“Mi, kenapa nggak bilang kalau Anggi ketemu sama Aldi?” buru Rizal tanpa basa-basi ketika memasuki kamar.
“Ssshh ...” Dina meletakkan telunjuknya di bibir. “Aldi baru tidur, jangan keras-keras ngomongnya.”
Dina memang sengaja tidak memberi tahu, karena sudah waktunya Anggi mengetahui segalanya. Ia lelah jika harus menutupi perihal Aldi terus-terusan, karena putranya juga semakin tumbuh besar. Terlebih setelah Dina mendapat perlakuan kasar dari Nada.
Kebetulan, siang tadi Dina bertemu Anggi di toko perhiasan. Untuk itulah, pertemuan itu ia manfaatkan untuk mengenalkan Aldi pada istri pertama Rizal.
“Mi.” Rizal memelankan suaranya ketika menghampiri Aldi yang berada di tempat tidur mereka. Ia tersenyum sebentar, saat melihat jagoan kecilnya sudah tertidur lelap. “Aku sudah bilang, kan, nanti ada waktunya kita—”
“Sudah terlanjur.” Dina mendudukkan Rizal di tepi ranjang, lalu duduk di pangkuan pria itu dan mengalungkan kedua tangannya. “Kami nggak sengaja ketemu, jadi sudah nggak bisa menghindar lagi. Mana Aldi manggil-manggil mami terus.”
“Dan karena itu Anggi minta pisah.”
“Ya bagus dong!” seru Dina tidak menyembunyikan rasa bahagianya. Akhirnya, sebentar lagi ia akan menjadi satu-satunya istri Rizal Pangestu.
“Kamu tahu yang terjadi kalau aku bercerai dengan Anggi?” Rizal berdecak, karena memikirkan akibat yang akan diterimanya. “Ada harta gono gini yang harus dibagi. Fifty-fifty, dan ada pembagian juga untuk Nada. Begitu sepengetahuanku.”
Dina mengerjap pelan. Melepaskan kedua tangannya dari leher Rizal, lalu menatap putranya yang terlelap. “Semuanya dibagi?”
“Ya,” angguk Rizal. “Kami nggak punya perjanjian pisah harta, jadi, semua harta bersama saat menikah akan dianggap gono gini.”
Dina masih menatap putranya. Ternyata, ini yang menjadi alasan Rizal tidak bisa atau tidak mau bercerai dari Anggi. Semua harta, rumah, dan yang lain-lainnya merupakan harta gono gini yang pasti akan dibagi jika mereka berpisah.
“Bagaimana dengan rumah?” tanya Dina kembali teringat dengan rumah Rizal yang cukup besar. “Apa nantinya dijual?”
Rizal menggeleng. “Aku sedang mencari cara agar kami nggak cerai.”
“Nggak cerai?” Dina seketika bangkit dari pangkuan Rizal. Saat mengingat ada putranya yang terlelap, Dina lantas berbicara pelan. “Aku yakin hartamu masih banyak kalau nanti dibagi dua. Mas masih punya gaji tiap bulan, kan? Ada bonus tahunan juga dan—”
“Nggak segampang itu, Mi,” putus Rizal yang juga bicara pelan. Banyak hal yang memang harus Rizal pertimbangkan, sehingga ia tidak bisa melepas Anggi begitu saja. “Itu semua harta yang aku kumpulkan selama 23 tahun menikah dengan Anggi. Kalau harus dibagi dua—”
“Mas! Harta bisa dicari lagi,” ujar Dina kemudian berlutut di hadapan Rizal. “Tapi aku dan anakmu? Kami juga butuh ... jangan nomor duakan kami terus-terusan. Mbak Anggi sudah minta pisah, jadi kenapa nggak diturutin aja? Lagian dia juga sudah nggak bisa apa-apa, kan? Jadi, lepasin aja!”
“Ini sudah malam,” ujar Rizal kemudian berdiri setelah menggeser tubuh Dina. “Kita bicara lagi, setelah aku bicara sama Anggi. Tidurlah.”
“Mas.”
“Aku bilang tidur, istirahat.” Rizal pergi menuju kamar mandi. “Aku mau mandi dan pembicaraan kita selesai.”
~~~~~~~~~~~~~
“Mbak Anggi.” Wirda spontan beranjak dari kursinya, saat melihat Anggi menghampiri menggunakan kursi roda. “Sejak kapan? Kok, aku nggak tahu?”
“Sejak kecelakaan waktu itu,” ucap Anggi sudah terbiasa melihat keterkejutan rekan atau kawan lamanya ketika melihatnya memakai kursi roda.
“Maaf, aku nggak tahu,” ujarnya sembari menunduk lalu memeluk Anggi dengan singkat. “Aku sempat ke rumah sakit, tapi waktu itu Mbak nggak bisa dijenguk karena masih di ICU. Habis itu, aku nggak pernah lagi dengar kabarmu, Mbak.”
“Nggak papa,” ujar Anggi seraya tersenyum. “Betah, ya, kamu kerja di sini. Dari magang, loh! Sampai ...”
“Sampai tua,” Wirda tertawa sembari menegakkan tubuh kembali dan tersenyum melihat gadis yang berdiri di belakang Anggi.
Anggi pun ikut terkekeh. “Oia, ini Nada. Anakku satu-satunya.”
Nada segera mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri dengan sopan.
“Oia, Mbak, maaf,” ucap Wirda sambil kembali ke kursinya. “Mas Sastra ada tamu dadakan barusan. Klien besar, jadi nggak bisa nolak.”
“Apa pertemuannya diundur?”
“Cuma undur waktu, bukan hari,” ucap Wirda. “Mbak Anggi mau nunggu atau reschedule?”
“Nunggu aja,” jawab Anggi yang memiliki banyak waktu luang jika hanya sekadar menunggu. “Nggak papa.”
“Kalau begitu, silakan nunggu di ruangan mas Sastra.” Wirda bergeser beberapa langkah, lalu mempersilakan Anggi dan putrinya menunggu di dalam ruangan.
“Bu Widaaa!”
Teriakan dua anak kecil yang berlari ke arahnya membuat Wirda menepuk dahi. Namun, ia tidak bisa mengeluh karena kedua bocah itu adalah cucu dari pemilik Firma.
“Halooo ...” Wirda segera berdiri tepat di tengah pintu dan merentangkan kedua tangan. “Nggak boleh masuk, ada tamu,” ucapnya lalu menunjuk ruangan yang berseberangan dengannya. “Kalian main di ruangan opa aja, oke?”
“Ompa di dalam?” tanya gadis kecil yang rambutnya acak-acakan dan mamakai seragam merah putih yang sudah awut-awutan.
“Ompa masih di ruang meeting,” jawab Wirda lalu mengangguk kecil pada Adrian. “Siang, Pak. Anak-anak pulang cepat, ya?”
“Si Kakak drama habis imunisasi,” ujar Adrian lalu menunjuk ruangan putranya yang terbuka. “Ada orang?”
“Mbak Anggi, mantan sekretaris Bapak dulu,” terang Wirda sambil menghalangi bocah berseragam TK yang hendak masuk ke ruangan. “Anggi Anastasia. Bapak masih ingat? Tadinya mau konsultasi sama Bapak, tapi—”
“Ingat!” sela Adrian lalu menunjuk Wirda, memberi isyarat agar wanita itu bergeser. Setelah itu, barulah ia masuk dan terpaku melihat mantan sekretarisnya duduk di kursi roda. “Anggi?”
“Pak Adrian!” Anggi dengan segera menjalankan kursi rodanya ke arah Adrian. Menyalami dan menyapa sopan. “Saya Anggi! Bapak masih ingat?”
“Anggi, kamu ...” ucapan Adrian menggantung tetapi tangannya menunjuk kursi roda yang dipakai
Anggi tersenyum dan bercerita singkat tentang kejadian yang menimpanya. Setelah itu, ia segera memperkenalkan putrinya pada pria tua itu.
“Waaah! Kursinya jalan sendiri!” celetuk bocah laki-laki yang tanpa sungkan menghampiri menghampiri Anggi dan langsung duduk di pangkuan.
“Cairo! Turun,” titah Adrian tegas. “Pergi keluar sama Kak Milan dan datangi bu Wirda. Opa ada tamu.”
“Nggak mau!” tolak Cairo bersedekap.
“Nad, bisa tolong bawa cucunya pak Adrian keluar?” pinta Anggi karena perlu bicara serius dengan pria itu, untuk mencari pendapat lain. “Mama perlu bicara sama pak Adrian.”
Nada menggaruk kepala. Ia tidak pernah dekat atau “mengasuh” anak sebelumnya. Namun, ia juga tidak bisa mengelak perintah mamanya.
“Ikut Kakak keluar ayok!” ajak Nada. “Kita ke minimarket mau? Beli jajan!”
“Mauuu!” Milan lebih dulu meraih tangan Nada dan menariknya keluar dengan semangat. “Cairo tinggalin aja!”
“Aku ikut!” Cairo langsung turun dari pangkuan Anggi dan berlari menyusul kakak perempuannya. Ia segera meraih tangan Nada yang satunya lalu berjalan bersama-sama menuju lift.
“Kak! Aku mau beli cokelat!” celetuk Milan menarik Nada dengan semangat. “Tapi kita makan di bawah aja, biar nggak dimarahin opa!”
“Aku mau memen!” pinta Cairo yang berjalan sambil melompat-lompat.
“Apa itu memen?” Nada mulai pusing, karena dua bocah yang dibawanya ternyata banyak maunya.
“Permen, Kak!” sahut Milan membenarkan ucapan adiknya yang berusia lima tahun.
“Okelah!” jawab Nada tidak bisa menolak. “Kita beli cokelat, kita beli permen Nanti kita makan di minimarket aja. Nggak usah balik ke kantor biar nggak ketahuan siapa-siapa.”
“Apa maksudnya nggak usah balik ke kantor biar nggak ketahuan siapa-siapa!”
“Ompa! Ak—”
“Sudah Om bilang, jangan pernah pergi sama orang asing!” Sastra, yang hanya mendengar sepenggal kalimat Nada sontak menarik kedua keponakannya. “Jane, bawa Milan sama Cairo ke ruangan saya. Dan panggil security!”
“Iya, Mas!” Dengan sigap, Jane mengambil alih kedua bocah yang langsung bicara saling bersahutan itu dan pergi menjauh.
"Dengar!" Sastra menghabiskan jarak dalam sekejap, tangannya langsung mencengkeram lengan gadis yang menurutnya mencurigakan. "Kamu—"
"Sakit, taaau!" Nada meringis, wajahnya sedikit berkerut menahan nyeri.
Tidak terima diperlakukan kasar, dalam hitungan detik kaki Nada mengayun keras, menendang tepat ke bagian inti tubuh Sastra.
“Kamu ...” Napas Sastra tercekat. Ia spontan membungkuk menahan nyeri yang menjalar cepat di sekujur tubuhnya.
Nada tersenyum miring penuh kemenangan. “Itu, baru pemanasan! Jangan coba—”
“Astaga, Mas Sastraaa .…
“Nada minta maaf,” pinta Anggi benar-benar merasa malu dan serba salah karena ulah putrinya. Padahal, ia baru memulai diskusi serius dengan Adrian, tetapi keributan dua bocah yang kembali datang ke ruangan membuatnya terkejut.Bertanya-tanya, apa yang sebenarnya telah dilakukan putrinya di luar sana.Tidak butuh waktu lama, Wirda muncul dengan napas memburu, diikuti seorang pria yang berjalan tertatih, dipapah oleh seorang petugas keamanan. Lalu, Nada menyusul di belakang mereka tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.Setelah diketahui di mana masalahnya, Anggi yang tidak enak hati itu langsung menyuruh putrinya untuk segera minta maaf.“Aku nggak salah, Ma.” Nada yang duduk di samping mamanya langsung menggeleng. Ia menolak tegas untuk meminta maaf. “Aku cuma membela diri,” ujarnya lalu menunjuk Sastra. “Bapak itu yang tahu-tahu datang, terus megang tanganku sampe sakit. Coba tanya sama dua krucil tadi, mereka pasti nggak akan bohong.”“Anggi, nggak papa,” ujar Adrian memahami situasi ya
“Mama sudah betul-betul yakin mau cerai dari papa?” tanya Nada setelah mengantarkan Anggi ke kamar. Ia menutup pintu, lalu menghempaskan tubuh di tempat tidur Anggi setelah melepas tasnya.“Sudah.” Anggi meletakkan tas di pangkuannya di meja rias, lalu berbalik dan menghampiri Nada. “Maaf, Mama bukan bermaksud egois, tapi ... ada hal yang harus Mama lindungi.”“Maksudnya?” Nada bangkit lalu bergeser dan duduk di tepi ranjang, di hadapan Anggi.“Papamu punya anak laki-laki yang sah dengan Dina.” Anggi meraih tangan Nada dan menggenggamnya. “Hukum waris kita didasarkan pada agama, adat, dan pemerintah. Jadi, bagaimanapun itu, Aldi akan mendapat hak waris lebih besar dari kamu.”Karena inilah, Anggi sudah mantap untuk bercerai agar bisa mendapatkan harta gono gini. Ada masa depan Nada yang harus ia perjuangkan, terlebih putrinya masih butuh biaya kuliah.“Jadi ini semua cuma karena warisan? Harta?” Nada menebak, ini semua karena Rizal menghentikan uang jajannya serta biaya kuliah.“Lebih
“Kalian mau ke mana?” tanya Rizal ketika baru menutup pintu mobilnya.Beberapa hari ini, Rizal selalu pulang ke rumah dan membujuk Anggi untuk membatalkan gugatan cerai. Namun, usahanya belum juga berhasil karena Anggi masih bersikukuh untuk berpisah darinya.“Ada undangan ulang tahun,” jawab Anggi yang selalu bersikap tenang di hadapan Rizal. Ia lelah jika harus marah-marah dan lebih memilih untuk tidak membuang tenaganya sia-sia. “Kenapa pulang? Harusnya Papa sama Dina dan Aldi, kan?”“Aku sudah di sana dari kemarin malam,” jawab Rizal melihat Nada yang enggan menegur atau menatapnya. Sejak bertengkar dengan Nada, putrinya tidak pernah lagi bicara ataupun menyalaminya seperti biasa.Nada menganggap Rizal seolah tidak ada.“Kalau gitu kami pergi dulu,” ucap Anggi menuruni tangga teras melalui jalur khusus yang dibuatkan untuknya. Ada Nining di belakang, yang akan selalu membantunya di kala menghadapi hambatan.“Biar aku antar,” tawar Rizal merasa hubungan keluarga mereka sudah mereng
“Kenapa Mama setuju kita jalan-jalan sama keluarga pak Adrian?” bisik Nada di samping mamanya. “Harusnya kita ke sini cuma setor muka, terus pulang.”Anggi mempertahankan senyumnya dan bicara pelan pada Nada. “Gimana Mama bisa nolak? Pak Adrian dulu mantan bos Mama. Bu Arini itu dari dulu baiknya luar biasa. Terus sekarang, perceraian Mama juga diurus sama anaknya. Coba pikir, gimana cara Mama nolaknya?”“Ya, apa kek, apa gitu,” Nada bersandar pasrah. “Masa’ aku jadi baby sitter dadakan gini? Ikut mandi bola sama anak SD?”Saat ini, mereka tidak lagi berada di ruang tamu, tetapi sudah berada di ruang keluarga karena pesta ulang tahun Milan yang mewah sudah selesai.Tumpukan kado yang ukurannya nyaris tidak ada yang kecil itu, juga baru saja dimasukkan ke dalam rumah oleh dua orang asisten rumah tangga.“Tapi, Nad, coba ambil kesempatan ini untuk dekat dengan keluarga pak Adrian,” ujar Anggi setelah memikirkan beberapa hal. “Setelah Mama cerai dari papa, kita itu pasti nggak punya ‘peg
“Papa?”Nada berdiri terpaku di sisi meja restoran. Menatap datar pada pria yang selama ini dipanggilnya Papa dan tengah duduk bersama seorang wanita asing.“Nada!” Rizal tersentak. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan putrinya di jam makan siang seperti sekarang. Wajahnya tegang sesaat, sebelum akhirnya memaksakan senyum dan berusaha bersikap tenang. “Kamu ngapain di sini?”“Justru aku yang harusnya tanya, Papa ngapain di sini?” Matanya menyipit tajam. Ia melirik sekilas ke arah wanita asing di sebelah papanya, sebelum bertanya dengan nada dingin. “Lo siapa?”“Dina,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Berusaha terlihat biasa, kendati ada sedikit perasaan was-was di hatinya.“Lo ngapain sama Papa gue?” Nada bersedekap. Intonasinya naik satu oktaf, membuat beberapa orang di sekitar mulai menoleh.Nada hanya menatap Dina sekilas tanpa ekspresi dan membiarkan tangan wanita itu menggantung di udara. Kemudian, pandangannya jatuh pada beberapa paper bag bermerek yang tergeletak di kursi y
“Ini baru yang namanya liar!”Nada mencengkeram rambut Dina, menariknya ke belakang dengan gerakan kasar hingga wanita itu terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan."LEPASIN!" Dina meronta panik, merintih kesakitan. Tangannya menggapai udara, mencoba mencakar lengan Nada, tetapi gadis itu terlalu gesit. Nada terus menarik dan memutar kepala Dina ke berbagai arah, membuat wanita itu terhuyung tidak menentu dan hampir terjatuh.Dina tidak bisa menggapai tubuh Nada, karena gadis itu berada di belakangnya. Ketika ia hendak berputar, Nada dengan gesit tetap memposisikan tubuh di belakangnya."Lo pikir lo siapa!" Nada berteriak. Ia tidak mau peduli dengan banyak mata yang melihat dan merekam tindakan brutalnya. Baginya, semakin banyak yang merekam justru semakin bagus.Jika mau rusak, maka Nada akan merusak semuanya sekalian. Berikut dengan image papanya yang berprofesi sebagai karyawan penting di salah satu perusahaan negara. “Mas,” rintih Dina putus asa.“Nada! Cukup!” Rizal akhirnya m
“Apa!” Nada menggeleng. Tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya dari Anggi. Napasnya tercekat dan dadanya semakin sesak. “Dina itu ... istri papa?”Nada tertawa getir. Ternyata, kenyataan yang terungkap lebih menyakitkan dari apa yang ia lihat tadi siang.“Kapan? Sejak kapan Papa nikah dan sejak kapan Mama tahu semuanya?” cecar Nada tidak sabar dan langsung beranjak dari tempatnya. Ia berdiri di tengah ruang dengan perasaan gusar. Menunggu jawaban dari orang tuanya.“Nada, duduk dulu,” pinta Anggi masih menatap pipi putrinya yang memerah.“Aku nggak mau duduk,” tolak Nada lalu bersedekap dengan tangan yang mengepal erat. “Aku mau jawaban.”“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rizal tetap tenang saat memberi jawaban pada putrinya. “Dan Papa sudah minta izin ke Mamamu sebelum menikah.”Satu setengah tahun?Nada sontak membeku di tempat. Jadi ... selama ini ia hidup dalam kebohongan? Keluarga harmonis yang selama ini sempat tercipta di kepala, menyimpan rahasia yang cukup membuatnya
“Nada ...” Anggi mendorong tuas kursi rodanya mendekati Nada yang masih berdiri tegak di tempatnya. Wajah Nada sudah basah dengan air mata dan sesenggukan menahan tangis. “Mama minta maaf karena sudah merahasiakan semua ini sama kamu,” ucapnya sambil meraih dan menggenggam tangan putrinya.Nada menatap mamanya tanpa bisa berkata-kata. Entah harus menyalahkan siapa, karena kedua orang tuanya ternyata punya andil dalam kejadian ini.“Tapi kamu harus paham dengan kondisi Mama,” lanjut Anggi menunduk, menatap kedua kakinya yang tidak lagi berguna. “Dan papamu ... dia punya kebutuhan yang nggak bisa Mama beri.”Air mata Nada kembali menitik, tetapi ia segera mengusapnya kasar. Sebenarnya, Nada belum terlalu dewasa untuk memikirkan masalah yang terjadi di dalam rumah tangga orang tuanya. Namun, setidaknya Nada bisa mengerti dengan kebutuhan yang dimaksud oleh Anggi.“Jadi, Mama kenal dengan Dina?” tanya Nada menarik tangannya dari genggaman mamanya.Anggi mengangguk pelan. Ada rasa kecewa k
“Kenapa Mama setuju kita jalan-jalan sama keluarga pak Adrian?” bisik Nada di samping mamanya. “Harusnya kita ke sini cuma setor muka, terus pulang.”Anggi mempertahankan senyumnya dan bicara pelan pada Nada. “Gimana Mama bisa nolak? Pak Adrian dulu mantan bos Mama. Bu Arini itu dari dulu baiknya luar biasa. Terus sekarang, perceraian Mama juga diurus sama anaknya. Coba pikir, gimana cara Mama nolaknya?”“Ya, apa kek, apa gitu,” Nada bersandar pasrah. “Masa’ aku jadi baby sitter dadakan gini? Ikut mandi bola sama anak SD?”Saat ini, mereka tidak lagi berada di ruang tamu, tetapi sudah berada di ruang keluarga karena pesta ulang tahun Milan yang mewah sudah selesai.Tumpukan kado yang ukurannya nyaris tidak ada yang kecil itu, juga baru saja dimasukkan ke dalam rumah oleh dua orang asisten rumah tangga.“Tapi, Nad, coba ambil kesempatan ini untuk dekat dengan keluarga pak Adrian,” ujar Anggi setelah memikirkan beberapa hal. “Setelah Mama cerai dari papa, kita itu pasti nggak punya ‘peg
“Kalian mau ke mana?” tanya Rizal ketika baru menutup pintu mobilnya.Beberapa hari ini, Rizal selalu pulang ke rumah dan membujuk Anggi untuk membatalkan gugatan cerai. Namun, usahanya belum juga berhasil karena Anggi masih bersikukuh untuk berpisah darinya.“Ada undangan ulang tahun,” jawab Anggi yang selalu bersikap tenang di hadapan Rizal. Ia lelah jika harus marah-marah dan lebih memilih untuk tidak membuang tenaganya sia-sia. “Kenapa pulang? Harusnya Papa sama Dina dan Aldi, kan?”“Aku sudah di sana dari kemarin malam,” jawab Rizal melihat Nada yang enggan menegur atau menatapnya. Sejak bertengkar dengan Nada, putrinya tidak pernah lagi bicara ataupun menyalaminya seperti biasa.Nada menganggap Rizal seolah tidak ada.“Kalau gitu kami pergi dulu,” ucap Anggi menuruni tangga teras melalui jalur khusus yang dibuatkan untuknya. Ada Nining di belakang, yang akan selalu membantunya di kala menghadapi hambatan.“Biar aku antar,” tawar Rizal merasa hubungan keluarga mereka sudah mereng
“Mama sudah betul-betul yakin mau cerai dari papa?” tanya Nada setelah mengantarkan Anggi ke kamar. Ia menutup pintu, lalu menghempaskan tubuh di tempat tidur Anggi setelah melepas tasnya.“Sudah.” Anggi meletakkan tas di pangkuannya di meja rias, lalu berbalik dan menghampiri Nada. “Maaf, Mama bukan bermaksud egois, tapi ... ada hal yang harus Mama lindungi.”“Maksudnya?” Nada bangkit lalu bergeser dan duduk di tepi ranjang, di hadapan Anggi.“Papamu punya anak laki-laki yang sah dengan Dina.” Anggi meraih tangan Nada dan menggenggamnya. “Hukum waris kita didasarkan pada agama, adat, dan pemerintah. Jadi, bagaimanapun itu, Aldi akan mendapat hak waris lebih besar dari kamu.”Karena inilah, Anggi sudah mantap untuk bercerai agar bisa mendapatkan harta gono gini. Ada masa depan Nada yang harus ia perjuangkan, terlebih putrinya masih butuh biaya kuliah.“Jadi ini semua cuma karena warisan? Harta?” Nada menebak, ini semua karena Rizal menghentikan uang jajannya serta biaya kuliah.“Lebih
“Nada minta maaf,” pinta Anggi benar-benar merasa malu dan serba salah karena ulah putrinya. Padahal, ia baru memulai diskusi serius dengan Adrian, tetapi keributan dua bocah yang kembali datang ke ruangan membuatnya terkejut.Bertanya-tanya, apa yang sebenarnya telah dilakukan putrinya di luar sana.Tidak butuh waktu lama, Wirda muncul dengan napas memburu, diikuti seorang pria yang berjalan tertatih, dipapah oleh seorang petugas keamanan. Lalu, Nada menyusul di belakang mereka tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.Setelah diketahui di mana masalahnya, Anggi yang tidak enak hati itu langsung menyuruh putrinya untuk segera minta maaf.“Aku nggak salah, Ma.” Nada yang duduk di samping mamanya langsung menggeleng. Ia menolak tegas untuk meminta maaf. “Aku cuma membela diri,” ujarnya lalu menunjuk Sastra. “Bapak itu yang tahu-tahu datang, terus megang tanganku sampe sakit. Coba tanya sama dua krucil tadi, mereka pasti nggak akan bohong.”“Anggi, nggak papa,” ujar Adrian memahami situasi ya
“Mi, kenapa nggak bilang kalau Anggi ketemu sama Aldi?” buru Rizal tanpa basa-basi ketika memasuki kamar.“Ssshh ...” Dina meletakkan telunjuknya di bibir. “Aldi baru tidur, jangan keras-keras ngomongnya.”Dina memang sengaja tidak memberi tahu, karena sudah waktunya Anggi mengetahui segalanya. Ia lelah jika harus menutupi perihal Aldi terus-terusan, karena putranya juga semakin tumbuh besar. Terlebih setelah Dina mendapat perlakuan kasar dari Nada.Kebetulan, siang tadi Dina bertemu Anggi di toko perhiasan. Untuk itulah, pertemuan itu ia manfaatkan untuk mengenalkan Aldi pada istri pertama Rizal.“Mi.” Rizal memelankan suaranya ketika menghampiri Aldi yang berada di tempat tidur mereka. Ia tersenyum sebentar, saat melihat jagoan kecilnya sudah tertidur lelap. “Aku sudah bilang, kan, nanti ada waktunya kita—”“Sudah terlanjur.” Dina mendudukkan Rizal di tepi ranjang, lalu duduk di pangkuan pria itu dan mengalungkan kedua tangannya. “Kami nggak sengaja ketemu, jadi sudah nggak bisa men
“Kenapa telponku nggak diangkat seharian ini?”Nining yang baru meletakkan ayam goreng di meja makan, beringsut mudur dan pergi dari ruangan tersebut. Daripada ia ikut terseret dalam amukan Rizal, lebih baik melarikan diri menuju kamarnya.“Jadi, bagaimana rasanya kalau telpon Papa nggak diangkat?” balas Anggi tetap tenang sembari menuang nasi ke piringnya. “Marah? Kesal?”“Apa maumu?” Rizal tahu, Anggi sedang menyindirnya karena tidak membalas pesan dan panggilan sejak malam itu. “Ngapain kamu sama Nada pergi ke toko perhiasan siang tadi?”“Ah! Istri mudamu pasti yang cerita, kan?” Anggi mengambilkan ayam goreng untuk Nada, lalu menoleh pada Rizal. “Selamat, ya, karena Aldi akhirnya sudah bisa jalan.”Rizal terpekur sesaat. Namun, ia segera bersikap biasa. Seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Rizal menghela pelan, sebelum akhirnya membuka mulut. “Ma—”“Hebat! Nikah baru satu setengah tahun, tapi umur Aldi sudah satu tahun lebih,” putus Anggi masih berusaha tenang, kendati e
“Hitung lagi uangnya sebelum kita pergi ke bank,” titah Anggi setelah menjual koleksi perhiasannya.Meskipun berat karena mengingat mamanya sudah tidak memiliki apa-apa, Nada tidak lagi membantah. Ia menghitung kembali uang di hadapan pegawai toko, agar tidak terjadi kesalahpahaman.Selagi Nada sibuk menghitung, Anggi menjalankan kursi rodanya dengan perlahan untuk melihat beberapa koleksi perhiasan di sana. Lantas, tatapannya berhenti pada sebuah kalung berlian yang cukup menarik perhatian.Desainnya elegan dan minimalis. Rantainya terdiri dari susunan berlian kecil yang mengelilingi leher dengan pola simetris. Sangat sederhana tetapi tetap terlihat mewah.Namun, Anggi hanya mengagumi dan tidak berniat membeli.“Mbak Anggi.”Sapaan dari seorang wanita, membuat Anggi menoleh dan mendongak. Ia cukup terkejut dengan sosok Dina, yang sudah berdiri dengan begitu menawan di sampingnya.“Mbak di sini juga?” tanya Dina tersenyum manis. “Sendirian?”“Sama Nada.” Saat Anggi baru saja hendak te
“Nada ...” Anggi mendorong tuas kursi rodanya mendekati Nada yang masih berdiri tegak di tempatnya. Wajah Nada sudah basah dengan air mata dan sesenggukan menahan tangis. “Mama minta maaf karena sudah merahasiakan semua ini sama kamu,” ucapnya sambil meraih dan menggenggam tangan putrinya.Nada menatap mamanya tanpa bisa berkata-kata. Entah harus menyalahkan siapa, karena kedua orang tuanya ternyata punya andil dalam kejadian ini.“Tapi kamu harus paham dengan kondisi Mama,” lanjut Anggi menunduk, menatap kedua kakinya yang tidak lagi berguna. “Dan papamu ... dia punya kebutuhan yang nggak bisa Mama beri.”Air mata Nada kembali menitik, tetapi ia segera mengusapnya kasar. Sebenarnya, Nada belum terlalu dewasa untuk memikirkan masalah yang terjadi di dalam rumah tangga orang tuanya. Namun, setidaknya Nada bisa mengerti dengan kebutuhan yang dimaksud oleh Anggi.“Jadi, Mama kenal dengan Dina?” tanya Nada menarik tangannya dari genggaman mamanya.Anggi mengangguk pelan. Ada rasa kecewa k
“Apa!” Nada menggeleng. Tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya dari Anggi. Napasnya tercekat dan dadanya semakin sesak. “Dina itu ... istri papa?”Nada tertawa getir. Ternyata, kenyataan yang terungkap lebih menyakitkan dari apa yang ia lihat tadi siang.“Kapan? Sejak kapan Papa nikah dan sejak kapan Mama tahu semuanya?” cecar Nada tidak sabar dan langsung beranjak dari tempatnya. Ia berdiri di tengah ruang dengan perasaan gusar. Menunggu jawaban dari orang tuanya.“Nada, duduk dulu,” pinta Anggi masih menatap pipi putrinya yang memerah.“Aku nggak mau duduk,” tolak Nada lalu bersedekap dengan tangan yang mengepal erat. “Aku mau jawaban.”“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rizal tetap tenang saat memberi jawaban pada putrinya. “Dan Papa sudah minta izin ke Mamamu sebelum menikah.”Satu setengah tahun?Nada sontak membeku di tempat. Jadi ... selama ini ia hidup dalam kebohongan? Keluarga harmonis yang selama ini sempat tercipta di kepala, menyimpan rahasia yang cukup membuatnya