Feli terdiam. Menatapku dengan mata yang mulai berembun. Bibirnya pun terlihat mulai bergetar. Dadanya terlihat bergemuruh. Kedua bahunya mulai berguncang. Sampai kemudian dia menghambur dalam dadaku. Dia memelukku dan menangis sesenggukan.Aku membiarkannya. Membiarkan tangisnya tumpah di dadaku. Aku tidak peduli dengannya, tapi aku sangat peduli pada bayi dalam kandungannya. Terlepas bayi itu ada dari hubungan yang haram. Tapi bayi itu tetaplah suci. Bayi itu tidak ikut menanggung dosa atas perbuatan kedua orang tuanya.Feli masih memelukku. Masih menumpahkan tangisnya di dadaku. Tangisnya masih belum reda dan bahunya masih berguncang."Saya malu, Pak. Malu …," lirihnya di sela isakan tangis. Aku tak menyahut. Hanya membiarkannya mengeluarkan apa yang mungkin dia tahan.Kepalanya tenggelam semakin dalam di dadaku. Kedua tanganku masih kusimpan erat di sisi tubuhku. Meski perasaanku tak tega melihatnya yang berada di titik terendahnya saat ini.Aku menahan diriku, agar tidak mengusap
Dahiku seketika mengernyit. Sementara Feli memasang wajah penuh harap. Aku pun menggeleng cepat. "Enggak. Saya gak akan antar kamu ke kamar kamu. Kamu bisa pergi sendiri!" tegasku berucap.Raut wajahnya menunjukkan kekecewaan. "Kalau begitu, saya tidak akan menjamin keselamatan bayi ini setelah kembali ke kamar nanti."Kuraup kasar wajahku dengan satu tangan. Sementara otakku terus memikirkan langkah yang harus kuambil."Begini, nanti saya akan temui kamu di kamar kamu. Tapi tidak sekarang. Saya masih ada urusan." Aku mencoba bernegosiasi.Seketika, wajah itu berbinar. "Benar, Pak?"Aku mengangguk cepat. "Iya. Tapi tidak bisa sekarang atau secepatnya. Masih ada hal lain yang harus saya selesaikan."Senyum kecil terbit di bibir Feli yang tak bergincu. Sangat berbeda dengan penampilannya saat masih bekerja di kantor dulu. Feli pun mengangguk patah-patah. "Saya tunggu, Pak. Kalau Bapak bohong. Saya pastikan, Bapak tidak akan bertemu saya dan bayi ini lagi!""Jangan gila, kamu! Jangan ber
Hari sudah sore, setengah hari ini, aku tak hentinya berpikir. Memikirkan apa yang harus kulakukan. Masih baik aku tidak salah dalam melayani pembeli saat menjaga toko.Memang benar-benar menggangu, tapi aku merasa perlu untuk mengehentikan aksi nekat Feli itu. Meski akibatnya, aku terus kepikiran. Sampai akhirnya, aku menemukan ide."Sayang, aku mau ke rumah Reza. Tadi aku udah janji ketemu sama dia," ucapku meminta izin pada Hilma yang tengah mengajak bermain si kembar di halaman."Toko tutup aja, ya? Udah sore juga ini," sambungku."Oh, ya udah boleh. Kamu hati-hati ya?"Aku mengusap lembut puncak kepala Hilma. Dia mencium punggung tanganku. Kemudian, aku berpamitan pada si kembar.Bergegas menuju motor di depan garasi. Naik ke atas jok lalu menyalakannya. Aku melambaikan tangan pada Hilma dan juga si kembar. Sampai keluar dari gerbang pagar lalu menyusuri jalanan komplek.Tiba di jalanan besar mendapati jalan cukup padat oleh kendaraan. Sore hari, memang waktunya bubaran jam kerja
"Iya. Sejenis sama Bos Angga sama si Agus. Gak punya pikiran!" Reza menggerutu."Si Agus cuma difitnah sama si Bos katanya, Za.""Bisa jadi. Tapi tetep aja dia gak bisa ngelawan si Bos. Orang berduit mana bisa dilawan? Nyari penyakit."Kuhela napas dalam. Menurut kabar, Agus juga memang ikut dipecat dari kantor. Imbas dari kabar kehamilan Feli serta perselingkuhannya dengan Bos Angga.Itulah pentingnya seorang wanita menjaga harga dirinya. Menjaga pandangan apalagi pergaulannya. Berpikir sebelum bertindak dan berucap. Karena dari ucapan dan perbuatannya, bisa mengakibatkan laki-laki yang tidak tahu apa-apa justru terkena getahnya. Lalu menanggung apa yang tidak laki-laki itu perbuat.Terdengar Reza pun menghela napasnya berat. "Terus sekarang gimana, Yud? Lo udah bener-bener berhasil menyadarkan si Feli 'kan?"Aku meraup wajah dengan kedua tangan, lalu menyandarkan kepala pada kaca jendela di belakang. "Gue cuma bisa mengulurnya tadi. Dia akan tetap nekat dan gugurin kandungannya, kal
Selepas Isya, aku baru tiba kembali di rumah. Selesai shalat magrib, sebenarnya aku sudah beranjak meninggalkan rumah Fahreza. Namun, aku tak langsung pulang. Aku mampir ke sebuah masjid besar di pinggir jalan. Meminta petunjuk dan kemantapan hati untuk keputusan yang akan kuambil. Menimang-nimang kata-kata dari Fahreza saat di rumahnya.Karena dia kukuh tidak ingin menemaniku menemui Feli di apartementnya. Dia tidak ingin ikut-ikutan menyembunyikan kebenaran dari Hilma.Hingga kakiku telah menjejak lantai rumahku kembali kini, bersama dengan keputusan yang kubawa. Keputusan yang kuharapkan bisa diterima tak hanya olehku. Karena aku sendiri pun sebenarnya sangat bingung berada di posisi saat ini. Andai aku tak memiliki empati, aku pasti tidak akan peduli pada calon bayi yang akan Feli lenyapkan. Aku tidak akan mengurusinya sampai detik ini.Melewati teras aku pun menekan hendel pintu rumahku. Masuk ke dalam seraya mengucap salam. Tetapi, tidak ada jawaban. Rumah nampak sudah sepi. Sed
Entah harus bagaimana aku mensyukurinya. Andaikan seluruh pohon yang tumbuh di alam semesta ini, kusulap menjadi pensil lalu kutuliskan apa-apa saja nikmat yang telah Allah berikan padaku. Rasanya tidaklah akan cukup. Masih lebih banyak nikmat yang belum tertulis oleh pensil yang kubuat itu. Saking banyaknya nikmat yang kudapat.Apalagi, mendapatkan istri seperti Hilma. Saat ini, aku tengah membawa motorku untuk kembali ke apartemen Feli. Membonceng Hilma di jok belakang. Dia memelukku erat di atas motor saat ini.Kedua tangannya melingkari pinggang dan bertautan di depan perutku. Wajahnya mendekat dan hampir tenggelam di cerukan leherku.Jauh dari dugaanku. Nyatanya, Hilma tidak sedikitpun marah terhadap apa yang kuceritakan.Jauh dari perkiraanku. Hilma justru sangat ingin agar bayi dalam kandungan Feli selamat. Terlepas dari bayi itu adalah hasil dari hubungan terlarang. Jika tidak ada alasan medis yang mengancam, bayi itu tidak pantas untuk dilenyapkan. Bayi itu tetap berhak lahir
"Jika seisi dunia memusuhi kamu karena bayi yang sedang kamu kandung, maka aku orang pertama yang akan selalu ada untuk kamu. Jika seluruh dunia menginginkan kamu melenyapkan bayi tidak berdosa ini, maka aku yang akan berdiri di depan kamu, memasang badan untuk menghadapi dan menentangnya. Bahkan ayahnya sekali pun, akan aku hadapi jika menyangkut keselamatan bayi ini. Siapa pun akan aku lawan, agar bayi tak berdosa ini tetap bisa tumbuh dengan nyaman dalam rahim ibunya sampai waktunya lahir nanti. Dia akan lahir sebagai bayi bersih dan suci, tidak akan ikut menanggung dosa yang diperbuat orang tuanya.""Bahkan seekor harimau yang terkenal buas dan pemangsa hebat, dia tidak memakan anaknya sendiri saat merasakan lapar dan tidak menemukan makanan apa pun. Harimau tidak akan mengorbankan darah dagingnya untuk kepentingannya sendiri. Kamu lihat bagaimana harimau saat berjalan? Kepala, perut dan kemaluannya berada dalam keadaan sejajar 'kan?""Itu karena mereka tidak dikarunia akal. Lihat
Wajah Feli masih sendu. Menatap Hilma dengan tatapan memelas. Pelupuk mata itu masih dipenuhi kaca-kaca."Apa Tuhan akan menerima taubatku, Mba? Apa masih pantas, perempuan penuh dosa sepertiku ini bertaubat dan dimaafkan?" tanyanya lirih."Sst! Ssst! Jangan pernah berpikir seperti itu. Ampunan Allah itu sangatlah luas dan tak terbatas. Bertaubat, mohon ampun, dan jangan kembali mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan jangan pernah terbersit sedikit pun untuk kembali mengulang kesalahan itu. Insyaallah, taubat kita diterima," jawab Hilma kemudian.Feli terdiam menatap Hilma. Sementara tangan Hilma terulur mengusap lembut pundak perempuan yang tengah berbadan dua itu."Bantu aku, Mba. Bantu aku untuk bertaubat dan berubah. Bimbing aku," pinta Feli kemudian. Membuat netraku membulat sempurna saat mendengarnya."Maukah kamu membantuku, Mba?" lanjut Feli bertanya.Tanpa ragu dan seperti tanpa berpikir lagi. Hilma mengangguk cepat, mengiyakan permintaan dari Feli. Disentuhnya pipi serta dib