Setidaknya, bermain bersama Milan dan Cairo mampu mengusir sedikit kesedihan yang sempat bersemayam di hati Nada. Awalnya, ia tidak terlalu antusias menemani dua bocah itu bermain. Nada menyangka akan bosan dan hanya menjadi pengawas tanpa banyak berinteraksi.Namun, tawa mereka begitu menular. Setiap kali Milan tertawa lepas saat meluncur dari perosotan atau Cairo yang berseru penuh semangat setiap mencoba mainan di sana, Nada tanpa sadar ikut tersenyum. Ada kehangatan yang perlahan merambat ke dalam hati dan mengingatkan bahwa kebahagiaan kadang datang dari hal-hal sederhana.Untuk sesaat, Nada bisa melupakan perasaan sepi yang belakangan sering menyergapnya. Terlebih, ketika Milan juga mengajaknya untuk ikut bermain dalam permainan tersebut.Tidak seperti Sastra, yang hanya duduk diam di tempatnya sambil mengawasi dari jauh. Pria itu hanya beranjak, ketika Milan atau Cairo lepas dari pandangannya.Sampai satu jam berlalu dan mereka harus keluar dari arena sesuai dengan ketentuan.“
“Kenapa harus aku yang nemenin Milan sama Cairo ke rumah bu Anggi?”Pagi baru saja dimulai, tetapi Sastra sudah mengajukan protes kepada kedua orang tuanya. Adrian dan Arini yang tengah menikmati waktu santai di tepi kolam renang, hanya menanggapi dengan senyum tenang. Sementara itu, Milan dan Cairo asyik bermain air, gelak tawa mereka menggema di udara dan tidak terpengaruh oleh percakapan yang tengah berlangsung.“Duduk,” titah Adrian menunjuk pada kursi besi yang ada di bawah tenda parasol.“Tadinya Mama yang mau nemani,” timpal Arini yang duduk di kursi santai. “Tapi karena Mama hari ini ada arisan, ya, kamu aja yang ke sana. Nggak mungkin, kan, papamu yang ke sana?”“Dan Mama nggak harus ngabulin permintaan Milan.” Sastra menarik kursinya mendekat ke arah Arini, lalu duduk di sana. “Kalau selalu diturutin, nanti dia jadi manja.”“Mama itu nggak pernah nuruti keinginan Milan kalau dia minta beli ini, beli itu.” Arini segera meralat pemikiran Sastra. “Kecuali kebutuhannya.”“Main k
“Apa kamu bilang?” Rizal beranjak menghampiri Sastra dan berhenti di depan pria itu. “Dengar—”“Keputusanku sudah bulat,” putus Anggi akhirnya bersuara, setelah membiarkan Rizal dengan asumsinya. “Aku nggak akan tarik gugatan itu dan kita tetap bercerai.”“Ma—”“Papa sudah nggak peduli dengan kepentingan Nada.” Anggi kembali memotong sembari menjalankan kursi rodanya ke arah Rizal. Ia menebak, pria itu tidak ingin bercerai karena ada harta yang nantinya harus dibagi dua. Rizal jelas tidak ingin kehilangan semua hasil jerih payahnya selama ini. “Nggak ngasih uang bulanan dan juga uang kuliah.”“Harusnya Mama ngerti, aku seperti itu karena Nada harus belajar menjaga sikapnya,” ujar Rizal masih membela diri. “Kalau dibiarkan, Nada bisa—”“Kenapa selalu Nada yang disalahkan?” Anggi mulai geram dengan sikap suaminya. Andai tidak duduk di kursi roda, ia pasti sudah memukul Rizal untuk meluapkan emosinya. “Kenapa Papa nggak mau introspeksi dengan kesalahan sendiri? Apa pernah Papa minta maaf
“Urusanmu dengan bu Wirda sudah beres?” tanya Sastra sambil merentangkan satu tangan ke arah sofa panjang. Kemudian mempersilakan Nada duduk di sana.Sementara itu, Sastra duduk pada sofa tunggal yang membelakangi meja kerjanya.“Sudah, Pak.” Nada mengangguk, canggung.Andai pertemuan pertama mereka baik-baik saja, mungkin keadaanya tidak akan seperti sekarang. Bisa saja mereka menjadi “akrab”, dalam artian Sastra bisa bersikap lebih ramah seperti Adrian atau yang lainnya.“Saya barusan menghubungi ibumu dan bik Nining,” ujar Sastra tidak melepas tatapannya pada Nada. Yang sedikit membuatnya heran adalah, Nada juga tidak sungkan untuk melempar pandang padanya.Tatapan gadis itu terlihat tegas, meskipun ada sedikit gestur tidak nyaman yang tampak dari cara duduknya.“Bik Nining?” tanya Nada agak bingung.Kenapa Sastra juga menghubungi asisten rumah tangganya?“Saya minta bik Nining jadi saksi dalam sidang perceraian orang tuamu.” Sastra menunjuk Nada dengan pasti. “Dan kamu, juga akan
Sastra tidak bisa berkomentar ketika melihat ukuran rumah yang akan ditempati Anggi dan Nada.Ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan rumah mereka saat ini. Hanya ada satu ruang tamu yang bersebelahan dengan kamar mandi, sementara dua kamar tidur berada di sisi lainnya. Rumah tersebut terasa begitu sederhana dan sempit, tetapi Sastra memilih untuk tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menarik napas pelan, menyadari bahwa inilah kenyataan yang harus hadapi sekarang.“Gimana, Ma?” tanya Nada setelah membawa Anggi melihat rumah tersebut.“Nggak papa.” Anggi mengangguk kecil. Tidak bisa meminta banyak. Yang penting, mereka bisa hidup tenang dan damai. Memang sedikit mahal, tetapi semua sepadan dengan keamanan lingkungan rumah. Di mana security terus berjaga selama 24 jam. “Nanti, kamu aja yang beli perabotan rumah. Yang penting ada kasur, kulkas, sama mesin cuci dulu.”“Sama AC?” tawar Nada sembari meringis.Ia sadar jika harus mulai berhemat, tetapi bagi Nada, pendingin ruangan merup
“Kenapa Papi dari tadi mondar mandir sambil bawa hape?” tanya Dina sambil mendudukkan Aldi di kursi makan, lalu memakaikan sabuk pengamannya. “Lagi nelponin siapa?”“Anggi sama Nada ditelpon nggak diangkat-angkat,” ujar Rizal kemudian berjalan menuju makan. Duduk di samping putranya. “Kata Samuel, mereka pindah tadi malam.”“Pindah?” Dina lantas duduk di samping Aldi dan bersiap menyuapi putranya. “Yakin?”“Samuel dikasih tahu Nining pagi ini waktu datang ke rumah,” terang Rizal tidak lagi memiliki selera makan, walaupun Dina membuat ayam panggang kesukaannya. “Anggi sama Nada sudah pindah tadi malam.”Dina meletakkan sendok di mangkuk Aldi, setelah memberi satu suapan pada putranya. Sampai detik ini, ia masih saja menyimpan kesal karena Rizal enggan melepaskan istri pertamanya.Padahal, Anggi hanya duduk di kursi roda dan tidak lagi bisa melakukan apa-apa. Harusnya, Rizal lepaskan saja wanita itu dan hidup berbahagia bersama Dina dan putranya. “Ya, sudah, sih, Pi.” Dina enggan memba
“Waah! Tidur semua,” ucap Arini melihat Milan di gendongan asisten rumah tangganya, sementara Cairo berada di gendongan Sastra. “Taruh dulu Cairo di kamar, terus balik ke sini karena Mama mau bicara.”Sastra mengangguk. Ia bergegas menaiki tangga, lalu meletakkan Cairo di tempat tidur berbentuk mobil sport-nya. Sebelum keluar, Sastra menyalakan pendingin ruangan kemudian menutup pintu. Dengan segera ia menuruni tangga dan menemui Arini yang sedang bersantai di ruang keluarga seorang diri.“Papa ke mana?” tanya Sastra langsung menghempaskan tubuh pada sofa. Berbaring santai dan meletakkan sebuah bantal sofa di bawah kepala.“Tidur.”“Mama nggak tidur?”“Baru aja bangun,” jawab Arini meletakkan tabletnya di sebelah paha, lalu melepas kacamata. “Kamu naksir Nada?” tembaknya tanpa berbasi-basi.“Aku suka lihat dia. Nada nggak manja dan dia sayang sama mamanya. Tapi ...” Sastra menghela panjang dan menutup mata.Awalnya, Sastra memang kesal setengah hidup dengan Nada karena sudah menendang
“Harusnya, kamu juga beli bedak padat, lipstik, eyeshadow, lengkap seperti punya Milan, tapi yang versi beneran.”“Minta punya Mama aja,” ujar Nada sambil memakai maskara setelah menjepit bulu matanya. Nada memang tidak pernah membeli peralatan make up, kendati teman-teman sebayanya sudah banyak memakainya. Selama ini, Nada lebih memilih membeli skincare, untuk memelihara kesehatan kulit wajahnya. “Tapi, nanti pulang kerja aku mampir beli bedak padat, soalnya harus dibawa ke kantor.”“Lipstiknya juga,” ujar Anggi mengingatkan. “Nanti Mama kirim pesan, biar kamu ingat.”“Iya, lipstik juga.” Nada menutup maskaranya lalu berbalik menatap Anggi. “Nggak ketebelan, kan, Ma?”Anggi menggeleng. “Alismu? Dibiarin gitu aja?”“Aduh! Aku nggak bisa ngalis!” Nada kembali melihat kaca yang ada di pintu lemari. “Udahlah, dirapiin aja pake tangan,” ucapnya sembari menyapu alisnya dengan ujung jari, berusaha merapikannya sekenanya.Anggi menopang dagu sambil geleng-geleng. Sebenarnya, Nada bukanlah ga
“Menantu kurang ajar seperti itu yang kamu mau?” Rizal langsung melempar protes, ketika Sastra dan Nada sudah keluar dari ruangan. Menyisakan Anggi dan dirinya saja di ruangan tersebut. “Dan kenapa kamu izinkan Nada menikah, padahal umurnya masih 20 dan masih kuliah?”“Dina pergi.” Anggi mengalihkan obrolan mereka, karena ada yang harus dibicarakannya lebih dulu dengan Rizal. Masalah Nada, bisa menyusul belakangan. “Dia dapat kerjaan di luar kota dan dia juga bawa Aldi.”“Pergi?”“Ya.” Anggi mengangguk pelan dan menceritakan perihal pertemuannya dengan Dina secara singkat. “Aku nggak tau ke mana, karena dia nggak bilang dan aku juga nggak nanya.”Rizal terdiam. Hanya menatap Anggi dan tidak melakukan apa-apa.“Dan ada yang mau aku tanyakan,” ujar Anggi karena Rizal tidak kunjung merespons ceritanya perihal Dina. “Kenapa sampai harus korupsi? Apa gaji, bonus, dan semua fasilitas yang diberi kantor selama ini kurang?”Melihat Rizal masih terdiam, maka Anggi kembali meneruskan ucapannya.
“Aku pulang dulu,” pamit Sastra sambil menarik pagar rumah Nada. Ia sudah berpamitan pada Anggi, tetapi belum bicara apa pun mengenai rencana pernikahan dengan Nada.Sastra harus memastikan dulu pada Arini, apakah sang mama telah bicara pada Anggi.“Kamu bicara dulu dengan ibumu dan aku juga bicara dengan mamaku,” lanjut Sastra. “Lusa, kita bicara dengan papamu. Kalau fix semua, kita langsung nikah.”“Oke.”Nada mengangguk. Sudah tidak ada jalan untuk mundur. Sebentar lagi, ia akan menikah dengan Sastra dan statusnya berubah menjadi seorang istri.“Besok pagi, kita bicarakan semua sambil berangkat ke kantor.” Sastra menambahkan sambil meraih jemari Nada dari luar pagar. Namun, baru saja ia menggenggamnya, gadis itu langsung menepuk keras punggung tangan Sastra.“Tangannya nggak usah gatel!” hardik Nada seraya melotot. Dengan segera ia mengunci pagar, agar Sastra tidak kembali masuk ke dalam.“Cuma pegang, Nad,” kilah Sastra menarik kembali tangannya. “Waktu di mall juga kita—”“Itu te
“Nad!”Sastra masih saja terbatuk dan dengan segera menepikan mobilnya dan membuka sabuk pengaman. Beruntung ia belum berbelok ke jalan raya dan ujung jalan di perumahan Nada belum terlalu ramai. Jika tidak, mungkin seseorang bisa saja menabraknya dari belakang karena sempat berhenti mendadak.Nada segera mengambil botol air minum di drink holder, membukanya, lalu menyodorkan pada Sastra.“Minum dulu,” ujar Nada dengan santai.Begitu Sastra selesai menarik rem tangannya, ia segera meraih botol tersebut dan meminumnya. Setelahnya, ia mengembalikan lagi botol itu pada Nada.“Sebentar, jangan ngomong dulu.” Sastra sambil mengambil beberapa lembar tisu di dashboard, lalu membersihkan makanan yang sempat menyembur dari mulutnya. “Ck. Bisa-bisanya nyembur begini.”“Hm!” Nada bergumam sambil kembali menyodorkan sesendok nasi untuk Sastra. “Makan lagi.”“Nanti dulu, Nad,” ujar Sastra masih sibuk membersihkan dashboard-nya.Nada kembali meletakkan sendok di kotak bekal. Ia menunduk dan kembali
“Kenapa ... pake sopir?” tanya Nada melihat Frans duduk di belakang kemudi.Sementara itu, Nada dan Sastra saat ini tengah duduk di belakang. Pria itu menyandarkan kepala di jok, tampak lelah. Mungkin, inilah kenapa Sastra membawa sopir Adrian untuk mengemudi.“Capek, ya?” sambung Nada sedikit prihatin.“Capek.” Sastra menoleh. “Ngantuk juga. Makanya aku minta pak Frans yang nyopir.”Yang Nada tahu, Sastra memang tidak berada di kantor seharian ini. Pria itu juga baru datang ketika jam kerja usai dan langsung mengajak Nada pulang.“Harusnya nggak usah ke kantor lagi,” ujar Nada sedikit kesal. “Aku bisa pulang pake ojek.”“Ada pak Frans yang nyetir,” ujar Sastra sambil membuka dasi yang sejak tadi sudah ia longgarkan. Meletakkannya di door pocket, kemudian lanjut membuka jasnya.“Besok kalau masih capek nggak usah maksa jemput,” larang Nada tegas, karena tidak ingin menyusahkan Sastra. “Aku bisa bawa mo ... MAS!”Nada terbelalak seketika, saat Sastra tahu-tahu merebahkan tubuhnya. Tanpa
“Kenapa jadi ke mall, sik?” Nada melempar protes ketika baru membuka helmnya.Bahkan, ia sudah mulai mengomel ketika Sastra membelokkan motor maticnya memasuki gedung pusat perbelanjaan. Sebenarnya, Nada sudah mulai curiga, ketika mereka melewati supermarket yang jaraknya tidak jauh dari komplek perumahannya.Akan tetapi, saat Nada bertanya, Sastra tidak kunjung menjawabnya. Pria itu hanya diam dan terus melajukan motornya.“Katanya cuma ke supermarket,” lanjut Nada. “Mama, kan, nggak tahu—”“Aku sudah minta izin sama ibumu,” sela Sastra meletakkan helmnya di kaca spion. “Makanya kita naik motor, biar cepat.”“Harusnya ngomong juga sama ak—”“Berisik, Nad.” Sastra dengan cepat meraih tangan Nada dan menggamitnya erat. Sedikit memaksa, ketika membawa gadis itu keluar dari area parkir. Memasuki gedung pusat perbelanjaan.“Mas!” Nada berusaha melepas tautan tangan mereka, tetapi tidak bisa. “Kalau mau ditendang lagi, ngomong.”“Nada.” Sastra menoleh sambil terus berjalan. “Ingat, kita pu
“Kalau bukan karena Mama yang minta, aku nggak bakal mau lagi ketemu sama perempuan itu.”Setelah melempar tatapan tajam pada Dina, Nada beralih pada Aldi. Balita tampan itu tampak bersemangat belajar berjalan, sembari berpegangan pada baby sitter-nya.Entah bagaimana nasib Aldi setelah ini. Rizal kini mendekam di penjara, sementara Dina kabarnya tidak memiliki pekerjaan. Bagaimana wanita itu akan memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi dengan seorang balita dan baby sitter yang harus ia tanggung?“Nggak usah ikut campur,” ujar Sastra ikut melihat sosok balita yang dipandang Nada. “Biarkan ibumu dan bu Dina menyelesaikan sesuatu yang mungkin memang harus diselesaikan.”“Aku nggak bakal lupa hari di mana dia nampar aku.”Sastra sontak menatap datar pada Nada. “Heh! Memangnya aku bisa lupa, hari di mana kamu nendang aku?”Nada menggulir bola matanya seketika. “Aku nggak bakal nyakitin orang, kalau aku nggak disakitin duluan. Jadi, karena Mas duluan nyakitin aku, makanya aku tendang biar
Nada berbalik cepat. Kembali menaiki tangga ke lantai dua dengan berlari kecil, ketika melihat Mercy berjalan menuju tangga pelataran. Malas rasanya harus berhadapan dengan wanita itu dan terjebak dalam obrolan basa-basi.Untuk itulah, Nada kembali ke lantai dua lalu memantau wanita itu dari atas. Jika Mercy sudah masuk ke mobilnya dan pergi dari kampus, barulah Nada akan turun dan menunggu Sastra menjemputnya.Mengingat Sastra, Nada jadi memikirkan penawaran pria itu. Jika ia menikah dengan Sastra, maka mamanya bisa hidup seperti dulu lagi. Mereka bisa memiliki asisten rumah tangga dan Anggi tidak akan sendirian jika Nada harus berada di luar rumah.Namun, menikah muda tidak pernah ada dalam rencananya. Bahkan, memikirkannya pun tidak pernah. Jangankan soal pernikahan, memiliki pacar saja tidak pernah terlintas di benaknya.Di saat Nada mengawasi wanita itu, ia melihat mobil milik Sastra berjalan pelan menyusuri area parkir. Entah mengapa, Nada berharap jika Mercy dan Sastra tidak ak
“Apa bisa dijenguk?” tanya Anggi tetap tenang, setelah mendengar penjelasan Sastra.“Saya bisa kontak pak Hendi, kalau Ibu mau jenguk pak Rizal,” jawab Sastra. “Nanti biar beliau yang urus segala sesuatunya.”“Kalau begitu, saya mau jenguk,” kata Anggi tanpa keraguan. “Dan bagaimana dengan ... harta yang ada sekarang? Kami mau bercerai dan ada harta yang pasti disita, kan?”“Betul,” jawab Sastra dengan anggukan. “Tapi, kita akan menunggu putusan hakim untuk itu. Jadi, biarkan pak Rizal fokus dengan kasusnya utamanya dan kita selesaikan perceraian ini.”“Terima kasih,” ucap Anggi tidak akan mengubah keputusannya. “Kamu baik-baik aja, Nad?”Justru, Anggi khawatir dengan putrinya. Nada pasti semakin terpukul dan kecewa karena papanya kemungkinan akan mendekam di penjara. Setelah mendapati papanya berkhianat, kini Nada harus menerima kenyataan bahwa Rizal adalah seorang koruptor.Bagi seorang anak yang selama ini menganggap ayahnya sebagai sosok yang sempurna, semua kejadian ini tentu men
“Jadi, kamu nggak bisa menceraikan Dina.” Anggi tersenyum tipis, ketika kembali bertemu dengan Rizal di Pengadilan Agama.Setelah pertemuan malam itu, Rizal tidak memberi kabar sama sekali. Bahkan, batang hidungnya pun sama sekali tidak muncul di hadapan Anggi.“Aku bisa menceraikan Dina, tapi syaratmu terlalu berlebihan!”“Kalau syarat Mama berlebihan, itu artinya Papa bakal balik lagi sama Dina,” timpal Nada yang emosi seketika. Jika bukan ayah kandung, Nada pasti sudah melayangkan satu pukulan ke tubuh pria itu.“Nada, Papa ini papa kandungmu.”Berbeda dengan Nada yang tampak emosi, Rizal memilih menekan amarahnya dalam-dalam. Membuat masalah di tempat umum, hanya akan membuat dirinya terpojok. Semua itu tidak akan menguntungkan.“Jadi jaga bicaramu,” sambung Rizal. “Dan berkali-kali Papa bilang, kamu harus bersikap sopan sama bu Dina, karena usianya jauh di atas kamu.”“Pa—”“Nada, sudah,” putus Anggi cepat. Ia tidak ingin hubungan Rizal dan Nada semakin memburuk. Bagaimanapun jug