🌻🌻 POV Yuda~Satu bulan berikutnya.Kutarik napas panjang, menghirup oksigen dengan rakus memenuhi rongga dada. Kututup wajah dengan kedua tangan. Kepalaku terus saja menggeleng. Melihat deretan angka-angka yang tertera di dalam pembukuan toko.Bagaimana tidak? Satu bulan berjalan, pembukuannya minus. Entah kenapa begini, padahal di kantor dulu, aku ini kepala divisi keuangan, masalah uang serta pembukuannya adalah makanan sehari-hari. Tapi kenapa mengurus toko sendiri malah begini? Ah, ingin aku menjerit sambil berguling-guling.Akhirnya kututup buku dan duduk menyandar ke sandaran kursi di belakangku, seraya memegangi kepala yang menengadah.Pusing.Masih baik isi semua toko ini disuplai orangtuaku, sehingga barangnya selalu terisi penuh tanpa aku mengeluarkan modal. Seharusnya, uangnya terkumpul, tapi ini kenapa malah minus? Jika bukan dari orang tuaku, sepertinya toko ini sudah tutup, karena tidak bisa memutar modal.Kusentak napas kasar. Sejak Hilma memintaku mencoba membuka t
"Tega kamu ninggalin aku? Kamu liburan sama si kembar tanpa aku?" tanyaku lesu dengan wajah memelas."Ayok, makanya catat pembukuan dengan benar, Ay. Kamu pasti bisa kok, semangat semangat!"Kusentak napas kasar. "Iya, iya. Aku akan berbenah. Tapi jangan ditinggal ya nanti liburan. Kita liburan sama-sama. Emm, aku pengen honeymoon lagi deh, Sayang," sahutku pada istriku ini.Hilma nampak berpikir. Seolah menimang-nimang sampai akhirnya dia mengangguk cepat. "Oke. Tapi, kalau pembukuan enggak minus, ya? Kalau minus, aku tinggal lho.""Ya jangan! Iya, nanti aku usahain enggak minus lagilah, Sayang. Tapi aku ikut liburan, ya?" Aku merajuk.Hilma mengangguk. "Iya. Dengan catatan, pembukuan enggak minus, deal?!" ucapnya seraya mengangsurkan tangannya.Aku menyambar dengan cepat tangan Hilma di hadapanku. "Deal!" jawabku.Kami berjabatan tangan. Sebelum kemudian Hilma kembali ke dalam rumah, sedangkan aku mulai membenahi pembukuan dan mendisplay barang-barang di toko ini agar lebih rapi.Ak
Sekali lagi, aku amat menyayangkan sikap murahan Feli. Sehingga membuat namanya sendiri menjadi jelek."Terus, Za?" tanyaku penasaran. Bukan apa-apa, aku hanya ingin tahu, apa yang terjadi lebih lanjut pada perempuan yang memiliki paras persis dengan almarhumah Khanza."Ya besok mereka semua diminta balik dari sana. Gak tahu deh langkah apa yang akan diambil Bos besar. Itu udah mencemarkan nama baik kantor. Si Agus juga, gak nyangka gue dia kek begitu. Udah punya anak istri juga. Tampang pas-pasan, kelakuan gak bener. Ah, gedek gue jadinya!" Reza mendumel.Kutarik napas panjang, menggelengkan kepalaku berulangkali. Merasa masih tidak percaya dengan yang disampaikan Fahreza. Tapi, dalam setiap ucapan atas berita yang dibawanya, tidak ada tanda-tanda Fahreza sedang berbohong. Ini hal yang terlalu besar jika Fahreza hanya bercanda."Ya udahlah, Za. Doain aja mereka semua dapat hidayah, dan bisa lebih baik setelah kejadian ini," ucapku."Ya iya, Yud. Cuma gue masih gak nyangka aja, si Fel
🌻🌻POV HilmaAku menggeliat pelan. Membuka mata yang terasa lengket disertai sekujur tubuh terasa lelah. Tanganku sibuk meremas selimut menutupi dada yang polos.Kepalaku terangkat bersamaan dengan netra yang telah terbuka. Disambut Yuda yang masih terpejam. Seketika aku tersenyum, melihatnya yang tetap tampan meskipun saat tertidur seperti ini.Liburan kali ini, benar-benar dia jadikan moment honeymoon ke sekian kali. Setelah menggempurku di dalam mobil, dia membawaku pulang ke penginapan ini. Lalu di kamar ini pun, dia melanjutkannya lagi.Sejak aku keguguran sekitar tujuh bulan yang lalu. Tiga bulan berikutnya, aku dan Yuda sama-sama berpuasa. Pasca keguguran selesai pun, aku dan Yuda tak langsung bercampur.Aku masih teringat akan calon bayi kami yang tidak bisa selamat. Moodku sering berubah-ubah. Begitu juga dengan Yuda yang masih memikirkan pekerjaannya. Membuat hubungan ranjang kami tak sehangat biasanya.Kehilangan bayiku di usia kandungan lima bulan, membuatku sungguh meras
🌻POV HILMA***Aku mematut diri di depan sebuah cermin rias, menggosok rambut basahku dengan handuk lalu menyisirnya. Setelah cukup kering, lekas aku mengikatnya. Gamis navy dengan bermotif flaminggo telah kukenakan.Saat mengangkat rambutku cukup tinggi. Nampak leherku dalam pantulan cermin. Aku memperhatikannya lekat. Banyak sekali bekas yang ditinggalkan Yuda di leher dan dadaku.Aku menggeleng sendirian dengan seulas senyum di bibir ini. Mengingat tingkahku bersama Yuda saat ini. Benar-benar seperti sepasang pengantin baru yang sedang menikmati masa-masa awal pernikahan.Puas bercermin lekas aku memasang kerudung berwarna senada dengan gamis. Setelah semuanya rapi, aku pun mendekat ke sisi tempat tidur.Nampak Yuda masih menggelung dalam selimut. Aku menyingkapnya segera, membuat tubuh atasnya yang masih polos terpampang di hadapanku."Ay, bangun. Udah jam lima lebih. Kamu belum sholat Subuh! Bangun! Bangun!" Aku mengguncang baju Yuda cukup keras.Suamiku itu terlihat menggeliat
****"Kamu mau sarapan apa?" tanya Yuda saat kami sudah keluar dari area penginapan."Emm, apa, ya? Pengen yang ringan-ringan, Ay. Jangan nasi," jawabku seraya mengitari sekeliling jalanan pagi yang kami lewati.Jalanan beraspal yang kami lewati dengan berjalan kaki masih terasa sejuk. Masih hanya hitungan jari kendaraan yang lewat. Membuatku bisa menghirup udara pagi lebih leluasa tanpa takut polusi.Yuda merangkul pinggangku erat sejak berjalan dari penginapan tadi, tak dilepaskan sama sekali. Padahal, aku tetap berjalan di sampingnya, tidak akan ke mana-mana."Ketan bakar, mau?" tanyanya menawarkan."Boleh, deh." Aku setuju dengan tawarannya."Ya udah, ayok!"Aku bersama Yuda melanjutkan berjalan kaki. Sedikit menanjak tetaapi views sekitar kami tidaklah mengecewakan.Setelah melalui jalan yang cukup menanjak, napasku tersengal karenanya. Yuda menuntunku duduk di salah satu kursi kayu penjual ketan bakar.Yuda memesannya dan kami menunggu sebentar. Hingga sarapan kami disajikan, la
Naik. Ranjang || 🌻POV HILMAYuda menyentuh pipiku dan membelai dengan jari jemarinya. Sentuhannya selalu lembut, membuatku terdiam merasakannya. Tanpa melawan atau apa, aku hanya bisa memandangi sepasang manik hazelnya saat ini.Jari jemarinya masih menari membelai wajahku. Hingga kini berhenti dengan menyentuh ujung daguku. Membuat wajahku terangkat seketika.Kami saling memandangi. Aku terhipnotis, akan senyum manis yang dia pamerkan saat ini.Yuda menghapus jarak wajah kami. Bahkan, kepala Yuda telah miring dan begitu dekat di depanku.Tatapannya yang menghipnotis, tapi aku dapat segera tersadar. Aku menunduk cepat dan menepis tanganya di daguku."Ini tempat umum, ihh!" ucapku setengah jengkel seraya memalingkan wajah.Terdengar Yuda malah tertawa kecil. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Ya udah yuk, kita balik ke penginapan aja. Biar kamu gak malu-malu kucing begini," tukasnya.Aku menggeleng cepat. "Enggak mau. Kalau balik ke penginapan, yang ada kamu ngurung aku te
🌻POV Yuda.~Hari demi hari kulalui dengan penuh semangat.Menekuni usaha berjualan saat ini, aku merasa seakan terlahir kembali. Meninggalkan aturan-aturan yang terikat saat bekerja di kantor. Perlahan aku semakin memahami caranya berniaga.Usai liburan di puncak hanya berdua dengan Hilma. Hubungan ranjangku dengannya yang sempat hambar dan tak bergairah setelah kepergian calon bayi kami. Kini, sudah mulai membaik.Hubungan ranjang kami kini telah kembali hangat dan penuh gairah. Terhitung, kini sudah tiga bulan sejak kepulangan kami dari puncak.Setiap pagi, Hilma sudah ke toko lebih dulu dan membukanya. Dia selalu beres-beres toko setiap hari. Padahal, toko tidak begitu berantakan. Namun, ada saja yang Hilma bereskan dan bersihkan. Katanya untuk menarik rezeki.Seperti pagi ini, aku baru selesai menemani si kembar sarapan. Kedua putraku itu semakin tumbuh tinggi dan besar. Pipinya gembul dan kulitnya putih bersih. Tampan persis sepertiku.Aku pun meninggalkan si kembar di ruangan
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y