Puspita merasakan dadanya sesak seolah oksigen tidak mau masuk ke paru-parunya. Pandangannya berkunang-kunang, dan tubuhnya terasa lemas. Semua yang baru saja tersaji di depan matanya seolah cerita dongeng fantasi yang hanya ada dalam khayalan.Otaknya mendadak tidak bekerja hingga sulit mencerna apa yang baru saja terjadi. Suara melengking Tika yang memanggil namanya dan meminta tolong masih terngiang hingga memekakkan telinga. Tetapi, slide-slide nyata dalam kehidupan yang dijalaninya terus berputar di kepalanya.Tubuhnya nyaris terjengkang jika Pram tidak sigap menangkapnya. Pram sampai duduk bersimpuh untuk menahan tubuh Puspita yang tidak bertenaga sama sekali. Tubuh wanita itu ia sandarkan di pangkuannya. Sejatinya, ia pun terlalu kaget dengan semua ini hingga tak mampu melakukan apa pun selain ternganga.Nama Putra Pradipta ia sebut dua kali saat menikahi Puspita sebagai ayahnya, tetapi siapa sangka jika itu adalah Pradipta Putra Bimantara, anak tunggal Rangga Bimantara dan jug
“Sayang ….”Nyonya Rangga menghampiri Puspita yang masih bersandar di pangkuan Pram. Wanita berambut putih itu dibimbing suaminya karena ia pun terlihat oleng. Kedua matanya dipenuhi embun tebal. Kedua tangannya gemetar saat ingin meraih Puspita.“Sayangku … ini Oma, Sayang … pantas saja Oma langsung menyukaimu begitu kita bertemu ….” Suaranya pun gemetar. Wanita itu ingin meluruh, tetapi suaminya melarang. Menahan tubuh sepuh itu agar tetap berdiri.“Pram, bawa istrimu ke kamar kalian,” perintah Rangga karena tidak tega melihat Puspita yang sangat lemah. Hanya matanya yang berkedip lemah.“Biarkan Puspita istirahat di sana. Ada dokter dan perawat yang akan mengecek kesehatannya,” lanjutnya seraya meminta dua orang panitia laki-laki untuk datang.Tapi saat mereka ingin membantu mengangkat tubuh Puspita, Pram melarang. Ia tidak ingin istrinya disentuh pria lain.“Aku bisa sendiri,” ujarnya seraya bangkit. Sebelumnya, Puspita dipegangi Rangga dan istrinya.“Kalau begitu gunakan lift unt
“Bagaimana Puspita?” tanya Prabu sembari melangkah masuk kamar. Pram baru saja membukakan pintu untuknya.“Tidur,” jawab Pram singkat. Ia masih menekan amarah akibat mendengar kabar dari rumah.Prabu yang semula memandangi Puspita, kini berbalik menatap Pram karena suaranya terdengar lain.“Ada apa?” tanya pria itu peka. Ditatapnya wajah Pram yang merah dengan ponsel yang digenggam erat di tangannya. “Apa ada masalah?”Pram menarik napas meski terasa sangat berat. Rasanya masih sungkan untuk bercerita banyak dengan Prabu, mengingat hubungan mereka sebelumnya tidak berjalan lancar. Meski tidak ada tatapan kebencian, dendam, atau semacamnya dari Prabu, tetapi Pram khawatir jika Prabu belum sepenuhnya respect padanya.“Arya?” tanya Prabu lagi karena Pram tak kunjung menjawab. Alis pria itu terangkat. Ia mencoba menebak.Pram mengembuskan napasnya, lalu duduk di tepi ranjang, di sisi Puspita. “Istrinya,” ujarnya akhirnya dengan suara pelan.Prabu terdiam. Hanya matanya yang berkedip beber
Pagi itu, meja makan keluarga Bimantara yang luas telah dipenuhi beragam hidangan lezat. Aroma roti panggang yang baru matang bercampur dengan wangi teh melati yang mengepul dari cangkir-cangkir porselen.Puspita duduk di antara Pram dan neneknya, sementara Prabu dan kakeknya duduk di seberang mereka. Wajahnya sudah tampak lebih segar dari semalam, meski sorot matanya masih menyimpan sedikit kebingungan dan kekhawatiran.Sebenarnya, Puspita meminta pulang sejak bangun tadi karena mengkhawatirkan Prily. Terlebih, Pram juga bercerita bahwa Sakti diantar ke rumah dengan cara yang tidak manusiawi. Namun, keluarga Bimantara menahannya. Paling tidak, mereka ingin merasakan sarapan bersama untuk pertama kalinya dengan anggota keluarga baru.Oma tersenyum lembut sambil menuangkan teh ke dalam cangkir Puspita. Binar bahagia tidak bisa disembunyikan dari wajahnya karena sudah berkumpul dengan cucunya yang asli."Syukurlah, kamu sudah lebih baik pagi ini. Tidurmu nyenyak, Sayang?"Puspita mengan
"Pak Prabu, siapa yang mengirim foto kita berdua waktu di kampus?" tanya Puspita penuh penasaran. Sebenarnya sejak semalam ada banyak yang ingin ia tanyakan pada Prabu, hanya saja saking kagetnya, ia sampai tak mampu mengatakan apa pun.Prabu yang masih asyik menyantap sarapannya mendongak. Sebelah alisnya terangkat. "Kamu masih manggil Pak? Sama seperti suamimu?" tanya Prabu sembari menunjuk Puspita dan Pram bergantian. Tatapannya jengah.Puspita dan Pram saling pandang. "Maaf, kami belum terbiasa," ujarnya tidak enak hati."Tidak apa-apa, Sayang. Nanti juga terbiasa." Oma melotot pada Prabu."Tika saja bisa kok, langsung panggil Abang, kamu susah banget.""Kalau Tika itu sudah direncanakan menjadi anggota keluarga ini, sedangkan Puspita mendadak dan tidak tahu menahu," sanggah Oma lagi, selalu membela Puspita."Bela terus Oma, mentang-mentang punya cucu perempuan, cucu laki-laki dilupakan." Prabu pura-pura merajuk.Puspita terkekeh sebelum menutup mulutnya dengan kelima jari. Ternya
Sejatinya, Puspita masih ingin bersama keluarga Bimantara lebih lama. Rasanya tidak ingin berpisah dengan mereka karena berada di tengah mereka terasa sangat menyenangkan. Namun, ia sadar punya kewajiban dan tanggung jawab.Ia seorang istri, ia juga seorang ibu sambung dan kakak ipar yang dibutuhkan di rumah. Karenanya, setelah sarapan, ia pamit pulang. Rangga dan istrinya memeluk lama Puspita seolah berat melepasnya. Tak terhitung pesan agar mereka datang dan menginap di sana. Membawa Prily juga.“Segera berikan kami cicit yang lain.” Itu salah satu permintaan mereka. “Kalau bisa yang banyak sebelum kami tutup usia.”Puspita hanya melirik malu suaminya sebelum kemudian menunduk.“Aku ingin memelukmu, Dek. Tapi aku takut bonyok lagi.” Prabu memasang wajah pura-pura takut setelah kakek dan neneknya puas memeluk dan menciumi Puspita.Semua orang tertawa mendengar kelakar Prabu. Puspita yang berinisiatif datang dan memeluk Prabu setelahnya. Ia merebahkan kepala di dada sang kakak. Baru k
Pram merasa tubuhnya terhempas ke depan dengan keras. Refleks, ia segera menarik Puspita ke dalam pelukannya, melindunginya dari guncangan hebat yang mengguncang mobil mereka. Jeritan Puspita menggema bersamaan dengan suara rem mendecit, lalu mobil mereka mendadak oleng."Puspita! Pegangan yang kuat!" Pram berteriak panik.Puspita meremas lengan Pram dengan erat, matanya membulat ketakutan. Mobil terus bergetar hebat, dan detik berikutnya terdengar benturan lain yang lebih kuat. Mobil mereka berhenti dengan hentakan tajam, menyebabkan kepala Puspita terbentur kaca samping. Pram mendengar suara benturan di bagian belakang sebelum akhirnya mobil benar-benar berhenti."Ada apa, Pak?" tanya Pram dengan napas masih memburu.Sang sopir keluarga Bimantara itu menggeleng sebelum akhirnya keluar karena melihat asap dari bagian belakang mobil. "Saya akan periksa," ujarnya.Sopir mereka segera keluar, wajahnya pucat pasi. Ia pun tak kalah kaget dari Pram dan Puspita. Ia memeriksa bagian belakang
Prabu merasakan dadanya sesak. Napasnya terasa berat. Ia menoleh ke arah Pram yang masih terduduk dengan kepala tertunduk, tangan meremas rambutnya sendiri. Prabu mengeratkan kepalan tangannya, berusaha mengendalikan amarah yang berkecamuk di dalam dirinya."Bayinya tidak bisa diselamatkan," kata Pak Prapto dengan suara lirih.Prabu terdiam. Rahangnya mengatup rapat, matanya menatap kosong ke depan. Lalu, tanpa aba-aba, ia menghantam dinding di sampingnya dengan kepalan tangan.Brakk.Semua orang di sekitar terkejut, termasuk perawat yang baru saja keluar dari ruang ICU. Beberapa orang bahkan mundur ketakutan melihat Prabu yang kini terlihat seperti bom waktu yang siap meledak."Siapa pelakunya?" geram Prabu lebih kepada dirinya sendiri. Suaranya bergetar penuh kemarahan yang terpendam. Ia menoleh tajam ke arah Pak Prapto. "Apa kau melihat sesuatu? Nomor plat? Ciri-ciri pelaku?"Pak Prapto menggeleng dengan wajah penuh penyesalan. "Saya tidak sempat melihat, Tuan Muda. Mobil itu melaj
“Kok, pergi?” Prabu bergumam heran, tubuhnya otomatis bangkit berdiri dari belakang meja.Tanpa menghiraukan panggilan sekretarisnya yang terdengar risih, Prabu segera melangkah cepat ke arah pintu.“Pak Prabu, ini belum selesai tanda tangannya—”Tapi Prabu tidak mendengarkan. Langkahnya mantap, menyusul sosok wanita yang baru saja keluar dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk.“Andini!” panggilnya dari belakang.Namun wanita itu tak menoleh. Ia terus berjalan cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi aktivitas siang hari. Tumit sneakers-nya berdetak keras melawan lantai marmer, berpacu dengan degup jantungnya yang tak kalah gaduh.“Andini! Tunggu!”Panggilan itu tak dihiraukan. Perasaan aneh mulai bercokol di dada Andini. Ia menyesal datang. Menyesal membawa sesuatu yang bahkan sekarang terasa konyol. Di tangannya tergenggam kotak makan berisi grilled salmon, makanan kesukaan Prabu. Ia tahu dari Oma tadi pagi.Andini sengaja memasak sendiri. Ia ingin memberi kejutan dengan tiba-
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p