“Bagaimana Puspita?” tanya Prabu sembari melangkah masuk kamar. Pram baru saja membukakan pintu untuknya.“Tidur,” jawab Pram singkat. Ia masih menekan amarah akibat mendengar kabar dari rumah.Prabu yang semula memandangi Puspita, kini berbalik menatap Pram karena suaranya terdengar lain.“Ada apa?” tanya pria itu peka. Ditatapnya wajah Pram yang merah dengan ponsel yang digenggam erat di tangannya. “Apa ada masalah?”Pram menarik napas meski terasa sangat berat. Rasanya masih sungkan untuk bercerita banyak dengan Prabu, mengingat hubungan mereka sebelumnya tidak berjalan lancar. Meski tidak ada tatapan kebencian, dendam, atau semacamnya dari Prabu, tetapi Pram khawatir jika Prabu belum sepenuhnya respect padanya.“Arya?” tanya Prabu lagi karena Pram tak kunjung menjawab. Alis pria itu terangkat. Ia mencoba menebak.Pram mengembuskan napasnya, lalu duduk di tepi ranjang, di sisi Puspita. “Istrinya,” ujarnya akhirnya dengan suara pelan.Prabu terdiam. Hanya matanya yang berkedip beber
Pagi itu, meja makan keluarga Bimantara yang luas telah dipenuhi beragam hidangan lezat. Aroma roti panggang yang baru matang bercampur dengan wangi teh melati yang mengepul dari cangkir-cangkir porselen.Puspita duduk di antara Pram dan neneknya, sementara Prabu dan kakeknya duduk di seberang mereka. Wajahnya sudah tampak lebih segar dari semalam, meski sorot matanya masih menyimpan sedikit kebingungan dan kekhawatiran.Sebenarnya, Puspita meminta pulang sejak bangun tadi karena mengkhawatirkan Prily. Terlebih, Pram juga bercerita bahwa Sakti diantar ke rumah dengan cara yang tidak manusiawi. Namun, keluarga Bimantara menahannya. Paling tidak, mereka ingin merasakan sarapan bersama untuk pertama kalinya dengan anggota keluarga baru.Oma tersenyum lembut sambil menuangkan teh ke dalam cangkir Puspita. Binar bahagia tidak bisa disembunyikan dari wajahnya karena sudah berkumpul dengan cucunya yang asli."Syukurlah, kamu sudah lebih baik pagi ini. Tidurmu nyenyak, Sayang?"Puspita mengan
"Pak Prabu, siapa yang mengirim foto kita berdua waktu di kampus?" tanya Puspita penuh penasaran. Sebenarnya sejak semalam ada banyak yang ingin ia tanyakan pada Prabu, hanya saja saking kagetnya, ia sampai tak mampu mengatakan apa pun.Prabu yang masih asyik menyantap sarapannya mendongak. Sebelah alisnya terangkat. "Kamu masih manggil Pak? Sama seperti suamimu?" tanya Prabu sembari menunjuk Puspita dan Pram bergantian. Tatapannya jengah.Puspita dan Pram saling pandang. "Maaf, kami belum terbiasa," ujarnya tidak enak hati."Tidak apa-apa, Sayang. Nanti juga terbiasa." Oma melotot pada Prabu."Tika saja bisa kok, langsung panggil Abang, kamu susah banget.""Kalau Tika itu sudah direncanakan menjadi anggota keluarga ini, sedangkan Puspita mendadak dan tidak tahu menahu," sanggah Oma lagi, selalu membela Puspita."Bela terus Oma, mentang-mentang punya cucu perempuan, cucu laki-laki dilupakan." Prabu pura-pura merajuk.Puspita terkekeh sebelum menutup mulutnya dengan kelima jari. Ternya
Sejatinya, Puspita masih ingin bersama keluarga Bimantara lebih lama. Rasanya tidak ingin berpisah dengan mereka karena berada di tengah mereka terasa sangat menyenangkan. Namun, ia sadar punya kewajiban dan tanggung jawab.Ia seorang istri, ia juga seorang ibu sambung dan kakak ipar yang dibutuhkan di rumah. Karenanya, setelah sarapan, ia pamit pulang. Rangga dan istrinya memeluk lama Puspita seolah berat melepasnya. Tak terhitung pesan agar mereka datang dan menginap di sana. Membawa Prily juga.“Segera berikan kami cicit yang lain.” Itu salah satu permintaan mereka. “Kalau bisa yang banyak sebelum kami tutup usia.”Puspita hanya melirik malu suaminya sebelum kemudian menunduk.“Aku ingin memelukmu, Dek. Tapi aku takut bonyok lagi.” Prabu memasang wajah pura-pura takut setelah kakek dan neneknya puas memeluk dan menciumi Puspita.Semua orang tertawa mendengar kelakar Prabu. Puspita yang berinisiatif datang dan memeluk Prabu setelahnya. Ia merebahkan kepala di dada sang kakak. Baru k
Pram merasa tubuhnya terhempas ke depan dengan keras. Refleks, ia segera menarik Puspita ke dalam pelukannya, melindunginya dari guncangan hebat yang mengguncang mobil mereka. Jeritan Puspita menggema bersamaan dengan suara rem mendecit, lalu mobil mereka mendadak oleng."Puspita! Pegangan yang kuat!" Pram berteriak panik.Puspita meremas lengan Pram dengan erat, matanya membulat ketakutan. Mobil terus bergetar hebat, dan detik berikutnya terdengar benturan lain yang lebih kuat. Mobil mereka berhenti dengan hentakan tajam, menyebabkan kepala Puspita terbentur kaca samping. Pram mendengar suara benturan di bagian belakang sebelum akhirnya mobil benar-benar berhenti."Ada apa, Pak?" tanya Pram dengan napas masih memburu.Sang sopir keluarga Bimantara itu menggeleng sebelum akhirnya keluar karena melihat asap dari bagian belakang mobil. "Saya akan periksa," ujarnya.Sopir mereka segera keluar, wajahnya pucat pasi. Ia pun tak kalah kaget dari Pram dan Puspita. Ia memeriksa bagian belakang
Prabu merasakan dadanya sesak. Napasnya terasa berat. Ia menoleh ke arah Pram yang masih terduduk dengan kepala tertunduk, tangan meremas rambutnya sendiri. Prabu mengeratkan kepalan tangannya, berusaha mengendalikan amarah yang berkecamuk di dalam dirinya."Bayinya tidak bisa diselamatkan," kata Pak Prapto dengan suara lirih.Prabu terdiam. Rahangnya mengatup rapat, matanya menatap kosong ke depan. Lalu, tanpa aba-aba, ia menghantam dinding di sampingnya dengan kepalan tangan.Brakk.Semua orang di sekitar terkejut, termasuk perawat yang baru saja keluar dari ruang ICU. Beberapa orang bahkan mundur ketakutan melihat Prabu yang kini terlihat seperti bom waktu yang siap meledak."Siapa pelakunya?" geram Prabu lebih kepada dirinya sendiri. Suaranya bergetar penuh kemarahan yang terpendam. Ia menoleh tajam ke arah Pak Prapto. "Apa kau melihat sesuatu? Nomor plat? Ciri-ciri pelaku?"Pak Prapto menggeleng dengan wajah penuh penyesalan. "Saya tidak sempat melihat, Tuan Muda. Mobil itu melaj
"Temukan pelakunya secepat mungkin, kalau perlu hakimi dengan tangan kita sendiri!"Prabu memejamkan matanya sebentar sebelum mengangguk mendengar perintah sang kakek. Padahal biasanya Rangga sangat bijak dalam menghadapi berbagai persoalan apa pun itu. Tapi untuk saat ini, pria lebih dari delapan puluh tahun itu sangat emosional. Urat-urat di pelipisnya sampai berkedut saat mengatakan kalimat itu sesaat sebelum masuk ke dalam mobil.Setelah melihat kondisi Puspita yang koma di balik pintu kaca, Prabu menyarankan kakek dan neneknya untuk pulang, karena kondisi mereka pun terlihat sangat shock dan tidak baik-baik saja.Prabu mengantar kakek dan neneknya itu hingga ke mobil dengan terus mengingatkan agar mereka menjaga kesehatan. Lalu, setelah istrinya yang terus menitikkan air mata duduk di dalam mobil, Rangga mengingatkan agar Prabu segera mengurus semuanya."Jangan biarkan lolos, Opa mau dia mendapat balasan lebih sakit dari yang cucuku rasakan!"Prabu menutup pintu mobil setelah Ran
Prabu mengintip dari kaca kecil yang terdapat di pintu. Dan seperti sebelumnya, Puspita masih berbaring. Matanya masih terpejam. Alat-alat medis masih saling melintang terhubung ke tubuhnya. Dengan alat-alat itulah ia masih bertahan hidup.Prabu memejamkan mata untuk meredakan sesak, sebelum kembali berjalan dan duduk di bangku tak jauh dari ruang ICU. Beberapa pengawal berkeliaran tak jauh darinya. Orang-orangnya masih belum menemukan informasi tentang kecelakaan itu, seolah rencana pembunuhan tersebut terorganisir dengan sangat rapi.Prabu membuang napas kasar, lalu berkedip saat melihat sepasang kaki berdiri di hadapannya. Pria itu mendongak dan mendapati wajah kusut di sana."Kenapa kamu kembali secepat ini?" Mata Prabu memicing. Kepalanya dimiringkan. Adik iparnya sudah kembali berada di sana, padahal ia sudah memintanya untuk istirahat di rumah. "Aku sudah katakan istirahatlah, biar Puspita aku yang menunggu.""Kamu pikir aku bisa istirahat? Tidur di rumah dengan tenang sementar
Puspita terdiam cukup lama. Terlalu lama bahkan, hingga membuat Sari mulai takut jika Puspita akan menyetujui permintaan Haidar. Permintaan yang tidak masuk akal dan tidak tahu malu menurut pengasuh itu. Bagaimana bisa seorang laki-laki berkata demikian kepada wanita bersuami? Apa pun yang terjadi pada mereka di masa lalu, bukankah itu sudah berlalu?Kenapa Puspita begitu mudah goyah dan membiarkan dirinya terjebak dalam lingkaran rasa yang tidak seharusnya? Bukankah yang ia lihat selama ini pernikahannya dengan Pram sangat bahagia? Pram bahkan memperlakukannya bak ratu, terlepas dari berkali-kali cobaan menerpa biduk mereka.Sari nyaris tak mengedipkan mata menunggu Puspita menjawab. Ia takut melewatkan apa pun yang akan keluar dari mulut majikannya. Ditatapnya Puspita yang masih membisu dan Haidar yang menunggu penuh harap bergantian, hingga ….“Maaf, Kang … aku tidak bisa,” ucap Puspita akhirnya, dengan suara yang pelan tetapi penuh keteguhan.Haidar mengerjapkan mata, seakan tidak
“Ibu yakin?” tanya Sari menatap ragu saat Puspita mengatakan ingin bertemu Haidar. Karena ia sangat tahu apa yang menyebabkan hubungan majikannya berantakan seperti ini.Dan kini, saat laki-laki itu datang lagi, Puspita masih mengatakan ingin menemuinya.“Iya, tapi antar aku, ya. Temani aku bicara dengannya.”Sari tertegun sebelum akhirnya mengangguk, lalu mendorong kursi roda menuju pintu. Farah yang tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi dengan Puspita, memutuskan mendampinginya juga untuk turun.Sepanjang perjalanan menuju lantai dasar di mana Haidar menunggu, tidak ada yang bicara sepatah kata pun. Baik Sari maupun Farah, apalagi Puspita, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sari ingin melarang dan memperingatkan, tetapi ia tidak kuasa. Sementara Farah yang melihat wajah Puspita dan Sari sangat serius, tidak berani bertanya karena ia orang baru. Baru beberapa menit lalu mengenal Puspita.Lalu Puspita, kepalanya penuh dengan rangkaian kalimat yang sudah ia susun.Tiba di
Puspita menggenggam ponselnya erat, berulang kali mencoba menghubungi Prabu. Namun, hasilnya tetap sama—tidak bisa dihubungi. Ia berusaha mengatur napas, tetapi dadanya terasa sesak. Pikirannya berkecamuk, menebak-nebak apa yang sedang terjadi di tanah air.Oma masuk rumah sakit? Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia tidak tahu apa pun? Kenapa Prabu tidak menjawab teleponnya?Ia ingin pulang. Ia ingin segera kembali ke tanah air, ke keluarganya. Namun, tubuhnya masih lemah. Kakinya belum bisa digerakkan dengan baik. Luka di wajahnya belum sepenuhnya pulih. Bagaimana mungkin ia kembali dalam keadaan seperti ini? Bahkan untuk berdiri pun masih terasa sulit.Air matanya mengalir deras, jatuh ke pangkuannya. Kepalanya mulai berdenyut karena tekanan yang ia rasakan semakin berat. Ia ingin bertanya kepada Opa, tapi pria itu pasti sedang sibuk menjaga Oma di rumah sakit. Tidak mungkin ia mengganggu.Ketidakberdayaan itu menusuknya dari segala arah. Ia merasa sendirian, terjebak di negeri o
Puspita duduk di kursi rodanya dengan tatapan kosong. Ruang terapi di Mount Elizabeth Hospital yang biasanya penuh semangat kini terasa dingin dan sepi. Sari berdiri di sisinya, memberikan dukungan moral, tetapi itu tidak cukup. Biasanya, Pram yang ada di sana. Biasanya, Pram yang menggenggam tangannya sebelum terapi dimulai, memberikan kata-kata penyemangat dengan suara lembutnya.Hari ini, Pram tidak ada.Puspita menggigit bibirnya, menahan isakan yang mengancam pecah. Sejak Pram pergi bersama Prily kemarin, ia belum sekali pun mendengar kabarnya. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Pram benar-benar menghilang dari kehidupannya dalam sekejap. Dan itu sangat menyakitkan."Bu, kita mulai, ya?" sapa terapis yang sudah bersiap membantunya menjalani sesi latihan hari ini.Puspita hanya mengangguk lemah. Ia memaksa tubuhnya untuk fokus, tetapi hatinya berantakan. Setiap gerakan yang biasanya ia lakukan dengan penuh usaha kini terasa lebih berat dari sebelumnya. Ketika kakinya mencoba berg
“Mas …” panggil Puspita di antara napasnya yang memburu. Pandangan diedarkan ke sekeliling, tapi yang ia dapati hanya ruangan kosong dengan dinding-dinding bisu. Ternyata ia berada di dalam kamarnya.Puspita mengerjap dan menyeka peluh di pelipisnya. Mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Tadi pinggangnya pegal karena terlalu banyak duduk, ia meminta Sari membantunya untuk berbaring. Lalu ia sengaja memejamkan matanya agar tak terjadi kontak dengan Pram. Siapa sangka ia malah tertidur dan didatangi mimpi buruk yang capeknya terbawa ke dunia nyata.Mimpi?Ya, tadi ia bermimpi sangat mengerikan. Pram terjatuh saat ingin menyelamatkannya. Dan itu seperti sangat nyata.“Mas …” panggil Puspita lagi seraya menyibak selimutnya, lalu menurunkan kaki dari ranjang. Saat ia berusaha untuk berdiri, ia memekik dan tubuhnya langsung ambruk ke lantai.Puspita meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ia bahkan lupa jika kakinya belum berfungsi sebagaimana mestinya. Mimpi yang terasa nya
Pram mondar-mandir di kamarnya. Kalimat-kalimat Prabu yang tidak dimengertinya terus terngiang-ngiang. Ia masih tidak bisa menyimpulkan arti ucapan itu, tetapi satu hal yang ia yakini—Prabu sedang tidak baik-baik saja.Pram menengadah, lalu meremas rambutnya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sejak awal Prabu memang bicara tersendat-sendat dan terdengar ragu. Tidak mungkin ia memaksa kakak iparnya itu untuk bicara lebih jelas.Lalu, ia harus bagaimana?Ingin memberi solusi? Bagaimana bisa, jika masalah yang sebenarnya saja ia tidak tahu. Prabu langsung pamit setelah mengatakan itu, dan ia tidak bisa mencegahnya.Andai berada di tanah air, mungkin ia bisa sedikit membantu. Masalahnya, jika pulang pun, bagaimana dengan Puspita?Untuk mengatakan bahwa kakaknya ada masalah saja, rasanya Pram tidak tega. Ia yakin itu hanya akan menjadi beban pikiran bagi istrinya. Pram takut Puspita tidak fokus pada pengobatannya. Belum lagi jika benar-benar ingin berpisah. Lalu, apa yang harus dilaku
Pram sedang mengemas beberapa barang ke dalam ransel di kamarnya. Ia hanya sedang bersiap jika tiba-tiba Puspita mengatakan ia harus pergi.Bukannya menyerah jika ia melakukan ini sejak dini. Sekali lagi, ia hanya sedang bersiap jika suatu saat Puspita benar-benar tak menginginkannya lagi, karena setelah dua hari semenjak ia bertanya, wanita itu belum juga memberikan jawaban.Puspita seolah menggantung hubungan mereka, membuatnya berada dalam ketidakpastian. Namun, Pram sama sekali tak marah atau menyalahkan istrinya karena ia pun dulu pernah melakukan hal yang sama. Mengabaikan Puspita dalam ketidakjelasan hubungan sejak Soraya meninggal. Membuat Puspita tenggelam dalam pusaran keputusasaan. Mungkin, ini juga yang dirasakan Puspita saat itu.Semua yang terjadi padanya saat ini seolah pantulan cahaya dalam cermin. Semua berbalik padanya. Apa yang pernah ia lakukan pada Puspita dulu, kini berbalik dirinya yang harus merasakan semua ini.Pram mengembuskan napas panjang. Kini Puspita sed
"Duduklah," ujar Ny. Bimantara akhirnya, sambil menunjuk kursi di seberang mereka.Irena duduk dengan tangan terkepal di pangkuannya. Perutnya terasa mual, bukan karena makanan, tapi karena suasana kaku yang menyesakkan.Pelayan datang dan mulai menyajikan makanan. Namun, bahkan setelah hidangan tersaji, tidak ada obrolan yang mengalir. Prabu sesekali mencoba mencairkan suasana dengan bertanya tentang kesehatan Opa dan Oma, tetapi jawaban yang didapat hanya sekadarnya."Jadi bagaimana, Opa, Oma? Pendapat kalian tentang rencana kami ke depannya?" Prabu terpaksa bertanya lebih dulu karena kedua orang tua itu tak kunjung bertanya sesuatu tentang mereka.Hening beberapa saat, membuat Prabu yang menunggu menjadi tidak sabar.Irena mencuri pandang ke arah Opa Rangga. Lelaki tua itu duduk dengan postur tegak, sorot matanya masih tajam meski usianya sudah senja. Lalu, tiba-tiba, pria itu meletakkan garpunya, membuat dentingan kecil yang menarik perhatian semua orang."Prabu," suaranya terdeng
Irena menatap dirinya di depan cermin. Seorang wanita empat puluh tahun terpampang di sana dengan wajah yang sudah dipoles make-up flawless. Garis kerutan memang jauh darinya karena ia selalu menjaga pola makan dan olahraga yang teratur. Tapi rasanya, senyum sudah jarang ia sunggingkan dalam kehidupan pribadinya.Jika pun selama ini terkesan ramah dan selalu ceria, itu hanya untuk para pasien dan siapa pun yang ia temui di rumah sakit. Selebihnya, bibirnya jarang sekali tersenyum. Perpisahan dengan Radit yang berbuntut perebutan hak asuh Chiara membuat hari-harinya seolah suram.Memang ia masih bisa menemui sang anak selama Chiara dalam pengasuhan mantan suaminya itu, tetapi dalam waktu yang sangat terbatas dan tentu saja harus mengikuti aturan Radit. Tidak bisa bertemu dan menumpahkan rindu dengan leluasa.Irena sangat menyesali hari-hari yang telah lewat. Ia terlalu sibuk bekerja hingga waktu untuk bersama Chiara sangat sedikit. Dan itu ternyata membuat Chiara lebih dekat dengan aya