200
đşSenja menggelayut di langit barat. Menemani langkahku meninggalkan rumah Mas Arsa yang kosong. Debu di mana-mana saat aku memasukinya tadi. Sayang memang, tapi Ibu dan Ayah tidak ingin menyewakannya.Aku sudah keluar dari komplek perumahan. Menunggu di pinggir jalan angkutan umum yang akan lewat. Hingga tak sampai lima menit menunggu, kendaraan roda empat yang menjadi transportasi umum nampak mendekat. Aku pun menghentikannya dan segera naik. Duduk di dekat pintunya karena penumpang sudah penuh dan cukup berdesakan.Angkot yang kutumpangi mulai melaju. Menembus jalanan sore hari yang cukup padat. Berjibaku dengan kemacetan sampai kurang lebih dua puluh menit berkendara, mobil pun menepi. Beberapa penumpang turun, termasuk denganku.Berdiri di samping pintu depan sambil mengambil uang untuk membayar ongkos. "Ini, Pak," ucapku mengulurkan uang pada sopir angkotnya.Bretttt!"Jambreeet!" Aku berteriak ketika tas slem201đş"Bisa gak, gak usah pura-pura kepleset biar aku ada di atas kamu Begini? Bisa gak, kamu gak usah cari-cari kesempatan terus? Gak usah modus-modus terus, bisa gak, sih?"Bibirku mengerucut dan keningku mengernyit. Mas Arsa nampak mencoba berdiri dari tubuhku dengan susah payah. Hingga akhirnya Mas Arsa benar-benar bangkit lalu duduk kembali di bangku plastik.Aku pun menyusul bangkit dengan bokong yang terasa ngilu. "Siapa yang modus, sih? Aku beneran kepleset. Kurang kerjaan banget modusin kamu!" jawabku sambil membenahi kain pakaianku yang ternyata basah."Halah. Akal-akalan kamu aja itu, biar bisa mepet aku terus! Kalau bukan karena terpaksa, aku gak mau ya dibantu kamu mandi seperti ini. Kita bukan mahram. Gak boleh kamu sentuh-sentuh aku seenaknya. Kamu pikir aku laki-laki macam apa, bisa kamu sentuh sesukanya! Aku bukan lelaki gampangan. Asal kamu tahu!" hardiknya hingga mataku memicing.Aku menggelengkan kepala seraya mendecih. "Aneh!" pungkasku membawa kaki melangkah kel
202đşAku menyerah.Tidak ada lagi yang bisa aku harapkan. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Selain mengambil keputusan ini. Seperti yang sudah Ayah dan Ibu katakan. Maka hari ini, aku akan mendaftarkan gugatan perceraian terhadap Mas Arsa.Enam bulan lebih aku merawat mas Arsa. Memperjuangkan rasa serta rumah tangga ini. Namun mas Arsa tak kunjung sembuh dan mengingatku. Di matanya aku tetaplah orang asing yang tidak ia kenali.Sebenarnya aku masih ingin memperjuangkannya. Namun, harapan itu pun juga tipis.Lelaki yang ku perjuangkan. Lelaki yang aku rawat sepenuh hati, nyatanya tak pernah menerima apa yang aku lakukan. Aku tak berharap ucapan terimakasih darinya. Aku hanya berharap, ia mau sedikit saja berusaha mengingat tentang kami. Namun tak bisa. Mas Arsa justru makin ketus dan menolakku, terlebih satu bulan terakhir ini ia sudah mulai mampu lepas dari kursi rodanya meski tidak sepenuhnya.
"Maira?" gumam Mas Arsa membuatku melotot, saking tak percaya dengan apa yang kudengar."Kâkamu memanggil namaku, Mas?" Suaraku bergetar. Bagaimana tidak? Setelah enam bulan hidup bagai orang asing dan Mas Arsa begitu menjaga jarak denganku. Kini, tiba-tiba saja ia menyebut namaku.Terlihat Mas Arsa mengangguk pelan. Tangannya yang kugenggam perlahan ia lepaskan, kemudian ia ulurkan menyentuh pipiku lalu membelainya. Lembut sekali."Kamu benar Maira 'kan?" ucapnya lagi dengan suara lemah.Bibirku bergetar. Merasa seperti mimpi tapi aku sangat yakin, aku sedang tidak tidur. Ini nyata.Seketika aku pun mendaratkan kepala di atas dadanya. Mendekapnya dengan tangis yang tiba-tiba saja tumpah. Ada perasaan yang tidak bisa aku ungkapkan."Kenapa, Mai? Kenapa kamu menangis? Kamu menangisi keadaanku? Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Hanya kepala ini memang terasa agak sakit," ucapnya sambil mengelus punggungku.Aku menggeleng sambil masih terisak di atas dadanya."Sudah, Mai. Aku baik-bai
204.#"Bagaimana keputusan kamu setelah tiga puluh hari yang kita lewati bersama, Mai?Aku menatap manik mata tajam Mas Arsa di hadapan. Malam sudah semakin sunyi dan kini aku bersamanya di dalam kamar. Duduk berhadapan di atas tempat tidur. Setelah setengah jam sebelumnya, kami menghabiskan waktu berkumpul di ruangan televisi. Di mana akhirnya, aku mengurungkan niat untuk melanjutkan gugatan perceraian terhadap Mas Arsa.Mas Arsa menyentuh serta membelai lembut pipiku. Jujur aku terbuai, terlebih pandangan matanya begitu tajam menghipnotis."Aku ⌠mulai mencintai kamu, Mas," ucapku kemudian.Kulihat binar mata Mas Arsa dengan mulut sedikit terbuka. Mungkin jawabanku mengejutkannya, tapi aku sungguh-sungguh dengan jawabanku.Mas Arsa lalu meraih tangan, mengangkat lalu ia mengecupnya mesra. "Terima kasih Mai. Terima kasih untuk waktu dan kesempatan kedua yang kamu berikan, sampai akhirnya hati k
205.Pagi hari kami semua sarapan bersama. Berkumpul di ruangan makan rumah Ibu. Aku dan Mas Arsa masih tinggal di sini entah untuk sampai berapa hari. Kami belum tahu.Di meja makan, sudah terhidang menu makanan lengkap. Usai shalat Subuh berjamaah di mushola rumah, aku dan Ibu langsung berkutat di dapur untuk memasak.Semalam, tidak terjadi apa-apa antara aku dan Mas Arsa. Ia hanya mengerjaiku dengan menggoda sebelumnya. Sejujurnya, ia juga masih merasa dag dig dug saat kami baru bersentuhan. Sengatan listrik terasa begitu tajam menghantam kami saat kontak fisik itu terjadi.Meski deg-degan dan juga ser-seran. Tapi aku menikmatinya. Menikmati rasa yang hadir dan terasa indah memenuhi relung hati.Pagi ini kami sama-sama menikmati sarapan. Keanu pun nampak tenang duduk di kursinya sambil memakan makanan di piringnya."O ya Bu, Yah, ada yang mau aku bicarakan," ucap Hafsa setelah makan pagi kami baru saja selesai."Bicara apa, Sayang?" tanya Ibu yang duduk persis di sebelah kanan anak
Dua Minggu kemudian ....Mas Arsa mewujudkan apa yang ia katakan saat di meja makan. Kini aku sudah berada di satu penginapan di daerah Bali. Kami akan berlibur di sini untuk beberapa hari ke depan. Ayah dan Ibu turut serta. Sementara Hafsa sudah kembali ke yayasannya sehingga tidak ikut dengan kami.Kami menyewa dua kamar penginapan yang saling berhadapan. Ayah dan Ibu mengisi di bagian barat, lalu aku bersama Mas Arsa mengisi bagian timur. Kamar penginapan dengan gaya bangunan khas pulau Dewata dan berjarak sepuluh menit dari pantai dengan berjalan kaki.Hari sudah malam sekarang. Aku duduk sendirian di teras penginapan yang langsung menghadap pada kamar Ayah dan juga Ibu. Pintunya tertutup rapat, entah mungkin Ayah dan Ibu sudah tidur karena seharian tadi kami bermain di pantai. Tidak terdengar juga tangisan putraku yang ada di sana bersama Oma dan Opanya."Mai, kamu ngapain di sini?" Mas Arsa muncul dari dalam. Hanya berbalut handuk dan sedang menggosok rambutnya."Lagi duduk aja,
POV ARSA.~TOK TOK TOK!"Sa, Arsa. Keanu nangis, Sa!"Huffffh ... Kuhembuskan napas kasar. Baru saja akan memulai apa yang seharusnya terjadi sejak lama, pintu kamar ini justru diketuk bersamaan dengan suara Ayah dari balik pintunya.Aku dan Maira sudah basah kuyup dan aku baru saja memindahkan Maira ke atas tempat tidur. Deru napas kami bahkan masih terdengar memburu."Biar aku buka pintunya," ucap Mai yang hendak bangkit dari tempat tidur.Namun buru-buru aku mencegahnya. "Jangan, biar aku aja. Emm, kamu mending ganti alas kasurnya yang basah," titahku seraya menyambar handuk, mengeringkan tubuhku yang agak basah sebelum kemudian bergegas ke pintu.Kubuka pintu dengan cepat. Rengekan Keanu menyambut pintu yang terbuka. Aku pun meraihnya dari gendongan Ayah."Tadi sih Keanu udah tidur, Sa. Tapi tiba-tiba aja kebangun," ujar Ayah memberitahu."Iya gak papa, Yah. Keanu biar di sini aja, tidur sana aku sama Mai."Ayah terlihat manggut. "Ya udah ayah balik ke kamar."Aku pun mengangguk
208.Kupandangi langit-langit ruangan tempatku saat ini. Detak jarum jam menemani malam yang begitu hening bergantian dengan dengkuran halus Maira yang terlelap di atas dada polosku.Setelah banyaknya halangan, akhirnya aku dan Maira menyatu. Mereguk indahnya puncak nirwana yang menandakan penerimaan atas pernikahan kami. Juga sebagai tanda lepasnya keperjakaanku.Jadi ... seperti itu rasanya? Duh, aku terngiang-ngiang.Cup~Kukecup dalam-dalam puncak kepala Maira, kudekap erat tubuhnya yang hanya berbalut satu selimut yang sama denganku. Malam ini tak hanya dingin, tapi juga begitu indah."Engghhh ...." Maira bergumam sambil menggeliat. Sepertinya ia terganggu karena pergerakan tanganku yang makin erat mendekapnya. Namun Maira kembali melanjutkan tidurnya dengan balas melingkarkan kedua tangannya di tubuhku.Aku yang sempat terjaga pun lalu melanjutkan tidur kembali.~