************Hujan turun begitu derasnya saat aku hendak pulang setelah jam praktik habis. Langkahku tertahan di teras rumah sakit. Kutatap langit yang begitu gelap dengan curah hujan yang tumpah ruah. Jas hujanku yang biasa tersimpan di bagasi motor, sepertinya tertinggal saat kemarin sore Mai melepasnya. Dan entah dimana ia menyimpannya lagi. Aku masih harus memakai motor karena mobilku masih di bengkel dan belum selesai diperbaiki.Mau tak mau, aku pun berteduh lebih dulu seperti sekarang. Bersama dengan pasien lain yang juga terjebak hujan sore hari ini.Berdiri sambil bersedekap dan menyender pada dinding. Aku memandangi rinai hujan yang turun begitu rapat membasahi jalanan. Untungnya saluran air di rumah sakit ini sangat baik, sehingga tidak menyebabkan genangan air di halamannya.Entah kapan hujan akan berhenti atau paling tidak ya mereda. Agar aku bisa pulang tanpa harus kehujanan. Namun dari curah hujannya, tidak ada tanda-tanda hujan akan cepat berhenti.Padahal aku sudah ri
*************Mataku rasanya begitu lengket. Sekujur tubuh rasanya begitu dingin. Gemeletuk gigiku terdengar beradu karena aku yang menggigil. Napasku terasa lebih cepat, dan kepalaku rasanya pusing sekali.Tenggorokan pun tak terelakkan sakitnya, seperti ada duri tersangkut. Entah apa yang terjadi, tapi dari gejalanya aku terserang demam. Kemungkinan karena kemarin aku kehujanan. Padahal setelah tiba di rumah, aku langsung membersihkan tubuh dan memastikan air hujan telah mengalir luruh."Mas ...?" Sayup aku mendengar suara Maira. Namun, aku tak mampu membuka mata untuk memastikannya."Kenapa kamu tidur di sini, Mas?""Enggh ...." Aku tak mampu berkata hanya bisa menggeram tertahan sungguh badanku terasa tak nyaman.Hingga usapan lembut terasa di dahiku."Ya ampun Mas, kamu panas banget!"Kudengar kembali suara itu dan barulah membuatku yakin jika itu benar-benar Maira.
***************Sudah hampir tiga hari aku tidak pergi praktik ke rumah sakit. Tubuhku masih terasa lemas. Lalu selama 3 hari itu pula, Maira yang merawatku dengan sabar dan telaten. Perempuan itu benar-benar mengurusku dengan baik. Meski Aku ini seorang dokter yang sudah memiliki izin praktik dan orang-orang sakit berobat padaku, tapi saat aku sendiri yang sakit, aku sangat tidak suka meminum obat. Aneh memang tapi seperti inilah keadaannya.Selama 3 hari aku hanya berdiam di rumah tanpa bisa melakukan banyak aktivitas. Semua diurusi oleh Maira dengan begitu baik, hingga sakitku berangsur pulih dan kini hanya tinggal terasa lemasnya di sekujur tubuh.Seperti siang hari ini, selesai sarapan bubur pagi tadi lalu makan siang, aku tak juga beranjak dari sofa ruangan televisi. Hanya berdiam duduk di sofa ditemani siaran yang berlangsung di depan televisi sana. Sampai perlahan tubuhku luruh dan terbaring di sofa panjang, dan rasa kantuk perlahan menyergap. Menggerayangi mata dan membuatku
Dua puluh hari berlalu*****************POV HUMAIRABulan bertahta sempurna. Bulat penuh begitu kokoh menempati singgasananya. Bersinar terang merayu syahdu. Memancar indah menerangi qolbu.Tepat di malam purnama ini, di rumah Ibu Hilma tengah berlangsung acara empat puluh hari kematian. Mirisnya, akulah yang tengah diperingati. Entah jasad siapa yang Mas Arsa bawa saat itu. Tanpa memastikan dengan sebenar-benarnya, seluruh anggota keluargaku itu justru larut dalam kesedihan atas kepergian jasad yang diduga ialah aku. Mereka meratap dan menguburnya dengan penuh keyakinan bahwa akulah yang sudah meninggal itu.Namun sebenarnya yang terjadi adalah kesalahan pahaman. Aku sehat dan baik-baik saja. Aku pergi dari rumah Mas Arsa dan pulang ke rumah Bu Cantika dengan bus, tapi karena keteledoranku, kalung peninggalan Ibu Feli ternyata dicuri saat aku tengah tertidur di bangku penumpang sehingga tidak menjaga tas milikku dengan baik.Sehingga membuatku harus kembali ke rumah Mas Arsa, dan di
***Malam berlalu berganti pagi menjelang. Aku sudah bangun dan beraktivitas seperti biasa. Pun dengan Mas Arsa yang sudah meninggalkan pembaringan dan kami telah melaksanakan shalat Subuh berjamaah di mushola rumah.Saat waktu baru menunjukkan pukul enam, bahkan aku masih menyiapkan nasi goreng mentega untuk sarapan pagi ini, Mas Arsa nampak telah rapi dengan jas hitam polosnya.Aku yang sedang berkutat di meja kitchen set, lelaki berusia tiga puluh tahun itu nampak sedang menuangkan air putih ke dalam gelas lalu meneguknya hingga tandas."Lho, Mas, kamu udah rapi?" tanyaku.Mas Arsa lantas berjalan menghampiriku. "Iya, pimpinan rumah sakit tiba-tiba nelpon dan mendadak ngasih tahu ada rapat sebelum jam praktik. Jadi aku harus pergi sekarang," jelasnya."Tapi kamu belum sarapan. Sebentar lagi juga ini siap kok," sergahku pada Mas Arsa.Namun, lelaki itu menggeleng. "Gak papa. Aku sarapan di kantin aja nanti. Aku harus segera
Sekarang aku tengah di perjalanan. Petugas kepolisian membawaku dalam mobilnya. Pandanganku kosong, menatap lurus pada jalanan di depan sana. Hingga tangis Keanu menyadarkanku. Kepala ini lantas menunduk dan menatap pada bayi kecilku yang tengah menangis kencang.Aku gelagapan sebelum akhirnya sadar apa yang harus aku lakukan. Memijat pelan bagian payudara dari luar kain pakaian, sampai kemudian memberikan Keanu ASI. Untungnya kerudung instan yang kukenakan memiliki kain yang lebar, sehingga bisa menutupi area dada tanpa mengganggu kenyaman Keanu yang tengah menyusu.Keanu tak lagi menangis setelah menyusu padaku sedangkan aku kembali melempar tatapan ke arah jalanan depan yang gelap.Entah sudah berapa lama aku berada di dalam mobil ini. Sampai kemudian mobil menepi di depan sebuah bangunan rumah sakit kepolisian.Aku diminta segera turun dari dalam mobil. Seorang pria yang juga tadi mendatangi rumah mendampingiku memasuki bangunan rumah sakit. Langkahku gontai dengan kaki terasa tak
"Buk, bangun, Buk." Aku berjongkok di samping Ibu Hilma seraya menepuk-nepuk pipinya."Buk, bangun," ucapku kembali coba menyadarkannya. Namun, tidak berhasil. Ibu Hilma masih tak sadarkan diri."Ibu!" Sebuah teriakan membuatku menoleh. Nampak Ayah Yuda yang berlari dari ambang pintu menuju ke arahku dan Ibu Hilma.Kedua netra Ayah melotot padaku. "K—kamu …?" ucapnya terbata sambil menggelengkan kepalanya.Aku mengangguk patah-patah. "Iya, Ayah," jawabku pelan sekali sembari menatap Ayah dengan nanar. "T—tidak mungkin. Ini tidak mungkin!" Ayah mendengkus mengibaskan tangannya kasar, sebelum kemudian mengucek mata bergantian. Melihatku dengan penuh selidik."Aku Maira, Ayah," ucapku memberitahu Ayah.Namun, Ayah terus saja menggeleng diikuti decihan dari mulutnya. "Gak mungkin. Ini pasti cuma mimpi," cicitnya lalu beralih menatap Ibu. Kemudian menepuk-nepuk pipinya."Bu, bangun, Bu. Sadar. Atau sebenarnya, justru Ayah yang sedang bermimpi?" gumamnya sambil mengusap wajah.Aku meraih t
Aku beserta Ibu juga Ayah segera mendatangi ruangan rawat seperti yang suster informasikan. Mencari ruangan nomor lima di kamar Bougenville rumah sakit kepolisian ini. Kemudian masuk setelah mendapatkannya. Tidak ada batasan orang saat kami ingin masuk bersamaan ke dalam ruang rawat. Sehingga masuklah kami bertiga bahkan sambil menggendong Askara."Ya Allah, Nak ... apa yang terjadi sama kamu?" Suara Ibu terdengar lemah di samping ranjang tempat Mas Arsa berbaring. Matanya telah terbuka meski begitu kecil. Dia juga dapat melihatku, ayah dan ibunya ada di ruangan ini.Kami bertiga berdiri di sisi kanan brankar. Ayah berada di tengah-tengah antara aku dan Ibu Hilma. Mertuaku itu nampak menenangkan istrinya. Diusap penuh sayang punggung dari Ibu Hilma di sebelahnya. Seolah menyalurkan kekuatan atas kecelakaan yang rasanya tiba-tiba ini."Tenang, Buk. Arsa 'kan sudah sadar sekarang," ucap Ayah menenangkan Ibuk."Tapi coba Ayah lihat. Wajah Arsa lebam, Yah. Kepalanya juga terluka sampai h