Jam tujuh malam, aku baru tiba di rumah. Keadaan rumah sudah sepi. Namun, pintu kamar kedua tidak begitu tertutup rapat. Aku mendorong daun pintu dan mengintip, hanya ada Keanu sendiri di tengah-tengah kasur.
Aku pun menjauh dari kamar kedua. Menyimpan tas kerja di atas sofa ruang televisi. Aku bergegas mencari Mai di ruangan lain, dan menemukannya tengah membuat ASI booster di mini bar ruangan dapur.Aku berjalan pelan tanpa membuatnya tahu kedatanganku. Kemudian berdehem pelan setelah berdiri tepat di belakang tubuhnya yang duduk."Ehm!" seruku seperti orang ingin batuk.Maira berbalik dengan cepat. "Mas! Kamu bikin aku kaget!" ketusnya dan segera kembali berbalik.Bahkan, perempuan yang mengenakan kerudung instan itu sudah turun dari kursi mini bar. Dia telah berdiri dan hendak berlalu. Cepat aku merentangkan satu tanganku menghalangi jalannya.Maira menatapku sengit dengan kening melipat. Aku pun bergerak cepat mengeluarkan b**********Kuhembus napas berat sembari meletakkan ponsel di atas nakas. Pikiranku dipenuhi tanya, segala upaya mulai aku lakukan untuk meluluhkan Mai. Tapi? Mai tetap membeku. Nyaris tidak ada kesempatan untukku menempati hatinya.Aku masih menatap langit-langit kamar. Berbaring dengan kedua tangan terbuka lebar. Aku masih enggan beranjak. Terbaring dalam posisi seperti ini untuk waktu yang lama.Aku masih terus terbayang perlakuan Mai dengan mawar yang kuberi. Belum apa-apa, dia sudah membuat nyali ini ciut. Entah bagaimana aku akan melanjutkan perasaan ini? Belum apa-apa saja, Mai sudah berhasil membuatku merasa terhempas. Bagaimana ke depan nanti?Apa aku harus berhenti?Kuraup wajah dengan dua telapak tangan. Aku bingung. Andai semua ini tidak dirahasiakan, aku pasti akan meminta bantuan Ibu dan Ayah untuk berbicara pada Mai.Angin malam makin terasa. Dingin menusuk kulit, membuatku makin malas beranjak, tapi juga badanku ge
Kening Mai nampak berkerut. Decihan turut terdengar dari mulutnya diikuti gelengan kepala"Kamu sudah besar. Sudah bisa makan sendiri, bukan? Berikan Keanu padaku, dan kamu makanlah, Mas!" Mai menolak dengan tegas. Tangannya sudah terulur di sampingku meminta Keanu agar diberikan padanya.Aku sedikit mendongak hingga menatapnya. Mai mengangguk kecil, seolah menegaskan agar aku menyerahkan Keanu.Cepat saja aku menarik tangan Mai dan tubuhnya tersentak hingga duduk di kursi sebelah kananku."Sekali saja dengarkan aku sebagai suami kamu, jangan terus membantah terus! Bisa kan?" desakku setengah berbisik dengan menatap tajam kepada Mai.Perempuan yang masih saja berkerudung walau dalam rumah ini terdiam.Nampak raut kesal di wajah cantiknya. Serta tidak ada jawaban baik penolakan atau pun mengiyakan yang dilontarkan.Dia justru menarik piring dari hadapanku sehingga berada di tengah-tengah kami. Dia mulai menyendok nasi goreng buatannya itu dan mendekatkan ke arah mulutku.Aku tersenyum
Mata jernih itu membulat sempurna. Menatapku tajam diikuti gelengan kepala. "Enggak mau ...," jawabnya pelan."Kenapa? Bukankah kamu istriku? Bahkan setiap jengkal tubuh kamu halal bagiku," sahutku sambil tetap membalas tatapannya.Mai kembali menggeleng. "Tapi aku tidak mau. Aku tidak mengizinkan kamu melakukannya.""Kenapa tidak mau? Mmm ... atau kamu takut?"Alis Mai naik. "Takut apa?""Takut jatuh cinta padaku."Bibir itu seketika menekuk. "Tidak juga.""Lalu?""Y—ya ... pokoknya aku gak mau aja. Titik!"Kuhembus napas kasar. "Fix! Kamu memang takut jatuh cinta padaku!"Wajah Mai merengut. "Memangnya kenapa kamu mau cium-cium aku?""Ya kamu istriku. Aku berhak melakukan apa saja pada kamu selagi itu tidak menyakiti dan mencelakai fisikmu. Tapi, aku meminta izin terlebih dulu sebelum melakukannya, karena aku sadar akan status kita sekarang ini.""Kalau kamu menolak tanpa sebab, artinya kamu memang takut jatuh cinta," lanjutku.Mai nampak terdiam. Bola matanya mengarah ke bawah dan
************Malam kian larut. Sunyi sepi hanya hembusan angin yang seolah berbisik. Saling bersahutan dengan detak dari jarum jam dinding. Aku tak dapat tidur. Rasa kantuk tak kunjung tidur. Hanya langit-langit kamar kedua yang kutatap saat ini.Lekas kuubah posisi, berbaring menyamping dan mendapati dua orang yang mengisi kamar ini telah sama-sama tertidur.Maira di hadapanku. Tidur dengan dengkuran halus yang terdengar teratur. Keanu berada di tengah-tengah kami. Bayi kecil itu pun nampak terlelap.Kuhembus napas kasar. Memandangi dua wajah di hadapanku yang begitu tenang mengarungi lautan mimpinya masing-masing. Sedangkan aku, sendirian tak kunjung mengantuk.Malam ini, kesempatan aku mencium Maira telah hangus. Gara-gara, aku mengecupnya saat memakan spaghetti tadi. Katanya, aku mencuri-curi kesempatan. Sehingga, Mai tidak membolehkanku menciumnya sebelum tertidur. Padahal, seharusnya, aku menciumnya saat di tempat tidur seperti ini. Sebelum kami sama-sama menyelami mimpi.Aku men
************Hujan turun begitu derasnya saat aku hendak pulang setelah jam praktik habis. Langkahku tertahan di teras rumah sakit. Kutatap langit yang begitu gelap dengan curah hujan yang tumpah ruah. Jas hujanku yang biasa tersimpan di bagasi motor, sepertinya tertinggal saat kemarin sore Mai melepasnya. Dan entah dimana ia menyimpannya lagi. Aku masih harus memakai motor karena mobilku masih di bengkel dan belum selesai diperbaiki.Mau tak mau, aku pun berteduh lebih dulu seperti sekarang. Bersama dengan pasien lain yang juga terjebak hujan sore hari ini.Berdiri sambil bersedekap dan menyender pada dinding. Aku memandangi rinai hujan yang turun begitu rapat membasahi jalanan. Untungnya saluran air di rumah sakit ini sangat baik, sehingga tidak menyebabkan genangan air di halamannya.Entah kapan hujan akan berhenti atau paling tidak ya mereda. Agar aku bisa pulang tanpa harus kehujanan. Namun dari curah hujannya, tidak ada tanda-tanda hujan akan cepat berhenti.Padahal aku sudah ri
*************Mataku rasanya begitu lengket. Sekujur tubuh rasanya begitu dingin. Gemeletuk gigiku terdengar beradu karena aku yang menggigil. Napasku terasa lebih cepat, dan kepalaku rasanya pusing sekali.Tenggorokan pun tak terelakkan sakitnya, seperti ada duri tersangkut. Entah apa yang terjadi, tapi dari gejalanya aku terserang demam. Kemungkinan karena kemarin aku kehujanan. Padahal setelah tiba di rumah, aku langsung membersihkan tubuh dan memastikan air hujan telah mengalir luruh."Mas ...?" Sayup aku mendengar suara Maira. Namun, aku tak mampu membuka mata untuk memastikannya."Kenapa kamu tidur di sini, Mas?""Enggh ...." Aku tak mampu berkata hanya bisa menggeram tertahan sungguh badanku terasa tak nyaman.Hingga usapan lembut terasa di dahiku."Ya ampun Mas, kamu panas banget!"Kudengar kembali suara itu dan barulah membuatku yakin jika itu benar-benar Maira.
***************Sudah hampir tiga hari aku tidak pergi praktik ke rumah sakit. Tubuhku masih terasa lemas. Lalu selama 3 hari itu pula, Maira yang merawatku dengan sabar dan telaten. Perempuan itu benar-benar mengurusku dengan baik. Meski Aku ini seorang dokter yang sudah memiliki izin praktik dan orang-orang sakit berobat padaku, tapi saat aku sendiri yang sakit, aku sangat tidak suka meminum obat. Aneh memang tapi seperti inilah keadaannya.Selama 3 hari aku hanya berdiam di rumah tanpa bisa melakukan banyak aktivitas. Semua diurusi oleh Maira dengan begitu baik, hingga sakitku berangsur pulih dan kini hanya tinggal terasa lemasnya di sekujur tubuh.Seperti siang hari ini, selesai sarapan bubur pagi tadi lalu makan siang, aku tak juga beranjak dari sofa ruangan televisi. Hanya berdiam duduk di sofa ditemani siaran yang berlangsung di depan televisi sana. Sampai perlahan tubuhku luruh dan terbaring di sofa panjang, dan rasa kantuk perlahan menyergap. Menggerayangi mata dan membuatku
Dua puluh hari berlalu*****************POV HUMAIRABulan bertahta sempurna. Bulat penuh begitu kokoh menempati singgasananya. Bersinar terang merayu syahdu. Memancar indah menerangi qolbu.Tepat di malam purnama ini, di rumah Ibu Hilma tengah berlangsung acara empat puluh hari kematian. Mirisnya, akulah yang tengah diperingati. Entah jasad siapa yang Mas Arsa bawa saat itu. Tanpa memastikan dengan sebenar-benarnya, seluruh anggota keluargaku itu justru larut dalam kesedihan atas kepergian jasad yang diduga ialah aku. Mereka meratap dan menguburnya dengan penuh keyakinan bahwa akulah yang sudah meninggal itu.Namun sebenarnya yang terjadi adalah kesalahan pahaman. Aku sehat dan baik-baik saja. Aku pergi dari rumah Mas Arsa dan pulang ke rumah Bu Cantika dengan bus, tapi karena keteledoranku, kalung peninggalan Ibu Feli ternyata dicuri saat aku tengah tertidur di bangku penumpang sehingga tidak menjaga tas milikku dengan baik.Sehingga membuatku harus kembali ke rumah Mas Arsa, dan di
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y