranya. Semangat 45-nya hilang sekelip mata hanya karena Raka. Cowok seketus itu, bagaimana mungkin jadi idola yang dielu-elukan. Nayla menggigit bibirnya.
"Woii buruan, jangan tidur di situ!" teriak Raka yang sedari tadi melihat Nayla.
"Maaf, gue tarik lagi formulir gue," kata Nayla datar. Teriakan Raka semakin membuatnya tidak ingin ikutan ekskul ini.
"Kenapa?" tanya Reno terheran dan kecewa.
"Kayaknya gue nggak ada alasan untuk ada di sini."
Mendengar ucapan itu Raka geram. Matanya seperti elang yang siap memangsa. Semua yang berbisik-bisik menutup mulut saat Raka berucap. "Terus lo pikir ini tempat hiburan, iya? Suka-suka lo gitu... Kasih alasan kenapa lo mau cabut sebelum masuk!" Ucap Raka dari tempatnya dengan tatapan tajam.
Ya gara-gara Lo, bego!
"Golongan darah saya A. Cepat capek. Kayanya nggak cocok deh ikut ekskul ini. Gue pikir dari -"
"Ngapa baru mikir sekarang? Kebanyakan mikir lo, telat!! Itu bukan alasan buat gue." Raka memotong ucapan Nayla.
Cowok itu menaikan sudut bibir atas, menatap Nayla tak berkedip. Cewel ini membuatnya marah berkali-kali lipat. Raka ingin dia ada di kawasan wilayahnya.
"Kaki gue suka linu kalau jalan jauh. Gue nggak jadi ikut ekskul ini." Nayla mencari alasan.
"Lo penyakitan?" tanya Raka, menyindir. Perdebatan mereka menjadi tontonan sekeliling mereka, kalau Raka sudah angkat bicara tidak ada satu orang pun yang berani ikut campur.
"Apa penyakitan?! Enak aja bilang gue penyakitan. Gue sehat walafiat!" Nayla menaikan kedua alisnya menatap Raka.
"Ok, selesai. Berarti nggak ada alasan lo narik formulir. Tanggung jawab dengan yang lo tulis. Gue mau lo tetap ikut PA. Atau gue akan bilang lo anak mami yang penyakitan!" setelah itu Raka pergi meninggalkan lapangan disusul Erga, Mike, dan Doni di belakangnya.
Nayla mengepalkan tangan.
Ellena, cewek cantik keturunan Belanda itu memperhatikan sedari tadi. Tatapan nggak suka terlihat jelas di matanya. "Siapa yang bawa dia?" tanya Ellena pada cewek di sampingnya.
"Kawan Tina ama Beca. Anak baru sih denger-denger," mendengar itu Ellena tersenyum sinis. Menurutnya Nayla hanya cari perhatian Raka dengan cara melawan Raka.
"Acara perkenalan kita sampe sini aja. Gue bagiin selembaran kertas buat materi kalian dan surat izin untuk Minggu depan kita kemah di Gunung Rajabasa." Reno menunjukan selembaran surat izin dan materi.
"Ini materi kalian baca dan akan kami Training di Gunung nanti."
Galih dan Erick berkeliling membagikan lembaran. Reno menghampiri Nayla memberikan selembaran.
"Bisa ikut kan?" tanya Reno dengan senyum ramah.
"Kalo nggak ikut, ntar gue dibilang penyakitan atau anak mami," jawab Nayla kesal, menerima lembaran itu.
"Ok. Gue tunggu kedatangan lo ya." Reno tersenyum lagi membuat Nayla tersipu. Ternyata kalau di lihat dari dekat Reno semakin ganteng. Matanya memandangi punggung Reno yang membagikan lembaran ke depannya.
* Nayla *
"Rak, lo tadi udah keterlaluan sama cewek yang lo teriakin tadi. Cakep-cakep dibilang penyakitan," ujar Doni, siap-siap menghidupkan motor sportnya.
Raka mengacuhkan perkataan Doni. Best friends-nya sedari dulu, bahkan mereka satu kampus tapi beda jurusan. Raka menggas motornya terus-menerus tanpa berjalan. Motor sportnya berbalut warna hitam, dengan desain full fairing dapat menarik perhatian para pecinta motor sport.
Raka membuka kaca helm, "Yakin ama gue, tuh cewek susah di omongin. Biar nggak makin jadi nantinya. Kalau didiemin ngelunjak nanti."
"Cantik mah bebas bertingkah," timpal Erga tertawa mengingat Nayla.
"Jangan galak-galak sama anak baru, lo tadi kayak mau makan dia tahu gak." Ujar Doni. "Apalagi dia imut. Bikin gemes..."
Raka melirik ke teman-temannya, percuma protes. Raka paling nggak suka anak baru banyak tingkah. Dari pertama kenal tuh cewek, udah bikin emosi.
"Lagu lama Rak, pura-pura marah padahal demen," ledek Mike tertawa sambil menghidupkan mesinnya.
"Bacot." Decak Raka.
Gelak tawa mereka menghilang diiringi derum motor mereka. Para alumni paling berpengaruh itu meninggalkan sekolah.
Bukan karena anak pemilik yayasan dan berwajah tampan Raka paling terkenal dan populer dikalangan adik tingkat, seangkatan, dan senior. Dia cowok gentle, penakluk gunung. Setia kawan dan melindungi juniornya. Bukan tipe playboy yang suka mengambil kesempatan jika ada wanita yang mengangguminya. Nggak suka ngelike foto cewek di I*******m.
Bangga tuh yang bakal jadi ceweknya.
Seminggu kemudianNayla sibuk mempersiapkan keberangkatannya naik gunung. Jam sudah menunjukkan pukul 7.30 Tepat seminggu yang lalu ayahnya dengan berat hati mendatangani surat izin Nayla untuk berangkat ke Gunung."Jangan lupa bawa jaket yang tebal. Selimut di bawa aja, semua makanan yang di kulkas biar di bawa Nayla juga, dia pasti kecapean, tenaganya habis. Butuh makanan yang banyak," kata Rahmat memperhatikan istrinya menyusun barang Nayla ke rancel."Bawa susu ya La, buat jaga stamina kamu di sana," ibunya memasukan minuman ke rancel Nayla. Tadinya ayahnya menyarankan membawa koper, karena tatapan tajam istrinya niatnya itu diurungkan."Mau bawa apel, Jeruk apa pisang?" Rahmat menawarkan."Bawa semua aja ya, biar nggak kelaparan di sana.""Naylaa bukan mau berangkat perang, jangan banyak-b
Kurang lebih dua jam tibalah mereka. Kang Deni, Raka dan Reno meminta izin pada warga desa Berbura yang berada di kaki gunung untuk naik gunung. Warga menyambut hangat kedatangan mereka."Kita absen dulu baru naik ke atas sebelum gelap," teriak Reno. Para alumni hanya memantau dan memberi bantuan, selanjutnya para pengurus PA yang bertindak."Udah berapa bulan gue di rumah aja, lumayan bosan. Kalau udah gitu, gunung jadi tujuan gue," ucap Doni tersenyum melihat pemandangan pepohonan."Di gunung kita bisa berdamai dengan diri sendiri, sekaligus belajar menghargai kehidupan dan alam," ucap Kang Deni yang mengenakan pakaian serba hitam. Tidak lupa ia mengelus jenggotnya."Denger Don, mencintai alam berarti menjaga kebersihan. Lo buang puntung rokok sembarangan!" semprot Erga melihat Doni baru saja membuang bekas rokoknya."Khilaf gue, beneran. Sumpah!" Doni buru-buru mengambil yang dia buang.
Nayla, Rangga, dan Desy berjalan saling dorong-dorongan ke depan mengikuti arahan. Hanya terdengar suara jangkrik dan angin malam. Semua pohon di sekeliling tampak berwarna gelap. Mereka menebak-nebak apa yang akan terjadi dalam hati. Terlihat dari kejauhan Doni sedang menunggu di bawah pohon dengan api unggun. "Sebelum kita mulai, kita kenalan dulu. Nama gue--" "Udah kenal Ka Doni, siapa coba yang nggak kenal," potong Desy dengan senyum manis. Mereka jongkok di depan api unggun berhadapan dengan Doni. "Okeh kalau gitu," ucap Doni tersenyum bangga. "Kalian sekarang masuk ke area abang Doni, udah pada baca lembaran materi yang kemarin dibagiin, kan?" tanya Doni. "Gue kasih pertanyaan, jawab dengan benar," ucap Doni menatap ketiga juniornya. "Nggak inget
"Semuanya terima kasih untuk partisipasinya. Semoga anggota baru jangan ada yang kapok. Terus semangat mengikuti ekskul pecinta alam." Reno sang Presiden PA memberi kata sambutan."Besok pagi kita akan naik gunung sampai puncak. Kalian pasti nggak sabaran kan mau ke sana?" Semua menyahut dengan bersorak kegirangan. Mereka mengelilingi api unggun. Api itu menghangatkan tubuh mereka malam itu. Dengan syahdu mereka melantunkan lagu MAHAMERU diiringi suara gitar Raka. Raka main gitar? Nayla mendengus kesal. Cowok yang menurutnya sudah termasuk dalam deretan sempurna sebagai cowok. Dan sekarang, dia punya kelebihan lagi."La, lo mandi?" tanya Rangga. Nayla menyahut dengan menggelengkan kepalanya. "Kok rambut lo nggak kotor lagi? Tadi kan
15 menit berlalu. Perjalanan mereka masih lumayan jauh. Keringat sudah bercucuran di tubuh mereka. Sebagian orang mengambil kayu yang tergeletak untuk dijadikan tongkat. Walaupun tubuh mereka sudah kehabisan tenaga, mereka masih semangat untuk sampai ke puncak. Nayla terhenti dengan nafas tersengal-sengal, ia menundukkan kepala lalu memijit dengkulnya yang sudah mulai keram. Ini pertama kalinya cewek itu mengeluarkan tenaga paling banyak. "Nih pegang," tiba-tiba Reno memberikan kayu kokoh untuk menjadi tongkat Nayla. "Makasih." Nayla tersenyum. Ini baru cowok, nggak kayak orang sebelah, galak. Nayla melirik dengan sinis Raka yang berada tidak jauh darinya. "Ayok," ajakReno. Nayla tersentak lalu mengikuti dengan kikuk di
Raka dan kawan-kawannya asyik masak mie dengan kompor gas yang kecil ala-ala anak kemping yang mereka bawa. Cowok itu tersenyum memandang sekeliling. Hal yang paling ia rindukan. Perjalanan ke puncak, udara yang sejuk dan minum kopi bersama pendaki lain. "Pemandangannya nggak berubah ya tiap kita ke sini," ujar Doni seraya mengaduk mienya. Wajahnya serius tampak prihatin. "Lo bangun aja kolam renang di sini, Don. Biar pemandangan berubah." Ujar Erga, disambut tawa teman-temannya. "Ya hilanglah pesona gunungnya, bego!" "Lo-nya yang bego! Percuma gue kuliahin." Abel masih tergelak. Mereka saling sahut-menyahut dengan tergelak. "Eh, dari tadi gue nggak liat Ellena sama genknya?" Mike mengedarkan pandangannya m
Raka yang berada tidak jauh, menghampiri mereka dengan tatapan penasaran. "Napa Kang?" tanya Raka. "Nayla Anastasya Susanto belum keliatan. Takutnya masih di gunung. Lihat noh, gunung udah ketutup kabut." Kang Deni melihat ke arah gunung. Mereka pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Kang Deni, raut wajah mereka berubah cemas. "Kita naik ke atas sekarang!" ucap Raka tegas. Di sahut anggukan yang lain. "Reno! Lo di sini amanin semua anak-anak. Gue sama alumni naik ke atas lagi." ucap Kang Deni dengan wajah serius. "Kang, gue ikut!" Reno hendak beranjak juga. "Boy, terus siapa yang nunggu sini. Sekarang waktunya lo tunjukin jiwa pemimpin lo, anggota lo di sini juga cemas. Mereka butuh lo juga," kata Doni menepuk bahu Reno. Cowok itu mengangguk tanda paham. "Ayok Kang, kita harus c
"Nayla...! Nay!!" Nayla mendongak mendengar namanya dipanggil. Tangannya mengusap air matanya. Telinganya semakin jelas mendengar suara itu. Sangat familiar, suara yang biasanya memarahi dia. Nayla bangkit, menyeret kakinya untuk mencari asal suara itu. "Tolong..." Nayla bergerak menuju cahaya senter itu. Raka terhenti, melihat wanita yang dicari ada di depannya. Ia bernafas lega. Akhirnya ketemu, bathin Raka lega. Tanpa pikir panjang Nayla berlari terseret-seret meraih Raka dan memeluknya. Betapa lega hatinya ada yang bisa menemukannya. Ia semakin mengeratkan pelukannya, suara tangisannya terdengar sangat kencang. Membuat seluruh penghuni hutan bisa mendengarnya. Raka yang tertegun dengan tindakan N
Kilasan tentang pertemuannya dengan Jenny saat ini kembali. Jenny tidak terlalu banyak perubahan, dia sangat pintar merawat dirinya. Namanya model memang lebih berpengalaman dalam perawatan. Tubuhnya terbentuk dengan indah, tatapannya masih lembut tapi terkesan angkuh.Nayla menatap perempuan di depannya ini dengan senyum tipis, masih bingung dengan situasinya saat ini. Sepertinya semua orang terfokus padanya bukan pada Beca yang punya acara.Kemudian Nayla melirik jari manis Jenni, lalu tersenyum tipis. Dia jadi ingat pesan terakhir Jenni saat itu.Aku harap kamu mundur, Nayla. Karna kamu akan menyebabkan pertunangan aku sama Raka batal. Aku harap kamu masih punya hati nurani."Selamat ya untuk hari bahagia kamu."Nayla hanya tertegun mendengar ucapan Jenny, dia masih tak bergeming dengan balutan kebaya putih da
Mike, Doni, Erga, dan Rangga berpenampilan rapih dengan jas berwarna senada. Sebagai groomsmen mereka datang lebih awal dibanding para tamu undangan. Rangga yang paling antusias dengan acara ini sudah memegang camera sambil memasuki tempat itu. Bermaksud mengabadikan acara sakral temannya."Bro, lo kelihatan pucat banget. Nervous ya?" Rangga meledek sambil menyorot laki-laki berpenampilan serba putih itu. Wajahnya yang tampan dan berpenampilan paling menonjol itu dari tadi menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkan dengan pelan. Sangking nervousnya."Jangan diganggu Ga kepala suku, dia lagi berdoa biar acaranya gak bubar karena ditolak calon pengantin." Suara itu dari Doni, karena yang di sorot tidak merespon ucapan Rangga.Rangga memberikan cameranya pada Mike untuk bergantian memvideokan, lalu dia menepuk bahu cowok yang terlihat tegang itu. "Gue mah nitip dia aja ya. Jaga baik-baik jangan sampe lepas lagi. Terus nitip keponakan yang cakep-cakep."
"Tunggu di situ jangan kemana-mana!"Suara cemas itu terdengar dari balik ponsel. Cewek berambut lurus sepunggung itu baru saja turun dari pesawat."Gue bisa naik taxi.""Gak bisa lo udah gue jemput." Bagas menegaskan."Gue kan udah bilang gak mau dijemput. Pokoknya gue pulang sendiri," ucapnya seraya mengambil barangnya lalu melangkah bersama para penumpang yang lainnyaSetelah 17 jam perjalanan dan untungnya hanya sekali transit. Akhirnya Nayla kembali menghirup udara di Jakarta. Jika kalian mau tahu berapa lama Nayla tinggal di London, jawabannya sangat membanggakan. Dia berhasil menyelesaikan kuliahnya walaupun dengan hasil yang pas-pasan. Tapi pengalaman hidup yang dia dapat sangatlah berharga. Sambil kuliah Nayla menyibukkan dirinya dengan berkerja part time. Pekerjaan serabutan, berkali-kali dia pindah pekerjaan.Menjadi pelayan di McDonald's, penjaga toko, dan Nayl
Dear, my Boy...Untuk kamu yang selalu punya tempat di hatiku.Entah apa yang harus aku tuangkan dalam secarik kertas ini. Sekalipun ada goresan tinta yang indah, tapi nggak akan bisa mengalahkan indahnya perasaanku untuk kamu, sayang.Enggak ada yang kusesali dari hubungan ini. Bertemu dengan kamu adalah anugrah. Dan berpisah dengan kamu adalah takdir yang harus terjadi.Aku tahu, aku nggak cukup sempurna. Dan caraku mencintai kamu mungkin salah, hingga membuat wanita lain terluka. Aku sadar, aku bukanlah satu-satunya wanita yang ada tempat di hati kamu.Tapi entah kenapa, tiba – tiba saja muncul dalam pikiranku, apakah aku pantas mendampingi kamu? Apa aku bisa bahagia saat wanita lain terluka.Perpisahan ini berat, percayalah aku pun merasakannya. Tapi ini yang terbaik untuk kita. Sampai kita sama-sama
Aku mencintai kamu.Rasa ini teramat nyata hingga hati ini terlalu sakit, saat sadar kamu meninggalkanku lagi. Nayla sudah berada di bandara bersama keluarga dan teman-temannya. Sungguh, perasaannya bercampur aduk sekarang ini. Nayla menarik nafas berat, tangannya menggenggam travel bagnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia akan pergi sendiri ke tempat yang jauh.FlashbackNayla mendongak melihat Raka sudah berdiri di depannya, cowok itu menatapnya penuh perasaan."Lain kali, jangan pernah pergi sendirian. Apalagi ke tempat yang masih baru buat lo."Nayla mengangguk pelan, ia menerima uluran tangan Raka. "Janji sama gu
"Gue harus pergi sekarang." Nayla tersenyum kecil pada Jenni. Sedikit menoleh Doni. Laki-laki itu hanya diam dari tadi tapi Nayla tahu Doni sedikit terganggu dengan obrolan mereka. Nayla beranjak membuka pintu. "Nayla... Mungkin kalau nggak ada Raka diantara kita. Gue pengen lo jadi kawan gue. Seharusnya kita bisa jadi sahabat," ucap Jenni memandang Nayla yang berdiri di depan pintu.Nayla hanya mendengar itu tanpa menoleh dan pergi meninggalkan kamar Jenni. "Gue harus nelpon Raka." Ucap Doni mengambil handphone-nya dari saku celana. "Jangan berani lo ngomong apa-apa sama Raka! Bentar lagi dia ke sini, lo pergi dari sini kalau mau bikin Raka tahu tentang kepergian Nayla," bentak Jenni, dia terlalu takut kehilangan Raka. Doni menjambak rambutnya, frustasi. Jennife
Matanya melihat ke arah langit. Langit yang gelap dihiasi bintang. Pemandangan langit sama saja bukan, saat kita dimana pun melihatnya. Nayla menyenderkan bahunya ke belakang sambil mendengus. "Kamu bilang pendidikan penting, tapi kenapa kamu sekarang gak ada buat dukung aku." Monolognya. Nayla melihat ponsel yang dipegang-nya, jangan berharap karena berharap itu sakit. Padahal dia sangat membutuhkan bahu laki-laki itu untuk bersandar. Lupakan mungkin Raka sedang berada di rumah sakit. Nayla menutup matanya yang perih, menahan air mata yang ingin jatuh.Kamu terlalu sibuk dengan dia, Raka. Kamu nggak tau aku butuh kamu sekarang. "Nggak usah ngelamun di sini. Nanti diculik setan." Nayla membuka matanya karena kaget. Bagas sudah ada di dep
Langit seakan tak biru lagilaut seolah menghempas sepiberibu malam aku tangisimengalun sepi menyiksa hatiDan malam ini, Nayla terdiam. Isak ibunya terdengar perih, terasa gendang telinganya robek tersayat. Ia mengunci masuk hatinya dalam dipan bergembok.Meyakinkan diri ini adalah keputusan terbaik. "Mama nggak setuju!" Ayu bersuara serak sambil menyeka air matanya. Setelah makan malam dan meja makan dibersihkan, Nayla mengatakan keputusannya. Nayla menahan air matanya supaya tidak tumpah, dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya ia membuat wanita yang melahirkannya menangis dan Ayahnya terdiam dengan wajah muram. Semua ucapan Nayla berhasil membuat senyum keluarganya pudar. Nayla yang manja, tidak pernah hidup sendirian selama 18 tahun usianya kini mengambil ke
"Coffee..." Doni menyerahkan segelas coffee pada Raka, dia membelinya pada mesin otomatis yang ada di rumah sakit, sangat praktis bukan. "Thanks," ucap Raka, dia lagi tidak ingin tersenyum pada Doni. Mereka duduk di kursi yang berada diluar kamar Jenni padahal Raka sedang ingin sendiri tapi Doni menghampirinya. "Gue tahu hati lo lagi bercabang. Dari dulu gue iri sama lo, selalu aja banyak cewek yang ngejer-ngejer lo," ucap Doni dengan senyum pahit, laki-laki itu duduk di samping Raka. Raka tidak menggubris omongan Doni, apakah tepat membicarakan hal seperti itu dalam situasi seperti ini. Raka menaikan bahunya sedang menyeimbangkan posisi duduknya. "Dan yang paling gue iri. Lo bisa dapetin cewek kayak Nayla Anastasya Susanto. Menurut gue dia sedikit bodoh." Doni te