1 “Jangan berharap terlalu banyak dengan pernikahan ini, Puspita. Aku tidak akan pernah seutuhnya menjadi suamimu.” Kalimat itu meluncur dari mulut pria tiga puluh lima tahun yang masih mengenakan jas putih khas pengantin pria. “Pernikahan ini terjadi hanya untuk membahagiakan Soraya. Kau dan aku tidak akan pernah lebih dari kesepakatan ini,” lanjut pria itu dengan tegas dan tanpa perasaan. Matanya yang dingin menatap ke depan, sementara kedua tangannya dilipat di dada. “Itulah yang berhak kau dapatkan ketika memanfaatkan kebaikan istriku.” Puspita, wanita 20 tahun yang duduk di tepi ranjang pengantin, hanya terdiam dengan salah satu tangan memilin ujung kebayanya. Ia sangat mengerti apa yang terjadi dengan pernikahan ini, tanpa harus Pramudya, majikan laki-laki yang baru saja menghalalkannya dalam kalimat ijabkabul pernikahan itu, menegaskan dengan kalimat setajam ini. “Saya tahu, Pak … saya sangat mengerti,” bisik Puspita dengan suara gemetar. “Saya tidak akan meminta lebih,”
2“Kenapa datang sepagi ini, Paman?”Puspita pura-pura tidak tahu, di saat dia sepenuhnya memahami apa maksud kedatangan pamannya ke sini. Gadis itu bahkan sempat ragu untuk membuka pintu tadi. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Sekalipun ia perlu Soraya dan janjinya, nyatanya Puspita harus menghadapi ini sendirian karena Pram tidak mengizinkan ia menemui kakak madunya itu.“Pita ….” Pria yang tengah menghisap rokok itu langsung membuangnya saat melihat Puspita datang. Senyum menjijikan langsung terukir di bibir hitamnya sementara ia duduk di kursi yang tersedia di teras. Satu kakinya ditumpangkan di atas kaki lainnya.. “Sudahlah, jangan pura-pura, kamu pasti tahu kenapa Paman datang.”Puspita menelan ludah. Sementara itu, sepeninggal Puspita, Pramuda lanjut bersiap-siap. Pria itu mengenakan pakaiannya, lalu setelah rapi, Pram melangkahkan kaki ke kamar Soraya, satu-satunya wanita yang ia akui sebagai istrinya, untuk melihat wajah Soraya sebelum Pram berangkat kerja.Namun, tanpa
3Beberapa minggu berlalu setelah kepergian sang paman untuk menjemput paksa Puspita. Sekalipun pria paruh baya itu pergi dengan marah-marah, setengah diusir, paman Puspita tidak kembali lagi.Mungkin itu karena ucapan Pram juga, yang mengatakan bahwa sekalipun Puspita diseret pulang, ia tidak akan bisa dinikahi karena sudah menjadi istri Pramudya.Harusnya Puspita merasa senang dan lega. Masalahnya selesai.Namun, kalimat yang dikatakan Pram padanya setelah itu membuatnya tidak mudah.“Sekarang kau bisa tenang di sini sebagai nyonya muda, hm? Menikmati kemewahan karena sudah menikahi laki-laki kaya, demi menaikkan derajatmu.” Pram mendengus. “Selamat. Wanita picik.”Puspita berusaha meluruskan kesalahpahaman itu, karena bukan seperti itu pernikahan impiannya. Namun, Pram tidak mau dengar.Hingga akhirnya, Puspita menyerah. Ia di sini bukan untuk mengambil hati Pram, melainkan untuk merawat Soraya dan putrinya, sesuai pekerjaan dan janjinya pada wanita baik hati itu.“Sebentar ya, Bu.
4"Kamu menikah lagi tanpa restu Ibu? Ibu doakan istri barumu juga kena kanker seperti Soraya!""Ibu, cukup!" Pram berseru, wajahnya menegang. Ia menatap ibunya dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya, tetapi tetap tak bisa menutupi kegeraman. "Apa Ibu tahu betapa sulitnya situasi kami sekarang?""Sulit?" Bu Hasna mendengus. "Kamu bilang sulit? Kamu tahu apa yang Ibu rasakan saat tahu kamu menikah dengan seorang pembantu tanpa restu?"Puspita yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa meremas ujung kerudungnya. Ia menahan diri, tetapi hatinya perih mendengar cemoohan Bu Hasna. Akhirnya, dengan suara bergetar, ia berkata, "Maaf…."Hasna menatap tajam wanita yang menunduk itu. "Seharusnya kau sadar diri sejak awal. Kau hanya seorang pembantu. Apa itu memang tujuanmu bekerja di sini?" Kata-kata Hasna semakin menusuk."Ibu, jangan berkata seperti itu pada Puspita!" Soraya tidak tahan lagi. Meski sangat lemah, ia tidak bisa membiarkan ibu mertuanya berkata buruk pada Puspita. "Saya yang
5Pramudya dan Puspita masih terpaku di tempatnya, sementara wanita cantik yang baru saja bicara itu mendekat. Senyum manis terus mengembang dari bibir merahnya. Tepat saat wanita dengan dress selutut itu tiba di meja makan, Hasna muncul dari pintu yang sama."Pram, ini Imelda, anak Tante Dini. Jangan bilang kamu lupa." Hasna langsung menjelaskan saat menyadari keheranan di wajah anaknya."Imelda?" gumam Pram. Keheranan masih menghiasi wajahnya."Iya, Pram. Imel yang waktu kecil suka kamu gendong-gendong, suka main pengantin-pengantinan sama kamu. Cantik, kan, dia sekarang?" Hasna tersenyum bangga sambil melirik wanita bernama Imel itu. Setelahnya, wanita lebih setengah abad itu duduk di kursi, mendekat ke arah Puspita yang kini menundukkan kepala."Lebih cantik dari kedua istrimu, bahkan jika kecantikan keduanya digabungkan," lanjut Hasna dengan sengaja. Matanya mengerling tajam ke arah Puspita.Puspita menelan ludahnya, sementara Pramudya memejamkan matanya sebentar, lalu mengembusk
“Apa? Prily sesak napas?” Pram berteriak bicara di telepon. “Ya sudah, langsung bawa ke rumah sakit, aku menyusul ke sana.” Laki-laki itu menutup panggilan dengan gusar.“Pak, putar arah ke rumah sakit!” perintahnya pada sopir sambil memasukkan ponsel ke dalam saku bajunya. Wajahnya diliputi kecemasan.“Ada apa, Mas?” tanya Imel yang duduk di samping Pram. Wajahnya tampak simpatik, padahal beberapa saat sebelumnya seulas senyum terukir di wajahnya.“Prily sesak napas.” Pram menjawab tanpa menoleh. Sejujurnya, saat ini ia merasa dirinya yang tidak bisa bernapas. Apalagi Puspita meneleponnya sambil menangis. Sudah dapat dipastikan jika kondisi Prily sangat serius.Pram takut. Ia baru saja ditinggalkan orang tercintanya. Dan jika Prily pun sampai kenapa-napa, ia bisa gila.“Sesak napas?” Imel mengulang. “Perasaan, saat kita tinggal tadi, Prily baik-baik saja, kan? Kok, bisa sih, sesak napas?” tanya Imel dengan irama kalimat yang sangat diatur. Pram tidak ingin menjawab. Ia memutuskan memejamk
Butuh beberapa saat bagi Puspita untuk mencerna semuanya setelah Pram mengucapkan kalimat itu dan berbalik pergi, kembali ke kamar Prily didampingi Imel yang tersenyum puas.Kemudian, gadis itu menghapus air matanya dengan kasar setelah dapat menguasai dirinya.Ia sempat terjebak dalam keterkejutan dan ketidakpercayaan yang mendalam akibat tuduhan Pram yang keji dan kata talak yang menyusul kemudian. Tidak percaya kalau pandangan Pram padanya masih sama seperti dulu, memandang Puspita sebagai orang miskin yang dangkal, dan tidak bisa dipercaya.Tidak peduli Puspita sudah berusaha keras menjalankan amanat Soraya sekuat tenaga. Menelan sakit hatinya setiap hari.Puspita tidak menyangka justru Pramlah yang akan mengingkari janjinya pada Soraya secepat ini. Membuangnya.Ini terlalu menyakitkan. Jika pun Pram ingin menceraikannya, kenapa harus dengan cara seperti ini? Kenapa harus menuduhnya dulu?Puspita menarik napas dalam-dalam. Mencoba melonggarkan rongga dada yang sesak. Lalu setelahn
“Menikahlah dengan Imel.”Ekspresi Pram langsung mengeras. “Bu–”“Kamu ini perlu seseorang untuk mengurusmu. Dan Ibu yakin Imel orang yang tepat. Daripada kamu terus-terusan tampil mengenaskan ini,” tukas Hasna. “Dua kali kamu salah memilih istri hingga hidupmu berantakan, Pram. Itu akibat tidak mendengarkan ucapan orang tua.”“Aku tidak ingin menikah lagi,” tegas Pram. “Kamu masih mau mencoba mengurus ini semua sendirian?” tanya Hasna. Suaranya mulai meninggi. “Kamu berantakan, Pram. Dan bahkan kamu tidak becus mencari pengasuh untuk anakmu!” Hasna menunjuk wanita berusia 40 tahun yang sedang menggendong Prily. “Lihat, setiap saat Prily menangis, dan wanita itu tidak bisa menenangkannya.”Pram memejamkan mata. Kepalanya terasa ingin meledak. Ia tahu Prily selalu rewel, dan itu bukan sepenuhnya salah pengasuh barunya. Ini juga termasuk ke dalam sesuatu yang tidak Pram prediksi. Bahwa Prily akan sekeras itu mencari Puspita sejak sadar di rumah sakit.Padahal … bukankah kata Imel, w
Puspita merasakan dadanya sesak seolah oksigen tidak mau masuk ke paru-parunya. Pandangannya berkunang-kunang, dan tubuhnya terasa lemas. Semua yang baru saja tersaji di depan matanya seolah cerita dongeng fantasi yang hanya ada dalam khayalan.Otaknya mendadak tidak bekerja hingga sulit mencerna apa yang baru saja terjadi. Suara melengking Tika yang memanggil namanya dan meminta tolong masih terngiang hingga memekakkan telinga. Tetapi, slide-slide nyata dalam kehidupan yang dijalaninya terus berputar di kepalanya.Tubuhnya nyaris terjengkang jika Pram tidak sigap menangkapnya. Pram sampai duduk bersimpuh untuk menahan tubuh Puspita yang tidak bertenaga sama sekali. Tubuh wanita itu ia sandarkan di pangkuannya. Sejatinya, ia pun terlalu kaget dengan semua ini hingga tak mampu melakukan apa pun selain ternganga.Nama Putra Pradipta ia sebut dua kali saat menikahi Puspita sebagai ayahnya, tetapi siapa sangka jika itu adalah Pradipta Putra Bimantara, anak tunggal Rangga Bimantara dan jug
Ruangan mendadak penuh dengan gemuruh para tamu yang saling berbicara heran, sebelum akhirnya pandangan mereka tertuju pada Puspita yang mulutnya menganga.Wanita itu sejak tadi sudah merasa lelembutnya tak lagi di sana. Bahkan suara Prabu bagai seorang pendongeng yang jauh dan hanya terdengar suaranya saja.Yang dirasakan Puspita adalah kembali ke masa lalu, masa-masa kecilnya yang penuh kebahagiaan bersama kedua orang tuanya. Sebelum akhirnya semua kebahagiaan itu direnggut paksa darinya bersamaan dengan meninggalnya orang tuanya.Puspita di sini, tapi hati dan pikirannya kembali ke masa-masa itu. Masa-masa yang diceritakan Prabu. Semua tergambar dengan jelas dalam ingatannya, seperti yang terjadi dalam semua slide foto itu.Puspita masih mematung. Ia tidak mengerti apa arti semua ini. Sementara mata semua orang kini tertuju padanya. Sebagian menatap iba, sebagian lagi meremehkan, dan sebagian lainnya tampak bingung. Semua orang di sana kembali berdengung, saling bicara sambil menat
“Ini adalah orang tua saya.”Prabu menunjuk layar besar yang kini menampilkan pasangan muda yang sangat serasi. Tampan dan cantik.“Pradipta Putra Bimantara dan Riyanti Rahman,” lanjut Prabu dengan bangga."Mereka pasangan yang bahagia dan saling mencintai. Sayangnya ….” Prabu menjeda kalimat, terlihat ada napas yang berat untuk diembuskan. Kilat luka berpendar di matanya.“Ibu saya harus meninggalkan kami semua saat menghadirkan saya ke dunia. Ibu saya berpulang dan meninggalkan luka yang mendalam untuk ayah saya.” Akhirnya, Prabu menarik napas meski terlihat sangat berat.Semua hadirin sepertinya ikut larut dengan apa yang Prabu rasakan. Terlebih ada getar dalam kalimat terakhir Prabu. Nyonya Rangga yang berdiri didampingi suaminya, juga Tika, bahkan sudah menghapus sudut matanya dengan tisu.“Ayah saya frustrasi berat atas meninggalnya wanita terkasih hingga akhirnya memutuskan menanggalkan semua yang sudah ia miliki sebagai satu-satunya penerus Bimantara Group. Ayah pergi jauh den
Puspita menoleh dan mendapati Pram yang menatapnya kesal. Ternyata pria itu menunggunya. Hanya saja, saking tidak mau bicara, sang suami hanya menatapnya.Puspita mengerjap dan menunduk, lalu menghampiri Pram dan mengekorinya. Mereka bergabung dengan tetamu lain yang sudah menyimak Prabu di panggung sana.Baru saja beberapa detik mereka bergabung, seseorang datang dan berdiri di samping Pram. Lalu mengucapkan kalimat yang membuat mood Pram semakin buruk.“Halo, anak laki-lakiku, aku tidak menyangka akan bertemu di sini denganmu.”Pram menelan ludah tanpa melirik sama sekali. Ia mencoba fokus pada Prabu di depan sana.“Oh, ya, perkenalkan dulu, ibu barumu,” lanjut suara itu seraya menunjuk wanita muda yang bergelayut manja di lengannya.“Mungkin kamu belum tahu kalau kami sudah menikah secara resmi, Pram. Jadi mulai sekarang hormati Imel sebagai istriku, ya.”Pram sama sekali tidak peduli, mencoba mengabaikan apa pun yang Arya ucapkan. Jika pun ada banyak hal yang ingin ia bicarakan, b
Puspita sontak menarik tangannya dari genggaman Prabu. Seakan tersengat, matanya membelalak lebar. Ia tidak menyangka Pram menemukannya di sini. Dalam keadaan yang akan membuatnya semakin salah paham.Lorong yang sepi pun terasa sangat mencekam saat Pram melangkah mendekat. Suara ketukan sepatunya yang bersatu dengan lantai berlomba dengan detak jantung Puspita yang melonjak-lonjak.“Jadi … memang begini perbuatan kalian di belakangku?” tanya Pram dengan tatapan perpaduan antara kekecewaan dan kemarahan. Ada luka juga di sana.Puspita menggeleng cepat. Ia ingin menyangkal, tetapi Pram dengan cepat mendahului.“Apa kamu mau bilang lagi ini tidak seperti yang aku pikirkan?” tanya Pram sinis. “Jadi, apa yang harus aku pikirkan melihat istriku berduaan bahkan berpegangan dengan pria lain?”“Mas ….” Kepala Puspita semakin menggeleng. Bibirnya bergetar.“Kemarin kamu bisa bilang aku salah paham karena hanya melihat foto. Apa aku masih salah paham juga jika sudah melihat dengan mata sendiri
Puspita mencuri-curi pandang saat Pram berbincang dengan Rangga dan istrinya. Ia mencari keberadaan Prabu. Ia berharap bisa bicara dengan pria itu sebelum acara dimulai. Sayangnya, pria itu tidak terlihat di mana pun di ruangan itu. Matanya justru menangkap seseorang yang wajahnya sangat familiar.Puspita sampai terjengkit kaget.Di sana, di antara para tamu undangan yang ia yakin semuanya adalah relasi bisnis keluarga Bimantara, ia melihat ada pria berusia lebih dari setengah abad yang menatap sinis ke arahnya.Puspita mengucek matanya setelah beberapa saat terperangah. Sayangnya, setelah ia mengucek mata, orang itu sudah tak terlihat lagi di sana. Puspita berkedip beberapa kali, lalu mencari dengan matanya ke semua penjuru ruangan, tetapi ia tidak mendapati orang yang dicarinya.Wanita itu kemudian menggeleng. Mungkin ia sedang berhalusinasi karena melihat pamannya berada di antara para tamu undangan.Bagaimana mungkin sang paman ada di sana? Bukankah semua tamu hanya dari kalangan
Puspita menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Dadanya terasa sangat sesak karena selama dalam perjalanan menuju rumah keluarga Bimantara itu, tak sepatah kata pun Pram berucap. Mereka hanya saling diam meski duduk berdampingan.Saat menerima surat undangan dari Prily, sebenarnya ia malas untuk ikut datang. Toh, hubungannya dengan Pram sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, Pram hanya menitipkan surat itu pada anaknya. Sebenci itukah Pram padanya, bahkan sekadar menyampaikan kartu undangan saja tidak sudi?Kalau mau egois, Puspita lebih baik tidak ikut datang. Toh, ia juga tidak tahu pesta apa gerangan yang harus dihadirinya itu. Namun, ia tidak ingin Pram malu. Ia bahkan masih memikirkan reputasi Pram meski sang suami sedang marah padanya.Lagipula, bukankah di sana ia bisa bertemu dengan Prabu? Ini kesempatan baik, harus ia gunakan untuk meminta tolong Prabu menjelaskan yang sesungguhnya. Bagaimanapun caranya, ia harus bicara dengan pria itu. Jika bukan pada kesempatan ini, i
Wanita berrok pendek berlari menuju pintu ruangan Prabu saat mendengar suara gaduh dari dalam sana. Ia sebenarnya sudah curiga sejak awal karena tamu bosnya datang dengan wajah tegang dan penuh amarah.Suara bentakan terdengar menggema di ruangan megah itu. Sekretaris membuka pintu dan langsung memekik melihat bosnya tersungkur di lantai dengan tamunya masih melayangkan tangan.Wanita itu berlari untuk melerai, berusaha menenangkan Pram yang tengah dikuasai amarah. Setelahnya, ia membantu Prabu untuk bangun dan memapahnya ke sofa.Pram berdiri dengan rahang mengeras, napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan amarah yang membara dalam dadanya.Sementara itu, Prabu yang kini duduk bersandar di sofa mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tatapannya tetap lurus di wajah merah Pram. Senyum sinis tersungging dari bibir pecah Prabu. Sama sekali tidak ada rasa marah atau takut yang ia tampakkan."Beginikah cara seorang Pramudya Adiguna menyelesaikan masalah?" tanya Prabu san
Puspita berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dadanya sesak, pikirannya kusut, dan hatinya penuh dengan kegelisahan. Sudah dua hari sejak kejadian kemarin, dan Pram tetap diam. Pria itu bahkan memilih tidur di ruang kerjanya, seolah kehadiran Puspita di rumah ini hanyalah gangguan yang harus dihindari.Tidak ada pengusiran dan kata talak seperti dulu, tidak ada kata-kata kasar yang menghujam lagi, tapi didiamkan seperti ini jauh lebih menyakitkan.Ia tinggal di rumah seseorang, tapi si empunya rumah sama sekali tak menganggapnya ada. Pram selalu menghindarinya seolah tak ingin lagi melihatnya. Waktu makan yang biasanya mereka gunakan untuk bercengkerama hangat, hanya kekosongan meja makan yang didapatkan Puspita. Hingga terkadang ia pun malas untuk sekadar mengisi perut.Pram selalu meminta pelayan yang mengantar makan ke ruang kerjanya dan bukan dirinya.Puspita sampai bingung bagaimana melanjutkan hidup. Ia tidak mungkin pergi karena tidak ada kata talak dan pengusiran seperti dulu