Aku berdiam di ruang televisi, ditemani siaran dari layar lebar empat puluh dua inch yang menempel di dinding depan sana. Pikiran ini berkelana. Kejadian di kolam berenang tadi, terekam dalam ingatan dan menari-nari di pelupuk mata. Tanpa sadar, tanganku tergerak lalu menyentuh permukaan bibirku sendiri. Membelainya disertai kilasan kejadian tadi. Aku ingat bagaimana saat bibir ini beradu dengan mulut Mai. Memberinya napas buatan dan degup jantungku bertalu-talu saat mengingatnya sekarang.
"Astaga. Kenapa aku inget terus kejadian tadi sih?" cicitku seraya memejamkan mata.Tak hanya kejadian di kolam renang, apa yang terjadi di dalam kamar Mai pun terus terngiang dalam kepalaku.Bagaimana aku begitu berani memeluk lalu mencium perempuan berstatus istriku itu. Hatiku bergetar dipenuhi rasa yang tidak aku mengerti.Namun, Mai masih melakukan penolakan, tapi itu sangatlah wajar. Pernikahan ini belum sepenuhnya Mai terima.Kuhembus napas kasa"Hah? S—siapa yang nangis? Gak ada ah. Abang gak denger apa-apa kok, kamu salah denger kali." Aku berjalan sambil pura-pura memasang telinga, mengelak apa yang adikku itu dengar. Padahal jelas sekali aku pun mendengar suara tangisan dari dalam kamar kedua."Gak mungkin salah denger. Jelas banget kok. Masa sih Abang gak denger?!" Hafsa berjalan menjauh dari ambang pintu ruang makan. Ia celingukan dan seperti menajamkan pendengarannya.Aku menelan ludah saat Hafsa berdiri di depan pintu kamar kedua."Suaranya dari sini, Bang," ucapnya dan sudah menempelkan telinga di daun pintu.Aku menggeleng. "Engga, Hafsa. Gak ada kok. Mana? Gak ada ah!" Aku terus mengelak."Ih, masa sih? Orang jelas banget tadi itu!" Kukuh Hafsa."Nggak ada, Sa, nggak ada! abang nggak denger apa-apa kok. Kamu pasti salah denger deh abang yakin!" ucapku menarik tangan Hafsa menjauh dari daun pintu kamar kedua. Namun Hafsa menepis tanganku yang memegangnya.
Jam tujuh malam, aku baru tiba di rumah. Keadaan rumah sudah sepi. Namun, pintu kamar kedua tidak begitu tertutup rapat. Aku mendorong daun pintu dan mengintip, hanya ada Keanu sendiri di tengah-tengah kasur.Aku pun menjauh dari kamar kedua. Menyimpan tas kerja di atas sofa ruang televisi. Aku bergegas mencari Mai di ruangan lain, dan menemukannya tengah membuat ASI booster di mini bar ruangan dapur.Aku berjalan pelan tanpa membuatnya tahu kedatanganku. Kemudian berdehem pelan setelah berdiri tepat di belakang tubuhnya yang duduk."Ehm!" seruku seperti orang ingin batuk.Maira berbalik dengan cepat. "Mas! Kamu bikin aku kaget!" ketusnya dan segera kembali berbalik.Bahkan, perempuan yang mengenakan kerudung instan itu sudah turun dari kursi mini bar. Dia telah berdiri dan hendak berlalu. Cepat aku merentangkan satu tanganku menghalangi jalannya.Maira menatapku sengit dengan kening melipat. Aku pun bergerak cepat mengeluarkan b
**********Kuhembus napas berat sembari meletakkan ponsel di atas nakas. Pikiranku dipenuhi tanya, segala upaya mulai aku lakukan untuk meluluhkan Mai. Tapi? Mai tetap membeku. Nyaris tidak ada kesempatan untukku menempati hatinya.Aku masih menatap langit-langit kamar. Berbaring dengan kedua tangan terbuka lebar. Aku masih enggan beranjak. Terbaring dalam posisi seperti ini untuk waktu yang lama.Aku masih terus terbayang perlakuan Mai dengan mawar yang kuberi. Belum apa-apa, dia sudah membuat nyali ini ciut. Entah bagaimana aku akan melanjutkan perasaan ini? Belum apa-apa saja, Mai sudah berhasil membuatku merasa terhempas. Bagaimana ke depan nanti?Apa aku harus berhenti?Kuraup wajah dengan dua telapak tangan. Aku bingung. Andai semua ini tidak dirahasiakan, aku pasti akan meminta bantuan Ibu dan Ayah untuk berbicara pada Mai.Angin malam makin terasa. Dingin menusuk kulit, membuatku makin malas beranjak, tapi juga badanku ge
Kening Mai nampak berkerut. Decihan turut terdengar dari mulutnya diikuti gelengan kepala"Kamu sudah besar. Sudah bisa makan sendiri, bukan? Berikan Keanu padaku, dan kamu makanlah, Mas!" Mai menolak dengan tegas. Tangannya sudah terulur di sampingku meminta Keanu agar diberikan padanya.Aku sedikit mendongak hingga menatapnya. Mai mengangguk kecil, seolah menegaskan agar aku menyerahkan Keanu.Cepat saja aku menarik tangan Mai dan tubuhnya tersentak hingga duduk di kursi sebelah kananku."Sekali saja dengarkan aku sebagai suami kamu, jangan terus membantah terus! Bisa kan?" desakku setengah berbisik dengan menatap tajam kepada Mai.Perempuan yang masih saja berkerudung walau dalam rumah ini terdiam.Nampak raut kesal di wajah cantiknya. Serta tidak ada jawaban baik penolakan atau pun mengiyakan yang dilontarkan.Dia justru menarik piring dari hadapanku sehingga berada di tengah-tengah kami. Dia mulai menyendok nasi goreng buatannya itu dan mendekatkan ke arah mulutku.Aku tersenyum
Mata jernih itu membulat sempurna. Menatapku tajam diikuti gelengan kepala. "Enggak mau ...," jawabnya pelan."Kenapa? Bukankah kamu istriku? Bahkan setiap jengkal tubuh kamu halal bagiku," sahutku sambil tetap membalas tatapannya.Mai kembali menggeleng. "Tapi aku tidak mau. Aku tidak mengizinkan kamu melakukannya.""Kenapa tidak mau? Mmm ... atau kamu takut?"Alis Mai naik. "Takut apa?""Takut jatuh cinta padaku."Bibir itu seketika menekuk. "Tidak juga.""Lalu?""Y—ya ... pokoknya aku gak mau aja. Titik!"Kuhembus napas kasar. "Fix! Kamu memang takut jatuh cinta padaku!"Wajah Mai merengut. "Memangnya kenapa kamu mau cium-cium aku?""Ya kamu istriku. Aku berhak melakukan apa saja pada kamu selagi itu tidak menyakiti dan mencelakai fisikmu. Tapi, aku meminta izin terlebih dulu sebelum melakukannya, karena aku sadar akan status kita sekarang ini.""Kalau kamu menolak tanpa sebab, artinya kamu memang takut jatuh cinta," lanjutku.Mai nampak terdiam. Bola matanya mengarah ke bawah dan
************Malam kian larut. Sunyi sepi hanya hembusan angin yang seolah berbisik. Saling bersahutan dengan detak dari jarum jam dinding. Aku tak dapat tidur. Rasa kantuk tak kunjung tidur. Hanya langit-langit kamar kedua yang kutatap saat ini.Lekas kuubah posisi, berbaring menyamping dan mendapati dua orang yang mengisi kamar ini telah sama-sama tertidur.Maira di hadapanku. Tidur dengan dengkuran halus yang terdengar teratur. Keanu berada di tengah-tengah kami. Bayi kecil itu pun nampak terlelap.Kuhembus napas kasar. Memandangi dua wajah di hadapanku yang begitu tenang mengarungi lautan mimpinya masing-masing. Sedangkan aku, sendirian tak kunjung mengantuk.Malam ini, kesempatan aku mencium Maira telah hangus. Gara-gara, aku mengecupnya saat memakan spaghetti tadi. Katanya, aku mencuri-curi kesempatan. Sehingga, Mai tidak membolehkanku menciumnya sebelum tertidur. Padahal, seharusnya, aku menciumnya saat di tempat tidur seperti ini. Sebelum kami sama-sama menyelami mimpi.Aku men
************Hujan turun begitu derasnya saat aku hendak pulang setelah jam praktik habis. Langkahku tertahan di teras rumah sakit. Kutatap langit yang begitu gelap dengan curah hujan yang tumpah ruah. Jas hujanku yang biasa tersimpan di bagasi motor, sepertinya tertinggal saat kemarin sore Mai melepasnya. Dan entah dimana ia menyimpannya lagi. Aku masih harus memakai motor karena mobilku masih di bengkel dan belum selesai diperbaiki.Mau tak mau, aku pun berteduh lebih dulu seperti sekarang. Bersama dengan pasien lain yang juga terjebak hujan sore hari ini.Berdiri sambil bersedekap dan menyender pada dinding. Aku memandangi rinai hujan yang turun begitu rapat membasahi jalanan. Untungnya saluran air di rumah sakit ini sangat baik, sehingga tidak menyebabkan genangan air di halamannya.Entah kapan hujan akan berhenti atau paling tidak ya mereda. Agar aku bisa pulang tanpa harus kehujanan. Namun dari curah hujannya, tidak ada tanda-tanda hujan akan cepat berhenti.Padahal aku sudah ri
*************Mataku rasanya begitu lengket. Sekujur tubuh rasanya begitu dingin. Gemeletuk gigiku terdengar beradu karena aku yang menggigil. Napasku terasa lebih cepat, dan kepalaku rasanya pusing sekali.Tenggorokan pun tak terelakkan sakitnya, seperti ada duri tersangkut. Entah apa yang terjadi, tapi dari gejalanya aku terserang demam. Kemungkinan karena kemarin aku kehujanan. Padahal setelah tiba di rumah, aku langsung membersihkan tubuh dan memastikan air hujan telah mengalir luruh."Mas ...?" Sayup aku mendengar suara Maira. Namun, aku tak mampu membuka mata untuk memastikannya."Kenapa kamu tidur di sini, Mas?""Enggh ...." Aku tak mampu berkata hanya bisa menggeram tertahan sungguh badanku terasa tak nyaman.Hingga usapan lembut terasa di dahiku."Ya ampun Mas, kamu panas banget!"Kudengar kembali suara itu dan barulah membuatku yakin jika itu benar-benar Maira.