“Hitung lagi uangnya sebelum kita pergi ke bank,” titah Anggi setelah menjual koleksi perhiasannya.
Meskipun berat karena mengingat mamanya sudah tidak memiliki apa-apa, Nada tidak lagi membantah. Ia menghitung kembali uang di hadapan pegawai toko, agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Selagi Nada sibuk menghitung, Anggi menjalankan kursi rodanya dengan perlahan untuk melihat beberapa koleksi perhiasan di sana. Lantas, tatapannya berhenti pada sebuah kalung berlian yang cukup menarik perhatian.
Desainnya elegan dan minimalis. Rantainya terdiri dari susunan berlian kecil yang mengelilingi leher dengan pola simetris. Sangat sederhana tetapi tetap terlihat mewah.
Namun, Anggi hanya mengagumi dan tidak berniat membeli.
“Mbak Anggi.”
Sapaan dari seorang wanita, membuat Anggi menoleh dan mendongak. Ia cukup terkejut dengan sosok Dina, yang sudah berdiri dengan begitu menawan di sampingnya.
“Mbak di sini juga?” tanya Dina tersenyum manis. “Sendirian?”
“Sama Nada.” Saat Anggi baru saja hendak tersenyum, lengkungan di bibirnya perlahan memudar. Tatapannya beralih pada seorang wanita berseragam babysitter yang baru saja berdiri di samping Dina. Wanita itu menggandeng seorang balita, yang tampaknya sedang belajar berjalan. Langkahnya masih goyah, tetapi penuh semangat.
Anggi menahan napas sejenak. Apakah balita itu anak Rizal?
“Ah! Nada.” Anggi melarikan tatapannya ke seluruh toko. Kemudian, tatapannya berhenti pada gadis muda yang sedang duduk dan sibuk menghitung tumpukan uang. Amarah Dina seketika mencuat, mengingat bagaimana gadis itu mempermalukan dan menyakitinya dengan bar-bar. “Mas Rizal sudah—”
“Dia anakmu?” putus Anggi tidak ingin didera rasa penasaran yang terasa menyakitkan.
“Oh!” Dian sontak menunduk dan tersenyum pada balita yang sedang menaik turunkan tubuhnya dengan lucu. Sejurus itu, ia berjongkok lalu membawa balita tersebut ke hadapan Anggi. “Halo, Ibu Anggi, namaku Rizaldi. Dipanggil Aldi,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kanan putranya pada Anggi.
Luka yang ada di hati Anggi semakin teriris perih. Kendati wajar jika Rizal memiliki anak dengan Dina, tetapi tetap saja rasanya begitu menyakitkan. Terlebih, Rizal tidak pernah mengatakan jika mereka berdua sudah memiliki seorang putra.
Namun, balita tampan yang sedang menatapnya saat ini tidaklah berdosa. Anggi tidak bisa membencinya, karena Aldi tidak tahu-menahu dengan permasalahan yang terjadi dengan orang tua.
“Halo, Ganteng,” balas Anggi menyambut uluran tangan mungil itu dengan lembut. “Berapa umurnya?” tanyanya pada Dina.
“Satu tahun dua bulan,” jawab Dina. “Tapi baru bisa jalan.”
Anggi menahan napas. Memaksakan senyum, dikala hatinya teriris. “Sehat-sehat, ya,” ucapnya lalu mengusap pelan puncak kepala balita itu.
“Oia, Mbak, mumpung ketemu, aku mau bicara masalah Nada,” ujar Dina sembari berdiri dan menyerahkan kembali putranya pada baby sitter. “Dia—”
“Kita nggak akan bicara masalah Nada,” putus Anggi mendongak dan memberi senyum kecil pada wanita itu. “Anggap masalah kemarin sudah selesai, karena Nada sudah dapat hukuman dari papanya.”
“Tapi, Mbak, dia itu harus diajari sopan santun,” ujar Dina tetap ngotot dengan pendiriannya. “Dia itu perempuan dan nggak seharusnya bersikap bar-bar.”
“Dia seperti itu karena membelaku,” balas Anggi sembari menoleh pada Nada, yang masih sibuk menghitung hasil penjualan perhiasan dan membelakangi mereka. “Kalau mau ditelusuri lagi, semua ini bukan salah Nada tapi salah kita semua yang nggak jujur dari awal sama dia.”
“Mbak—”
“Dan perlu kamu tahu.” Anggi menunjuk Dina dengan tegas saat kembali memutus ucapan wanita itu. “Nada nggak akan nyerang, kalau kamu nggak nampar dia duluan.”
“Tapi—”
“Jauhkan tanganmu dari anakku,” sela Anggi tanpa ekspresi dan tegas. “Kali ini aku masih bisa sabar, tapi ... nggak untuk lain kali.”
Dina menarik napas dan memutuskan enggan berdebat. Ia memilih memutar tubuh dan kembali ke tujuan utamanya. Menjauh dari Anggi dan melihat-lihat koleksi perhiasan yang rencananya akan ia beli.
Sementara itu, Anggi juga memilih untuk pergi dan menghampiri Nada, daripada terus bicara dengan Dina. “Belum, Nad?”
“Dikit lagi, Ma,” ucap Nada tinggal memastikan jumlah satu gepok uang di tangan.
Anggi menunggu dengan sabar, sampai akhirnya tugas Nada selesai. Ia memasukkan semua uang itu di dalam tas ransel, lalu bersiap pergi.
“Itu ...” Nada tidak jadi melangkah ketika melihat Dina sedang melihat sebuah kalung berlian di atas etalase.
“Dina,” ucap Anggi tenang, kendati hatinya tengah bergejolak hebat. “Dia sudah di sini dari tadi,” lanjutnya sambil menunjuk balita yang sedang belajar berjalan, sambil menggenggam erat tangan susternya. “Dia anak papamu. Aldi, Rizaldi.”
Dahi Nada mengerut dalam. Napasnya mendadak berat, dadanya terasa sesak. “Papa punya anak ... laki-laki?”
“Nggak usah dipikirkan,” ucap Anggi mulai menjalankan kursi rodanya ke arah pintu. “Ayo, Nad. Kita pergi dari sini.”
Sembari terus berjalan keluar, Nada menatap balita yang tiba-tiba juga melihatnya. Balita meringis lebar, memperlihatkan deretan giginya yang mungil.
Harusnya, Nada bisa membalas senyum itu, tetapi dia tidak bisa.
“Laper, Ning?” tanya Anggi melihat Nining sedang mengunyah dan memengang sebuah tusuk yang berisi deretan bakso.
“Ohh, nggak, Bu,” ucap Nining mempercepat kunyahannya. “Tadi ada tukang bakso mangkal bentar. Mendadak pengen pas lihat orang beli.”
Anggi tertawa, menatap Nada. “Kita mampir beli bakso dulu sebelum ke bank, ya. Bik Nining laper, cuma malu aja.”
“Ahh, Ibu.” Nining ikut tertawa. Mempercepat memakan baksonya dan bergegas membantu Anggi menuruni teras. Dengan perlahan, ia membantu Anggi menaiki mobil, lalu menyimpan kursi rodanya di bagasi.
“Makan bakso di mana, Bik?” tanya Nada sembari memasang sabuk pengaman dan memastikan semua posisi kaca spionnya sudah sempurna.
“Sembarang aja, Mbak,” jawab Nining. “Yang penting enak.”
“Yang sejalan aja, Nad,” ujar Anggi sembari mengeluarkan ponsel. “Daripada muter-muter.”
“Oke, Ma,” jawab Nada, menoleh ke belakang sekilas. Ia melihat Anggi baru saja menempelkan ponsel di telinga.
“Halo, Wirda,” sapa Anggi ramah setelah panggilannya diterima. “Ini aku, Anggi, mantan sekretaris pak Adrian.”
“Halo juga, Mbak Anggi, apa kabar,” sahut Wirda ramah. “Ada yang bisa aku bantu?”
“Baik, baik,” ucap Anggi terkekeh ringan. “Oia, aku langsung aja, bisa minta tolong buatkan janji sama pak Adrian? Aku mau konsultasi.”
“Mbak Anggi belum dengar? Pak Adrian sudah nggak nangani kasus lagi,” ujar Wirda. “Setelah mbak Novita nggak ada, Bapak milih pensiun karena mau fokus nemenin cucunya.”
“Ohh ...” Anggi reflek menutup mulut. Setelah ia mengalami kelumpuhan, Anggi memang lebih tertutup dan lebih fokus pada keluarganya. “Maaf, aku nggak tahu.”
“Tapi kalau Mbak mau, saya bisa buatkan janji sama mas Sastra,” ujar Wirda memberi solusi. “Sekarang dia yang gantiin pak Adrian.”
“Emm ...” Anggi menimbang-nimbang sejenak. “Oke, buatkan janji dengan beliau. Terima kasih.”
“Kenapa telponku nggak diangkat seharian ini?”Nining yang baru meletakkan ayam goreng di meja makan, beringsut mudur dan pergi dari ruangan tersebut. Daripada ia ikut terseret dalam amukan Rizal, lebih baik melarikan diri menuju kamarnya.“Jadi, bagaimana rasanya kalau telpon Papa nggak diangkat?” balas Anggi tetap tenang sembari menuang nasi ke piringnya. “Marah? Kesal?”“Apa maumu?” Rizal tahu, Anggi sedang menyindirnya karena tidak membalas pesan dan panggilan sejak malam itu. “Ngapain kamu sama Nada pergi ke toko perhiasan siang tadi?”“Ah! Istri mudamu pasti yang cerita, kan?” Anggi mengambilkan ayam goreng untuk Nada, lalu menoleh pada Rizal. “Selamat, ya, karena Aldi akhirnya sudah bisa jalan.”Rizal terpekur sesaat. Namun, ia segera bersikap biasa. Seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Rizal menghela pelan, sebelum akhirnya membuka mulut. “Ma—”“Hebat! Nikah baru satu setengah tahun, tapi umur Aldi sudah satu tahun lebih,” putus Anggi masih berusaha tenang, kendati e
“Mi, kenapa nggak bilang kalau Anggi ketemu sama Aldi?” buru Rizal tanpa basa-basi ketika memasuki kamar.“Ssshh ...” Dina meletakkan telunjuknya di bibir. “Aldi baru tidur, jangan keras-keras ngomongnya.”Dina memang sengaja tidak memberi tahu, karena sudah waktunya Anggi mengetahui segalanya. Ia lelah jika harus menutupi perihal Aldi terus-terusan, karena putranya juga semakin tumbuh besar. Terlebih setelah Dina mendapat perlakuan kasar dari Nada.Kebetulan, siang tadi Dina bertemu Anggi di toko perhiasan. Untuk itulah, pertemuan itu ia manfaatkan untuk mengenalkan Aldi pada istri pertama Rizal.“Mi.” Rizal memelankan suaranya ketika menghampiri Aldi yang berada di tempat tidur mereka. Ia tersenyum sebentar, saat melihat jagoan kecilnya sudah tertidur lelap. “Aku sudah bilang, kan, nanti ada waktunya kita—”“Sudah terlanjur.” Dina mendudukkan Rizal di tepi ranjang, lalu duduk di pangkuan pria itu dan mengalungkan kedua tangannya. “Kami nggak sengaja ketemu, jadi sudah nggak bisa men
“Nada minta maaf,” pinta Anggi benar-benar merasa malu dan serba salah karena ulah putrinya. Padahal, ia baru memulai diskusi serius dengan Adrian, tetapi keributan dua bocah yang kembali datang ke ruangan membuatnya terkejut.Bertanya-tanya, apa yang sebenarnya telah dilakukan putrinya di luar sana.Tidak butuh waktu lama, Wirda muncul dengan napas memburu, diikuti seorang pria yang berjalan tertatih, dipapah oleh seorang petugas keamanan. Lalu, Nada menyusul di belakang mereka tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.Setelah diketahui di mana masalahnya, Anggi yang tidak enak hati itu langsung menyuruh putrinya untuk segera minta maaf.“Aku nggak salah, Ma.” Nada yang duduk di samping mamanya langsung menggeleng. Ia menolak tegas untuk meminta maaf. “Aku cuma membela diri,” ujarnya lalu menunjuk Sastra. “Bapak itu yang tahu-tahu datang, terus megang tanganku sampe sakit. Coba tanya sama dua krucil tadi, mereka pasti nggak akan bohong.”“Anggi, nggak papa,” ujar Adrian memahami situasi ya
“Mama sudah betul-betul yakin mau cerai dari papa?” tanya Nada setelah mengantarkan Anggi ke kamar. Ia menutup pintu, lalu menghempaskan tubuh di tempat tidur Anggi setelah melepas tasnya.“Sudah.” Anggi meletakkan tas di pangkuannya di meja rias, lalu berbalik dan menghampiri Nada. “Maaf, Mama bukan bermaksud egois, tapi ... ada hal yang harus Mama lindungi.”“Maksudnya?” Nada bangkit lalu bergeser dan duduk di tepi ranjang, di hadapan Anggi.“Papamu punya anak laki-laki yang sah dengan Dina.” Anggi meraih tangan Nada dan menggenggamnya. “Hukum waris kita didasarkan pada agama, adat, dan pemerintah. Jadi, bagaimanapun itu, Aldi akan mendapat hak waris lebih besar dari kamu.”Karena inilah, Anggi sudah mantap untuk bercerai agar bisa mendapatkan harta gono gini. Ada masa depan Nada yang harus ia perjuangkan, terlebih putrinya masih butuh biaya kuliah.“Jadi ini semua cuma karena warisan? Harta?” Nada menebak, ini semua karena Rizal menghentikan uang jajannya serta biaya kuliah.“Lebih
“Kalian mau ke mana?” tanya Rizal ketika baru menutup pintu mobilnya.Beberapa hari ini, Rizal selalu pulang ke rumah dan membujuk Anggi untuk membatalkan gugatan cerai. Namun, usahanya belum juga berhasil karena Anggi masih bersikukuh untuk berpisah darinya.“Ada undangan ulang tahun,” jawab Anggi yang selalu bersikap tenang di hadapan Rizal. Ia lelah jika harus marah-marah dan lebih memilih untuk tidak membuang tenaganya sia-sia. “Kenapa pulang? Harusnya Papa sama Dina dan Aldi, kan?”“Aku sudah di sana dari kemarin malam,” jawab Rizal melihat Nada yang enggan menegur atau menatapnya. Sejak bertengkar dengan Nada, putrinya tidak pernah lagi bicara ataupun menyalaminya seperti biasa.Nada menganggap Rizal seolah tidak ada.“Kalau gitu kami pergi dulu,” ucap Anggi menuruni tangga teras melalui jalur khusus yang dibuatkan untuknya. Ada Nining di belakang, yang akan selalu membantunya di kala menghadapi hambatan.“Biar aku antar,” tawar Rizal merasa hubungan keluarga mereka sudah mereng
“Kenapa Mama setuju kita jalan-jalan sama keluarga pak Adrian?” bisik Nada di samping mamanya. “Harusnya kita ke sini cuma setor muka, terus pulang.”Anggi mempertahankan senyumnya dan bicara pelan pada Nada. “Gimana Mama bisa nolak? Pak Adrian dulu mantan bos Mama. Bu Arini itu dari dulu baiknya luar biasa. Terus sekarang, perceraian Mama juga diurus sama anaknya. Coba pikir, gimana cara Mama nolaknya?”“Ya, apa kek, apa gitu,” Nada bersandar pasrah. “Masa’ aku jadi baby sitter dadakan gini? Ikut mandi bola sama anak SD?”Saat ini, mereka tidak lagi berada di ruang tamu, tetapi sudah berada di ruang keluarga karena pesta ulang tahun Milan yang mewah sudah selesai.Tumpukan kado yang ukurannya nyaris tidak ada yang kecil itu, juga baru saja dimasukkan ke dalam rumah oleh dua orang asisten rumah tangga.“Tapi, Nad, coba ambil kesempatan ini untuk dekat dengan keluarga pak Adrian,” ujar Anggi setelah memikirkan beberapa hal. “Setelah Mama cerai dari papa, kita itu pasti nggak punya ‘peg
“Papa?”Nada berdiri terpaku di sisi meja restoran. Menatap datar pada pria yang selama ini dipanggilnya Papa dan tengah duduk bersama seorang wanita asing.“Nada!” Rizal tersentak. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan putrinya di jam makan siang seperti sekarang. Wajahnya tegang sesaat, sebelum akhirnya memaksakan senyum dan berusaha bersikap tenang. “Kamu ngapain di sini?”“Justru aku yang harusnya tanya, Papa ngapain di sini?” Matanya menyipit tajam. Ia melirik sekilas ke arah wanita asing di sebelah papanya, sebelum bertanya dengan nada dingin. “Lo siapa?”“Dina,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Berusaha terlihat biasa, kendati ada sedikit perasaan was-was di hatinya.“Lo ngapain sama Papa gue?” Nada bersedekap. Intonasinya naik satu oktaf, membuat beberapa orang di sekitar mulai menoleh.Nada hanya menatap Dina sekilas tanpa ekspresi dan membiarkan tangan wanita itu menggantung di udara. Kemudian, pandangannya jatuh pada beberapa paper bag bermerek yang tergeletak di kursi y
“Ini baru yang namanya liar!”Nada mencengkeram rambut Dina, menariknya ke belakang dengan gerakan kasar hingga wanita itu terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan."LEPASIN!" Dina meronta panik, merintih kesakitan. Tangannya menggapai udara, mencoba mencakar lengan Nada, tetapi gadis itu terlalu gesit. Nada terus menarik dan memutar kepala Dina ke berbagai arah, membuat wanita itu terhuyung tidak menentu dan hampir terjatuh.Dina tidak bisa menggapai tubuh Nada, karena gadis itu berada di belakangnya. Ketika ia hendak berputar, Nada dengan gesit tetap memposisikan tubuh di belakangnya."Lo pikir lo siapa!" Nada berteriak. Ia tidak mau peduli dengan banyak mata yang melihat dan merekam tindakan brutalnya. Baginya, semakin banyak yang merekam justru semakin bagus.Jika mau rusak, maka Nada akan merusak semuanya sekalian. Berikut dengan image papanya yang berprofesi sebagai karyawan penting di salah satu perusahaan negara. “Mas,” rintih Dina putus asa.“Nada! Cukup!” Rizal akhirnya m
“Kenapa Mama setuju kita jalan-jalan sama keluarga pak Adrian?” bisik Nada di samping mamanya. “Harusnya kita ke sini cuma setor muka, terus pulang.”Anggi mempertahankan senyumnya dan bicara pelan pada Nada. “Gimana Mama bisa nolak? Pak Adrian dulu mantan bos Mama. Bu Arini itu dari dulu baiknya luar biasa. Terus sekarang, perceraian Mama juga diurus sama anaknya. Coba pikir, gimana cara Mama nolaknya?”“Ya, apa kek, apa gitu,” Nada bersandar pasrah. “Masa’ aku jadi baby sitter dadakan gini? Ikut mandi bola sama anak SD?”Saat ini, mereka tidak lagi berada di ruang tamu, tetapi sudah berada di ruang keluarga karena pesta ulang tahun Milan yang mewah sudah selesai.Tumpukan kado yang ukurannya nyaris tidak ada yang kecil itu, juga baru saja dimasukkan ke dalam rumah oleh dua orang asisten rumah tangga.“Tapi, Nad, coba ambil kesempatan ini untuk dekat dengan keluarga pak Adrian,” ujar Anggi setelah memikirkan beberapa hal. “Setelah Mama cerai dari papa, kita itu pasti nggak punya ‘peg
“Kalian mau ke mana?” tanya Rizal ketika baru menutup pintu mobilnya.Beberapa hari ini, Rizal selalu pulang ke rumah dan membujuk Anggi untuk membatalkan gugatan cerai. Namun, usahanya belum juga berhasil karena Anggi masih bersikukuh untuk berpisah darinya.“Ada undangan ulang tahun,” jawab Anggi yang selalu bersikap tenang di hadapan Rizal. Ia lelah jika harus marah-marah dan lebih memilih untuk tidak membuang tenaganya sia-sia. “Kenapa pulang? Harusnya Papa sama Dina dan Aldi, kan?”“Aku sudah di sana dari kemarin malam,” jawab Rizal melihat Nada yang enggan menegur atau menatapnya. Sejak bertengkar dengan Nada, putrinya tidak pernah lagi bicara ataupun menyalaminya seperti biasa.Nada menganggap Rizal seolah tidak ada.“Kalau gitu kami pergi dulu,” ucap Anggi menuruni tangga teras melalui jalur khusus yang dibuatkan untuknya. Ada Nining di belakang, yang akan selalu membantunya di kala menghadapi hambatan.“Biar aku antar,” tawar Rizal merasa hubungan keluarga mereka sudah mereng
“Mama sudah betul-betul yakin mau cerai dari papa?” tanya Nada setelah mengantarkan Anggi ke kamar. Ia menutup pintu, lalu menghempaskan tubuh di tempat tidur Anggi setelah melepas tasnya.“Sudah.” Anggi meletakkan tas di pangkuannya di meja rias, lalu berbalik dan menghampiri Nada. “Maaf, Mama bukan bermaksud egois, tapi ... ada hal yang harus Mama lindungi.”“Maksudnya?” Nada bangkit lalu bergeser dan duduk di tepi ranjang, di hadapan Anggi.“Papamu punya anak laki-laki yang sah dengan Dina.” Anggi meraih tangan Nada dan menggenggamnya. “Hukum waris kita didasarkan pada agama, adat, dan pemerintah. Jadi, bagaimanapun itu, Aldi akan mendapat hak waris lebih besar dari kamu.”Karena inilah, Anggi sudah mantap untuk bercerai agar bisa mendapatkan harta gono gini. Ada masa depan Nada yang harus ia perjuangkan, terlebih putrinya masih butuh biaya kuliah.“Jadi ini semua cuma karena warisan? Harta?” Nada menebak, ini semua karena Rizal menghentikan uang jajannya serta biaya kuliah.“Lebih
“Nada minta maaf,” pinta Anggi benar-benar merasa malu dan serba salah karena ulah putrinya. Padahal, ia baru memulai diskusi serius dengan Adrian, tetapi keributan dua bocah yang kembali datang ke ruangan membuatnya terkejut.Bertanya-tanya, apa yang sebenarnya telah dilakukan putrinya di luar sana.Tidak butuh waktu lama, Wirda muncul dengan napas memburu, diikuti seorang pria yang berjalan tertatih, dipapah oleh seorang petugas keamanan. Lalu, Nada menyusul di belakang mereka tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.Setelah diketahui di mana masalahnya, Anggi yang tidak enak hati itu langsung menyuruh putrinya untuk segera minta maaf.“Aku nggak salah, Ma.” Nada yang duduk di samping mamanya langsung menggeleng. Ia menolak tegas untuk meminta maaf. “Aku cuma membela diri,” ujarnya lalu menunjuk Sastra. “Bapak itu yang tahu-tahu datang, terus megang tanganku sampe sakit. Coba tanya sama dua krucil tadi, mereka pasti nggak akan bohong.”“Anggi, nggak papa,” ujar Adrian memahami situasi ya
“Mi, kenapa nggak bilang kalau Anggi ketemu sama Aldi?” buru Rizal tanpa basa-basi ketika memasuki kamar.“Ssshh ...” Dina meletakkan telunjuknya di bibir. “Aldi baru tidur, jangan keras-keras ngomongnya.”Dina memang sengaja tidak memberi tahu, karena sudah waktunya Anggi mengetahui segalanya. Ia lelah jika harus menutupi perihal Aldi terus-terusan, karena putranya juga semakin tumbuh besar. Terlebih setelah Dina mendapat perlakuan kasar dari Nada.Kebetulan, siang tadi Dina bertemu Anggi di toko perhiasan. Untuk itulah, pertemuan itu ia manfaatkan untuk mengenalkan Aldi pada istri pertama Rizal.“Mi.” Rizal memelankan suaranya ketika menghampiri Aldi yang berada di tempat tidur mereka. Ia tersenyum sebentar, saat melihat jagoan kecilnya sudah tertidur lelap. “Aku sudah bilang, kan, nanti ada waktunya kita—”“Sudah terlanjur.” Dina mendudukkan Rizal di tepi ranjang, lalu duduk di pangkuan pria itu dan mengalungkan kedua tangannya. “Kami nggak sengaja ketemu, jadi sudah nggak bisa men
“Kenapa telponku nggak diangkat seharian ini?”Nining yang baru meletakkan ayam goreng di meja makan, beringsut mudur dan pergi dari ruangan tersebut. Daripada ia ikut terseret dalam amukan Rizal, lebih baik melarikan diri menuju kamarnya.“Jadi, bagaimana rasanya kalau telpon Papa nggak diangkat?” balas Anggi tetap tenang sembari menuang nasi ke piringnya. “Marah? Kesal?”“Apa maumu?” Rizal tahu, Anggi sedang menyindirnya karena tidak membalas pesan dan panggilan sejak malam itu. “Ngapain kamu sama Nada pergi ke toko perhiasan siang tadi?”“Ah! Istri mudamu pasti yang cerita, kan?” Anggi mengambilkan ayam goreng untuk Nada, lalu menoleh pada Rizal. “Selamat, ya, karena Aldi akhirnya sudah bisa jalan.”Rizal terpekur sesaat. Namun, ia segera bersikap biasa. Seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Rizal menghela pelan, sebelum akhirnya membuka mulut. “Ma—”“Hebat! Nikah baru satu setengah tahun, tapi umur Aldi sudah satu tahun lebih,” putus Anggi masih berusaha tenang, kendati e
“Hitung lagi uangnya sebelum kita pergi ke bank,” titah Anggi setelah menjual koleksi perhiasannya.Meskipun berat karena mengingat mamanya sudah tidak memiliki apa-apa, Nada tidak lagi membantah. Ia menghitung kembali uang di hadapan pegawai toko, agar tidak terjadi kesalahpahaman.Selagi Nada sibuk menghitung, Anggi menjalankan kursi rodanya dengan perlahan untuk melihat beberapa koleksi perhiasan di sana. Lantas, tatapannya berhenti pada sebuah kalung berlian yang cukup menarik perhatian.Desainnya elegan dan minimalis. Rantainya terdiri dari susunan berlian kecil yang mengelilingi leher dengan pola simetris. Sangat sederhana tetapi tetap terlihat mewah.Namun, Anggi hanya mengagumi dan tidak berniat membeli.“Mbak Anggi.”Sapaan dari seorang wanita, membuat Anggi menoleh dan mendongak. Ia cukup terkejut dengan sosok Dina, yang sudah berdiri dengan begitu menawan di sampingnya.“Mbak di sini juga?” tanya Dina tersenyum manis. “Sendirian?”“Sama Nada.” Saat Anggi baru saja hendak te
“Nada ...” Anggi mendorong tuas kursi rodanya mendekati Nada yang masih berdiri tegak di tempatnya. Wajah Nada sudah basah dengan air mata dan sesenggukan menahan tangis. “Mama minta maaf karena sudah merahasiakan semua ini sama kamu,” ucapnya sambil meraih dan menggenggam tangan putrinya.Nada menatap mamanya tanpa bisa berkata-kata. Entah harus menyalahkan siapa, karena kedua orang tuanya ternyata punya andil dalam kejadian ini.“Tapi kamu harus paham dengan kondisi Mama,” lanjut Anggi menunduk, menatap kedua kakinya yang tidak lagi berguna. “Dan papamu ... dia punya kebutuhan yang nggak bisa Mama beri.”Air mata Nada kembali menitik, tetapi ia segera mengusapnya kasar. Sebenarnya, Nada belum terlalu dewasa untuk memikirkan masalah yang terjadi di dalam rumah tangga orang tuanya. Namun, setidaknya Nada bisa mengerti dengan kebutuhan yang dimaksud oleh Anggi.“Jadi, Mama kenal dengan Dina?” tanya Nada menarik tangannya dari genggaman mamanya.Anggi mengangguk pelan. Ada rasa kecewa k
“Apa!” Nada menggeleng. Tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya dari Anggi. Napasnya tercekat dan dadanya semakin sesak. “Dina itu ... istri papa?”Nada tertawa getir. Ternyata, kenyataan yang terungkap lebih menyakitkan dari apa yang ia lihat tadi siang.“Kapan? Sejak kapan Papa nikah dan sejak kapan Mama tahu semuanya?” cecar Nada tidak sabar dan langsung beranjak dari tempatnya. Ia berdiri di tengah ruang dengan perasaan gusar. Menunggu jawaban dari orang tuanya.“Nada, duduk dulu,” pinta Anggi masih menatap pipi putrinya yang memerah.“Aku nggak mau duduk,” tolak Nada lalu bersedekap dengan tangan yang mengepal erat. “Aku mau jawaban.”“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rizal tetap tenang saat memberi jawaban pada putrinya. “Dan Papa sudah minta izin ke Mamamu sebelum menikah.”Satu setengah tahun?Nada sontak membeku di tempat. Jadi ... selama ini ia hidup dalam kebohongan? Keluarga harmonis yang selama ini sempat tercipta di kepala, menyimpan rahasia yang cukup membuatnya