194🌺Mataku membulat dan bibirku terbuka. Mas Arsa masih menatapku dengan tajam. Seperti begitu marah karena aku ingin menyuapinya.Aku lantas menundukkan pandangan ke lantai. Di mana piring makan tadi sudah pecah berkeping-keping dengan nasi dan juga sayurnya yang berantakan. Aku menatap Mas Arsa tak percaya."Siapa kamu?" ulangnya bertanya masih dengan wajah datar nyaris tanpa ekspresi. Namun matanya masih tajam menatapku.Aku menatapnya nanar. Menelisik manik mata hazelnya yang tak lagi seperti biasa. "Mas——""Siapa kamu? Aku tidak mengenal kamu. Jangan sok dekat!" tukasnya memotong ucapanku yang bergetar menyeru namanya.Telapak tangan menutup mulut mendengar apa yang terlontar begitu saja dari Mas Arsa."Mas! Jangan bercanda, Mas!" ucapku hampir ingin menjerit.Wajah Mas Arsa masih tak bersahabat. Tatapannya masih tajam serta dingin seolah menelanjangiku. "Tidak. Aku tidak kenal kamu!" ucapnya pelan namun begitu jelas.Aku menggelengkan kepala. Tanganku terulur bertumpu pada pi
195🌺"Apa yang terjadi dengan Arsa, Mai? Kenapa dia mengatakan kamu sebagai orang asing?" Ibu Hilma menyusulku di teras. Aku menghapus cepat-cepat kedua pipiku yang basah. Menahan tangisku yang terlanjur sudah pecah saat tadi."Aku tidak tahu, Bu. Tapi Mas Arsa memang tidak ingat padaku, dan dia marah sampai membanting piring makan yang aku bawa. Mas Arsa juga marah karena aku memintanya untuk mengingat-ingat tentang kami," jelasku pada Ibu.Ibu yang sudah duduk di kursi sebelah nampak menutup mulutnya yang menganga. "Tidak ingat kamu? Kamu serius, Mai?"Aku mengangguk sambil menggigit bibir. Tersenyum getir dengan hati terasa pilu. Tidak ada jawaban dari mulutku, hanya anggukan kepala yang bisa kuberikan sebagai respon pada Ibu.Tiba-tiba terasa rangkulan pada pundakku, membuatku menoleh dan akhirnya saling tatap dengan Ibu Hilma."Kamu sabar, ya? Setelah Ayah datang nanti. Kita akan sama-sama periksa ke rumah sakit," tutur Ibu dan aku lagi-lagi hanya bisa mengangguk. Ibu lalu memb
196🌺Aku putuskan untuk beranjak. Tidak kuat untuk menguping lebih lama lagi. Aku bergegas ke dapur seperti tujuan awalku. Menuang air memenuhi gelas lalu meneguknya hingga tandas. Sebelum kembali ke kamar, aku buru-buru ke kamar mandi dan mengambil wudhu terlebih dahulu. Sebelum Ayah dan Ibu mengetahui keberadaanku di luar kamar. Aku pun secepatnya kembali ke dalam kamar usai berwudhu. Keanu masih lelap di atas kasurnya. Jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari.Aku lantas menggelar sajadah di samping kasur. Memakai mukena lalu segera melaksanakan qiyamullail. Kupasrahkan seluruh hati yang rasa terombang-ambing pada Sang Pemilik Kehidupan. Dalam heningnya malam, kuserahkan seluruh hidupku pada Sang Pemilik Semesta.Hingga dua kali salam, shalat malamku pun selesai. Hanya melalui hati, aku melangitkan doa. Bibirku terasa kelu untuk sekedar berucap. Sehingga hanya melalui hati aku mengadu. Meski perih dan juga terluka. Rasanya pun bagai mimpi buruk yang menghantui hidup.Apa terl
197🌺"Apa aku tidak boleh memperjuangkan perasaanku terhadap Mas Arsa, Bu? Apa kondisi Mas Arsa mengharuskan aku untuk meninggalkannya?" lanjutku bertanya. "Apa aku tidak berhak memperjuangkan rasaku, Bu?"Ibu makin erat menggenggam tanganku. Pandangan kami saling beradu. Kaca-kaca di matanya begitu jelas sebelum kemudian Ibu menyeka dengan lengan bagian dalamnya. "Nak, kami hanya tidak mau kamu semakin menderita dalam pernikahan bersama Arsa. Kami tahu bagaimana dulu begitu buruknya Arsa pada kamu, Sayang," ujar Ibu sambil mengangkat daguku. "Jika berpisah dengan Arsa merupakan jalan yang ingin kamu ambil, kami tidak akan menghalanginya, Nak. Kami juga minta maaf karena sebelumnya sudah meminta kalian untuk menikah. Kami minta maaf sudah memaksakan kehendak. Seharusnya kami sadari, semua Tidak akan sama seperti apa yang terjadi pada kami. Kalian adalah kalian dan kami adalah kami. Allah punya jalan yang berbeda-beda pada takdir kehidupan umat-Nya."Aku menggeleng pelan dan balas me
198🌺Mas Arsa mendelik tajam menatapku. Namun aku tak gentar, aku turut menatapnya dengan tajam pula. Dapat kulihat raut tak bersahabat dari wajahnya. Bibirnya merengut dengan wajah tak suka. Aku tak ambil pusing. Cepat aku mengangkat tubuhnya dan menempatkan ia hingga terduduk di atas bangku plastik yang sejak Mas Arsa sakit, menjadi tempat duduk untuk membantunya mandi seperti sekarang.Mas Arsa sudah duduk dan aku berdiri di hadapannya. Seketika rasa canggung dan malu menyeruak. Bagaimana pun, kami belum pernah berhubungan senormalnya suami istri. Aku menyentuh tengkuk leher merasa kebingungan. Harus dari mana aku memulainya. Tapi jika aku tidak membantu Mas Arsa mandi pagi ini, makin jauh kesempatanku untuk bersamanya. Makin kecil ruang untukku memulihkan ingatannya. Tapi di hadapan langsung begini, aku juga bingung harus memulai dari mana."Kenapa kamu diam? Berubah pikiran? Baguslah! Memang lebih baik kamu keluar dan biarkan aku mandi sendiri!" tukas Mas Arsa yang menengadah d
199🌺Mas Arsa mendorong tubuhku hingga aku pun berdiri. "Berat!" hardiknya yang juga turut berdiri.Aku menunduk karena salah tingkah. Mas Arsa nampak membenahi celananya hingga naik dan terpasang sempurna."Aku bilang gak usah bantu. Kamu bukan bantu, cuma ganggu!" hardiknya lagi yang kini telah duduk di ujung kasur.Bibirku mengerucut karena ia berkata seperti itu. Aku berusaha tak peduli. Aku berbalik badan dan berjalan cepat menuju cermin rias. Mengambil gel rambut juga sisir dan kembali mendekati Mas Arsa."Mau apalagi? Kamu gak bisa denger? Gak usah lagi kamu bantu aku! Aku bisa sendiri!" hardiknya dengan ketus. Dia juga merebut sisir serta wadah gel di tanganku.Aku menyentak napas kasar karenanya. Aku merebut kembali wadah gel hingga berada di tanganku lagi. Membuka dan mencoleknya dengan tanganku. Meratakan di telapak tanganku lalu mengoleskannya di rambut Mas Arsa."Kamu lupa? Aku gak ngerti bahasa m
200🌺Senja menggelayut di langit barat. Menemani langkahku meninggalkan rumah Mas Arsa yang kosong. Debu di mana-mana saat aku memasukinya tadi. Sayang memang, tapi Ibu dan Ayah tidak ingin menyewakannya.Aku sudah keluar dari komplek perumahan. Menunggu di pinggir jalan angkutan umum yang akan lewat. Hingga tak sampai lima menit menunggu, kendaraan roda empat yang menjadi transportasi umum nampak mendekat. Aku pun menghentikannya dan segera naik. Duduk di dekat pintunya karena penumpang sudah penuh dan cukup berdesakan.Angkot yang kutumpangi mulai melaju. Menembus jalanan sore hari yang cukup padat. Berjibaku dengan kemacetan sampai kurang lebih dua puluh menit berkendara, mobil pun menepi. Beberapa penumpang turun, termasuk denganku.Berdiri di samping pintu depan sambil mengambil uang untuk membayar ongkos. "Ini, Pak," ucapku mengulurkan uang pada sopir angkotnya.Bretttt!"Jambreeet!" Aku berteriak ketika tas slem
201🌺"Bisa gak, gak usah pura-pura kepleset biar aku ada di atas kamu Begini? Bisa gak, kamu gak usah cari-cari kesempatan terus? Gak usah modus-modus terus, bisa gak, sih?"Bibirku mengerucut dan keningku mengernyit. Mas Arsa nampak mencoba berdiri dari tubuhku dengan susah payah. Hingga akhirnya Mas Arsa benar-benar bangkit lalu duduk kembali di bangku plastik.Aku pun menyusul bangkit dengan bokong yang terasa ngilu. "Siapa yang modus, sih? Aku beneran kepleset. Kurang kerjaan banget modusin kamu!" jawabku sambil membenahi kain pakaianku yang ternyata basah."Halah. Akal-akalan kamu aja itu, biar bisa mepet aku terus! Kalau bukan karena terpaksa, aku gak mau ya dibantu kamu mandi seperti ini. Kita bukan mahram. Gak boleh kamu sentuh-sentuh aku seenaknya. Kamu pikir aku laki-laki macam apa, bisa kamu sentuh sesukanya! Aku bukan lelaki gampangan. Asal kamu tahu!" hardiknya hingga mataku memicing.Aku menggelengkan kepala seraya mendecih. "Aneh!" pungkasku membawa kaki melangkah kel