Dua Minggu kemudian ....Mas Arsa mewujudkan apa yang ia katakan saat di meja makan. Kini aku sudah berada di satu penginapan di daerah Bali. Kami akan berlibur di sini untuk beberapa hari ke depan. Ayah dan Ibu turut serta. Sementara Hafsa sudah kembali ke yayasannya sehingga tidak ikut dengan kami.Kami menyewa dua kamar penginapan yang saling berhadapan. Ayah dan Ibu mengisi di bagian barat, lalu aku bersama Mas Arsa mengisi bagian timur. Kamar penginapan dengan gaya bangunan khas pulau Dewata dan berjarak sepuluh menit dari pantai dengan berjalan kaki.Hari sudah malam sekarang. Aku duduk sendirian di teras penginapan yang langsung menghadap pada kamar Ayah dan juga Ibu. Pintunya tertutup rapat, entah mungkin Ayah dan Ibu sudah tidur karena seharian tadi kami bermain di pantai. Tidak terdengar juga tangisan putraku yang ada di sana bersama Oma dan Opanya."Mai, kamu ngapain di sini?" Mas Arsa muncul dari dalam. Hanya berbalut handuk dan sedang menggosok rambutnya."Lagi duduk aja,
POV ARSA.~TOK TOK TOK!"Sa, Arsa. Keanu nangis, Sa!"Huffffh ... Kuhembuskan napas kasar. Baru saja akan memulai apa yang seharusnya terjadi sejak lama, pintu kamar ini justru diketuk bersamaan dengan suara Ayah dari balik pintunya.Aku dan Maira sudah basah kuyup dan aku baru saja memindahkan Maira ke atas tempat tidur. Deru napas kami bahkan masih terdengar memburu."Biar aku buka pintunya," ucap Mai yang hendak bangkit dari tempat tidur.Namun buru-buru aku mencegahnya. "Jangan, biar aku aja. Emm, kamu mending ganti alas kasurnya yang basah," titahku seraya menyambar handuk, mengeringkan tubuhku yang agak basah sebelum kemudian bergegas ke pintu.Kubuka pintu dengan cepat. Rengekan Keanu menyambut pintu yang terbuka. Aku pun meraihnya dari gendongan Ayah."Tadi sih Keanu udah tidur, Sa. Tapi tiba-tiba aja kebangun," ujar Ayah memberitahu."Iya gak papa, Yah. Keanu biar di sini aja, tidur sana aku sama Mai."Ayah terlihat manggut. "Ya udah ayah balik ke kamar."Aku pun mengangguk
208.Kupandangi langit-langit ruangan tempatku saat ini. Detak jarum jam menemani malam yang begitu hening bergantian dengan dengkuran halus Maira yang terlelap di atas dada polosku.Setelah banyaknya halangan, akhirnya aku dan Maira menyatu. Mereguk indahnya puncak nirwana yang menandakan penerimaan atas pernikahan kami. Juga sebagai tanda lepasnya keperjakaanku.Jadi ... seperti itu rasanya? Duh, aku terngiang-ngiang.Cup~Kukecup dalam-dalam puncak kepala Maira, kudekap erat tubuhnya yang hanya berbalut satu selimut yang sama denganku. Malam ini tak hanya dingin, tapi juga begitu indah."Engghhh ...." Maira bergumam sambil menggeliat. Sepertinya ia terganggu karena pergerakan tanganku yang makin erat mendekapnya. Namun Maira kembali melanjutkan tidurnya dengan balas melingkarkan kedua tangannya di tubuhku.Aku yang sempat terjaga pun lalu melanjutkan tidur kembali.~
209."Benci? Kamu membenciku, Mai?"Maira malah mengangguk. Wajahnya bahkan terlihat datar tanpa ekspresi. Aku melepaskan kedua tangan dari pinggangnya. Mundur hingga tubuh kami tidak lagi rapat. Aku menggeleng tak percaya."Lalu, apa artinya malam indah yang sudah kita lalui, Mai? Kenapa mau menyerahkan diri dan membiarkan malam pertama kita terjadi sementara kamu membenciku? Kamu hanya ingin mempermainkanku? Keperjakaanku sudah hilang, dan kamu mengatakan kamu membenciku?" Aku nyerocos. Tak percaya rasanya, tapi wajah Mai begitu serius. Bukan tak mungkin, jika ia memang sedang mengangkatku setinggi-tingginya untuk dapat menghempasku sekerasnya ke bawah.Maira tidak bersuara. Ia justru merangsek maju sementara kakiku terasa kaku di dasar tanah. Wajah Mai terangkat pun dengan dagunya.Kini ia sudah ada di depanku. Mata kami saling bergerak mengunci. Wajah itu tak bersahabat. Aku merasa terperosok dalam harapan.Namun tiba-tiba, Mai menggerakkan kedua tangannya hingga melingkar di lehe
210#Waktu terus berjalan. Hari-hari berlalu dan aku telah kembali menempati rumah pribadiku. Perlu waktu tiga hari sebelum akhirnya rumah itu bisa ditempati kembali setelah lama kosong. Bersama Maira dan Keanu tentunya. Anak kandung Abangku yang otomatis sekarang menjadi anakku itu, kini sudah pandai berjalan dan sedang aktif-aktifnya. Terkadang, Maira sampai kewalahan.Dua Minggu terakhir, aku sudah mulai kembali praktik di rumah sakit. Setelah enam bulan karena sakit dan tidak bisa bekerja, aku dianggap resign. Maka kini aku sudah aktif kembali bekerja. Semua rekan satu pekerjaanku, membicarakan sakit yang menderaku, serta keajaiban yang datang karena aku bisa pulih dan normal seperti sedia kala. Ya, semua karena kehendak dan kemurahan Sang Pencipta.Aku pulang dari rumah sakit dan tiba di rumah sekitar sore hari. Terpaksa aku pulang pergi dengan motor, karena kendaraan roda empatku yang ringsek akibat kecelakaan waktu itu.Usai memarkirkan motor, aku bergegas segera memasuki ruma
Hingga pagi menjelang, Maira hanya meringkuk di balik selimutnya. Ia melarangku untuk mendekat padanya, karena tubuhku yang bau katanya. Semalaman, Keanu lengket padaku karena mungkin ia mengerti mamanya sedang sakit. Aku pun kesusahan untuk memeriksanya.Tadinya aku tidak akan ke rumah sakit, aku ingin menemani Maira dan tentunya menjaga Keanu. Tapi Maira tidak mau. Ia tidak ingin aku temani. Ia memilih Ibu Hilma untuk menemaninya. Sehingga aku pun menghubunginya, dan Ibu datang di saat yang tepat ketika aku telah siap untuk berangkat praktik. Tak hanya Ibu, tapi Ayah juga turut datang.Si kecil Keanu langsung menghambur pada Ayah dan seketika berada dalam gendongannya.Sementara Ibu Hilma langsung mengambil tempat di bibir tempat tidur, memeriksa keadaan Mai yang meringkuk."Sakit apa? Udah diperiksa?" tanya Ibu dengan lembut."Belumlah, Bu. Kata Mai aku bau dan minta aku buat jauh-jauh. Jadi susah aku mau periksanya," jelasku yang berdiri di samping kasur.Ibu nampak memeriksa kemb
212#Alhamdulillah, Maira kini tengah mengandung benihku. Usia kehamilannya sudah masuk Minggu ke dua belas sekarang. Sedang mabok-maboknya dan tidak mau dekat denganku.Sejak hari di mana Mai dibuatkan positif dengan test pack bergaris dua. Ibu Hilma jadi bolak-balik setiap hari datang ke rumahku. Menemani Mai dan menjaga Keanu. Aku minta menginap saja, Ayah tidak setuju. Katanya, ia juga ingin menghabiskan malam berdua bersama Ibu. Memang Ayah itu, meski sudah akan tambah cucu, tapi tetap mesra dan makin sayang pada Ibu.Karena kehadiranku di rumahku sendiri seperti tidak diinginkan, aku pun bekerja seperti biasa. Hingga pulang setiap sore karena tidak ada jam lembur.Usai memarkirkan motor, aku pun bergegas masuk ke dalam rumah. Mendapati Ibu tengah bersama dengan Keanu di ruangan keluarga. Ibu seakan-akan selalu punya cara untuk membuat Keanu bisa lebih anteng dan tidak berlari-lari seperti kebiasaannya."Mai di mana, Bu?" tanyaku setelah berada di ruangan televisi."Ada di kamar
213#Waktu terus bergulir. Hari-hari berganti menjadi Minggu bahkan bulan. Perut Maira sudah mulai tampak menonjol di usia kehamilan memasuki Minggu ke dua puluh.Dia masih sulit makan, hanya bisa memakan bubur halus dengan bumbu kaldu yang dibuatkan Ibu. Tidak bisa makan nasi, jika dipaksakan maka selang lima menit akan dimuntahkan.Beruntungnya, ada Ibu yang dengan sigap selalu menemani Maira di rumahku. Sehingga aku tidak perlu khawatir ketika meninggalkannya untuk praktik.Kebiasaan baru Maira yang sangat aneh masih berlanjut. Aku yang harus bersih sebelum tidur malam, kini tidak bisa lagi. Mai menahan dan melarangku untuk mandi usai pulang praktik. Standar kebersihan yang kuterapkan sejak dulu, harus diubah demi keinginan ibu hamil.Mai akan memelukku yang hanya berganti pakaian tanpa mandi sore ketika ia hendak tidur. Memelukku erat dan ia benar-benar suka sekali mengendus aroma tubuhku yang telah bercampur keringat dan parfum.
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y