208.
Kupandangi langit-langit ruangan tempatku saat ini. Detak jarum jam menemani malam yang begitu hening bergantian dengan dengkuran halus Maira yang terlelap di atas dada polosku.Setelah banyaknya halangan, akhirnya aku dan Maira menyatu. Mereguk indahnya puncak nirwana yang menandakan penerimaan atas pernikahan kami. Juga sebagai tanda lepasnya keperjakaanku.Jadi ... seperti itu rasanya? Duh, aku terngiang-ngiang.Cup~Kukecup dalam-dalam puncak kepala Maira, kudekap erat tubuhnya yang hanya berbalut satu selimut yang sama denganku. Malam ini tak hanya dingin, tapi juga begitu indah."Engghhh ...." Maira bergumam sambil menggeliat. Sepertinya ia terganggu karena pergerakan tanganku yang makin erat mendekapnya. Namun Maira kembali melanjutkan tidurnya dengan balas melingkarkan kedua tangannya di tubuhku.Aku yang sempat terjaga pun lalu melanjutkan tidur kembali.~209."Benci? Kamu membenciku, Mai?"Maira malah mengangguk. Wajahnya bahkan terlihat datar tanpa ekspresi. Aku melepaskan kedua tangan dari pinggangnya. Mundur hingga tubuh kami tidak lagi rapat. Aku menggeleng tak percaya."Lalu, apa artinya malam indah yang sudah kita lalui, Mai? Kenapa mau menyerahkan diri dan membiarkan malam pertama kita terjadi sementara kamu membenciku? Kamu hanya ingin mempermainkanku? Keperjakaanku sudah hilang, dan kamu mengatakan kamu membenciku?" Aku nyerocos. Tak percaya rasanya, tapi wajah Mai begitu serius. Bukan tak mungkin, jika ia memang sedang mengangkatku setinggi-tingginya untuk dapat menghempasku sekerasnya ke bawah.Maira tidak bersuara. Ia justru merangsek maju sementara kakiku terasa kaku di dasar tanah. Wajah Mai terangkat pun dengan dagunya.Kini ia sudah ada di depanku. Mata kami saling bergerak mengunci. Wajah itu tak bersahabat. Aku merasa terperosok dalam harapan.Namun tiba-tiba, Mai menggerakkan kedua tangannya hingga melingkar di lehe
210#Waktu terus berjalan. Hari-hari berlalu dan aku telah kembali menempati rumah pribadiku. Perlu waktu tiga hari sebelum akhirnya rumah itu bisa ditempati kembali setelah lama kosong. Bersama Maira dan Keanu tentunya. Anak kandung Abangku yang otomatis sekarang menjadi anakku itu, kini sudah pandai berjalan dan sedang aktif-aktifnya. Terkadang, Maira sampai kewalahan.Dua Minggu terakhir, aku sudah mulai kembali praktik di rumah sakit. Setelah enam bulan karena sakit dan tidak bisa bekerja, aku dianggap resign. Maka kini aku sudah aktif kembali bekerja. Semua rekan satu pekerjaanku, membicarakan sakit yang menderaku, serta keajaiban yang datang karena aku bisa pulih dan normal seperti sedia kala. Ya, semua karena kehendak dan kemurahan Sang Pencipta.Aku pulang dari rumah sakit dan tiba di rumah sekitar sore hari. Terpaksa aku pulang pergi dengan motor, karena kendaraan roda empatku yang ringsek akibat kecelakaan waktu itu.Usai memarkirkan motor, aku bergegas segera memasuki ruma
Hingga pagi menjelang, Maira hanya meringkuk di balik selimutnya. Ia melarangku untuk mendekat padanya, karena tubuhku yang bau katanya. Semalaman, Keanu lengket padaku karena mungkin ia mengerti mamanya sedang sakit. Aku pun kesusahan untuk memeriksanya.Tadinya aku tidak akan ke rumah sakit, aku ingin menemani Maira dan tentunya menjaga Keanu. Tapi Maira tidak mau. Ia tidak ingin aku temani. Ia memilih Ibu Hilma untuk menemaninya. Sehingga aku pun menghubunginya, dan Ibu datang di saat yang tepat ketika aku telah siap untuk berangkat praktik. Tak hanya Ibu, tapi Ayah juga turut datang.Si kecil Keanu langsung menghambur pada Ayah dan seketika berada dalam gendongannya.Sementara Ibu Hilma langsung mengambil tempat di bibir tempat tidur, memeriksa keadaan Mai yang meringkuk."Sakit apa? Udah diperiksa?" tanya Ibu dengan lembut."Belumlah, Bu. Kata Mai aku bau dan minta aku buat jauh-jauh. Jadi susah aku mau periksanya," jelasku yang berdiri di samping kasur.Ibu nampak memeriksa kemb
212#Alhamdulillah, Maira kini tengah mengandung benihku. Usia kehamilannya sudah masuk Minggu ke dua belas sekarang. Sedang mabok-maboknya dan tidak mau dekat denganku.Sejak hari di mana Mai dibuatkan positif dengan test pack bergaris dua. Ibu Hilma jadi bolak-balik setiap hari datang ke rumahku. Menemani Mai dan menjaga Keanu. Aku minta menginap saja, Ayah tidak setuju. Katanya, ia juga ingin menghabiskan malam berdua bersama Ibu. Memang Ayah itu, meski sudah akan tambah cucu, tapi tetap mesra dan makin sayang pada Ibu.Karena kehadiranku di rumahku sendiri seperti tidak diinginkan, aku pun bekerja seperti biasa. Hingga pulang setiap sore karena tidak ada jam lembur.Usai memarkirkan motor, aku pun bergegas masuk ke dalam rumah. Mendapati Ibu tengah bersama dengan Keanu di ruangan keluarga. Ibu seakan-akan selalu punya cara untuk membuat Keanu bisa lebih anteng dan tidak berlari-lari seperti kebiasaannya."Mai di mana, Bu?" tanyaku setelah berada di ruangan televisi."Ada di kamar
213#Waktu terus bergulir. Hari-hari berganti menjadi Minggu bahkan bulan. Perut Maira sudah mulai tampak menonjol di usia kehamilan memasuki Minggu ke dua puluh.Dia masih sulit makan, hanya bisa memakan bubur halus dengan bumbu kaldu yang dibuatkan Ibu. Tidak bisa makan nasi, jika dipaksakan maka selang lima menit akan dimuntahkan.Beruntungnya, ada Ibu yang dengan sigap selalu menemani Maira di rumahku. Sehingga aku tidak perlu khawatir ketika meninggalkannya untuk praktik.Kebiasaan baru Maira yang sangat aneh masih berlanjut. Aku yang harus bersih sebelum tidur malam, kini tidak bisa lagi. Mai menahan dan melarangku untuk mandi usai pulang praktik. Standar kebersihan yang kuterapkan sejak dulu, harus diubah demi keinginan ibu hamil.Mai akan memelukku yang hanya berganti pakaian tanpa mandi sore ketika ia hendak tidur. Memelukku erat dan ia benar-benar suka sekali mengendus aroma tubuhku yang telah bercampur keringat dan parfum.
214#Makin hari perut Mai makin buncit saja. Tanpa terasa usia kehamilannya sudah masuk bulan ke delapan. Aku bahkan punya kebiasaan baru yaitu mengobrol di depan perutnya. Memeluk perutnya yang menonjol itu dan menciumnya setiap sebelum pergi ke rumah sakit. Janin dalam rahimnya tumbuh dengan baik dan sehat. Jika tidak ada halangan, makan bayi itu akan lahir pada Minggu ke empat di bulan depan. Setelah masuk di trimester ke tiga ini, Mai mulai sadar akan bau keringatku yang sering dirindukannya setiap malam. Tiga hari terakhir, ia sudah tersadar kembali dan tidak lagi menahanku untuk tidak mandi sore. Mai nampaknya sudah normal lagi dan perlahan ia juga sudah mulai bisa makan nasi serta proteinnya.Hari ini aku akan mengantarnya ke rumah Ibu. Satu Minggu lagi, pernikahan Hafsa akan digelar. Semua persiapan sudah finish. Gedung pernikahan, catering, dekorasi, undangan, semua sudah siap. Maka hari ini, akan digelar pengajian dan siraman terlebih dahulu. Namun, aku tidak bisa menghadir
215#"Sekarang di mana Ayah sama Ibu?" tanyaku cepat."Di Husni Medika, Bang," jawab Halwa.Aku melongo sebelum kemudian mengangguk. Rumah sakit itu sekitar satu jam dari sini, kenapa Hafsa bisa ada di daerah sana?"Abang mau ke sana, kamu tolong jaga Mba Mai, bisa kan?" pintaku kepada Halwa.Adik perempuanku itu mengangguk sanggup. Aku pun bersiap bangkit agar segera bisa pergi ke rumah sakit menyusuli Ayah dan Ibu. Namun dengan cepat tanganku ditahan oleh Maira, sehingga aku tidak jadi berdiri."Aku mau ikut, Mas. Aku mau tahu keadaan Hafsa," ujarnya. Tentu sajaa aku menggeleng."Janganlah, Mai. Kamu kan lagi hamil. Kamu di sini aja ya? Kan ada Halwa juga di sini," jawabku melarangnya ikut.Namun Maira menggeleng dan memegang erat tanganku. "Tapi aku juga mau tahu keadaan Hafsa, Mas.""Mba, aku juga mau tahu keadaan Kak Hafsa. Aku khawatir sama kakakku. Tapi Mba juga harus perhatikan keadaan Mba yang lagi hamil ini. Mba sama aku aja di sini. Oke?" sahut Halwa memberi Maira pengerti
216#Senja telah berganti. Malam merangkak naik dan aku masih berada di rumah sakit. Menemani ibu yang begitu drop dan murung. Sementara Ayah, pulang dulu ke rumah untuk memastikan keadaan Halwa beserta Maira baik-baik saja.Hafsa masih di dalam ruangan ICU. Belum ada perubahan signifikan atas kondisinya. Ia masih belum sadarkan diri hingga kini hari telah malam.Aku bersama Ibu kembali mengisi kursi tunggu di depan ruang ICU seusai menunaikan shalat Isya berjamaah dan tentu berdoa untuk keadaan Hafsa.Ibu menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku pun berusaha untuk menjadi penguatnya di sini."Kapan Hafsa akan sadar, Sa?" tanya Ibu dengan suara lemahnya."Sabar ya, Bu? Kita jangan berhenti berdoa untuknya," timpalku sambil mengelus lembut lengan Ibu."Udah lima jam dia di dalam sana. Tapi belum juga ada kabar baik. Ibu khawatir, Sa. Ibu takut sekali" rintih Ibu begitu pilu.Aku meraup wajah kasar. Hatiku tiba-tiba saja merasa tidak enak. Suara lemah Ibu terdengar begitu menyayat. Kekha