Prabu masih terdiam di meja kafe, menatap kosong ke cangkir kopi yang mulai dingin. Kata-kata Dokter Irena masih menggema di benaknya."Keluarga Puspita harus siap dengan segala kemungkinan. Yang terburuk sekalipun."Napasnya terasa berat, seakan menanggung beban yang semakin besar.“Semoga keajaiban itu ada,” gumamnya. “Kasihan Oma dan Opa yang baru sebentar saja merasakan kebahagiaan berkumpul dengan cucu perempuannya.”Prabu sedang meneguk kopinya yang sudah dingin saat ponselnya bergetar. Segera diletakkan cangkir itu lalu mengangkat panggilan tanpa melihat nama penelepon."Ya?""Bos, kami menemukan saksi mata di sekitar lokasi kejadian." Suara di seberang sana terdengar tegas.Prabu langsung bangkit. "Aku segera ke sana." Harapan besar memenuhi hatinya. Meski kondisi Puspita masih belum ada perkembangan, setidaknya jika pelakunya tertangkap, satu janjinya tertunaikan.Tanpa menunggu lebih lama, Prabu melangkah cepat keluar dari kafe. Dua pengawalnya langsung sigap mengikuti. Dala
Langit sore mulai meredup ketika mobil yang membawa Prabu kembali menuju rumah sakit. Selama dalam perjalanan, pria itu sibuk menghubungi orang-orangnya. Dadanya tak henti bergemuruh jika mengingat pria tua menceritakan bagaimana mobil yang membawa Puspita ditabrak berkali-kali sebelum akhirnya digusur dan dilempar.Darahnya mendidih. Wajahnya bahkan sudah memerah sejak tadi.Maka, pantas jika Pram se-down itu. Jika ia yang berada di posisi adik iparnya itu, mungkin bisa gila. Melihat istri tercintanya diperlakukan seperti barang mainan. Di depan mata pula."Temukan mobil jeep serupa dengan mobil yang terbakar! Aku akan naikkan gaji kamu jika dapat dalam waktu dekat." Suaranya gemetar penuh penekanan. Semua orang yang berada di dalam mobil sampai menahan napas mereka.Prabu mematikan sambungan telepon, lalu menghempaskan punggungnya ke sandaran jok. Baru saja ia ingin memejamkan matanya, suara decitan rem yang diinjak mendadak, juga mobil yang tiba-tiba berhenti, mengagetkannya."Ada
Suasana hening untuk beberapa saat, hanya ponsel Prabu yang meraung-raung hingga akhirnya ia matikan.Prabu berdehem salah tingkah sebelum akhirnya pamit. Ketahuan menguping membuatnya sangat malu. Tapi ia benar-benar tidak sengaja. Namun sebelum ia pergi, dokter Irena memanggilnya."Ada apa, Pak Prabu? Ada sesuatu dengan Bu Puspita?" tanya Irena dengan mata memicing.Sementara pria seumurannya yang sejak tadi berdebat, memandang Irena dan Prabu bergantian. "Kamu kenal dia?" tanyanya heran.Irena melirik sebentar dengan sikap angkuh. "Dia keluarga pasienku.""Oh, kebetulan sekali, dia itu yang menabrak Chiara tadi." Pria itu melapor dengan percaya diri.Kening Irena mengernyit. Ditatapnya Prabu dengan saksama."Mobil dia yang menabrak anak kita, Iren. Karena kecerobohan mereka, Chiara belum sadarkan diri sampai sekarang.""Benarkah?" Irena sangsi. Ditatapnya lagi Prabu yang mengalihkan pandangan ke lantai dengan pasrah."Tentu saja! Anak kita hampir kehilangan nyawa karena mobilnya."
“Apa-apaan ini?”Untuk beberapa lama, Radit menatap Irena dan Prabu dengan tajam, matanya menyiratkan ketidakpercayaan yang amat dalam. Ia mendengus pelan setelahnya, lalu tersenyum miring."Jangan bercanda, Iren. Aku sangat mengenalmu. Kamu nggak mudah jatuh cinta, apalagi tiba-tiba punya calon suami," ucapnya dengan nada mengejek.Irena tetap menggamit tangan Prabu, tak membiarkan ekspresi Radit mengubah pendiriannya. Ia menghela napas dalam, lalu menatap mantan suaminya dengan penuh keyakinan."Aku tidak bercanda, Radit. Pak Prabu ini calon suamiku."Radit tertawa hambar, lalu melipat tangan di depan dada."Oh ya? Kenapa aku nggak pernah dengar sebelumnya? Sejak kapan kalian pacaran? Sejak kapan kalian merencanakan pernikahan? Jangan-jangan … kamu sedang membodohiku, asal comot orang lalu mengakuinya sebagai calon suamimu?"Irena tersenyum manis. Melirik sedikit ke arah Prabu yang masih dalam mode keterkejutan.“Aku tidak harus bilang sama kamu sedang dekat dengan seseorang, bukan?
Raungan pilu menggema dalam sebuah ruang gelap dan pengap. Cahaya redup dari satu-satunya lampu di langit-langit berayun pelan, menyoroti sosok pria yang duduk di sebuah bangku kayu usang. Darah merembes dari sudut bibirnya. Tangan dan kakinya terikat erat, sementara di sekelilingnya, beberapa pria berjas gelap berdiri, wajah-wajah mereka kaku dan dingin, menunggu perintah lebih lanjut.Prabu melangkah mendekat, sorot matanya penuh amarah. Ia menatap pria yang kini mengerang kesakitan di hadapannya, lalu berjongkok, menarik rambut pria itu agar menatapnya langsung."Katakan sekali lagi," suara Prabu dingin, menusuk hingga ke sumsum tulang.Pria itu gemetar, matanya menyiratkan ketakutan. "Aku... aku tidak tahu sama sekali, Pak. Aku tidak tahu apa-apa. Lepaskan aku. Jangan libatkan aku." Pria yang wajahnya babak belur itu mengiba.Tamparan keras dari anak buah Prabu menghentikan ucapannya. Kepala pria itu terhuyung ke samping, darah semakin deras mengalir dari sudut bibirnya.Prabu mem
“Ada apa?” tanya Pram dengan kening berkerut.Prabu hanya mengendikkan bahunya. “Tidak apa-apa, hanya saja mungkin kamu butuh leluasa untuk bergerak, adik iparku.” Prabu menepuk pundak Pram, tetapi pandangannya menatap lurus ke arah Regan yang juga mengernyit heran.Pram mendengus pelan sebelum beralih menghadap Regan yang masih berdiri di depan mejanya.“Bagaimana keadaan di sini? Apa semua berjalan lancar?” tanyanya, menatap Regan yang di matanya tampak berbeda.Regan berdehem singkat dan memperbaiki posisi berdirinya. Ia tidak nyaman dengan tatapan Prabu padanya.“Apa kita akan membahas pekerjaan bersama Pak Prabu di sini, Bos?” tanya Regan sembari melirik Prabu dengan tidak nyaman.Pram menoleh pada kakak iparnya itu. “Tidak, tidak. Kita tidak membicarakan proyek kerja sama itu sekarang.”“Lalu, Pak Prabu ….” Lagi, Regan melirik Prabu yang tidak lepas menatapnya.“Oh, tidak apa-apa. Lagipula ia kakak istriku, dan kelak kita akan lebih sering berdiskusi dengannya untuk menjalankan
Keheningan berbalut ketegangan seketika memenuhi ruangan. Pram menatap Regan tanpa kedip. Sementara Regan yang beberapa saat lalu wajahnya memucat, berusaha menguasai keadaan."Hei, ada apa ini, Bos? Kenapa menatapku seperti itu?" Regan mengangkat kedua tangannya. "Rekaman apa sebenarnya yang Pak Prabu putar barusan?"Prabu menggeleng dan tersenyum sinis. "Sepintar ini rupanya asisten adik iparku ini, pantas saja dia bisa tertipu selama ini.""Maaf, Pak Prabu, apa maksud ucapan Anda?" Regan mengerutkan kening."Masih bertanya apa maksudku? Sudah jelas yang menabrak adikku itu mobilmu. Tentu saja itu yang ingin aku sampaikan pada suaminya."Regan bangkit dari duduknya. Wajahnya memerah. "Anda jangan asal bicara, Pak Prabu. Atas dasar apa Anda menuduh saya?" Telunjuk Regan mengarah ke wajah Prabu."Jangan pikir karena Anda seorang konglomerat, orang terpandang, bisa menuduh orang lain sesuka hati. Saya bisa melaporkan Anda atas tuduhan pencemaran nama baik.""Oh, jadi aku menuduh sesuka
Pram berlari sekuat tenaga melewati koridor rumah sakit. Tak ada yang dihiraukannya saat ini selain kondisi Puspita. Bahkan Regan yang sudah diyakininya mengkhianatinya, tidak lebih penting dari kondisi Puspita.Napasnya tersengal, keringat dingin membasahi pelipisnya. Sepanjang perjalanan, bayangan wajah Puspita terus menghantui pikirannya. Suara petugas rumah sakit di telepon tadi terus terngiang di telinganya."Pak Pramudya, segera ke rumah sakit. Kondisi istri Anda menurun drastis. Kami sedang melakukan tindakan darurat."Jantung Pram berdegup tak karuan. Ia ingin tiba lebih cepat, namun langkah kakinya seolah terasa lamban dibandingkan kegelisahan yang mencekiknya.Sesampainya di depan ruang ICU, ia melihat para perawat dan dokter tengah sibuk mengerubungi tubuh Puspita yang terbujur lemah di ranjang.Belum apa-apa, Pram sudah merasakan tubuhnya lemah. Ia pernah merasakan sakitnya kehilangan seorang istri yang sangat dicintainya. Apa hal itu akan terulang? Apa ia harus kehilangan
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p
“Din … kamu lihat dasiku yang navy ada titik kecil putih, tidak?” Suara Prabu terdengar dari kamar, sedikit meninggi karena jarak kamar tidur dan dapur lumayan jauh.Andini sedang berkutat di dapur. Tangannya sibuk mengaduk telur orak-arik sambil sesekali melirik roti yang mulai kecokelatan di toaster. Aroma kopi menguar dari cangkir di sebelahnya. Pagi ini seperti medan perang baginya. Mbak Sri—ART mereka—kebetulan sedang cuti.Kompor menyala, toaster bunyi klik, air galon tinggal sedikit, dan... kakinya hampir terpeleset karena butter yang tadi tumpah dari spatula.Sebagai ibu rumah tangga baru yang belum berpengalaman—karena tiba-tiba menjadi seorang istri dan ibu—tentu saja ini perjuangan tersendiri bagi Andini. Ia yang terbiasa hanya mengurus dirinya sendiri, kini harus membagi tenaga untuk mengurus dan menyiapkan keperluan orang lain.Keadaan jadi sangat riweuh karena Prabu yang sudah terbiasa segala dilayani, dan juga Chiara yang belum bisa mengurus dirinya sendiri—minta dilaya