198🌺Mas Arsa mendelik tajam menatapku. Namun aku tak gentar, aku turut menatapnya dengan tajam pula. Dapat kulihat raut tak bersahabat dari wajahnya. Bibirnya merengut dengan wajah tak suka. Aku tak ambil pusing. Cepat aku mengangkat tubuhnya dan menempatkan ia hingga terduduk di atas bangku plastik yang sejak Mas Arsa sakit, menjadi tempat duduk untuk membantunya mandi seperti sekarang.Mas Arsa sudah duduk dan aku berdiri di hadapannya. Seketika rasa canggung dan malu menyeruak. Bagaimana pun, kami belum pernah berhubungan senormalnya suami istri. Aku menyentuh tengkuk leher merasa kebingungan. Harus dari mana aku memulainya. Tapi jika aku tidak membantu Mas Arsa mandi pagi ini, makin jauh kesempatanku untuk bersamanya. Makin kecil ruang untukku memulihkan ingatannya. Tapi di hadapan langsung begini, aku juga bingung harus memulai dari mana."Kenapa kamu diam? Berubah pikiran? Baguslah! Memang lebih baik kamu keluar dan biarkan aku mandi sendiri!" tukas Mas Arsa yang menengadah d
199🌺Mas Arsa mendorong tubuhku hingga aku pun berdiri. "Berat!" hardiknya yang juga turut berdiri.Aku menunduk karena salah tingkah. Mas Arsa nampak membenahi celananya hingga naik dan terpasang sempurna."Aku bilang gak usah bantu. Kamu bukan bantu, cuma ganggu!" hardiknya lagi yang kini telah duduk di ujung kasur.Bibirku mengerucut karena ia berkata seperti itu. Aku berusaha tak peduli. Aku berbalik badan dan berjalan cepat menuju cermin rias. Mengambil gel rambut juga sisir dan kembali mendekati Mas Arsa."Mau apalagi? Kamu gak bisa denger? Gak usah lagi kamu bantu aku! Aku bisa sendiri!" hardiknya dengan ketus. Dia juga merebut sisir serta wadah gel di tanganku.Aku menyentak napas kasar karenanya. Aku merebut kembali wadah gel hingga berada di tanganku lagi. Membuka dan mencoleknya dengan tanganku. Meratakan di telapak tanganku lalu mengoleskannya di rambut Mas Arsa."Kamu lupa? Aku gak ngerti bahasa m
200🌺Senja menggelayut di langit barat. Menemani langkahku meninggalkan rumah Mas Arsa yang kosong. Debu di mana-mana saat aku memasukinya tadi. Sayang memang, tapi Ibu dan Ayah tidak ingin menyewakannya.Aku sudah keluar dari komplek perumahan. Menunggu di pinggir jalan angkutan umum yang akan lewat. Hingga tak sampai lima menit menunggu, kendaraan roda empat yang menjadi transportasi umum nampak mendekat. Aku pun menghentikannya dan segera naik. Duduk di dekat pintunya karena penumpang sudah penuh dan cukup berdesakan.Angkot yang kutumpangi mulai melaju. Menembus jalanan sore hari yang cukup padat. Berjibaku dengan kemacetan sampai kurang lebih dua puluh menit berkendara, mobil pun menepi. Beberapa penumpang turun, termasuk denganku.Berdiri di samping pintu depan sambil mengambil uang untuk membayar ongkos. "Ini, Pak," ucapku mengulurkan uang pada sopir angkotnya.Bretttt!"Jambreeet!" Aku berteriak ketika tas slem
201🌺"Bisa gak, gak usah pura-pura kepleset biar aku ada di atas kamu Begini? Bisa gak, kamu gak usah cari-cari kesempatan terus? Gak usah modus-modus terus, bisa gak, sih?"Bibirku mengerucut dan keningku mengernyit. Mas Arsa nampak mencoba berdiri dari tubuhku dengan susah payah. Hingga akhirnya Mas Arsa benar-benar bangkit lalu duduk kembali di bangku plastik.Aku pun menyusul bangkit dengan bokong yang terasa ngilu. "Siapa yang modus, sih? Aku beneran kepleset. Kurang kerjaan banget modusin kamu!" jawabku sambil membenahi kain pakaianku yang ternyata basah."Halah. Akal-akalan kamu aja itu, biar bisa mepet aku terus! Kalau bukan karena terpaksa, aku gak mau ya dibantu kamu mandi seperti ini. Kita bukan mahram. Gak boleh kamu sentuh-sentuh aku seenaknya. Kamu pikir aku laki-laki macam apa, bisa kamu sentuh sesukanya! Aku bukan lelaki gampangan. Asal kamu tahu!" hardiknya hingga mataku memicing.Aku menggelengkan kepala seraya mendecih. "Aneh!" pungkasku membawa kaki melangkah kel
202🌺Aku menyerah.Tidak ada lagi yang bisa aku harapkan. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Selain mengambil keputusan ini. Seperti yang sudah Ayah dan Ibu katakan. Maka hari ini, aku akan mendaftarkan gugatan perceraian terhadap Mas Arsa.Enam bulan lebih aku merawat mas Arsa. Memperjuangkan rasa serta rumah tangga ini. Namun mas Arsa tak kunjung sembuh dan mengingatku. Di matanya aku tetaplah orang asing yang tidak ia kenali.Sebenarnya aku masih ingin memperjuangkannya. Namun, harapan itu pun juga tipis.Lelaki yang ku perjuangkan. Lelaki yang aku rawat sepenuh hati, nyatanya tak pernah menerima apa yang aku lakukan. Aku tak berharap ucapan terimakasih darinya. Aku hanya berharap, ia mau sedikit saja berusaha mengingat tentang kami. Namun tak bisa. Mas Arsa justru makin ketus dan menolakku, terlebih satu bulan terakhir ini ia sudah mulai mampu lepas dari kursi rodanya meski tidak sepenuhnya.
"Maira?" gumam Mas Arsa membuatku melotot, saking tak percaya dengan apa yang kudengar."K—kamu memanggil namaku, Mas?" Suaraku bergetar. Bagaimana tidak? Setelah enam bulan hidup bagai orang asing dan Mas Arsa begitu menjaga jarak denganku. Kini, tiba-tiba saja ia menyebut namaku.Terlihat Mas Arsa mengangguk pelan. Tangannya yang kugenggam perlahan ia lepaskan, kemudian ia ulurkan menyentuh pipiku lalu membelainya. Lembut sekali."Kamu benar Maira 'kan?" ucapnya lagi dengan suara lemah.Bibirku bergetar. Merasa seperti mimpi tapi aku sangat yakin, aku sedang tidak tidur. Ini nyata.Seketika aku pun mendaratkan kepala di atas dadanya. Mendekapnya dengan tangis yang tiba-tiba saja tumpah. Ada perasaan yang tidak bisa aku ungkapkan."Kenapa, Mai? Kenapa kamu menangis? Kamu menangisi keadaanku? Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Hanya kepala ini memang terasa agak sakit," ucapnya sambil mengelus punggungku.Aku menggeleng sambil masih terisak di atas dadanya."Sudah, Mai. Aku baik-bai
204.#"Bagaimana keputusan kamu setelah tiga puluh hari yang kita lewati bersama, Mai?Aku menatap manik mata tajam Mas Arsa di hadapan. Malam sudah semakin sunyi dan kini aku bersamanya di dalam kamar. Duduk berhadapan di atas tempat tidur. Setelah setengah jam sebelumnya, kami menghabiskan waktu berkumpul di ruangan televisi. Di mana akhirnya, aku mengurungkan niat untuk melanjutkan gugatan perceraian terhadap Mas Arsa.Mas Arsa menyentuh serta membelai lembut pipiku. Jujur aku terbuai, terlebih pandangan matanya begitu tajam menghipnotis."Aku … mulai mencintai kamu, Mas," ucapku kemudian.Kulihat binar mata Mas Arsa dengan mulut sedikit terbuka. Mungkin jawabanku mengejutkannya, tapi aku sungguh-sungguh dengan jawabanku.Mas Arsa lalu meraih tangan, mengangkat lalu ia mengecupnya mesra. "Terima kasih Mai. Terima kasih untuk waktu dan kesempatan kedua yang kamu berikan, sampai akhirnya hati k
205.Pagi hari kami semua sarapan bersama. Berkumpul di ruangan makan rumah Ibu. Aku dan Mas Arsa masih tinggal di sini entah untuk sampai berapa hari. Kami belum tahu.Di meja makan, sudah terhidang menu makanan lengkap. Usai shalat Subuh berjamaah di mushola rumah, aku dan Ibu langsung berkutat di dapur untuk memasak.Semalam, tidak terjadi apa-apa antara aku dan Mas Arsa. Ia hanya mengerjaiku dengan menggoda sebelumnya. Sejujurnya, ia juga masih merasa dag dig dug saat kami baru bersentuhan. Sengatan listrik terasa begitu tajam menghantam kami saat kontak fisik itu terjadi.Meski deg-degan dan juga ser-seran. Tapi aku menikmatinya. Menikmati rasa yang hadir dan terasa indah memenuhi relung hati.Pagi ini kami sama-sama menikmati sarapan. Keanu pun nampak tenang duduk di kursinya sambil memakan makanan di piringnya."O ya Bu, Yah, ada yang mau aku bicarakan," ucap Hafsa setelah makan pagi kami baru saja selesai."Bicara apa, Sayang?" tanya Ibu yang duduk persis di sebelah kanan anak