Sudah 30 menit yang lalu jam kegiatan belajar mengajar dibubarkan. Tetapi masih banyak juga siswa yang berada di sekolah untuk melakukan kegiatan ekstakulikuler, seperti Tasya dan Aldi. Mereka berada dalam ekstra yang sama, yaitu pencak silat. Tasya yang tentu menjabat sebagai ketua, dan Aldi sebagai wakilnya.
Terlihat Tasya membuka loker yang bertuliskan nomor 145. Tangannya meraih satu setel baju berwarna hitam yang dia simpan rapi didalam lokernya. Entah apa yang membuat Tasya merasa malas untuk latihan hari ini dan ingin cepat–cepat pulang. Kata–kata David di perpustakan tadi masih jelas di pikirannya. Berulang kali Tasya menyibukkan diri untuk menghilangkannya, tetapi malah membuat Tasya pusing sendiri.
“Lo kenapa Sya?” tanya Aldi memegang pundak Tasya.
Tasya mengangkat sebelah tangannya mengisyaratkan bahwa dia tidak apa-apa.
“Lo gak usah latihan deh hari ini, lo istirahat aja,” sambung Aldi dibalas anggukan lemah oleh Tasya.
Tasya memang butuh istirahat hari ini. Kegiatan pensi yang sebentar lagi diadakan membuat dia pusing, terlebih ucapan David yang membuat Tasya lebih pusing.
“Biar gue aja,” ucap Aldi menghentikan tangan Tasya yang akan memasukkan bajunya kedalam loker kembali.
“Yaudah, gue duluan ya Al,” pamit Tasya.
“Hati-hati ya.” Tasya tersenyum dan mengacungkan jempolnya lalu berjalan meninggalkan Aldi.
Koridor sekolah terlihat sepi karena kebanyakan siswa melakukan kegiatannya di lapangan dan aula sekolah. Untung saja rumah Tasya dekat dengan sekolah, jika tidak mungkin Tasya lebih memilih untuk tidur seharian di klinik kesehatan.
Terlihat Jevo sedang menyandarkan punggungnya pada tembok dengan tangan kanan yang menghimpit rokok. Berulang kali laki-laki itu menghisap rokok tersebut dan menghembuskan asap dari mulutnya.
Tasya yang melihat hal tersebut masih tidak habis pikir. Baru sehari dia menjadi murid baru di sini, Jevo sudah melanggar peraturan lagi. Sebenarnya Tasya ingin mengingatkan laki-laki itu, namun ia merasa pusing jadi kali ini Tasya membiarkan Jevo melakukan apapun sesuka hatinya.
Jevo yang melihat Tasya berjalan melewatinya merasa aneh. Kenapa gadis itu tidak memarahinya? Padahal jelas ia sedang merokok di area sekolah. Jevo segera membuang sembarang rokok yang masih setengah itu lalu menginjaknya.
Langkahnya berjalan pelan mengikuti Tasya dari belakang dengan kedua tangan yang dimasukan ke dalam saku celananya. Muncul perasaan khawatir di hati Jevo melihat Tasya yang terus memijat pelan pelipisnya. Merasa tidak sabar akhirnya Jevo berjalan mendekati Tasya.
“Lo kenapa?” tanyanya. Gadis itu tidak merespon dan terus berjalan. Jevo mencekal pergelangan tangan Tasya supaya berhenti. Kini mereka saling berhadapan. “Lo kenapa?” tanyanya sekali lagi.
“Pusing dikit,” ucap Tasya sambil menarik tangannya dari cekalan Jevo.
“Udah makan?” Tasya menggeleng.
Jevo menghela napasnya. Tangannya kembali mencekal pergelangan Tasya lalu menariknya menuju ke parkiran sepeda motor. Mereka menuju ke motor gede New Yamaha YZF-R25 warna biru yang terparkir di sana. Jevo mengambil helm putih yang tergantung di jok belakang lalu memberikannya pada Tasya. Namun gadis itu hanya memandang bingung laki-laki di depannya itu.
“Lo pakai sendiri? Atau gue?” ucap Jevo membuat Tasya mengambil helm tersebut dan memakainya.
Jevo mengeluarkan motornya dan meminta Tasya untuk naik. Walaupun awalnya sempat ragu, akhirnya gadis itu mengikuti perkataan Jevo. Gadis itu tidak tahu kemana Jevo membawanya. Mereka menyusuri kota Jakarta yang padat. Tasya baru sadar bahwa menaiki motor dan berkeliling kota sungguh menyenangkan, karena biasanya dia selalu naik mobil dan itu harus dijemput dengan sopir.
Setelah 15 menit perjalanan dan tanpa percakapan apapun, mereka sampai di warung ketoprak pinggir jalan.
“Ngapain ke sini?” tanya Tasya sambil melepas helmnya. Namun pertanyaan itu tidak diindahkan oleh Jevo. Laki-laki itu berjalan mendahului Tasya menuju penjual ketoprak yang sibuk menyiapkan pesanan.
“Pak,” sapa Jevo.
“Eh Den Jevo. Lama gak ke sini.” Jevo tersenyum mendengar perkataan Pak Gendut.
“Ketoprak sama es teh 2 ya pak,” pinta Jevo yang disambut jempol oleh Pak Gendut.
Sebenarnya postur tubuh Pak Gendut tidak sesuai dengan namanya. Tubuhnya ramping dan tinggi. Beliau selalu menggunakan peci dan handuk kecil yang tersampir di pundaknya sebagai ciri khas. Nama aslinya adalah Nur Hidayat. Namun para pengunjung dan orang sekitar sering memanggilnya dengan sebutan Pak Gendut karena selalu menyajikan ketoprak dengan porsi yang banyak, sehingga membuat perut gendut setelah menyantapnya.
Tasya yang sedari tadi di belakang Jevo mengikuti langkah laki-laki itu menuju meja yang berada di depan gerobak tersebut.
“Ngapain ke sini?” tanya Tasya lagi.
“Lo kan belum makan,” ucap Jevo dengan pandangan yang sibuk dengan ponselnya.
Gadis itu memincingkan kedua matanya. “Emang gue mau?”
“Gue yang perlu persetujuan lo.” Tasya menautkan kedua alisnya. “Karena lo pasti langsung setuju,” sambung Jevo membuat Tasya berdesis.
Tidak ada percakapan setelahnya. Jevo sibuk dengan ponselnya dan Tasya sibuk dengan bukunya. Pak Gendut datang dengan membawa 2 porsi ketoprak dan 2 gelas es teh sesuai pesanan Jevo.
“Ini pesanannya. Silakan dinikmati.”
Tasya menerima dengan wajah yang penuh kegembiraan. “Terimakasih Pak,” ucap Tasya.
Pak Gendut menyenggol pundak Jevo pelan membuat laki-laki itu memandangnya. “Den Jevo tumben bawa cewek kemari, biasanya gak pernah.” Tasya yang sedang mengaduk ketopraknya seketika melirik Jevo. “Pacarnya ya Den?” goda pria paruh baya tersebut. Jevo menggeleng dan meminta Pak Gendut untuk melanjutkan pekerjaannya.
“Neng geulis, cewek pertama yang Den Jevo bawa kemari. Jangankan dibawa, ada cewek bonceng motornya aja Den Jevo gak pernah mau,” pungkasnya lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
Laki-laki bernama Jevo itu terdiam seribu bahasa. Tidak tau harus merespon seperti apa. Sedangkan gadis yang di depannya tersenyum tipis sambil mengaduk makanannya. “Kenapa lo?” tanya Jevo.
“Masa Raja Kematian takut deketin cewek?” ucap Tasya lalu tertawa.
Jevo mendengus kesal. “Udah bisa ketawa lo? Perasaan tadi lemah, letih, lesu, lunglai,” ejek Jevo membuat Tasya mengepalkan tangannya ingin memukul laki-laki itu. “Gara-gara cowok tadi ya?”
Tasya terdiam. Dirinya memandang Jevo. “Lo…,”
“Dibilang nguping, gue gak nguping. Tapi pembicaraan kalian sangat jelas masuk ke kuping gue, sampai gue gak bisa tidur.” Laki-laki itu mendengus kesal.
“Sorry.” Tasya menundukkan kepalanya.
“Gue sebenernya males ikut campur urusan orang lain, tapi gue punya firasat dia cowok gak baik,” jelasnya lalu menyantap makanannya. Tasya yang tadinya bersemangat ingin menyantap makananya seperti Jevo, tiba-tiba tidak berselera. Tangannya sibuk memutar-mutar bihun dengan garpu yang dipegangnya.
Tiba-tiba Jevo menarik piring Rena, namun gadis itu menariknya kembali dengan memicingkan kedua matanya. “Jangan mainan makanan. Nanti nangis. Kalo gak mau biar gue makan.”
“Dia mantan gue,” ucapnya tiba-tiba. Walaupun belum ada satu hari mereka saling mengenal, Tasya merasa ia harus bercerita pada laki-laki di depannya.
“We are broke up because he’s cheating on me,” pungkasnya lalu memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
Jevo terdiam. Ia tidak merespon apapun. Tiba-tiba laki-laki itu bersendawa membuat Tasya membelalakkan kedua matanya memandang Jevo. “Kenapa?” Tasya memasang wajah datar.
“Wajar kali. Kan habis makan.” Jevo membela dirinya.
Tangannya mengambil sebungkus rokok Malboro dari saku seragamnya. Tasya yang melihat itu langsung beranjak dari tempat duduknya. “Mau kemana lo?” tanya Jevo.
“Pindah. Lo mau ngerokok, kan?”
Jevo memasukkan kembali rokoknya ke dalam saku. “Gak jadi. Duduk,” pintanya.
Tidak ada percakapan setelahnya. Tasya sibuk memakan ketopraknya dan Jevo sibuk dengan ponselya.
“Eyoooo, ada siapa ini?” seru seorang laki-laki dengan gerombolannya, berjalan mendekati Tasya dan Jevo.
Wajah Jevo tampak mengeras. Tangannya mengepal. Sorotan mata Jevo tajam melihat mereka.
(to be continue)
“Eyoooo, ada siapa ini?” seru seorang laki-laki dengan gerombolannya, berjalan mendekati Tasya dan Jevo.Wajah Jevo tampak mengeras. Tangannya mengepal. Sorotan mata Jevo tajam melihat mereka datang. Namun...“Edgar,” gumam Tasya dengan sorotan mata yang tajam tak kalah dari Jevo. Laki-laki itu terkejut karena Tasya mengenal Edgar. Bagaimana bisa?“Lho, sama Tasya cantik,” goda Edgar dengan tangan yang mencoba memegang dagu gadis itu. Namun dengan cepat Tasya langsung memutar pergelangan tangan Edgar hingga ia merasa kesakitan dan meminta Tasya melepaskannya.Laki-laki itu mengelus pergelangan tangannya yang sakit. “Wah lo makin kuat aja sejak terakhir kali kita ketemu,” puji Edgar sambil memperlihatkan senyum miringnya pada Tasya yang menampakkan wajah yang jelas tidak suka pada laki-laki tersebut.Jevo mengernyitkan dahinya. Ia tidak tau apa yang mereka
Asha sedikit kesal malam ini. Sejak 3 jam yang lalu ponselnya tidak berhenti berdering. Bagaimana tidak? Semua teman hingga guru di sekolah mengucapkan selamat padanya, karena dirinya berhasil keluar menjadi juara Olimpiade Matematika Nasional. Gadis itu meletakkan ponselnya dan menyalakan TV yang ada di depannya dengan wajah kesal."Kenapa sih lo?" tanya Nadine yang keluar dari balkon. Asha hanya melirik sebentar tanpa menjawab. Lalu kembali fokus melihat kartun favoritnya. Nadine— sahabat Asha sejak dari SMP. Gadis itu juga mengikuti Olimpiade seperti Asha dan keluar sebagai juara Olimpiade Kimia Nasional. "Tadi lo telfon siapa sih, Nad? Lama amat, mana baru kelar lagi." Nadine yang mendengar pertanyaan Asha hanya bisa meringis. Lalu naik ke ranjang dan duduk disebelah Asha sambil memakan biskuit Tini Wini Biti yang Asha pegang. Ponsel Asha tiba-tibe berdering, menandakan ada telfon masuk. Gadis itu menghela napas, dengan rasa malas dia mengambil ponselnya. Tertera nama Julian di
Yogyakarta adalah destinasi kota romantis kedua setelah Pulau Dewata. Kota ini identik dengan kain batik dan destinasi Candi Prambanan yang diminati pengunjung dalam negeri maupun mancanegara. Di salah satu sudutnya yang bernama Malioboro, tak pernah sepi dari pengunjung, baik siang ataupun malam. Di sinilah gadis berperawakan tinggi, rambut terikat dengan pita berwarna biru, dan di lehernya digantungkan ID card bertuliskan ‘PESERTA STUDY TOUR SMA NUSANTARA, JAKARTA’ berdiri. Dengan kedua tangan dilipat di depan dada dan menampakan wajah kesalnya kepada gadis di sampingnya yang mungkin sudah 2 jam masih sibuk memilih baju-baju yang dipamerkan di Malioboro. Tak jarang gadis bernama Salsa itu berdebat dengan sang penjual untuk menurunkan harga baju tersebut.Jika Salsa diadukan dengan ibu–ibu di komplek perumahan pasti levelnya sudah sama. Sama-sama rempongnya. “Sya, ini bagus gak?” diangkatnya baju berwarna merah dengan tulisan I Love Yogyakarta pada bagian tengahnya. Tasya menghembu
Bel masuk kelas sudah berbunyi 15 menit yang lalu. Semua siswa masuk ke kelasnya masing–masing. Tidak ada siswa yang berhamburan di luar kelas, kecuali tukang kebun sekolah yang sedang menyapu koridor sekolah atau membersihkan kamar mandi. Begitu juga pelajaran matematika Bu Eka yang sudah dimulai sejak 15 menit lalu di kelas XI IPA 1. Bu Eka termasuk guru yang disiplin. Beliau bukan guru matematika yang sering ditakuti oleh banyak siswa karena kegarangannya. Bu Eka berbeda di pandangan siswa SMA Nusantara, terlebih kelas XI. Beliau termasuk dalam jajaran guru favorit. Banyak siswa yang menganggap matematika itu adalah hal yang menakutkan, tapi yakinlah setiap kelas ditampu oleh Bu Eka pasti nilai matematika mereka berkembang pesat. Entah ilmu apa yang dimiliki Bu Eka. Tok tok tok “Permisi bu,” ucap Tasya sopan dan memasuki kelasnya. Semua teman sekelasnya memandang kearah Tasya, tetapi setelah itu kembali mengerjakan soal fungsi turunan yang diberikan oleh Bu Eka. Teman sekelasnya
“Anjing!!” teriak Ilham dengan tangan yang memegang stik playstation.“Sat! Kipper gue. Mati aja lo, nangkep bola gak bisa!” seru Andi tak mau kalah.Hari ini semua kelas sedang kosong tidak ada kegiatan belajar mengajar. Karena para guru sedang rapat untuk kegiatan pensi tahun ini. Para siswa dibebaskan untuk melakukan kegiatan mereka, asal tidak keluar sekolah.Seperti yang dilakukan Andi dan Ilham, mereka memilih bermain playstation didalam kelas dan melontarkan kata-kata yang seharusya tidak diucapkan. Beberapa kali Della yang mengobrol dengan Salsa harus menegur mereka dengan alasan sangat terganggu. Tak jarang kelas tersebut melakukan konser musik sementara yang dipimpin oleh Aldi sang gitaris. Biasanya mereka melakukan konser dibelakang kelas.Berbeda halnya dengan Tasya dan Ardhan. Dalam situasi yang sangat bebas ini, mereka sering keluar kelas untuk rapat. Tasya memegang jabatan ketua disipliner dalam OSI
Asha sedikit kesal malam ini. Sejak 3 jam yang lalu ponselnya tidak berhenti berdering. Bagaimana tidak? Semua teman hingga guru di sekolah mengucapkan selamat padanya, karena dirinya berhasil keluar menjadi juara Olimpiade Matematika Nasional. Gadis itu meletakkan ponselnya dan menyalakan TV yang ada di depannya dengan wajah kesal."Kenapa sih lo?" tanya Nadine yang keluar dari balkon. Asha hanya melirik sebentar tanpa menjawab. Lalu kembali fokus melihat kartun favoritnya. Nadine— sahabat Asha sejak dari SMP. Gadis itu juga mengikuti Olimpiade seperti Asha dan keluar sebagai juara Olimpiade Kimia Nasional. "Tadi lo telfon siapa sih, Nad? Lama amat, mana baru kelar lagi." Nadine yang mendengar pertanyaan Asha hanya bisa meringis. Lalu naik ke ranjang dan duduk disebelah Asha sambil memakan biskuit Tini Wini Biti yang Asha pegang. Ponsel Asha tiba-tibe berdering, menandakan ada telfon masuk. Gadis itu menghela napas, dengan rasa malas dia mengambil ponselnya. Tertera nama Julian di
“Eyoooo, ada siapa ini?” seru seorang laki-laki dengan gerombolannya, berjalan mendekati Tasya dan Jevo.Wajah Jevo tampak mengeras. Tangannya mengepal. Sorotan mata Jevo tajam melihat mereka datang. Namun...“Edgar,” gumam Tasya dengan sorotan mata yang tajam tak kalah dari Jevo. Laki-laki itu terkejut karena Tasya mengenal Edgar. Bagaimana bisa?“Lho, sama Tasya cantik,” goda Edgar dengan tangan yang mencoba memegang dagu gadis itu. Namun dengan cepat Tasya langsung memutar pergelangan tangan Edgar hingga ia merasa kesakitan dan meminta Tasya melepaskannya.Laki-laki itu mengelus pergelangan tangannya yang sakit. “Wah lo makin kuat aja sejak terakhir kali kita ketemu,” puji Edgar sambil memperlihatkan senyum miringnya pada Tasya yang menampakkan wajah yang jelas tidak suka pada laki-laki tersebut.Jevo mengernyitkan dahinya. Ia tidak tau apa yang mereka
Sudah 30 menit yang lalu jam kegiatan belajar mengajar dibubarkan. Tetapi masih banyak juga siswa yang berada di sekolah untuk melakukan kegiatan ekstakulikuler, seperti Tasya dan Aldi. Mereka berada dalam ekstra yang sama, yaitu pencak silat. Tasya yang tentu menjabat sebagai ketua, dan Aldi sebagai wakilnya. Terlihat Tasya membuka loker yang bertuliskan nomor 145. Tangannya meraih satu setel baju berwarna hitam yang dia simpan rapi didalam lokernya. Entah apa yang membuat Tasya merasa malas untuk latihan hari ini dan ingin cepat–cepat pulang. Kata–kata David di perpustakan tadi masih jelas di pikirannya. Berulang kali Tasya menyibukkan diri untuk menghilangkannya, tetapi malah membuat Tasya pusing sendiri.“Lo kenapa Sya?” tanya Aldi memegang pundak Tasya.Tasya mengangkat sebelah tangannya mengisyaratkan bahwa dia tidak apa-apa.“Lo gak usah latihan deh hari ini, lo istirahat aja,” sambung Aldi dibalas angguka
“Anjing!!” teriak Ilham dengan tangan yang memegang stik playstation.“Sat! Kipper gue. Mati aja lo, nangkep bola gak bisa!” seru Andi tak mau kalah.Hari ini semua kelas sedang kosong tidak ada kegiatan belajar mengajar. Karena para guru sedang rapat untuk kegiatan pensi tahun ini. Para siswa dibebaskan untuk melakukan kegiatan mereka, asal tidak keluar sekolah.Seperti yang dilakukan Andi dan Ilham, mereka memilih bermain playstation didalam kelas dan melontarkan kata-kata yang seharusya tidak diucapkan. Beberapa kali Della yang mengobrol dengan Salsa harus menegur mereka dengan alasan sangat terganggu. Tak jarang kelas tersebut melakukan konser musik sementara yang dipimpin oleh Aldi sang gitaris. Biasanya mereka melakukan konser dibelakang kelas.Berbeda halnya dengan Tasya dan Ardhan. Dalam situasi yang sangat bebas ini, mereka sering keluar kelas untuk rapat. Tasya memegang jabatan ketua disipliner dalam OSI
Bel masuk kelas sudah berbunyi 15 menit yang lalu. Semua siswa masuk ke kelasnya masing–masing. Tidak ada siswa yang berhamburan di luar kelas, kecuali tukang kebun sekolah yang sedang menyapu koridor sekolah atau membersihkan kamar mandi. Begitu juga pelajaran matematika Bu Eka yang sudah dimulai sejak 15 menit lalu di kelas XI IPA 1. Bu Eka termasuk guru yang disiplin. Beliau bukan guru matematika yang sering ditakuti oleh banyak siswa karena kegarangannya. Bu Eka berbeda di pandangan siswa SMA Nusantara, terlebih kelas XI. Beliau termasuk dalam jajaran guru favorit. Banyak siswa yang menganggap matematika itu adalah hal yang menakutkan, tapi yakinlah setiap kelas ditampu oleh Bu Eka pasti nilai matematika mereka berkembang pesat. Entah ilmu apa yang dimiliki Bu Eka. Tok tok tok “Permisi bu,” ucap Tasya sopan dan memasuki kelasnya. Semua teman sekelasnya memandang kearah Tasya, tetapi setelah itu kembali mengerjakan soal fungsi turunan yang diberikan oleh Bu Eka. Teman sekelasnya
Yogyakarta adalah destinasi kota romantis kedua setelah Pulau Dewata. Kota ini identik dengan kain batik dan destinasi Candi Prambanan yang diminati pengunjung dalam negeri maupun mancanegara. Di salah satu sudutnya yang bernama Malioboro, tak pernah sepi dari pengunjung, baik siang ataupun malam. Di sinilah gadis berperawakan tinggi, rambut terikat dengan pita berwarna biru, dan di lehernya digantungkan ID card bertuliskan ‘PESERTA STUDY TOUR SMA NUSANTARA, JAKARTA’ berdiri. Dengan kedua tangan dilipat di depan dada dan menampakan wajah kesalnya kepada gadis di sampingnya yang mungkin sudah 2 jam masih sibuk memilih baju-baju yang dipamerkan di Malioboro. Tak jarang gadis bernama Salsa itu berdebat dengan sang penjual untuk menurunkan harga baju tersebut.Jika Salsa diadukan dengan ibu–ibu di komplek perumahan pasti levelnya sudah sama. Sama-sama rempongnya. “Sya, ini bagus gak?” diangkatnya baju berwarna merah dengan tulisan I Love Yogyakarta pada bagian tengahnya. Tasya menghembu