“Anjing!!” teriak Ilham dengan tangan yang memegang stik playstation.
“Sat! Kipper gue. Mati aja lo, nangkep bola gak bisa!” seru Andi tak mau kalah.
Hari ini semua kelas sedang kosong tidak ada kegiatan belajar mengajar. Karena para guru sedang rapat untuk kegiatan pensi tahun ini. Para siswa dibebaskan untuk melakukan kegiatan mereka, asal tidak keluar sekolah.
Seperti yang dilakukan Andi dan Ilham, mereka memilih bermain playstation didalam kelas dan melontarkan kata-kata yang seharusya tidak diucapkan. Beberapa kali Della yang mengobrol dengan Salsa harus menegur mereka dengan alasan sangat terganggu. Tak jarang kelas tersebut melakukan konser musik sementara yang dipimpin oleh Aldi sang gitaris. Biasanya mereka melakukan konser dibelakang kelas.
Berbeda halnya dengan Tasya dan Ardhan. Dalam situasi yang sangat bebas ini, mereka sering keluar kelas untuk rapat. Tasya memegang jabatan ketua disipliner dalam OSIS, sedangkan Ardhan memegang jabatan ketua dalam ekstrakulikuler PMR.
“Eghhhh,” ucap Tasya sambil meregangkan tubuhnya pada sandaran kursi yang berada di ruang OSIS.
“Capek banget kayaknya Sya,” ucap Fina sang sekretaris yang sedang menyusun berkas di sampingnya.
“Banget Fin.” Tangannya mengambil novel yang berada didepannya dan segera membacanya. Fina yang melihat itu hanya tersenyum kecil.
Tok…tok…tok
Terdengar ketukan pintu ruang OSIS. Memang privasi ruang OSIS di SMA Nusantara terjaga sangat ketat. Tak sembarang orang yang dapat melihat ruang OSIS, kecuali para pengurus dan pembina.
Terlihat Graha sang ketua umum berjalan membuka pintu tersebut. Terdapat Siska dan Angel disana. Mereka menyodorkan sebuah pamflet kepada Graha.
“Yaudah gitu aja. Makasih Graha,” ucap Siska dan dibalas anggukan oleh Graha.
“Kenapa anak teater? Tumben kesini,” tanya Fina.
Graha menyodorkan pamflet yang dia terima pada Fina. “Sya! Liat deh,” pinta Fina pada Tasya yang masih asik dengan novelnya. “Apa?” tanya Tasya tanpa memandang Fina.
Fina menghela nafas kasar melihat tingkah Tasya yang seperti itu. “Nih!” Fina menyodorkan pamflet tersebut tepat didepan wajah Tasya, saat ini posisi Fina berada dibelakang Tasya.
Tasya menautkan kedua alisnya. “Terus?” Fina kembali pada posisinya semula.
“Gue yakin nih, si Buaya David pasti minta lo buat jadi vokalisnya,” jelas Fina sedikit geram.
“Tapi Sya …,“ ucapnya menggantung membuat Tasya menutup novelnya lalu memandang Fina.”Kalo nanti lo beneran diminta buat jadi vokalisnya, gimana?”
“Gak usah diterima Sya. Buat apa lo masih berhubungan sama orang yang udah buat lo sakit hati? Walaupun gue yakin lo bisa profesional tapi pasti lo capek hati.” Tasya mengacungkan jempolnya pada Graha.
“Eh, tapi Farah kemana? Kok Dixie Band open recruitment vokalis?” tanya Graha tiba-tiba.
“Gue denger sih dia pindah di SMA Cendrawasih bareng Vita,” jawab Tasya.
“Hah? Satu sekolah sama cewek uler? Dihhh,” ucap Fina dengan ekspresi jijik.
“Mau dipasang kapan pamfletnya?” tanya Tasya.
“Pasang Fin,” pinta Graha. Fina mengangguk dan berdiri dari kursinya. Tangannya terulur menarik tangan Tasya, mau tidak mau Tasya harus menemani Fina memasang pamflet di mading sekolah.
“Tumben guru-guru rapatnya lama banget,” ucap Fina heran melihat banyak sekali siswa yang masih berada diluar kelas.
Mereka sampai pada mading di dekat kantin. Karena anak teater hanya memberikan 2 pamflet saja, jadi mereka memilih mading dekat kantin agar banyak siswa yang melihat.
“Nih.” Tasya mengernyitkan dahinya. “Lo yang pasang. Gue pendek gak nyampe, lo kan tinggi,” ucap Fina membuat Tasya tertawa kecil.
“Jadi lo ngajak gue cuma buat kayak gini?” tanya Tasya yang sedang menempel pamflet. Fina tak peduli dengan apa yang dibicarakan Tasya, dia asik membaca informasi yang terpasang di mading.
Tasya selesai dengan pekerjaannya. Terasa sebuah tangan mengacak-acak rambutnya. Segera dia berbalik dan melihat siapa orang itu.
“David,” gumam Tasya dalam hati. Terlihat David dan segerombol temannya memasuki kantin. Sempat David memandang Tasya mengerlingkan sebelah matanya pada Tasya. Bukannya senang, tapi Tasya merasa jijik dengan tingkah David.
“Sya.” Tasya membalikkan tubuhnya. “Rambut lo kenapa?” ucap Fina bingung. Tasya menggelengkan kepalanya.
“Udah bacanya?” tanya Tasya membenahi ikatan rambutnya.
“Gue baru sadar kalau sekolah kita ada jalur internasional,” ucap Fina.
“Udah lama kali. Gue mau ke kelas,” pamit Tasya dan dibalas anggukan oleh Fina.
“Tasya!!!” terlihat Ardhan yang berlari kecil kearah Tasya. “Apa?” tanya Tasya dengan nada datar.
Ardhan memperlihatkan deretan giginya. “Bareng,” tangan kanannya segera melingkar di leher Tasya
Ardhan memang tipikal orang yang friendly. Sebagai anak kepala sekolah, dia tidak sombong malah kebalikkannya, dia bertingkah konyol dan dia tidak menunjukkan bahwa dia adalah anak kepala sekolah. Dia sederhana dan mudah bergaul. Hal itulah yang membuat Tasya betah berteman dengan Ardhan.
Sampai dikelas, mereka menuju kegrombolan mereka masing. Ardhan yang menuju kearah Ilham dan Andi yang masih bermain PS, sedangkan Tasya menuju kearah Della dan Salsa. Lebih tepatnya Tasya hanya mengambil buku yang dia pinjam di perpustakaan dari tasnya.
“Mau kemana lagi Sya?” tanya Della.
“Perpustakaan. Mau ikut?” ajak Tasya dan dibalas gelengan oleh Della. Tasya berjalan keluar kelas, tapi sebelum itu langkahnya terhenti pada tempat Ilham dan Andi yang sedang bermain playstation. Dibelakang mereka terdapat Ardhan yang duduk manis melihat permainan mereka.
“Anjing! Gila tu kipper! Udah gue ganti berapa kali, masih kebobolan juga,” ucap Andi kesal.
“Haha. Itu sih bukan pemainnya, tapi lo nya yang gak bisa main,” cibir Ilham.
“Hei!” Mereka menoleh ke arah Tasya. “Mainnya udahan. Pak Pardi keliling diambil stik lo nanti,” nasihat Tasya.
“Lha? Udah punya sendiri, kenapa ambil punya gue?” ucap Ilham tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
“Aduh!” seru Ilham mendapat jitakan dari Ardhan.
“Yaudah. Gue cuma mau ngingetin kalian,” ucap Tasya datar tanpa digubris oleh mereka.
Tasya sempat melirik tempat duduk Jevo yang kosong. Pertanyaan dimana Jevo sempat muncul dipikiran Tasya, namun tak diindahkannya dan segera pergi menuju ke perpustakaan.
* * *
Sepi. Kata itulah yang mencerminkan suasana perpustakaan saat ini. Bisa dihitung dengan jari berapa banyak siswa yang datang ke perpustakaan. Tasya lebih menyukai tempat yang hening dari pada ramai dan membuat Tasya pusing. Dia memilih tempat dipojok ruangan untuk membaca. Suasana hening, hanya terdapat suara kipas angin dan suara lembar buku yang dibalik.
Tasya merasa sedang diawasi. Dan benar tepat didepannya sudah berada David yang duduk manis. Tasya menghela nafas kesalnya dan hendak beranjak dari tempatnya, tapi dengan cepat David memegang tangan Tasya dan kembali duduk.
“Mau lo apa?” tanya Tasya to the point.
David tersenyum. “Gue mau lo masuk Dixie Band,” tegas David.
“Mimpi lo!” ketus Tasya. David menghela nafas gusar.
“Apa sih yang lo gak mau buat gabung? Karena gue dulu nyakitin lo? Oke deh, gue minta maaf Sya,” ucap David dengan meraih tangan Tasya, tapi dengan cepat Tasya menarik tangannya.
“Asal lo tau, gue gak pernah sama Vita setelah kita putus. Dan juga, rasa gue ke lo masih ada Sya.” Tasya memutar bola matanya.
“Tapi sayang, rasa gue ke lo udah gak ada,” jelas Tasya sambil menatap dingin David.
“Mau lo sama Vita atau sama siapa, gue gak peduli. Asal lo tau juga, gue gak akan pernah gabung di band lo itu,” David melihat keseriusan Tasya pada bola matanya. Tak pernah David melihatnya setelah Tasya meminta putus dengannya.
David beranjak dari kursinya. “Gue terima keputusan lo, tapi gue sangat berharap lo mau gabung di band gue. Satu lagi Sya, gue masih suka sama lo. Untuk yang terakhir ini gue gak main-main,” ucap David serius lantas pergi dari perpustakaan.
Tasya mematung mendengar ucapan David.
(to be continue)
Sudah 30 menit yang lalu jam kegiatan belajar mengajar dibubarkan. Tetapi masih banyak juga siswa yang berada di sekolah untuk melakukan kegiatan ekstakulikuler, seperti Tasya dan Aldi. Mereka berada dalam ekstra yang sama, yaitu pencak silat. Tasya yang tentu menjabat sebagai ketua, dan Aldi sebagai wakilnya. Terlihat Tasya membuka loker yang bertuliskan nomor 145. Tangannya meraih satu setel baju berwarna hitam yang dia simpan rapi didalam lokernya. Entah apa yang membuat Tasya merasa malas untuk latihan hari ini dan ingin cepat–cepat pulang. Kata–kata David di perpustakan tadi masih jelas di pikirannya. Berulang kali Tasya menyibukkan diri untuk menghilangkannya, tetapi malah membuat Tasya pusing sendiri.“Lo kenapa Sya?” tanya Aldi memegang pundak Tasya.Tasya mengangkat sebelah tangannya mengisyaratkan bahwa dia tidak apa-apa.“Lo gak usah latihan deh hari ini, lo istirahat aja,” sambung Aldi dibalas angguka
“Eyoooo, ada siapa ini?” seru seorang laki-laki dengan gerombolannya, berjalan mendekati Tasya dan Jevo.Wajah Jevo tampak mengeras. Tangannya mengepal. Sorotan mata Jevo tajam melihat mereka datang. Namun...“Edgar,” gumam Tasya dengan sorotan mata yang tajam tak kalah dari Jevo. Laki-laki itu terkejut karena Tasya mengenal Edgar. Bagaimana bisa?“Lho, sama Tasya cantik,” goda Edgar dengan tangan yang mencoba memegang dagu gadis itu. Namun dengan cepat Tasya langsung memutar pergelangan tangan Edgar hingga ia merasa kesakitan dan meminta Tasya melepaskannya.Laki-laki itu mengelus pergelangan tangannya yang sakit. “Wah lo makin kuat aja sejak terakhir kali kita ketemu,” puji Edgar sambil memperlihatkan senyum miringnya pada Tasya yang menampakkan wajah yang jelas tidak suka pada laki-laki tersebut.Jevo mengernyitkan dahinya. Ia tidak tau apa yang mereka
Asha sedikit kesal malam ini. Sejak 3 jam yang lalu ponselnya tidak berhenti berdering. Bagaimana tidak? Semua teman hingga guru di sekolah mengucapkan selamat padanya, karena dirinya berhasil keluar menjadi juara Olimpiade Matematika Nasional. Gadis itu meletakkan ponselnya dan menyalakan TV yang ada di depannya dengan wajah kesal."Kenapa sih lo?" tanya Nadine yang keluar dari balkon. Asha hanya melirik sebentar tanpa menjawab. Lalu kembali fokus melihat kartun favoritnya. Nadine— sahabat Asha sejak dari SMP. Gadis itu juga mengikuti Olimpiade seperti Asha dan keluar sebagai juara Olimpiade Kimia Nasional. "Tadi lo telfon siapa sih, Nad? Lama amat, mana baru kelar lagi." Nadine yang mendengar pertanyaan Asha hanya bisa meringis. Lalu naik ke ranjang dan duduk disebelah Asha sambil memakan biskuit Tini Wini Biti yang Asha pegang. Ponsel Asha tiba-tibe berdering, menandakan ada telfon masuk. Gadis itu menghela napas, dengan rasa malas dia mengambil ponselnya. Tertera nama Julian di
Yogyakarta adalah destinasi kota romantis kedua setelah Pulau Dewata. Kota ini identik dengan kain batik dan destinasi Candi Prambanan yang diminati pengunjung dalam negeri maupun mancanegara. Di salah satu sudutnya yang bernama Malioboro, tak pernah sepi dari pengunjung, baik siang ataupun malam. Di sinilah gadis berperawakan tinggi, rambut terikat dengan pita berwarna biru, dan di lehernya digantungkan ID card bertuliskan ‘PESERTA STUDY TOUR SMA NUSANTARA, JAKARTA’ berdiri. Dengan kedua tangan dilipat di depan dada dan menampakan wajah kesalnya kepada gadis di sampingnya yang mungkin sudah 2 jam masih sibuk memilih baju-baju yang dipamerkan di Malioboro. Tak jarang gadis bernama Salsa itu berdebat dengan sang penjual untuk menurunkan harga baju tersebut.Jika Salsa diadukan dengan ibu–ibu di komplek perumahan pasti levelnya sudah sama. Sama-sama rempongnya. “Sya, ini bagus gak?” diangkatnya baju berwarna merah dengan tulisan I Love Yogyakarta pada bagian tengahnya. Tasya menghembu
Bel masuk kelas sudah berbunyi 15 menit yang lalu. Semua siswa masuk ke kelasnya masing–masing. Tidak ada siswa yang berhamburan di luar kelas, kecuali tukang kebun sekolah yang sedang menyapu koridor sekolah atau membersihkan kamar mandi. Begitu juga pelajaran matematika Bu Eka yang sudah dimulai sejak 15 menit lalu di kelas XI IPA 1. Bu Eka termasuk guru yang disiplin. Beliau bukan guru matematika yang sering ditakuti oleh banyak siswa karena kegarangannya. Bu Eka berbeda di pandangan siswa SMA Nusantara, terlebih kelas XI. Beliau termasuk dalam jajaran guru favorit. Banyak siswa yang menganggap matematika itu adalah hal yang menakutkan, tapi yakinlah setiap kelas ditampu oleh Bu Eka pasti nilai matematika mereka berkembang pesat. Entah ilmu apa yang dimiliki Bu Eka. Tok tok tok “Permisi bu,” ucap Tasya sopan dan memasuki kelasnya. Semua teman sekelasnya memandang kearah Tasya, tetapi setelah itu kembali mengerjakan soal fungsi turunan yang diberikan oleh Bu Eka. Teman sekelasnya
Asha sedikit kesal malam ini. Sejak 3 jam yang lalu ponselnya tidak berhenti berdering. Bagaimana tidak? Semua teman hingga guru di sekolah mengucapkan selamat padanya, karena dirinya berhasil keluar menjadi juara Olimpiade Matematika Nasional. Gadis itu meletakkan ponselnya dan menyalakan TV yang ada di depannya dengan wajah kesal."Kenapa sih lo?" tanya Nadine yang keluar dari balkon. Asha hanya melirik sebentar tanpa menjawab. Lalu kembali fokus melihat kartun favoritnya. Nadine— sahabat Asha sejak dari SMP. Gadis itu juga mengikuti Olimpiade seperti Asha dan keluar sebagai juara Olimpiade Kimia Nasional. "Tadi lo telfon siapa sih, Nad? Lama amat, mana baru kelar lagi." Nadine yang mendengar pertanyaan Asha hanya bisa meringis. Lalu naik ke ranjang dan duduk disebelah Asha sambil memakan biskuit Tini Wini Biti yang Asha pegang. Ponsel Asha tiba-tibe berdering, menandakan ada telfon masuk. Gadis itu menghela napas, dengan rasa malas dia mengambil ponselnya. Tertera nama Julian di
“Eyoooo, ada siapa ini?” seru seorang laki-laki dengan gerombolannya, berjalan mendekati Tasya dan Jevo.Wajah Jevo tampak mengeras. Tangannya mengepal. Sorotan mata Jevo tajam melihat mereka datang. Namun...“Edgar,” gumam Tasya dengan sorotan mata yang tajam tak kalah dari Jevo. Laki-laki itu terkejut karena Tasya mengenal Edgar. Bagaimana bisa?“Lho, sama Tasya cantik,” goda Edgar dengan tangan yang mencoba memegang dagu gadis itu. Namun dengan cepat Tasya langsung memutar pergelangan tangan Edgar hingga ia merasa kesakitan dan meminta Tasya melepaskannya.Laki-laki itu mengelus pergelangan tangannya yang sakit. “Wah lo makin kuat aja sejak terakhir kali kita ketemu,” puji Edgar sambil memperlihatkan senyum miringnya pada Tasya yang menampakkan wajah yang jelas tidak suka pada laki-laki tersebut.Jevo mengernyitkan dahinya. Ia tidak tau apa yang mereka
Sudah 30 menit yang lalu jam kegiatan belajar mengajar dibubarkan. Tetapi masih banyak juga siswa yang berada di sekolah untuk melakukan kegiatan ekstakulikuler, seperti Tasya dan Aldi. Mereka berada dalam ekstra yang sama, yaitu pencak silat. Tasya yang tentu menjabat sebagai ketua, dan Aldi sebagai wakilnya. Terlihat Tasya membuka loker yang bertuliskan nomor 145. Tangannya meraih satu setel baju berwarna hitam yang dia simpan rapi didalam lokernya. Entah apa yang membuat Tasya merasa malas untuk latihan hari ini dan ingin cepat–cepat pulang. Kata–kata David di perpustakan tadi masih jelas di pikirannya. Berulang kali Tasya menyibukkan diri untuk menghilangkannya, tetapi malah membuat Tasya pusing sendiri.“Lo kenapa Sya?” tanya Aldi memegang pundak Tasya.Tasya mengangkat sebelah tangannya mengisyaratkan bahwa dia tidak apa-apa.“Lo gak usah latihan deh hari ini, lo istirahat aja,” sambung Aldi dibalas angguka
“Anjing!!” teriak Ilham dengan tangan yang memegang stik playstation.“Sat! Kipper gue. Mati aja lo, nangkep bola gak bisa!” seru Andi tak mau kalah.Hari ini semua kelas sedang kosong tidak ada kegiatan belajar mengajar. Karena para guru sedang rapat untuk kegiatan pensi tahun ini. Para siswa dibebaskan untuk melakukan kegiatan mereka, asal tidak keluar sekolah.Seperti yang dilakukan Andi dan Ilham, mereka memilih bermain playstation didalam kelas dan melontarkan kata-kata yang seharusya tidak diucapkan. Beberapa kali Della yang mengobrol dengan Salsa harus menegur mereka dengan alasan sangat terganggu. Tak jarang kelas tersebut melakukan konser musik sementara yang dipimpin oleh Aldi sang gitaris. Biasanya mereka melakukan konser dibelakang kelas.Berbeda halnya dengan Tasya dan Ardhan. Dalam situasi yang sangat bebas ini, mereka sering keluar kelas untuk rapat. Tasya memegang jabatan ketua disipliner dalam OSI
Bel masuk kelas sudah berbunyi 15 menit yang lalu. Semua siswa masuk ke kelasnya masing–masing. Tidak ada siswa yang berhamburan di luar kelas, kecuali tukang kebun sekolah yang sedang menyapu koridor sekolah atau membersihkan kamar mandi. Begitu juga pelajaran matematika Bu Eka yang sudah dimulai sejak 15 menit lalu di kelas XI IPA 1. Bu Eka termasuk guru yang disiplin. Beliau bukan guru matematika yang sering ditakuti oleh banyak siswa karena kegarangannya. Bu Eka berbeda di pandangan siswa SMA Nusantara, terlebih kelas XI. Beliau termasuk dalam jajaran guru favorit. Banyak siswa yang menganggap matematika itu adalah hal yang menakutkan, tapi yakinlah setiap kelas ditampu oleh Bu Eka pasti nilai matematika mereka berkembang pesat. Entah ilmu apa yang dimiliki Bu Eka. Tok tok tok “Permisi bu,” ucap Tasya sopan dan memasuki kelasnya. Semua teman sekelasnya memandang kearah Tasya, tetapi setelah itu kembali mengerjakan soal fungsi turunan yang diberikan oleh Bu Eka. Teman sekelasnya
Yogyakarta adalah destinasi kota romantis kedua setelah Pulau Dewata. Kota ini identik dengan kain batik dan destinasi Candi Prambanan yang diminati pengunjung dalam negeri maupun mancanegara. Di salah satu sudutnya yang bernama Malioboro, tak pernah sepi dari pengunjung, baik siang ataupun malam. Di sinilah gadis berperawakan tinggi, rambut terikat dengan pita berwarna biru, dan di lehernya digantungkan ID card bertuliskan ‘PESERTA STUDY TOUR SMA NUSANTARA, JAKARTA’ berdiri. Dengan kedua tangan dilipat di depan dada dan menampakan wajah kesalnya kepada gadis di sampingnya yang mungkin sudah 2 jam masih sibuk memilih baju-baju yang dipamerkan di Malioboro. Tak jarang gadis bernama Salsa itu berdebat dengan sang penjual untuk menurunkan harga baju tersebut.Jika Salsa diadukan dengan ibu–ibu di komplek perumahan pasti levelnya sudah sama. Sama-sama rempongnya. “Sya, ini bagus gak?” diangkatnya baju berwarna merah dengan tulisan I Love Yogyakarta pada bagian tengahnya. Tasya menghembu