🌻POV HILMA***Aku mematut diri di depan sebuah cermin rias, menggosok rambut basahku dengan handuk lalu menyisirnya. Setelah cukup kering, lekas aku mengikatnya. Gamis navy dengan bermotif flaminggo telah kukenakan.Saat mengangkat rambutku cukup tinggi. Nampak leherku dalam pantulan cermin. Aku memperhatikannya lekat. Banyak sekali bekas yang ditinggalkan Yuda di leher dan dadaku.Aku menggeleng sendirian dengan seulas senyum di bibir ini. Mengingat tingkahku bersama Yuda saat ini. Benar-benar seperti sepasang pengantin baru yang sedang menikmati masa-masa awal pernikahan.Puas bercermin lekas aku memasang kerudung berwarna senada dengan gamis. Setelah semuanya rapi, aku pun mendekat ke sisi tempat tidur.Nampak Yuda masih menggelung dalam selimut. Aku menyingkapnya segera, membuat tubuh atasnya yang masih polos terpampang di hadapanku."Ay, bangun. Udah jam lima lebih. Kamu belum sholat Subuh! Bangun! Bangun!" Aku mengguncang baju Yuda cukup keras.Suamiku itu terlihat menggeliat
****"Kamu mau sarapan apa?" tanya Yuda saat kami sudah keluar dari area penginapan."Emm, apa, ya? Pengen yang ringan-ringan, Ay. Jangan nasi," jawabku seraya mengitari sekeliling jalanan pagi yang kami lewati.Jalanan beraspal yang kami lewati dengan berjalan kaki masih terasa sejuk. Masih hanya hitungan jari kendaraan yang lewat. Membuatku bisa menghirup udara pagi lebih leluasa tanpa takut polusi.Yuda merangkul pinggangku erat sejak berjalan dari penginapan tadi, tak dilepaskan sama sekali. Padahal, aku tetap berjalan di sampingnya, tidak akan ke mana-mana."Ketan bakar, mau?" tanyanya menawarkan."Boleh, deh." Aku setuju dengan tawarannya."Ya udah, ayok!"Aku bersama Yuda melanjutkan berjalan kaki. Sedikit menanjak tetaapi views sekitar kami tidaklah mengecewakan.Setelah melalui jalan yang cukup menanjak, napasku tersengal karenanya. Yuda menuntunku duduk di salah satu kursi kayu penjual ketan bakar.Yuda memesannya dan kami menunggu sebentar. Hingga sarapan kami disajikan, la
Naik. Ranjang || 🌻POV HILMAYuda menyentuh pipiku dan membelai dengan jari jemarinya. Sentuhannya selalu lembut, membuatku terdiam merasakannya. Tanpa melawan atau apa, aku hanya bisa memandangi sepasang manik hazelnya saat ini.Jari jemarinya masih menari membelai wajahku. Hingga kini berhenti dengan menyentuh ujung daguku. Membuat wajahku terangkat seketika.Kami saling memandangi. Aku terhipnotis, akan senyum manis yang dia pamerkan saat ini.Yuda menghapus jarak wajah kami. Bahkan, kepala Yuda telah miring dan begitu dekat di depanku.Tatapannya yang menghipnotis, tapi aku dapat segera tersadar. Aku menunduk cepat dan menepis tanganya di daguku."Ini tempat umum, ihh!" ucapku setengah jengkel seraya memalingkan wajah.Terdengar Yuda malah tertawa kecil. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Ya udah yuk, kita balik ke penginapan aja. Biar kamu gak malu-malu kucing begini," tukasnya.Aku menggeleng cepat. "Enggak mau. Kalau balik ke penginapan, yang ada kamu ngurung aku te
🌻POV Yuda.~Hari demi hari kulalui dengan penuh semangat.Menekuni usaha berjualan saat ini, aku merasa seakan terlahir kembali. Meninggalkan aturan-aturan yang terikat saat bekerja di kantor. Perlahan aku semakin memahami caranya berniaga.Usai liburan di puncak hanya berdua dengan Hilma. Hubungan ranjangku dengannya yang sempat hambar dan tak bergairah setelah kepergian calon bayi kami. Kini, sudah mulai membaik.Hubungan ranjang kami kini telah kembali hangat dan penuh gairah. Terhitung, kini sudah tiga bulan sejak kepulangan kami dari puncak.Setiap pagi, Hilma sudah ke toko lebih dulu dan membukanya. Dia selalu beres-beres toko setiap hari. Padahal, toko tidak begitu berantakan. Namun, ada saja yang Hilma bereskan dan bersihkan. Katanya untuk menarik rezeki.Seperti pagi ini, aku baru selesai menemani si kembar sarapan. Kedua putraku itu semakin tumbuh tinggi dan besar. Pipinya gembul dan kulitnya putih bersih. Tampan persis sepertiku.Aku pun meninggalkan si kembar di ruangan
Turun dari motor, aku pun memakai masker lebih dulu lalu melangkah cepat memasuki apotek. Hingga berada di dalamnya, aku melihat perempuan bermasker tadi di tempat antrian membeli obat.Aku memakai masker karena tidak ingin dia mengenaliku. Dengan percaya diri, aku mendekat pada meja etalase untuk membeli kebutuhan yang kumaksud.Aku menuliskan apa yang ingin kubeli di atas ponsel. Tidak ingin perempuan di etalase sebelah mendengar suaraku. Pekerja apotek yang melayaniku pun mulai mengambilkan apa yang kupesan.Perempuan bermasker tadi, telah selesai lebih dulu. Sehingga dia pergi lebih dulu dari meja antrian, lalu keluar dari apotek. Tak lama, pesananku datang, lantas aku membayar dan beranjak keluar dari apotek. Memasukkan testpack ke dalam saku celana seraya berjalan menuju parkiran.Langkahku terhenti. Saat di hadapanku tergeletak sebungkus obat yang lebih mirip dengan pil kontrasepsi. Mau tak mau aku mengambilnya."Cyt*tec? Obat apa ini?" gumamku setelah membaca tulisan pada bung
Feli terdiam. Menatapku dengan mata yang mulai berembun. Bibirnya pun terlihat mulai bergetar. Dadanya terlihat bergemuruh. Kedua bahunya mulai berguncang. Sampai kemudian dia menghambur dalam dadaku. Dia memelukku dan menangis sesenggukan.Aku membiarkannya. Membiarkan tangisnya tumpah di dadaku. Aku tidak peduli dengannya, tapi aku sangat peduli pada bayi dalam kandungannya. Terlepas bayi itu ada dari hubungan yang haram. Tapi bayi itu tetaplah suci. Bayi itu tidak ikut menanggung dosa atas perbuatan kedua orang tuanya.Feli masih memelukku. Masih menumpahkan tangisnya di dadaku. Tangisnya masih belum reda dan bahunya masih berguncang."Saya malu, Pak. Malu …," lirihnya di sela isakan tangis. Aku tak menyahut. Hanya membiarkannya mengeluarkan apa yang mungkin dia tahan.Kepalanya tenggelam semakin dalam di dadaku. Kedua tanganku masih kusimpan erat di sisi tubuhku. Meski perasaanku tak tega melihatnya yang berada di titik terendahnya saat ini.Aku menahan diriku, agar tidak mengusap
Dahiku seketika mengernyit. Sementara Feli memasang wajah penuh harap. Aku pun menggeleng cepat. "Enggak. Saya gak akan antar kamu ke kamar kamu. Kamu bisa pergi sendiri!" tegasku berucap.Raut wajahnya menunjukkan kekecewaan. "Kalau begitu, saya tidak akan menjamin keselamatan bayi ini setelah kembali ke kamar nanti."Kuraup kasar wajahku dengan satu tangan. Sementara otakku terus memikirkan langkah yang harus kuambil."Begini, nanti saya akan temui kamu di kamar kamu. Tapi tidak sekarang. Saya masih ada urusan." Aku mencoba bernegosiasi.Seketika, wajah itu berbinar. "Benar, Pak?"Aku mengangguk cepat. "Iya. Tapi tidak bisa sekarang atau secepatnya. Masih ada hal lain yang harus saya selesaikan."Senyum kecil terbit di bibir Feli yang tak bergincu. Sangat berbeda dengan penampilannya saat masih bekerja di kantor dulu. Feli pun mengangguk patah-patah. "Saya tunggu, Pak. Kalau Bapak bohong. Saya pastikan, Bapak tidak akan bertemu saya dan bayi ini lagi!""Jangan gila, kamu! Jangan ber
Hari sudah sore, setengah hari ini, aku tak hentinya berpikir. Memikirkan apa yang harus kulakukan. Masih baik aku tidak salah dalam melayani pembeli saat menjaga toko.Memang benar-benar menggangu, tapi aku merasa perlu untuk mengehentikan aksi nekat Feli itu. Meski akibatnya, aku terus kepikiran. Sampai akhirnya, aku menemukan ide."Sayang, aku mau ke rumah Reza. Tadi aku udah janji ketemu sama dia," ucapku meminta izin pada Hilma yang tengah mengajak bermain si kembar di halaman."Toko tutup aja, ya? Udah sore juga ini," sambungku."Oh, ya udah boleh. Kamu hati-hati ya?"Aku mengusap lembut puncak kepala Hilma. Dia mencium punggung tanganku. Kemudian, aku berpamitan pada si kembar.Bergegas menuju motor di depan garasi. Naik ke atas jok lalu menyalakannya. Aku melambaikan tangan pada Hilma dan juga si kembar. Sampai keluar dari gerbang pagar lalu menyusuri jalanan komplek.Tiba di jalanan besar mendapati jalan cukup padat oleh kendaraan. Sore hari, memang waktunya bubaran jam kerja
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y