Sekali lagi, aku amat menyayangkan sikap murahan Feli. Sehingga membuat namanya sendiri menjadi jelek."Terus, Za?" tanyaku penasaran. Bukan apa-apa, aku hanya ingin tahu, apa yang terjadi lebih lanjut pada perempuan yang memiliki paras persis dengan almarhumah Khanza."Ya besok mereka semua diminta balik dari sana. Gak tahu deh langkah apa yang akan diambil Bos besar. Itu udah mencemarkan nama baik kantor. Si Agus juga, gak nyangka gue dia kek begitu. Udah punya anak istri juga. Tampang pas-pasan, kelakuan gak bener. Ah, gedek gue jadinya!" Reza mendumel.Kutarik napas panjang, menggelengkan kepalaku berulangkali. Merasa masih tidak percaya dengan yang disampaikan Fahreza. Tapi, dalam setiap ucapan atas berita yang dibawanya, tidak ada tanda-tanda Fahreza sedang berbohong. Ini hal yang terlalu besar jika Fahreza hanya bercanda."Ya udahlah, Za. Doain aja mereka semua dapat hidayah, dan bisa lebih baik setelah kejadian ini," ucapku."Ya iya, Yud. Cuma gue masih gak nyangka aja, si Fel
🌻🌻POV HilmaAku menggeliat pelan. Membuka mata yang terasa lengket disertai sekujur tubuh terasa lelah. Tanganku sibuk meremas selimut menutupi dada yang polos.Kepalaku terangkat bersamaan dengan netra yang telah terbuka. Disambut Yuda yang masih terpejam. Seketika aku tersenyum, melihatnya yang tetap tampan meskipun saat tertidur seperti ini.Liburan kali ini, benar-benar dia jadikan moment honeymoon ke sekian kali. Setelah menggempurku di dalam mobil, dia membawaku pulang ke penginapan ini. Lalu di kamar ini pun, dia melanjutkannya lagi.Sejak aku keguguran sekitar tujuh bulan yang lalu. Tiga bulan berikutnya, aku dan Yuda sama-sama berpuasa. Pasca keguguran selesai pun, aku dan Yuda tak langsung bercampur.Aku masih teringat akan calon bayi kami yang tidak bisa selamat. Moodku sering berubah-ubah. Begitu juga dengan Yuda yang masih memikirkan pekerjaannya. Membuat hubungan ranjang kami tak sehangat biasanya.Kehilangan bayiku di usia kandungan lima bulan, membuatku sungguh meras
🌻POV HILMA***Aku mematut diri di depan sebuah cermin rias, menggosok rambut basahku dengan handuk lalu menyisirnya. Setelah cukup kering, lekas aku mengikatnya. Gamis navy dengan bermotif flaminggo telah kukenakan.Saat mengangkat rambutku cukup tinggi. Nampak leherku dalam pantulan cermin. Aku memperhatikannya lekat. Banyak sekali bekas yang ditinggalkan Yuda di leher dan dadaku.Aku menggeleng sendirian dengan seulas senyum di bibir ini. Mengingat tingkahku bersama Yuda saat ini. Benar-benar seperti sepasang pengantin baru yang sedang menikmati masa-masa awal pernikahan.Puas bercermin lekas aku memasang kerudung berwarna senada dengan gamis. Setelah semuanya rapi, aku pun mendekat ke sisi tempat tidur.Nampak Yuda masih menggelung dalam selimut. Aku menyingkapnya segera, membuat tubuh atasnya yang masih polos terpampang di hadapanku."Ay, bangun. Udah jam lima lebih. Kamu belum sholat Subuh! Bangun! Bangun!" Aku mengguncang baju Yuda cukup keras.Suamiku itu terlihat menggeliat
****"Kamu mau sarapan apa?" tanya Yuda saat kami sudah keluar dari area penginapan."Emm, apa, ya? Pengen yang ringan-ringan, Ay. Jangan nasi," jawabku seraya mengitari sekeliling jalanan pagi yang kami lewati.Jalanan beraspal yang kami lewati dengan berjalan kaki masih terasa sejuk. Masih hanya hitungan jari kendaraan yang lewat. Membuatku bisa menghirup udara pagi lebih leluasa tanpa takut polusi.Yuda merangkul pinggangku erat sejak berjalan dari penginapan tadi, tak dilepaskan sama sekali. Padahal, aku tetap berjalan di sampingnya, tidak akan ke mana-mana."Ketan bakar, mau?" tanyanya menawarkan."Boleh, deh." Aku setuju dengan tawarannya."Ya udah, ayok!"Aku bersama Yuda melanjutkan berjalan kaki. Sedikit menanjak tetaapi views sekitar kami tidaklah mengecewakan.Setelah melalui jalan yang cukup menanjak, napasku tersengal karenanya. Yuda menuntunku duduk di salah satu kursi kayu penjual ketan bakar.Yuda memesannya dan kami menunggu sebentar. Hingga sarapan kami disajikan, la
Naik. Ranjang || 🌻POV HILMAYuda menyentuh pipiku dan membelai dengan jari jemarinya. Sentuhannya selalu lembut, membuatku terdiam merasakannya. Tanpa melawan atau apa, aku hanya bisa memandangi sepasang manik hazelnya saat ini.Jari jemarinya masih menari membelai wajahku. Hingga kini berhenti dengan menyentuh ujung daguku. Membuat wajahku terangkat seketika.Kami saling memandangi. Aku terhipnotis, akan senyum manis yang dia pamerkan saat ini.Yuda menghapus jarak wajah kami. Bahkan, kepala Yuda telah miring dan begitu dekat di depanku.Tatapannya yang menghipnotis, tapi aku dapat segera tersadar. Aku menunduk cepat dan menepis tanganya di daguku."Ini tempat umum, ihh!" ucapku setengah jengkel seraya memalingkan wajah.Terdengar Yuda malah tertawa kecil. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Ya udah yuk, kita balik ke penginapan aja. Biar kamu gak malu-malu kucing begini," tukasnya.Aku menggeleng cepat. "Enggak mau. Kalau balik ke penginapan, yang ada kamu ngurung aku te
🌻POV Yuda.~Hari demi hari kulalui dengan penuh semangat.Menekuni usaha berjualan saat ini, aku merasa seakan terlahir kembali. Meninggalkan aturan-aturan yang terikat saat bekerja di kantor. Perlahan aku semakin memahami caranya berniaga.Usai liburan di puncak hanya berdua dengan Hilma. Hubungan ranjangku dengannya yang sempat hambar dan tak bergairah setelah kepergian calon bayi kami. Kini, sudah mulai membaik.Hubungan ranjang kami kini telah kembali hangat dan penuh gairah. Terhitung, kini sudah tiga bulan sejak kepulangan kami dari puncak.Setiap pagi, Hilma sudah ke toko lebih dulu dan membukanya. Dia selalu beres-beres toko setiap hari. Padahal, toko tidak begitu berantakan. Namun, ada saja yang Hilma bereskan dan bersihkan. Katanya untuk menarik rezeki.Seperti pagi ini, aku baru selesai menemani si kembar sarapan. Kedua putraku itu semakin tumbuh tinggi dan besar. Pipinya gembul dan kulitnya putih bersih. Tampan persis sepertiku.Aku pun meninggalkan si kembar di ruangan
Turun dari motor, aku pun memakai masker lebih dulu lalu melangkah cepat memasuki apotek. Hingga berada di dalamnya, aku melihat perempuan bermasker tadi di tempat antrian membeli obat.Aku memakai masker karena tidak ingin dia mengenaliku. Dengan percaya diri, aku mendekat pada meja etalase untuk membeli kebutuhan yang kumaksud.Aku menuliskan apa yang ingin kubeli di atas ponsel. Tidak ingin perempuan di etalase sebelah mendengar suaraku. Pekerja apotek yang melayaniku pun mulai mengambilkan apa yang kupesan.Perempuan bermasker tadi, telah selesai lebih dulu. Sehingga dia pergi lebih dulu dari meja antrian, lalu keluar dari apotek. Tak lama, pesananku datang, lantas aku membayar dan beranjak keluar dari apotek. Memasukkan testpack ke dalam saku celana seraya berjalan menuju parkiran.Langkahku terhenti. Saat di hadapanku tergeletak sebungkus obat yang lebih mirip dengan pil kontrasepsi. Mau tak mau aku mengambilnya."Cyt*tec? Obat apa ini?" gumamku setelah membaca tulisan pada bung
Feli terdiam. Menatapku dengan mata yang mulai berembun. Bibirnya pun terlihat mulai bergetar. Dadanya terlihat bergemuruh. Kedua bahunya mulai berguncang. Sampai kemudian dia menghambur dalam dadaku. Dia memelukku dan menangis sesenggukan.Aku membiarkannya. Membiarkan tangisnya tumpah di dadaku. Aku tidak peduli dengannya, tapi aku sangat peduli pada bayi dalam kandungannya. Terlepas bayi itu ada dari hubungan yang haram. Tapi bayi itu tetaplah suci. Bayi itu tidak ikut menanggung dosa atas perbuatan kedua orang tuanya.Feli masih memelukku. Masih menumpahkan tangisnya di dadaku. Tangisnya masih belum reda dan bahunya masih berguncang."Saya malu, Pak. Malu …," lirihnya di sela isakan tangis. Aku tak menyahut. Hanya membiarkannya mengeluarkan apa yang mungkin dia tahan.Kepalanya tenggelam semakin dalam di dadaku. Kedua tanganku masih kusimpan erat di sisi tubuhku. Meski perasaanku tak tega melihatnya yang berada di titik terendahnya saat ini.Aku menahan diriku, agar tidak mengusap