"Apa-apaan kamu, Mas? Tolong lepaskan," desis Maira yang masih menyusui putranya.Aku menggeleng cepat. "Enggak. Aku kedinginan." Meski sebenarnya hatiku berdebar tak karuan. Seumur-umur baru Maira perempuan yang aku peluk selain ibu dan adik-adikku."Mas—""Kenapa? Gak boleh aku memeluk istriku sendiri, hmm?""Aku ... risih.""Mulai malam ini, kita biasakan." "Tolonglah, Mas! Aku ... belum terbiasa. Jangan memaksa!""Mai ... aku ini tidak memiliki penyakit menular yang mematikan. Aku juga tidak menyebabkan seseorang menjadi gatal-gatal. Tidak, Mai. Jadi kamu harus terbiasa untuk kedekatan kita mulai sekarang."Terdengar hembusan napas berat dari perempuan yang masih aku peluk saat ini. "Terserah kamu sajalah," ucapnya pelan dan seperti menyerah.Aku melirik wajahnya yang nampak merengut, tetapi tidak membuatku melepaskan pelukan terhadapnya.Keanu terlihat masih semangat menyusu pada ibunya.
Aku berlari cepat menuju kolam yang ada di taman belakang ini. Tas kerjaku bahkan sampai terhempas saking terkejutnya aku."Mai!" Aku berteriak panik melihat tubuh Mai mengambang di tengah-tengah kolam sedalam hanya tiga meter.Aku panik karena Keanu juga menangis di gazebo kayu samping kolam renang ini. Sementara di sana, Mai tidak nampak bergerak. Terapung juga alat pembersih kolam dan banyak dedaunan kering."Sebentar ya, Nak. Om akan selamatkan dulu Ibumu," ucapku pada Keanu yang ditidurkan di atas gazebo.Aku langsung nyebur ke dalam kolam. Berenang ke tengah-tengah dengan cepat lalu menarik tubuh Maira dan membalikkan tubuhnya. Menepuk-nepuk pipinya dengan keras. "Mai, Mai, bangun, Mai. Bangun! Sadar!" ucapku coba menyadarkannya.Kulakukan terus menepuk-nepuk pipinya tetapi tetap tidak ada tanda-tanda Mai bangun. Bibirnya telah sedikit membiru. Duh, ada-ada saja. Di sana pun, tangis Keanu masih terus bergema.Secepatnya aku
Maira memundurkan tubuhnya dariku. Namun aku mengikuti langkahnya. Sehingga tubuh kami tetap berdekatan."Ap—apa ... memangnya?" tanya Maira tergagap.Aku tersenyum simpul pada Mai. Aku menjadikan jari telunjuk dan jari tengahku saling menempel, lalu ujungnya kutempelkan pada bibirku.Cup~Aku mencium ujung jari-jemariku yang menempel itu. Kemudian mendekatkannya pada bibir Maira. Perempuan itu mengelak memaksaku hari menahan kepala belakangnya.Sampai akhirnya, jariku menempel di bibirnya yang terkatup rapat. Cukup lama sebelum aku melepaskannya.Kening Maira terlihat mengernyit."Kenapa? Kamu tidak mengerti?" tanyaku melihat wajah Mai yang seperti tidak paham kode dariku itu."Atau ... harus aku praktekkan lagi?" tanyaku memberi pilihan.Kening Maira semakin melipat. "Apa yang perlu diulangi? Cara kamu menyadarkanku tadi? Tinggal katakan saja, tidak perlu diulangi, bukan?" cecarnya dengan raut wajah penuh tanya.Aku tersenyum penuh dengan kepala terangguk pelan. "Hmm, baiklah," ucap
Aku berdiam di ruang televisi, ditemani siaran dari layar lebar empat puluh dua inch yang menempel di dinding depan sana. Pikiran ini berkelana. Kejadian di kolam berenang tadi, terekam dalam ingatan dan menari-nari di pelupuk mata. Tanpa sadar, tanganku tergerak lalu menyentuh permukaan bibirku sendiri. Membelainya disertai kilasan kejadian tadi. Aku ingat bagaimana saat bibir ini beradu dengan mulut Mai. Memberinya napas buatan dan degup jantungku bertalu-talu saat mengingatnya sekarang."Astaga. Kenapa aku inget terus kejadian tadi sih?" cicitku seraya memejamkan mata.Tak hanya kejadian di kolam renang, apa yang terjadi di dalam kamar Mai pun terus terngiang dalam kepalaku.Bagaimana aku begitu berani memeluk lalu mencium perempuan berstatus istriku itu. Hatiku bergetar dipenuhi rasa yang tidak aku mengerti.Namun, Mai masih melakukan penolakan, tapi itu sangatlah wajar. Pernikahan ini belum sepenuhnya Mai terima.Kuhembus napas kasa
"Hah? S—siapa yang nangis? Gak ada ah. Abang gak denger apa-apa kok, kamu salah denger kali." Aku berjalan sambil pura-pura memasang telinga, mengelak apa yang adikku itu dengar. Padahal jelas sekali aku pun mendengar suara tangisan dari dalam kamar kedua."Gak mungkin salah denger. Jelas banget kok. Masa sih Abang gak denger?!" Hafsa berjalan menjauh dari ambang pintu ruang makan. Ia celingukan dan seperti menajamkan pendengarannya.Aku menelan ludah saat Hafsa berdiri di depan pintu kamar kedua."Suaranya dari sini, Bang," ucapnya dan sudah menempelkan telinga di daun pintu.Aku menggeleng. "Engga, Hafsa. Gak ada kok. Mana? Gak ada ah!" Aku terus mengelak."Ih, masa sih? Orang jelas banget tadi itu!" Kukuh Hafsa."Nggak ada, Sa, nggak ada! abang nggak denger apa-apa kok. Kamu pasti salah denger deh abang yakin!" ucapku menarik tangan Hafsa menjauh dari daun pintu kamar kedua. Namun Hafsa menepis tanganku yang memegangnya.
Jam tujuh malam, aku baru tiba di rumah. Keadaan rumah sudah sepi. Namun, pintu kamar kedua tidak begitu tertutup rapat. Aku mendorong daun pintu dan mengintip, hanya ada Keanu sendiri di tengah-tengah kasur.Aku pun menjauh dari kamar kedua. Menyimpan tas kerja di atas sofa ruang televisi. Aku bergegas mencari Mai di ruangan lain, dan menemukannya tengah membuat ASI booster di mini bar ruangan dapur.Aku berjalan pelan tanpa membuatnya tahu kedatanganku. Kemudian berdehem pelan setelah berdiri tepat di belakang tubuhnya yang duduk."Ehm!" seruku seperti orang ingin batuk.Maira berbalik dengan cepat. "Mas! Kamu bikin aku kaget!" ketusnya dan segera kembali berbalik.Bahkan, perempuan yang mengenakan kerudung instan itu sudah turun dari kursi mini bar. Dia telah berdiri dan hendak berlalu. Cepat aku merentangkan satu tanganku menghalangi jalannya.Maira menatapku sengit dengan kening melipat. Aku pun bergerak cepat mengeluarkan b
**********Kuhembus napas berat sembari meletakkan ponsel di atas nakas. Pikiranku dipenuhi tanya, segala upaya mulai aku lakukan untuk meluluhkan Mai. Tapi? Mai tetap membeku. Nyaris tidak ada kesempatan untukku menempati hatinya.Aku masih menatap langit-langit kamar. Berbaring dengan kedua tangan terbuka lebar. Aku masih enggan beranjak. Terbaring dalam posisi seperti ini untuk waktu yang lama.Aku masih terus terbayang perlakuan Mai dengan mawar yang kuberi. Belum apa-apa, dia sudah membuat nyali ini ciut. Entah bagaimana aku akan melanjutkan perasaan ini? Belum apa-apa saja, Mai sudah berhasil membuatku merasa terhempas. Bagaimana ke depan nanti?Apa aku harus berhenti?Kuraup wajah dengan dua telapak tangan. Aku bingung. Andai semua ini tidak dirahasiakan, aku pasti akan meminta bantuan Ibu dan Ayah untuk berbicara pada Mai.Angin malam makin terasa. Dingin menusuk kulit, membuatku makin malas beranjak, tapi juga badanku ge
Kening Mai nampak berkerut. Decihan turut terdengar dari mulutnya diikuti gelengan kepala"Kamu sudah besar. Sudah bisa makan sendiri, bukan? Berikan Keanu padaku, dan kamu makanlah, Mas!" Mai menolak dengan tegas. Tangannya sudah terulur di sampingku meminta Keanu agar diberikan padanya.Aku sedikit mendongak hingga menatapnya. Mai mengangguk kecil, seolah menegaskan agar aku menyerahkan Keanu.Cepat saja aku menarik tangan Mai dan tubuhnya tersentak hingga duduk di kursi sebelah kananku."Sekali saja dengarkan aku sebagai suami kamu, jangan terus membantah terus! Bisa kan?" desakku setengah berbisik dengan menatap tajam kepada Mai.Perempuan yang masih saja berkerudung walau dalam rumah ini terdiam.Nampak raut kesal di wajah cantiknya. Serta tidak ada jawaban baik penolakan atau pun mengiyakan yang dilontarkan.Dia justru menarik piring dari hadapanku sehingga berada di tengah-tengah kami. Dia mulai menyendok nasi goreng buatannya itu dan mendekatkan ke arah mulutku.Aku tersenyum