Bulan demi bulan berlalu.Malam ini, aku sendirian di sofa ruang bermain. Hilma di dalam kamar bersama si kembar. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tetapi, aku belum mengantuk.Aku gelisah.Karena belum juga mendapatkan pekerjaan sesuai pengalamanku. Semua perusahaan di mana aku memasukkan lamaran, tidak ada satu pun aku mendapat panggilan.Ke sana ke mari aku mencari, merecoki Fahreza setiap sore, tetapi belum juga mendapatkan. Ibu dan Bapak terus mendesak agar aku berjualan seperti mereka. Membuka warung di depan rumah ini. Membongkar setengah dari pagar yang terpasang untuk dijadikan toko. Namun, aku masih belum setuju. Skill-ku bukan berdagang seperti mereka. Melainkan bekerja di balik layar laptop dan menangani banyak berkas.Kini terhitung sudah enam bulan aku menganggur. Uang bulanan untuk Hilma bahkan semakin aku pangkas. Tapi dia tidak pernah mengeluh atau apa. Dia bahkan selalu berterima kasih dan bersyukur atas apa yang kuberikan. Sungguh, aku semakin merasa tida
🌻🌻 POV Yuda~Satu bulan berikutnya.Kutarik napas panjang, menghirup oksigen dengan rakus memenuhi rongga dada. Kututup wajah dengan kedua tangan. Kepalaku terus saja menggeleng. Melihat deretan angka-angka yang tertera di dalam pembukuan toko.Bagaimana tidak? Satu bulan berjalan, pembukuannya minus. Entah kenapa begini, padahal di kantor dulu, aku ini kepala divisi keuangan, masalah uang serta pembukuannya adalah makanan sehari-hari. Tapi kenapa mengurus toko sendiri malah begini? Ah, ingin aku menjerit sambil berguling-guling.Akhirnya kututup buku dan duduk menyandar ke sandaran kursi di belakangku, seraya memegangi kepala yang menengadah.Pusing.Masih baik isi semua toko ini disuplai orangtuaku, sehingga barangnya selalu terisi penuh tanpa aku mengeluarkan modal. Seharusnya, uangnya terkumpul, tapi ini kenapa malah minus? Jika bukan dari orang tuaku, sepertinya toko ini sudah tutup, karena tidak bisa memutar modal.Kusentak napas kasar. Sejak Hilma memintaku mencoba membuka t
"Tega kamu ninggalin aku? Kamu liburan sama si kembar tanpa aku?" tanyaku lesu dengan wajah memelas."Ayok, makanya catat pembukuan dengan benar, Ay. Kamu pasti bisa kok, semangat semangat!"Kusentak napas kasar. "Iya, iya. Aku akan berbenah. Tapi jangan ditinggal ya nanti liburan. Kita liburan sama-sama. Emm, aku pengen honeymoon lagi deh, Sayang," sahutku pada istriku ini.Hilma nampak berpikir. Seolah menimang-nimang sampai akhirnya dia mengangguk cepat. "Oke. Tapi, kalau pembukuan enggak minus, ya? Kalau minus, aku tinggal lho.""Ya jangan! Iya, nanti aku usahain enggak minus lagilah, Sayang. Tapi aku ikut liburan, ya?" Aku merajuk.Hilma mengangguk. "Iya. Dengan catatan, pembukuan enggak minus, deal?!" ucapnya seraya mengangsurkan tangannya.Aku menyambar dengan cepat tangan Hilma di hadapanku. "Deal!" jawabku.Kami berjabatan tangan. Sebelum kemudian Hilma kembali ke dalam rumah, sedangkan aku mulai membenahi pembukuan dan mendisplay barang-barang di toko ini agar lebih rapi.Ak
Sekali lagi, aku amat menyayangkan sikap murahan Feli. Sehingga membuat namanya sendiri menjadi jelek."Terus, Za?" tanyaku penasaran. Bukan apa-apa, aku hanya ingin tahu, apa yang terjadi lebih lanjut pada perempuan yang memiliki paras persis dengan almarhumah Khanza."Ya besok mereka semua diminta balik dari sana. Gak tahu deh langkah apa yang akan diambil Bos besar. Itu udah mencemarkan nama baik kantor. Si Agus juga, gak nyangka gue dia kek begitu. Udah punya anak istri juga. Tampang pas-pasan, kelakuan gak bener. Ah, gedek gue jadinya!" Reza mendumel.Kutarik napas panjang, menggelengkan kepalaku berulangkali. Merasa masih tidak percaya dengan yang disampaikan Fahreza. Tapi, dalam setiap ucapan atas berita yang dibawanya, tidak ada tanda-tanda Fahreza sedang berbohong. Ini hal yang terlalu besar jika Fahreza hanya bercanda."Ya udahlah, Za. Doain aja mereka semua dapat hidayah, dan bisa lebih baik setelah kejadian ini," ucapku."Ya iya, Yud. Cuma gue masih gak nyangka aja, si Fel
🌻🌻POV HilmaAku menggeliat pelan. Membuka mata yang terasa lengket disertai sekujur tubuh terasa lelah. Tanganku sibuk meremas selimut menutupi dada yang polos.Kepalaku terangkat bersamaan dengan netra yang telah terbuka. Disambut Yuda yang masih terpejam. Seketika aku tersenyum, melihatnya yang tetap tampan meskipun saat tertidur seperti ini.Liburan kali ini, benar-benar dia jadikan moment honeymoon ke sekian kali. Setelah menggempurku di dalam mobil, dia membawaku pulang ke penginapan ini. Lalu di kamar ini pun, dia melanjutkannya lagi.Sejak aku keguguran sekitar tujuh bulan yang lalu. Tiga bulan berikutnya, aku dan Yuda sama-sama berpuasa. Pasca keguguran selesai pun, aku dan Yuda tak langsung bercampur.Aku masih teringat akan calon bayi kami yang tidak bisa selamat. Moodku sering berubah-ubah. Begitu juga dengan Yuda yang masih memikirkan pekerjaannya. Membuat hubungan ranjang kami tak sehangat biasanya.Kehilangan bayiku di usia kandungan lima bulan, membuatku sungguh meras
🌻POV HILMA***Aku mematut diri di depan sebuah cermin rias, menggosok rambut basahku dengan handuk lalu menyisirnya. Setelah cukup kering, lekas aku mengikatnya. Gamis navy dengan bermotif flaminggo telah kukenakan.Saat mengangkat rambutku cukup tinggi. Nampak leherku dalam pantulan cermin. Aku memperhatikannya lekat. Banyak sekali bekas yang ditinggalkan Yuda di leher dan dadaku.Aku menggeleng sendirian dengan seulas senyum di bibir ini. Mengingat tingkahku bersama Yuda saat ini. Benar-benar seperti sepasang pengantin baru yang sedang menikmati masa-masa awal pernikahan.Puas bercermin lekas aku memasang kerudung berwarna senada dengan gamis. Setelah semuanya rapi, aku pun mendekat ke sisi tempat tidur.Nampak Yuda masih menggelung dalam selimut. Aku menyingkapnya segera, membuat tubuh atasnya yang masih polos terpampang di hadapanku."Ay, bangun. Udah jam lima lebih. Kamu belum sholat Subuh! Bangun! Bangun!" Aku mengguncang baju Yuda cukup keras.Suamiku itu terlihat menggeliat
****"Kamu mau sarapan apa?" tanya Yuda saat kami sudah keluar dari area penginapan."Emm, apa, ya? Pengen yang ringan-ringan, Ay. Jangan nasi," jawabku seraya mengitari sekeliling jalanan pagi yang kami lewati.Jalanan beraspal yang kami lewati dengan berjalan kaki masih terasa sejuk. Masih hanya hitungan jari kendaraan yang lewat. Membuatku bisa menghirup udara pagi lebih leluasa tanpa takut polusi.Yuda merangkul pinggangku erat sejak berjalan dari penginapan tadi, tak dilepaskan sama sekali. Padahal, aku tetap berjalan di sampingnya, tidak akan ke mana-mana."Ketan bakar, mau?" tanyanya menawarkan."Boleh, deh." Aku setuju dengan tawarannya."Ya udah, ayok!"Aku bersama Yuda melanjutkan berjalan kaki. Sedikit menanjak tetaapi views sekitar kami tidaklah mengecewakan.Setelah melalui jalan yang cukup menanjak, napasku tersengal karenanya. Yuda menuntunku duduk di salah satu kursi kayu penjual ketan bakar.Yuda memesannya dan kami menunggu sebentar. Hingga sarapan kami disajikan, la
Naik. Ranjang || 🌻POV HILMAYuda menyentuh pipiku dan membelai dengan jari jemarinya. Sentuhannya selalu lembut, membuatku terdiam merasakannya. Tanpa melawan atau apa, aku hanya bisa memandangi sepasang manik hazelnya saat ini.Jari jemarinya masih menari membelai wajahku. Hingga kini berhenti dengan menyentuh ujung daguku. Membuat wajahku terangkat seketika.Kami saling memandangi. Aku terhipnotis, akan senyum manis yang dia pamerkan saat ini.Yuda menghapus jarak wajah kami. Bahkan, kepala Yuda telah miring dan begitu dekat di depanku.Tatapannya yang menghipnotis, tapi aku dapat segera tersadar. Aku menunduk cepat dan menepis tanganya di daguku."Ini tempat umum, ihh!" ucapku setengah jengkel seraya memalingkan wajah.Terdengar Yuda malah tertawa kecil. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Ya udah yuk, kita balik ke penginapan aja. Biar kamu gak malu-malu kucing begini," tukasnya.Aku menggeleng cepat. "Enggak mau. Kalau balik ke penginapan, yang ada kamu ngurung aku te