Bel masuk kelas sudah berbunyi 15 menit yang lalu. Semua siswa masuk ke kelasnya masing–masing. Tidak ada siswa yang berhamburan di luar kelas, kecuali tukang kebun sekolah yang sedang menyapu koridor sekolah atau membersihkan kamar mandi.
Begitu juga pelajaran matematika Bu Eka yang sudah dimulai sejak 15 menit lalu di kelas XI IPA 1. Bu Eka termasuk guru yang disiplin. Beliau bukan guru matematika yang sering ditakuti oleh banyak siswa karena kegarangannya. Bu Eka berbeda di pandangan siswa SMA Nusantara, terlebih kelas XI. Beliau termasuk dalam jajaran guru favorit. Banyak siswa yang menganggap matematika itu adalah hal yang menakutkan, tapi yakinlah setiap kelas ditampu oleh Bu Eka pasti nilai matematika mereka berkembang pesat. Entah ilmu apa yang dimiliki Bu Eka.Tok tok tok“Permisi bu,” ucap Tasya sopan dan memasuki kelasnya. Semua teman sekelasnya memandang kearah Tasya, tetapi setelah itu kembali mengerjakan soal fungsi turunan yang diberikan oleh Bu Eka.Teman sekelasnya tidak heran jika Tasya sering terlambat masuk kelas. Bahkan kadang bangku Tasya kosong dari jam pertama hingga terakhir. Tasya termasuk siswi aktif di sekolahnya, tetapi dibalik keaktifannya itu dia juga tidak lupa berprestasi dibidang akademik. Yang paling menonjol adalah mata pelajaran matematika.“Maaf bu saya terlambat, tadi ada kumpul sebentar,” ucap Tasya sambil menunduk. Bu Eka tersenyum. Beliau mengerti tugas tambahan Tasya di sekolah.“Silahkan duduk Tasya dan kerjakan soal halaman 70-72 seperti yang lainnya,” ucapnya dan kembali mengerjakan tugasnya mengoreksi ulangan matematika kelas XI IPA 1 yang diadakan lusa yang lalu.Tasya berjalan kearah bangkunya, dekat dengan Salsa. Posisi bangku mereka berada ditengah baris keempat. Sedangkan didepannya terdapat Della yang duduk sendiri, karena jumlah siswa di kelas mereka berjumlah ganjil.“Tasya dari mana? Kok lama banget?” tanya Salsa sedikit berbisik.“Tadi ada kumpul OSIS dadakan Sal,” balas Tasya sambil membuka bukunya dan mengerjakan soal yang diberikan Bu Eka.Terlihat Salsa mengambil buku sedikit tebal berjudul Rindu karya Tere Liye dari laci mejanya dan menyodorkan pada Tasya. “Nih. Tadi ketinggalan dikantin.”Segera Tasya mengambil buku tersebut tanpa memandang Salsa dan memasukannya kedalam laci mejanya.Hening. Kata itulah yang tepat untuk mendeskripsikan kelas XI IPA 1.Tok…tok…tokTerdengar kembali ketokan pintu. Kali ini bukan siswa yang datang memberikan dispen untuk Tasya karena ada rapat OSIS atau dispen untuk Salsa karena akan mempersiapkan debat Bahasa inggris. Tetapi kali ini Pak Pardi yang datang. Semua siswa dikelas terperanjat kaget. Bagaimana tidak? Pak Pardi adalah guru Bimbingan Konseling yang mengampu kelas XI. Beliau terkenal dengan kekejamannya.Pak Pardi menuju ke meja Bu Eka. Entah apa yang dibicarakan kedua guru itu. Yang pastinya hal tersebut membuat para siswa tegang dan tak berhenti memandang kedua guru itu.“Ndi, jangan-jangan tu singa mau ngajak lo ke ruang angker itu,” bisik Aldi pada Andi teman sebangkunya.“Atas tuduhan apa dia ngajak gue kesana? Gue gak punya salah kok,” bela Andi pada dirinya.“Hei! Siapa yang kemarin beli gorengan 5 tapi bilang 2?” ucap Aldi sedikit berteriak membuat Andi terperanjat kaget.“Terus, kemarinnya lo bilang sama Pak Warno yang jual cilok dikantin, cuma beli cilok 1 porsi. Padahal lo beli 2 porsi cilok sama 2 gelas es teh,” sambung Aldi kembali dengan nada yang lebih keras.“Terus, lo juga godain Mbak Juwita yang jualan soto. Gak cuma itu, ada juga lo …,“ Andi segera membekap mulut Aldi dengan tangannya. Agar semua rahasia yang dia simpan dengan rapi tidak terbuka sia-sia disini. Beberapa siswa yang mendengar itu tertawa tanpa mengeluarkan suara.“Ooo, jadi gak cuma janda dikomplek rumah gue yang lo godain. Ternyata ibu – ibu kantin sekolah juga lo godain,” ucap Ilham yang duduk didepannya sambil menggelengkan kepalanya. “Pantes Ndi!” Ardhan yang berada disamping Ilham membuka suara.Andi yang tak mengerti menanutkan kedua alisnya. “Maksud lo?” tanya Andi dan melepaskan tangannya dari mulut Aldi.“Pantes Della putusin lo!!” ucap mereka kompak dan diimbangi tawa Aldi yang terbahak-bahak.Della yang merasa terganggu segera memandang mereka dan memberikan tatapan membunuh pada mereka. Seketika tawa mereka terhenti dan membuat Salsa dan Tasya yang bergantian tertawa.Terlihat Pak Pardi dan Bu Eka sudah selesai dengan pembicaraan mereka. “Ayo nak, silahkan masuk,” ucap Pak Pardi.Masuklah seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dari yang digunakan siswa SMA Nusantara. Langkahnya berhenti disamping Pak Pardi.“Ini ada teman baru untuk kalian.” Bukannya menyapa teman barunya, laki-laki itu lebih memilih menampakkan muka datarnya. Biasanya, apabila ada siswa baru pasti akan disambut hangat oleh siswa lainnya. Namun kali ini berbeda, semua siswa terkejut dan enggan menyapa ketika mengetahui siapa siswa baru tersebut.“Kok bisa sih dia pindah kesini?” tanya siswi berambut sedikit bergelombang pada teman sebangkunya dengan berbisik.“Mana masuk kelas kita lagi,” balasnya dengan tatapan tidak suka pada Jevo.Beberapa siswa di sana juga mulai berbisik membicarakan hal yang sama. Walaupun berbisik, tetap saja apa yang mereka bicarakan bisa didengar oleh laki-laki itu.Pak Pardi berdehem. “Perkenalkan nama kamu,” pintanya.Laki-laki itu mengangguk. “Gue Jevo Rajendra,” ucapnya dengan nada malas.“Jevo silahkan duduk di dekat Della,” kata Bu Eka pada Jevo. Namun segera gadis bernama Della itu mengangkat tangannya.“Bu maaf, kalo dia duduk sama Tasya aja gimana?” Tasya langsung membelalakkan kedua matanya mendengar perkataan Della. “Biar Salsa duduk sama saya. Boleh ya bu,” Della memohon.Bu Eka menggangguk. “Bagaimana Tasya?” tanyanya meminta persetujuan Tasya.Della langsung berbalik memandang Tasya dengan tangan yang disatukan, memohon pada sahabatnya itu. Akhirnya Tasya menyetujui karena merasa kasihan pada Della.“Jevo jadi kamu duduk dengan Tasya ya.” Melihat siapa yang menjadi teman sebangkunya, Jevo menampakkan senyuman tipis lalu segera menuju ke bangku sebelah Tasya. Pak Pardi berpamitan pada Bu Eka dan siswa di sana karena tugasnnya sudah selesai.“Hai, kita ketemu lagi,” sapanya dan dibalas anggukan pelan oleh Tasya. “Jadi nama lo Tasya. Gue Jevo.” Tangannya terangkat, ingin berjabat tangan dengan gadis itu.“Iya gue tau. Tadi lo udah bilang,” balas Tasya yang tak membalas jabatan tangan Jevo dan memilih fokus dengan soal matematika di depannya.Jevo tertegun dengan respon Tasya. Laki-laki itu memandang wajah Tasya dari samping. “Lo boleh juga,” ucapnya dalam hati.* * *“Gue takut banget tadi,” ucap Della lemas sambil meletakkan kepalanya di atas meja.“Emang kenapa sih?” tanya Tasya penasaran sambil meminum segelas orange juice yang ia pesan.“Itu Sya, Jevo,” sahut Salsa datang dengan membawa nampan berisi 3 burger."Jevo kenapa?” tanya Tasya yang masih penasaran.Della langsung menggebrak meja di depannya. “Serius lo gak tau?” Tasya menggeleng pelan. Della meminta kedua sahabatnya itu untuk mendekat. “Kalian tau geng motor Black Riddin?” Mereka menggangguk.“Jevo ketuanya.”“Emang kenapa kalo dia ketuanya?” Della dan Salsa menghembuskan napasnya bersamaan.“Please deh Sya. Dia terkenal kejam. Mana julukannya Raja Kematian. Gue pernah denger dia sama gengnya berantem terus dia pukulin musuhnya sampai hampir mau meninggal.” Salsa bergidik ngeri.“Wah bad track record,” balas Della sambil menggelengkan kepalanya.Bukannya takut, Tasya justru tertawa setelah mendengar cerita teman-temannya itu. “Raja kematian? Hahaha. Dikata dia Tuhan?” katanya.“Ngomongin gue ya?” ucap seorang laki-laki dengan suara beratnya.Della dan Salsa terkejut melihat Jevo berada di belakang Tasya. Lantas mereka segera pergi dari sana meninggalkan Tasya yang masih tertawa terbahak-bahak. Jevo menarik kursi yang berada di samping kanan gadis itu dan duduk di sana. Kedua netranya fokus memandang Tasya masih tertawa.“Lo gak takut sama gue?” tanya Jevo membuat Tasya terdiam. Namun kembali tertawa setelahnya.“Gue takut sama lo?” Jevo menggangguk. Terlihat Tasya mengatur napasnya setelah tertawa cukup lama. “Jangan lo pikir karena lo ketua geng motor yang punya julukan Raja Kematian, gue bakal takut sama lo. Jawabannya gak. Gue gak takut sama lo,” jelas gadis itu membuat Jevo menyunggingkan senyuman tipis di bibirnya.Sudut mata Tasya melirik seragam Jevo yang keluar. “Belum sehari lo jadi siswa di sekolah ini, lo udah ngelanggar peraturan lagi.” Jevo yang mengerti maksud Tasya segera memasukan seragamnya ke dalam celana supaya rapi.“Yuk ke kelas, udah bel,” ajak Tasya yang beranjak dari kursinya dan melangkah terlebih dahulu meninggalkan Jevo yang masih sibuk dengan seragamnya.“Biasanya orang-orang pada takut sama gue. Tapi kenapa lo gak?” gumamnya sambil memandang Tasya yang sudah berjalan cukup meninggalkan Jevo.(to be continue)“Anjing!!” teriak Ilham dengan tangan yang memegang stik playstation.“Sat! Kipper gue. Mati aja lo, nangkep bola gak bisa!” seru Andi tak mau kalah.Hari ini semua kelas sedang kosong tidak ada kegiatan belajar mengajar. Karena para guru sedang rapat untuk kegiatan pensi tahun ini. Para siswa dibebaskan untuk melakukan kegiatan mereka, asal tidak keluar sekolah.Seperti yang dilakukan Andi dan Ilham, mereka memilih bermain playstation didalam kelas dan melontarkan kata-kata yang seharusya tidak diucapkan. Beberapa kali Della yang mengobrol dengan Salsa harus menegur mereka dengan alasan sangat terganggu. Tak jarang kelas tersebut melakukan konser musik sementara yang dipimpin oleh Aldi sang gitaris. Biasanya mereka melakukan konser dibelakang kelas.Berbeda halnya dengan Tasya dan Ardhan. Dalam situasi yang sangat bebas ini, mereka sering keluar kelas untuk rapat. Tasya memegang jabatan ketua disipliner dalam OSI
Sudah 30 menit yang lalu jam kegiatan belajar mengajar dibubarkan. Tetapi masih banyak juga siswa yang berada di sekolah untuk melakukan kegiatan ekstakulikuler, seperti Tasya dan Aldi. Mereka berada dalam ekstra yang sama, yaitu pencak silat. Tasya yang tentu menjabat sebagai ketua, dan Aldi sebagai wakilnya. Terlihat Tasya membuka loker yang bertuliskan nomor 145. Tangannya meraih satu setel baju berwarna hitam yang dia simpan rapi didalam lokernya. Entah apa yang membuat Tasya merasa malas untuk latihan hari ini dan ingin cepat–cepat pulang. Kata–kata David di perpustakan tadi masih jelas di pikirannya. Berulang kali Tasya menyibukkan diri untuk menghilangkannya, tetapi malah membuat Tasya pusing sendiri.“Lo kenapa Sya?” tanya Aldi memegang pundak Tasya.Tasya mengangkat sebelah tangannya mengisyaratkan bahwa dia tidak apa-apa.“Lo gak usah latihan deh hari ini, lo istirahat aja,” sambung Aldi dibalas angguka
“Eyoooo, ada siapa ini?” seru seorang laki-laki dengan gerombolannya, berjalan mendekati Tasya dan Jevo.Wajah Jevo tampak mengeras. Tangannya mengepal. Sorotan mata Jevo tajam melihat mereka datang. Namun...“Edgar,” gumam Tasya dengan sorotan mata yang tajam tak kalah dari Jevo. Laki-laki itu terkejut karena Tasya mengenal Edgar. Bagaimana bisa?“Lho, sama Tasya cantik,” goda Edgar dengan tangan yang mencoba memegang dagu gadis itu. Namun dengan cepat Tasya langsung memutar pergelangan tangan Edgar hingga ia merasa kesakitan dan meminta Tasya melepaskannya.Laki-laki itu mengelus pergelangan tangannya yang sakit. “Wah lo makin kuat aja sejak terakhir kali kita ketemu,” puji Edgar sambil memperlihatkan senyum miringnya pada Tasya yang menampakkan wajah yang jelas tidak suka pada laki-laki tersebut.Jevo mengernyitkan dahinya. Ia tidak tau apa yang mereka
Asha sedikit kesal malam ini. Sejak 3 jam yang lalu ponselnya tidak berhenti berdering. Bagaimana tidak? Semua teman hingga guru di sekolah mengucapkan selamat padanya, karena dirinya berhasil keluar menjadi juara Olimpiade Matematika Nasional. Gadis itu meletakkan ponselnya dan menyalakan TV yang ada di depannya dengan wajah kesal."Kenapa sih lo?" tanya Nadine yang keluar dari balkon. Asha hanya melirik sebentar tanpa menjawab. Lalu kembali fokus melihat kartun favoritnya. Nadine— sahabat Asha sejak dari SMP. Gadis itu juga mengikuti Olimpiade seperti Asha dan keluar sebagai juara Olimpiade Kimia Nasional. "Tadi lo telfon siapa sih, Nad? Lama amat, mana baru kelar lagi." Nadine yang mendengar pertanyaan Asha hanya bisa meringis. Lalu naik ke ranjang dan duduk disebelah Asha sambil memakan biskuit Tini Wini Biti yang Asha pegang. Ponsel Asha tiba-tibe berdering, menandakan ada telfon masuk. Gadis itu menghela napas, dengan rasa malas dia mengambil ponselnya. Tertera nama Julian di
Yogyakarta adalah destinasi kota romantis kedua setelah Pulau Dewata. Kota ini identik dengan kain batik dan destinasi Candi Prambanan yang diminati pengunjung dalam negeri maupun mancanegara. Di salah satu sudutnya yang bernama Malioboro, tak pernah sepi dari pengunjung, baik siang ataupun malam. Di sinilah gadis berperawakan tinggi, rambut terikat dengan pita berwarna biru, dan di lehernya digantungkan ID card bertuliskan ‘PESERTA STUDY TOUR SMA NUSANTARA, JAKARTA’ berdiri. Dengan kedua tangan dilipat di depan dada dan menampakan wajah kesalnya kepada gadis di sampingnya yang mungkin sudah 2 jam masih sibuk memilih baju-baju yang dipamerkan di Malioboro. Tak jarang gadis bernama Salsa itu berdebat dengan sang penjual untuk menurunkan harga baju tersebut.Jika Salsa diadukan dengan ibu–ibu di komplek perumahan pasti levelnya sudah sama. Sama-sama rempongnya. “Sya, ini bagus gak?” diangkatnya baju berwarna merah dengan tulisan I Love Yogyakarta pada bagian tengahnya. Tasya menghembu
Asha sedikit kesal malam ini. Sejak 3 jam yang lalu ponselnya tidak berhenti berdering. Bagaimana tidak? Semua teman hingga guru di sekolah mengucapkan selamat padanya, karena dirinya berhasil keluar menjadi juara Olimpiade Matematika Nasional. Gadis itu meletakkan ponselnya dan menyalakan TV yang ada di depannya dengan wajah kesal."Kenapa sih lo?" tanya Nadine yang keluar dari balkon. Asha hanya melirik sebentar tanpa menjawab. Lalu kembali fokus melihat kartun favoritnya. Nadine— sahabat Asha sejak dari SMP. Gadis itu juga mengikuti Olimpiade seperti Asha dan keluar sebagai juara Olimpiade Kimia Nasional. "Tadi lo telfon siapa sih, Nad? Lama amat, mana baru kelar lagi." Nadine yang mendengar pertanyaan Asha hanya bisa meringis. Lalu naik ke ranjang dan duduk disebelah Asha sambil memakan biskuit Tini Wini Biti yang Asha pegang. Ponsel Asha tiba-tibe berdering, menandakan ada telfon masuk. Gadis itu menghela napas, dengan rasa malas dia mengambil ponselnya. Tertera nama Julian di
“Eyoooo, ada siapa ini?” seru seorang laki-laki dengan gerombolannya, berjalan mendekati Tasya dan Jevo.Wajah Jevo tampak mengeras. Tangannya mengepal. Sorotan mata Jevo tajam melihat mereka datang. Namun...“Edgar,” gumam Tasya dengan sorotan mata yang tajam tak kalah dari Jevo. Laki-laki itu terkejut karena Tasya mengenal Edgar. Bagaimana bisa?“Lho, sama Tasya cantik,” goda Edgar dengan tangan yang mencoba memegang dagu gadis itu. Namun dengan cepat Tasya langsung memutar pergelangan tangan Edgar hingga ia merasa kesakitan dan meminta Tasya melepaskannya.Laki-laki itu mengelus pergelangan tangannya yang sakit. “Wah lo makin kuat aja sejak terakhir kali kita ketemu,” puji Edgar sambil memperlihatkan senyum miringnya pada Tasya yang menampakkan wajah yang jelas tidak suka pada laki-laki tersebut.Jevo mengernyitkan dahinya. Ia tidak tau apa yang mereka
Sudah 30 menit yang lalu jam kegiatan belajar mengajar dibubarkan. Tetapi masih banyak juga siswa yang berada di sekolah untuk melakukan kegiatan ekstakulikuler, seperti Tasya dan Aldi. Mereka berada dalam ekstra yang sama, yaitu pencak silat. Tasya yang tentu menjabat sebagai ketua, dan Aldi sebagai wakilnya. Terlihat Tasya membuka loker yang bertuliskan nomor 145. Tangannya meraih satu setel baju berwarna hitam yang dia simpan rapi didalam lokernya. Entah apa yang membuat Tasya merasa malas untuk latihan hari ini dan ingin cepat–cepat pulang. Kata–kata David di perpustakan tadi masih jelas di pikirannya. Berulang kali Tasya menyibukkan diri untuk menghilangkannya, tetapi malah membuat Tasya pusing sendiri.“Lo kenapa Sya?” tanya Aldi memegang pundak Tasya.Tasya mengangkat sebelah tangannya mengisyaratkan bahwa dia tidak apa-apa.“Lo gak usah latihan deh hari ini, lo istirahat aja,” sambung Aldi dibalas angguka
“Anjing!!” teriak Ilham dengan tangan yang memegang stik playstation.“Sat! Kipper gue. Mati aja lo, nangkep bola gak bisa!” seru Andi tak mau kalah.Hari ini semua kelas sedang kosong tidak ada kegiatan belajar mengajar. Karena para guru sedang rapat untuk kegiatan pensi tahun ini. Para siswa dibebaskan untuk melakukan kegiatan mereka, asal tidak keluar sekolah.Seperti yang dilakukan Andi dan Ilham, mereka memilih bermain playstation didalam kelas dan melontarkan kata-kata yang seharusya tidak diucapkan. Beberapa kali Della yang mengobrol dengan Salsa harus menegur mereka dengan alasan sangat terganggu. Tak jarang kelas tersebut melakukan konser musik sementara yang dipimpin oleh Aldi sang gitaris. Biasanya mereka melakukan konser dibelakang kelas.Berbeda halnya dengan Tasya dan Ardhan. Dalam situasi yang sangat bebas ini, mereka sering keluar kelas untuk rapat. Tasya memegang jabatan ketua disipliner dalam OSI
Bel masuk kelas sudah berbunyi 15 menit yang lalu. Semua siswa masuk ke kelasnya masing–masing. Tidak ada siswa yang berhamburan di luar kelas, kecuali tukang kebun sekolah yang sedang menyapu koridor sekolah atau membersihkan kamar mandi. Begitu juga pelajaran matematika Bu Eka yang sudah dimulai sejak 15 menit lalu di kelas XI IPA 1. Bu Eka termasuk guru yang disiplin. Beliau bukan guru matematika yang sering ditakuti oleh banyak siswa karena kegarangannya. Bu Eka berbeda di pandangan siswa SMA Nusantara, terlebih kelas XI. Beliau termasuk dalam jajaran guru favorit. Banyak siswa yang menganggap matematika itu adalah hal yang menakutkan, tapi yakinlah setiap kelas ditampu oleh Bu Eka pasti nilai matematika mereka berkembang pesat. Entah ilmu apa yang dimiliki Bu Eka. Tok tok tok “Permisi bu,” ucap Tasya sopan dan memasuki kelasnya. Semua teman sekelasnya memandang kearah Tasya, tetapi setelah itu kembali mengerjakan soal fungsi turunan yang diberikan oleh Bu Eka. Teman sekelasnya
Yogyakarta adalah destinasi kota romantis kedua setelah Pulau Dewata. Kota ini identik dengan kain batik dan destinasi Candi Prambanan yang diminati pengunjung dalam negeri maupun mancanegara. Di salah satu sudutnya yang bernama Malioboro, tak pernah sepi dari pengunjung, baik siang ataupun malam. Di sinilah gadis berperawakan tinggi, rambut terikat dengan pita berwarna biru, dan di lehernya digantungkan ID card bertuliskan ‘PESERTA STUDY TOUR SMA NUSANTARA, JAKARTA’ berdiri. Dengan kedua tangan dilipat di depan dada dan menampakan wajah kesalnya kepada gadis di sampingnya yang mungkin sudah 2 jam masih sibuk memilih baju-baju yang dipamerkan di Malioboro. Tak jarang gadis bernama Salsa itu berdebat dengan sang penjual untuk menurunkan harga baju tersebut.Jika Salsa diadukan dengan ibu–ibu di komplek perumahan pasti levelnya sudah sama. Sama-sama rempongnya. “Sya, ini bagus gak?” diangkatnya baju berwarna merah dengan tulisan I Love Yogyakarta pada bagian tengahnya. Tasya menghembu